Quantcast
Channel: Travel Journal of Satya
Viewing all 119 articles
Browse latest View live

Terbang Murah ke Australia Pakai Scoot Airline Boeing 787-9 Dreamliner - FlyScoot

$
0
0


Mungkin belum banyak yang tahu atau pernah mendengar nama Scoot Airline yang terhitung tanggal 25 Juli 2017 kemarin merger dengan Tiger Air, melayani penerbangan ke 59 destinasi di Asia-Australia dan baru-baru ini membuka rute ke Yunani. Kali ini saya mau berbagi pengalaman tentang terbang bersama maskapai ini dari Singapore ke Sydney, Australia.

Saya terbang naik Tiger Air dari Jakarta, transit sekitar 8 jam di Changi Airport lalu meanjutkan penerbangan ke Sydney. Beruntungnya saya waktu itu dapat pesawat teranyar Boeing 787-9 Dreamliner untuk penerbangan saya ke Sydney. Pesawatnya besar sekali dan terbagi dua kelas, kelas bisnis dan kelas ekonomi dan terdiri dari 3 baris kursi. Kursi berwarna ungu untuk kelas ekonomi dan hitam untuk kelas bisnis.




Dibandingkan pesawat Boeing lainnya, Boeing 787-9 Dreamliner ini memang didesain untuk membuat penerbangan jauh terasa lebih nyaman. Pesawat ini dirancang memakai mesin Rolls-Royce Trent 1000 dengan suara mesin pesawat yang halus, tidak bising sama sekali. Kursinya ergonomis dan ruang kakinya cukup lapang, kelembapan dalam cabin diatur sedemikian rupa agar lebih lembab dan temperaturnya dingin tanpa bikin kulit kita jadi kering.



Satu yang bikin saya sedikit terperangah adalah tombol di bawah jendela, yang berfungsi untuk meredupkan cahaya jika cahaya matahari terlalu silau. Jadi jangan bingung ketika naik Scoot Airline kok jendelanya tidak ada penutupnya. Saya sempat norak memencet tombolnya berkali-kali dan jendelanya terang-redup-terang-redup-terang-redup. Yang pasti saya senang karena masih bisa melihat awan-awan cantik di langit tanpa harus menyipitkan mata karena silau. Lampu kabinnya pun menyesuaikan dengan waktu terbang pagi, siang, sore dan malam. Juga saat pesawat parkir untuk menurunkan dan menaikkan penumpang, lampu kabinnya menyala berwarna-warni cantik sekali.



Colourful cabin of Scoot in the night. ( Image Source )

 
Scoot Airline ini adalah low-cost carrier sehingga harga tiketnya memang sangat ekonomis, hemat. Namun ada empat pilihan yang bisa kita pilih yakni “Fly”, terbang tanpa bagasi dan hanya diperbolehkan membawa tas ukuran sedang dengan berat maksimal 7 kilogram. Lalu ada “FlyBag”, terbang dengan bagasi maksimal 20 kg dan cabin 7 kg. Untuk perjalanan jauh bisa pilih “FlyBagEat”, terbang dengan bagasi 20kg, cabin 7 kg dan dapat makanan. Yang terakhir ada “ScootBiz”, di mana kita bisa terbang dengan bagasi 30kg, cabin 15 kg, dapat makanan dan juga menikmati layanan inflight entertainment.

Untuk kelas ekonomi, jika ingin menggunakan layanan inflight entertainment seperti ScooTV dan wifi ada biaya tambahannya. Untuk wifi, kita bisa membelinya dengan harga Rp 70.000 untuk 20MB, Rp 140.000 untuk 50MB, Rp 220.000 untuk 100MB, Rp 410.000 untuk 200MB dan Rp 820.000 untuk 500MB. Hmmm, harga tiket pesawatnya murah sih tapi layanan wi-fi nya mahal sekali ya. Kayaknya baru nonton beberapa Instagram storieslangsung habis deh itu 500MB, melayang deh Rp 820.000,-. Hahahaha…

Penerbangan dari Singapore ke Sydney memakan waktu 7 jam 40 menit. Dikarenakan saya berangkat tengah malam dari Singapore, jadi saya merasa tidak perlu keluarkan uang tambahan untuk beli layanan ScooTV atau wifi karena tentu saya memilih untuk….tidur. Saya hanya terbangun ketika pramugari mengantarkan makanan ke meja saya.

Karena penerbangan malam dan cukup lama waktu tempuhnya, saya sudah menyiapkan pillow-neck, kaos kaki tebal, sweater, kupluk dan buff untuk menjaga badan nyaman dan hangat karena tidak ada bantal dan selimut yang disediakan. Penumpang juga bisa membeli “Snooze Kit” dari Scoot dengan harga Rp 180.000,- sudah termasuk selimut hangat, pillow-neck dan eye mask, jika dibutuhkan.



Kita boleh memesan posisi seat kita sendiri dengan biaya tambahan yang besar biayanya tergantung destinasinya. Seat nya terbagi 3 bagian yakni, standard seats, super seats, stretch seats tdengan leg-room yang lebih luas. Masing-masing pilihan memiliki biaya tambahannya sendiri-sendiri dan bisa dilihat langsung saat proses booking ticket. Tentu saya selalu memilih untuk duduk di window-seat. Kalau kamu lebih senang duduk di tepi jendela atau di aisle?



Untuk inflight meals, saya kasih jempol karena rasanya enak. Saya pesan Nasi Lemak Honey Chix dengan Jasmine Tea, dikasih bonus chocolate bar Cadburry. Nasi Lemak nya benar-benar lamak (enak!) dan disajikan panas. Harga makanannya jika dipesan saat booking harganya Rp 170.000,- dan kalau tidak salah pesan on board di Scoot Café itu sekitar $21. Jadi lebih hemat jika memesan sebelum terbang.



Ada lagi yang menarik dari system booking Scoot Airline yakni Flight Flexibility di mana kita bisa mengubah tanggal keberangkatan dan juga mengubah nama, maksimal 4 jam sebelum keberangkatan. Tentu saja ada biaya tambahannya sebesar Rp 550.000,- per penumpang. Namun kalau tanggal keberangkatanmu sudah fix dan penulisan nama tidak salah, tidak perlu membeli fitur layanan ini.

Jam 11.10 waktu Sydney, saya mendarat dengan selamat dan sudah tidak sabar untuk mengeksplor Australia, yippie!



So, want to escape from the ordinary? Fly Scoot! Terbang dari Jakarta - Sydney kisaran harganya mulai dari 1,9 juta sampai 3 juta-an. Lumayan hemat kan? Booking langsung saja di www.flyscoot.com ya ;)



Cheers,





6 Hari Mendaki Gunung Kemiri, Taman Nasional Gunung Leuser Aceh (1)

$
0
0


“Bisa Sat, kamu pasti bisa Sat” batin saya pada diri sendiri lalu beranjak keluar dari mobil elf yang membawa kami dari Ketambe ke Desa Gumpang di Gayo Lues. Dari Gumpang, kami akan mendaki Gunung Kemiri yang sekiranya memakan waktu 6 hari pendakian naik dan turun.

Begitu keluar mobil, di kejauhan tampak pegunungan hijau menjulang tinggi dan panjang, diselimuti awan putih tipis-tipis. Langit biru tampak riang menyambut kedatangan kami.



“Puncaknya tidak kelihatan dari sini karena masih jauh sekali di sana” tiba-tiba Bang Zul menepuk pundak saya. Mungkin karena dia melihat saya menatap pegunungan itu untuk cukup lama dan membaca pikiran saya yang menerka-nerka yang manakah puncak Gunung Kemiri itu.

Saya tidak bisa menyembunyikan kegugupan dan mondar-mandir mengecek apakah carrier saya isinya sudah lengkap seperti dalam list, apakah sepatu saya aman tidak ada yang jebol, apakah saya sudah siap mental untuk mendaki selama 6 hari.

Mungkin kalian akan mengerti mengapa saya merasa gugup. Pertengahan tahun 2016 silam saya mengalami kecelakaan yang cukup parah, lengan kanan saya patah dan harus dipasang pen platina dengan delapan baut. Dokter sudah menyarankan saya untuk mengurangi kegiatan outdoor sementara waktu sampai pen dilepas. Saya tidak boleh membebani tangan kanan saya dengan benda berat, tidak boleh terjatuh dengan tangan kanan menjadi tumpuan karena akan sangat berbahaya.

“Kamu gila ya Sat?” terlontar dari orang-orang terdekat saya. Saya tahu mereka khawatir jika terjadi sesuatu pada saya saat mendaki, tetapi ajakan mendaki Gunung Kemiri tidak bisa saya tolak. Saya merasa tertantang dan ingin melakukannya karena pendakian ini juga termasuk dalam misi konservasi.

Saya memang sudah latihan fisik semampu saya, dua bulan sebelum pendakian, saya mencoba untuk kembali rutin berlari. Mendaki gunung bukan cuma perkara mencapai puncak, tetapi juga persiapan yang baik secara fisik dan mental. Meski sudah sering naik gunung, setiap akan mendaki gunung yang belum pernah saya daki, pasti deg-degan. Alam tak bisa kita sepelekan, semua harus dipersiapkan matang, segala kemungkinan harus dikalkulasi, karena di apa pun bisa terjadi. Itulah mengapa brief sebelum pendakian sangat penting.

Malam sebelumnya, Bang Zul, mountain guide leader dari Ketambe dan Garry Sundin, ketua tim ekspedisi Last Place On Earth Challenge, sudah memberikan briefing tentang Gunung Kemiri. Gambaran jalurnya, rencana pendakian, persiapan logistik dan porter, serta aturan-aturan yang harus kami turuti selama mendaki Gunung Kemiri.

Jumlah grup kami ada 9 orang, Garry, Brendan, Adam, Sean, Mil, Sheriden, Angie, Irham dan saya. Selain itu ada 13 orang guide dan porter yang menemani kami sehingga total kelompok kami ada 22 orang sebenarnya. Namun Adam tidak bisa ikut naik ke Gunung Kemiri karena masalah di lututnya, jadilah kami hanya 21 orang. Adam tetap tinggal di Ketambe untuk beristhirahat. Butuh banyak porter karena logistik yang dibawa sangatlah banyak. Tim Last Place On Earth Challenge (kami ber-9) hanya akan membawa carrier yang berisi perlengkapan pribadi kami ; baju pendakian, sandal, jaket, kamera, body care, headlamp dan snack pribadi. Di hari pertama beban carrier saya sekitar 15 kilogram karena saya juga membawa 4 botol air ukuran 1,5 liter di samping peralatan pribadi saya.



Day 1 – 24 Agustus 2017


Setelah semua porter sudah siap mengepak semua logistik dalam karung yang mereka ikat dan gendong pakai sarung (keren betul ya?), Bang Zul mengumpulkan kami untuk briefing terakhir sebelum pendakian dan tentu tidak lupa berdoa.

Kami mulai berjalan pelan-pelan, tepat pukul 08.57 WIB. Menyusuri jalanan desa, jembatan kuning, melintasi kebun cokelat hingga tiba di pintu hutan. Kami menyapa beberapa penduduk kampung yang sedang bekerja di ladang mereka. Pukul 11.33 kami memutuskan untuk berhenti dan menyiapkan makan siang dan beristhirahat. Di hari pertama, badan kami masih dalam proses penyesuaian dengan beban bawaan. Saya mencoba mengatur nafas dan menghilangkan kegugupan saya. Ingat, kaki harus terus berjalan.



Selepas makan siang, kami hanya berjalan 1,5 jam dan tiba di camp 1 kami. Rasanya terlalu singkat tetapi kata Bang Zul ada baiknya kami mendapatkan banyak isthirahat di hari pertama agar esok lebih mantap untuk mendaki karena di hari kedua hingga camp terakhir, jalannya menanjak terus tanpa ampun, tanpa bonus.

Para porter langsung mendirikan lima tenda kuning dan terpal dengan plastik bening sebagai tempat beristhirahat mereka. Dari karung-karung yang mereka panggul, semua bahan makanan untuk makan malam dikeluarkan. Menu kami hari itu cukup mewah karena mereka baru menangkap bebek di Gumpang dan membuat sop bebek sebagai lauk makan malam. Tidak ada kompor gas hingga mereka mengumpulkan ranting-ranting kering untuk dijadikan api untuk memasak.




Sambil menyulut rokok, para porter memasak dan bersenda gurau dalam bahasa Gayo. Saya tidak mengerti bahasa Gayo yang mereka pakai jadi saya hanya menikmati raut-raut wajah mereka yang terkekeh satu sama lain.

Day 2 – 25 Agustus 2017


Kami dibangunkan pukul 6 pagi, bersiap-siap untuk melakukan pendakian hari kedua dan beranjak dari camp 1 pukul 8. Di hari kedua ini yang paling berat menurut saya karena jalurnya memang menanjak terus. Saya mengobrol dengan Bang Burhan untuk mengalihkan pikiran dari rasa capek hingga tak terasa waktu sudah tengah hari dan kami siap-siap untuk makan siang. Tiba di camp 2 sekitar pukul 4 sore, semuanya langsung melakukan tugas masing-masing seperti hari pertama. Meski kami punya porter yang melayani kami, jika ada yang bisa kami bantu, kami tentu membantu, seperti mendirikan tenda, mengumpulkan ranting kering, memompa kasur angin dan mengupas bahan masakan. Apa saja yang penting bergerak agar badan tetap hangat dan tidak terserang hipotermia.



Harus diingat bahwa pada saat pertama tiba di camp, kita harus bergerak terus atau langsung mengganti baju jalan yang basah dengan baju kering baru membantu. Kenapa begitu? Agar tidak terkena hipotermia. Apa itu hipotermia? Bisa kamu baca di sini ya, lengkap dengan pencegahannya.



Day 3 – 26 Agustus 2017


Di hari ketiga kami bergerak lagi dan terus menanjak. Namun di jalur hari ketiga ini, kami melintasi hutan lumut yang cantik sekali. Langsung tak tertahankan keinginan untuk ‘gegulingan’, ‘gegoleran’, di atas karpet lumut yang empuk. Rasanya? Enakkkkkkkkkk banget! Kebetulan pas dengan waktu kami harus beristhirahat untuk minum dan makan cemilan sejenak, jadi saya berpuas-puas foto di hutan lumut yang cantik itu.



Kami terus berjalan hingga tiba di titik area makan siang. Langit cukup terik dan tidak ada pepohonan besar untuk berteduh. Kami akhirnya ‘nyumput’ di semak-semak kecil untuk berlindung dari panas dan minum air agar tak dehidrasi. Selesai santap makan siang, kami kembali berjalan, turun menyusuri lembah dan pindah punggungan. Lembahnya begitu lembab dan dialiri sungai kecil. Entah kenapa lembah itu mengingatkan saya pada Jurassic Park. Jadilah saya meneamai spot itu Jurrasic Park. Di sini juga kami menemukan tanaman yang aneh yang mungkin kalian familiar dengan bentuknya.







Kami tiba di camp 3 sudah menjelang pukul 5 sore. Udara dingin sudah cukup menusuk hingga saya memilih untuk berganti pakaian dulu sebelum membantu tim porter menyiapkan segala persiapan untuk isthirahat dan makan malam. Setelah berbalut 3 lapis pakaian dan windbreaker pink serta sarung Bima warna merah kesayangan, kami membangun camp, dan membuat api unggun yang besar lalu berkumpul bersama sambil minum kopi dan menunggu makan malam dihidangkan. Tentu kopi Gayo menjadi teman yang sangat pas di kala udara dingin menusuk dan taka da yang bisa dipeluk. Kami bersenda gurau sepuas-puasnya, makan malam dan belum juga pukul 8 malam semua sudah jatuh tertidur. Hari ke-3 ini memang sangat melelahkan menyusuri punggungan dan lembahan hingga tak ayal semuanya mengantuk begitu cepat.





Untuk cerita pendakian hari ke 4 hingga ke 6, saya tulis di blogpost berikutnya ya…

Cheers,







6 Hari Mendaki Gunung Kemiri, Taman Nasional Gunung Leuser Aceh (2)

$
0
0

3 hari mendaki gunung Kemiri, ritme langkah kaki sudah semakin enak dan terbiasa dengan tanjakan-tanjakan kepala ketemu lutut serta terowongan lumut. Setiap hari ada saja gelak tawa sepanjang jalur karena ikatan di antara tim kami semakin kuat. Malam hari jadi waktu favorit kami untuk berkumpul di sekitar api unggun, makan malam, minum kopi Gayo, bercerita tentang kehidupan. Menyenangkan bisa mendengarkan banyak cerita dari teman baru di perjalanan kan?

Oke, mari kita lanjutkan catatan perjalanan pendakian Gunung Kemiri.

 

Day 4 (27 Agustus 2017)


Pagi-pagi seperti biasa, saya pergi memenuhi “panggilan alam” dan bernafas lewat mulut karena tim kami hanya punya satu lubang pembuangan yang berupa bilik kecil yang ditutupi plastik hitam. Tujuannya supaya tidak ada yang kena “jackpot” sewaktu melangkah dan tak sengaja menginjaknya. Hahahahaha…

Setelah tenda dirubuhkan, kasur angin dikempeskan, perut diisi dengan pancake dan teh, kami siap mencangklongkan carrier di punggung dan kembali mendaki ke camp 4, camp terakhir sebelum melakukan summit attack keesokan paginya.

Perjalanan dari Camp 3 ke Camp 4 ini jadi rute favoritku saat mendaki Gunung Kemiri. Vegetasinya sudah tidak terlalu lebat karena ketinggiannya sudah hampir 3000 mdpl jadi hampir tidak tampak lagi pepohonan tinggi, hanya pohon-pohon kecil dan saat cuaca cerah, kita bisa melihat pegunungan yang membentang di kawasan Leuser Ekosistem. Jadi kami agak sedikit lambat karena sebentar-sebentar berhenti untuk ambil foto. Tentu kami tidak mau menyia-nyiakan kesempatan.

Di perjalanan dari Camp 3 ke Camp 4...

Which direction girls? ;)


Kami tiba di Camp 4 tepat pada jam makan siang. Memang tidak terlalu jauh jaraknya dan perencanaan perjalanan seperti itu menurut saya bagus juga karena tim kami bisa beristhirahat lebih lama sebelum melakukan summit attack keesokan paginya. Untuk mengejar sunrise di puncak Gunung Kemiri, kami harus berangkat pukul setengah lima pagi karena kata Bang Zul, mountain guide kami, jarak tempuh dari camp 4 ke puncak hanya setengah jam saja. Hmmmmmm, setengah jam nya warga lokal atau setengah jam nya pendaki santai macam kami ini? Hmmmmm… Mari kita lihat….

Garry looks handsome with his new hair wig aight? xD


Sayang sekali ketika kami baru saja merebahkan diri setelah mendirikan tenda, hujan gerimis mulai turun padahal jam masih menunjukkan pukul dua siang. Ah, kurang asyik rasanya hujan turun sesiang itu dan kami harus berlindung masuk ke dalam tenda.

Hingga 3 jam kemudian, hujan malah tambah deras dan rembesan air hujan mulai membasahi tenda kami. Saya dan Angie, tent-mate saya di ekspedisi LPOEC, langsung mencoba mengeringkan langit-langit tenda yang sudah terlalu berat dan basah oleh air. Saat sudah kering, Angie kembali asyik mendengarkan podcast dari ponselnya dan saya membaca buku. Saya langsung merasa gelisah karena memikirkan porter porter yang pasti kebasahan karena hujan deras dan satu-satunya tempat mereka berlindung adalah terpal plastik bening yang tidak rapat.

Benar saja. Malam itu, mereka tidak ada yang tertidur karena kedinginan dan kebasahan. Mereka berusaha untuk tetap berdekatan agar hangat dan membuat api unggun tepat di mulut tenda yang mereka jaga agar tidak membakar terpal plastik, tempat bernaung satu-satunya.

Dalam pelukan kabut yang dingin, kami mencoba untuk tidur nyaman malam itu. Saya sendiri membungkus diri dengan seluruh pakaian dan jaket yang saya punya, tak lupa kaos kaki tebal, kupluk dan buff rajut untuk menghangatkan leher dan telinga. Sambil mendengarkan music lewat headset, akhirnya saya bisa tertidur juga.

Day 5 (28 Agustus 2017)


Ini dia hari yang ditunggu-tunggu setelah 4 hari menyusuri punggungan dan lembahan Gunung Kemiri yang akhirnya mengantarkan kami ke kaki puncaknya. Summit Attack adalah ujian yang cukup sulit saat mendaki gunung karena kita harus bangun pagi-pagi sekali bahkan tengah malam (seperti saat mendaki Gunung Semeru) agar bisa tiba di puncak gunung sebelum matahari terbit.

Suhu udara pagi itu cukup mengagetkan saya karena tidak sedingin yang saya kira. Mungkin karena tidak ada angin yang berhembus jadi dinginnya tidak terlalu menusuk. Tetap saja dingin tapi berbeda dengan ekspektasi saya.

Satu yang kami syukuri adalah hujan sudah berhenti subuh itu. Tak terbayangkan jika harus mendaki ke puncak gunung saat cuaca hujan, matahari belum tampak dan pasti udaranya dingin menusuk. Pagi itu, semesta sangat baik membiarkan kami yang masih mengumpulkan nyawa saat tidur, untuk menapaki sedikit demi sedikit tanjakan menuju puncak.

Saat summit attack, saya selalu berusaha untuk berjalan dengan ritme saya, bernafas perlahan dan tidak terengah-engah meskipun oksigen semakin tipis di ketinggian lebih dari 3000 meter di atas permukaan laut. Berusaha terus untuk melangkah dan tidak terlalu banyak khawatir. Saya berusaha untuk memikirkan banyak hal yang menyenangkan mengiringi langkah kaki dalam gelap.

Namun, kami harus cukup berpuas sampai di situ. Keberuntungan kami hanya segitu. Mentok.

Setelah tiba di puncak, kami berpelukan satu sama lain, mengucapkan selamat kepada seluruh tim LPOEC dan bersiap menunggu matahari terbit. Saat itu kabut menyelimuti seluruh bentangan alam yang terlihat dari puncak Gunung Kemiri. Warnanya biru, bercampur abu kelabu. Mungkin sisa-sisa dari hujan deras yang mengguyur semalaman.

Reach the summit finally...




Ada sedikit perasaan campur aduk di dada saya saat kami tiba di puncak. Ada perasaan puas dan bangga pada tim ini karena berhasil tiba dengan selamat dan tak kekurangan suatu apa pun. Tapi di satu sisi saya sedih karena tidak mendapatkan pemandangan matahari terbit nan hangat di puncak. Tapi (lagi) senang bahwa hujan berhenti dan kami bisa berdiri di puncak tanpa harus kebasahan. Jadi intinya ya bersyukur.

Kami tidak bisa berlama-lama berada di puncak karena kabut tebal menyelimuti seluruh area puncak hingga untuk melihat wajah satu sama lain kami cukup kesusahan. Juga kami harus cepat berjalan turun karena target kami hari itu adalah camp 2 yang jaraknya jauh sekali. Target kami tiba di camp 2 sekitar pukul 4 / 5 sore, jadi kami harus berangkat jam 8 pagi dari camp 4. Jadi, tak ada banyak waktu untuk leyeh-leyeh setelah summit attack. Langsung bergegas packing tenda dan segala perlengkapan, makan pagi cepat-cepat, pemanasan dan lalu berjalan turun.


Perjalanan turun dari puncak ke camp 4


Kami melewati lagi jalur yang kami lewati beberapa hari sebelumnya. Mencoba berjalan lebih cepat dari pada saat waktu mendaki.   Sempat terpeleset di atas jalur kerikil dan jalur dahan berlumut tapi syukurnya tangan kanan aman. Fyuh, deg-degan kalau sampai terpeleset dan tangan kanan bermasalah, rumah sakit jauhhhhhhh sekali. Jadi ya tetap harus sangat berhati-hati.

Perjalanan turun berselimut kabut...


Kembali melewati Jurassic Park




Setelah beristhirahat makan siang di pertengahan camp 3 dan camp 2, kami berjalan dan terus berjalan hingga tiba di camp 2 sekitar pukul 4 sore, sesuai dengan target kami hari itu. Begitu sampai, langsung rebahan di tanah dan mengusap-usap lutut yang sedikit gemetar. Ya memang perjalanan turun itu kadang lebih menyiksa dibandingkan saat mendaki dan lutut kita pasti akan sangat terbebani saat berjalan turun.

Angie sampai harus pengaman lutut saat perjalanan turun...


Tim porter membongkar logistik yang mereka sempat timbun  di dalam tanah di hari ke-2. Tentu alasannya agar beban yang dibawa ke puncak tidak terlalu berat. Jadi logistik untuk hari ke-lima dan ke-enam ditimbun di camp 2 untuk diambil saat perjalanan turun.

Saya rindu indomie yang dimasak dengan kayu bakar...

Hujan mengguyur malam itu saat kami sudah bergulung di dalam sleeping bag. Sudah tidak sedingin saat tidur di camp 3 dan camp 4 namun saya tetap kepikiran nasib porter yang tidur beratapkan terpal plastik. Semoga mereka baik-baik saja dan bisa tidur dengan nyaman bermodalkan sarung yang dikeringkan di atas api unggun karena malam sebelumnya basah total.

Mengeringkan sarung dulu sebelum tidur setelah hujan semalaman...

Kayaknya tidur di bawah terpal plastik ini enak juga tapi dinginnnnnn...



Day 6 (29 Agustus 2017)


Keesokannya saya bangun dengan badan segar namun dengan sedikit perasaan sedih karena hari itu adalah hari pendakian terakhir kami di Gunung Kemiri. Senang semuanya bisa tiba di puncak bersama-sama dan sebentar lagi kami akan turun bersama-sama pula dan semoga tak ada yang cedera.



Perjalanan turun di hari terakhir itu tak akan bisa saya lupakan karena Moge (porter kesayangan saya dan juga yang paling muda) bernyanyi dengan bahasa Gayo sepanjang jalur. Bahkan dia menciptakan lagu untuk saya. Manis sekali kan? Si anak Gayo tampan itu tak lagi melanjutkan pendidikan setamat dari SMA padahal dia Ketua Osis dahulunya. Anak yang berbakat dan punya talenta bernyanyi yang sangat luar biasa.

Moge, porter kesayanganku...


“Kak Satya nanti Oktober atau November, albumku keluar. Kaka dengar ya nanti ya” ujarnya pada saya di jalur.

“Ah, jadi itu alasanmu nggak mau lanjut kuliah? Karena mau fokus di karir bernyanyi mu?” tanya saya.

“Iya Kak, kalau bisa cari uang langsung dan bantu orang tua. Saya lebih memilih itu ketimbang kuliah” jawabnya.

Ya, tak ada salahnya Moge berpikiran seperti itu namun tetap saja saya mengatakan kepadanya jika kelak dia sudah mengumpulkan banyak uang dari albumnya, tetaplah ingat untuk lanjut ke universitas.

Sambil mengangguk, kami berjalan terus dan Moge kembali bernyanyi.

Tibalah kami di camp 1 yang berarti hanya butuh 2 jam lagi ke entry / exit point, desa Gumpang. Meski lelah karena perjalanan turun, tim porter justru bersemangat bernyanyi dalam bahasa Gayo dan tentu saja menari Saman, tarian Aceh yang tersohor itu.

Tarian Saman asli oleh orang Gayo...


Dulu, tarian Saman itu memang hanya dibawakan oleh para lelaki. Coba deh baca sejarah tari Saman di blog teman kesayangan saya dari Aceh, Bang Yudi Randa di artikel ini.

HIngga pada akhirnya kami tiba di Desa Gumpang sekitar pukul 12 siang. Perut keroncongan sudah protes minta diisi. Awalnya kami berpikir hanya akan pergi ke warung kelontong dan makan mie instan. Ternyata penduduk desa Gumpang sudah menyiapkan sajian lezat. Ada gulai ikan dan gulai ayam yang tentu kami santap dengan sangat lahap. Rasa nikmatnya nggak ketulungan.

My best tent-mate, my Jawa-Amerika girl, Angie <3


Setelah santap siang lezat, suasana haru pun terasa saat kami berpamitan dengan tim porter yang menemani kami selama 6 hari ke belakang dan juga penduduk Desa Gumpang.

Terima kasih semuanya…

Thank you all guide and porter...






Ekspedisi bertajuk "Last Place On Earth Challenge" ini diselenggarakan oleh Orangutan Odysseys dan menjadi kegiatan rutin setiap tahunnya. Berminat ikut? Bisa langsung kontak mereka ya!


Cheers,






Togean Islands, Tempat Menyepi Santai di Tengah Teluk Tomini

$
0
0



“Tooottt, tooooottt”

Menggelegar bunyi bastom dua kali, menandakan kapal yang akan saya tumpangi dari Gorontalo ke Wakai akan berangkat setengah jam lagi. Kami sudah duduk manis di buritan kapal belakang, memilih lokasi dekat kantin agar dekat jika ingin pesan teh dan kopi panas. Enak juga bisa menikmati semilir angin laut selama 12 jam ke depan.

Ferry, Ellen dan Ika jadi teman perjalanan saya untuk mengeksplor Kepulauan Togean. Ferry dan Ellen sih sudah berkali-kali pulang pergi Gorontalo-Togean dan mereka adalah pemilik Warung Kita Travel Agency. Jadi, jangan meragukan mereka untuk eksplorasi Gorontalo dan juga Togean.

Ferry yang sudah kenal baik dengan seluruh awak kapal, mendapatkan satu karpet untuk digelar di lantai agar saya, Ika dan Ellen bisa beristhirahat. Namun sebelum rebahan kami menyempatkan diri makan malam dengan nasi lauk ikan yang dibungkus Elen dari rumah dan obrol-obrol santai dengan beberapa wisatawan asing yang juga sedang dalam perjalanan menuju Togean.

Saya sempat sedikit kaget lebih banyak wisatawan asing dibanding wisatawan lokal yang mengunjungi Togean. Katanya mereka banyak mendengar bahwa Togean sangatlah indah dan juga jadi tempat asyik untuk menyepi karena tidak ada sinyal internet. Bisa jadi tempat pelarian yang pas sepertinya kalau sedang galau atau patah hati. Hahahaha…


A good friends that I met on the way, Dorian & Coco from French


Ya, jangan berharap kamu bisa update status social mediaselama mengeksplorasi Togean karena tak ada sinyal internet. Hanya ada sinyal GPRS Telkomsel yang memungkinkan kita menerima panggilan dan mengirim sms saat kita di Wakai.

Kapal dari Gorontalo ke Wakai berangkat dua kali seminggu, Selasa dan Jumat. Jadi biasanya banyak wisatawan yang datang dengan kapal hari Jumat dan pulang hari  Selasa.  Waktu tempuhnya sekitar 12 jam dan jadwal keberangkatan dari Gorontalo ke Wakai selalu malam hari dan biasanya siang / sore hari dari Wakai ke Gorontalo.

Keesokan paginya kami tiba disambut hangatnya mentari, begitu silau namun membuat dirimu tersenyum sendiri. Rasa syukur terucap dari dalam hati hingga kami bisa tiba dengan selamat di Wakai. Ransel sudah disandang namun kami tak tergesa-gesa turun dari kapal. Saya senang memerhatikan orang lalu-lalang, membawa barang dagangan yang baru saja dibeli di Gorontalo yang pasti akan dijual lagi di Wakai. Beberapa Ibu terlihat membawa keranjang, menjajakan nasi hangat dengan ikan untuk sarapan pagi. Para lelaki bergantian memanggul karung-karung besar di pundak mereka. Semua orang terlihat sibuk pagi itu.



Setelah tidak terlalu banyak orang yang berdesakan keluar, turun dari kapal, barulah kami berjalan dari pelabuhan besar menuju pelabuhan kecil untuk melanjutkan perjalanan ke Pulau Kadidiri sekitar 1 jam. Rencananya kami akan menginap di Kadidiri Paradise Resort. Selain Kadidiri Paradise, ada juga Black Marlin dan Pondok Lestari yang biasa disambangi oleh para pelancong.

Kamar di Kadidiri Paradise Resort. Bersih sekali ya ;)


Tidak ada sumber air dan pasokan listrik dari PLN di Kadidiri sehingga air harus dibawa dari Wakai dan dimasukkan ke dalam tampungan air di resort lalu disalurkan ke kamar-kamar. Jadi, harus hemat-hemat air ya selama di sana. Sedangkan listrik, hanya tersedia dari jam 6 sore hingga 12 malam. Tapi saya akui fasilitas di tempat saya menginap, Kadidiri Paradise Resort memang bagus dan bersih. Sudah beroperasi puluhan tahun namun masih terawat baik itu patut diacungi jempol kan? Untuk makanan, sudah tersedia tiga kali sehari dari resort, ditambah free flow tea and coffee.

Kepulauan Togean sendiri sebenarnya sejak 2004 sudah diresmikan menjadi Taman Nasional yang terdiri dari 6 pulau besar yakni Pulau Batudaka, Pulau Waleabahi, Pulau Malenge, Una-Una, Talatakoh dan Waleakodi dan sekitar 50-an pulau-pulau kecil di sekitarannya. Daya tarik utamanya adalah keindahan bawah lautnya. Masuk dalam area coral triangle, alam bawah laut Togean tidak perlu diragukan lagi. Jadi sayang sekali sebenarnya jika datang ke Togean dan tidak menyelam / diving. Tapi snorkeling sebenarnya sudah cukup. Saya sampai hampir lupa bernafas saking cantiknya.

Pulau Tangkian dan rumah-rumah di atas laut khas suku Bajo...


Saya hanya punya waktu 2 hari saja untuk menikmati Togean dan sekitarnya. Di hari pertama kami mengunjungi Pulau Tangkian untuk berbagi dengan anak-anak di sana. Saya membawa 100 paket buku tulis dan alat tulis untuk anak-anak di Togean dan memutuskan untuk membagi dua paket tersebut. 50 untuk anak-anak di Pulau Tangkian dan 50 lagi untuk anak-anak di Pulau Papan.




Sekitar 2 jam, kami menyempatkan bermain dan belajar dengan anak-anak di sana. Bertelanjang kaki, mereka masuk ke dalam ruangan kelas yang hanya ada 3. Jadi kelas 1 digabung dengan kelas 2, 3 dengan 4, 5 dengan 6. Agak miris melihat kondisi kelas mereka seperti itu namun memang begitu adanya. Masih bersyukur bahwa bangunan sekolah mereka masih terbuat dari semen yang kokoh karena masih banyak gedung sekolah yang tidak layak di pelosok-pelosok negeri kita ini.

SD Negeri di Tangkian

Yang paling senang saya lakukan saat bertemu anak-anak itu adalah menyanyikan lagu kebangsaan dan juga tanya jawab pengetahuan umum tentang nasionalisme dan patriotisme. Saya terharu begitu mereka lantang menjawab pertanyaan-pertanyaan saya meski sebagian besar masih malu-malu. Namun begitu sudah diajak menyanyi, semuanya langsung menyanyi sekeras-kerasnya, penuh semangat hingga membuat saya tergelak.

Lambaian tangan penuh semangat dan pelukan hangat anak-anak mengantar kepulangan kami.

“Kakak, nanti kembali lagi ya”, seru mereka ketika kapal kami sudah mulai menjauh. Ya, tentu saja adik-adik manis, kakak-kakak ini ingin sekali kembali lagi. Senyum dikulum, hangat menguar di dalam hati saat kami oulang dari Pulau Tangkian. Wajah ceria anak-anak masih tergambar jelas di ingatan.



Kapal kami melaju menuju lokasi berikutnya, Pantai Karina dan Stingless Jellyfish Lake atau yang juga dikenal dengan nama Danau Mariona. Nah cerita khusus tentang danau ini sudah bisa kamu baca di blogpost ini ya.


One of my favorite spot : Stingless Jellyfish Lake...






Kami kembali sore hari ke penginapan dan punya waktu bersantai sambil menunggu hari terbenam. Saya mengambil buku dan music player, menggantung diri memakai hammock dan menikmati hangatnya matahari sore. Saat sedang asyik membaca buku yang saya bawa, langit mulai merona jingga, berubah warna. Langsung bergegas saya keluarkan kamera untuk membekukan momen itu. Siapa yang tak suka melihat potret senja. Kamu juga suka kan?

Senja cantik dari Kadidiri Paradise Resort


Di hari kedua, kami pergi menjelajah lebih jauh, menuju ke Pulau Papan yang ditempuh kurang lebih 3 jam dari Kadidiri. Namun sebelum mencapai Pulau Papan, kami snorkeling gembira di California Reef. Tak ada yang tahu mengapa spot itu dinamakan California Reef namun saya jatuh cinta dengan spot itu karena terumba karangnya cantik dan banyak sponge corals. Puas snorkeling, kami menyantap bekal makan siang kami dan berlayar lagi ke Pulau Papan.




Pulau Papan adalah kampung suku Bajo di mana orang-orangnya terbiasa di atas laut. Papan sepanjang 1 kilometer membentang membelah dan menjadi jembatan antar dua kampung. Memang tetap ada rumah yang dibangun di atas daratan namun tidak terlalu banyak dan ada satu bukit batu kecil dimana kita bisa naik ke atasnya dan melihat panorama Pulau Papan 360 derajat.

Beberapa anak mengikuti kami dan sepertinya tahu kami membawa sesuatu. Bersyukur matahari tidak terlalu terik waktu itu alias mendung jadi kami tidak harus kepanasan saat belajar dan bermain dengan anak-anak di Pulau Papan. Bayangkan saja betapa panasnya duduk di atas batu dan tak ada pohon rindang di sekitarannya ketika matahari terasa ada sepuluh. Pasti gosong terbakar kalau tidak pakai sunscreen. Hahahaha….


Pulau Papan dilihat dari bukit batu...


Anak-anak di Pulau Papan menunjukkan senyum lebar mereka ketika mendapat buku dan bolpoin baru. Memang tak seberapa namun saya berharap itu akan berguna buat mereka, agar lebih semangat lagi menuntut ilmu.

Semoga berguna yaaaaa adik-adik, anak-anak sayang....


Rasanya masih ingin berlama-lama di Pulau Papan namun waktu sudah menunjukkan pukul 4 sore dan kami harus bergegas pulang agar tidak kemalaman. Meski sebentar, kami menyempatkan diri untuk snorkeling di bawah jetty (papan dermaga) Pulau Papan dan saya sampai berteriak kegirangan di dalam air yang semoga tidak mengagetkan ikan-ikan di sekitar saya.

“Cantikkkkk sekaliiiiii”, pekik saya dalam air meski yang terdengar mungkin hanya blububub bububu blubuubbbub…

Saya sangat suka seafan dan ternyata di Pulau Papan kita bisa menemukan banyak seafan cantik beragam warna dengan kedalaman tak sampai 10 meter. Tentu saya dengan gembira meminta bantuan Ferry untuk mengambil foto di bawah air yang keahliannya tentu tidak usah diragukan lagi. Meski retakeberkali-kali Ferry tetap biasa saja karena dia memang punya insang dan kaki katak alami. Hahahaha…


Sea Fan nya besar sekaliiii <3


Keesokan harinya kami bersiap untuk naik kapal jam 1 dari Kadidiri Paradise menuju Wakai dan melanjutkan perjalanan ke Gorontalo dengan kapal besar. Meski hanya punya waktu setengah hari, kami menyempatkan diri untuk bersantai di Pantai Barracuda di bagian belakang Kadidiri Paradise. Kami diantar pakai speed boat dan kembali ke penginapan dengan berjalan kaki membelah hutan. Seru sekali karena kau berjalan membelah hutan selama setengah jam dengan bikin dan tanpa alas kaki. Sungguh suatu petualangan yang menyenangkan kan?



Adik-adik manis yang menjajakan penganan di Wakai. Enak-enak semuaaaa jajanan kue yang mereka jajakan. 


Tiba di Wakai, kami langsung mengambil tempat yang nyaman di dek teratas, di tempat yang sama ketika kami berangkat. Kapal bertolak sekitar pukul 3 sore dan tiba sekitar pukul 4 pagi keesokan harinya. Perjalanan kapal Wakai – Gorontalo waktu itu termasuk yang paling menyenangkan buat saya karena bisa menikmati senja dan juga jutaan bintang bertabur di langit. Saya menarik kasur untuk tidur di bagian buritan yang tak beratap dan sambil diayun-ayun ombak, saya menikmati pemandangan malam yang sangat menakjubkan…

“Twinkle, twinkle litte stars. How I wonder what you are. Up above the world so high. Like a diamond in the sky”

Sampai jumpa lagi Togean!

Special Notes :


1.     Untuk ke Togean dari Gorontalo bisa terbang dari Jakarta – Gorontalo. Lalu lanjut naik kapal menuju Wakai selama 12 jam. Dari Wakai tinggal menentukan pulau mana yang akan diinapi. Kadidiri, Ketupat, Bomba, Wakai, Malenge, Una-Una.
2.     Bisa juga terbang dari Jakarta – Palu – Ampana lalu naik kapal cepat selama 4 jam menuju ke Togean.
3.     Bawalah uang tunai karena tidak ada ATM di Togean. 
4.     Jangan lupa bawa lotion anti nyamuk karena nyamuk di Togean banyak sekali. 
5.     Untuk Island Hopping di sekitaran Togean. Harga sewa kapalnya tergantung pulau-pulau tujuan kamu.
6.      Jika kamu mau semuanya sudah well-arranged, terima beres dan duduk manis, bisa kontak Ellen dan Ferry di nomor +62-813-4227-5551 / +62-821-8895-5811 atau cek Instagramnya Warung Kita Travel Agency.


Cheers,


















Tiada Cinta di Pulo Cinta Eco Resort Gorontalo

$
0
0
Photo by : Yusni Mustafa

Cinta, oh cinta.

Memang ya apa pun yang dibumbui dengan cinta itu memang lebih menarik. Salah satunya Pulo Cinta Eco Resort yang akhir-akhir ini jadi perbincangan para netizen sebagai tempat memadu cinta bagi pasangan yang dimabuk asmara alias tempat buat honeymoon.

Kenapa sih resort ini disebut “Pulo Cinta” / pulau cinta?

Nah coba kamu lihat foto di paling atas Aerial shot eco-resort yang diambil oleh sahabat saya, Yusni Mustafa, memakai drone kesayangannya memang menunjukkan kalau bentuk nya seperti hati. Tapi Pulo Cinta staff sendiri bertutur kalau sebelum eco-resort itu dibangun, pulau (sebenarnya lebih kayak gusung pasir sih) itu memang mirip hati dilihat dari atas.

Pulo Cinta Eco Resort from above. Photo by : Yusni Mustafa



Namun selain resortnya yang berbentuk hati, ada juga cerita legenda yang menarik dari pulau ini. Konon katanya, dahulu di zaman penjajahan kolonial, ada satu cerita tentang sepasang sejoli, pangeran Gorontalo dan putri saudagar Belanda yang dulu datang untuk berdagang rempah-rempah. Pulo Cinta adalah tempat mereka melarikan diri sejenak untuk bertemu, melepas rindu tanpa diketahui siapa pun. Apakah pada akhirnya mereka menang atas cinta mereka dan lalu bersatu hidup bahagia selamanya, saya tidak tahu. Karena memang tidak ada kelanjutan ceritanya. Menurut kalian mereka bersatu atau tidak?

Resort ini dibuka tahun 2015 dan terdiri dari 12 water bungalow dan restoran di tengah-tengahnya. Ada one bedroom villa, two bedrooms villa dan three bedrooms villa yang cocok buat yang ingin liburan bersama keluarga besar.

Photo by : Yusni Mustafa


Kenapa disebut Eco-Resort?


Karena Pulo Cinta Eco Resort ini memang mengusung penginapan yang ramah lingkungan. Listriknya bersumber 100% dari Solar Panel, organic toiletries product, sistem pembuangan limbah yang tidak langsung ke laut. Tidak pakai Air Conditioner tetapi desainnya dibuat sedemikian rupa agar ada banyak ventilasi dan sirkulasi udaranya baik dan bikin nyaman tamu yang menginap di sana.


 

Digadang-gadang sebagai Maldives-nya Indonesia, Pulo Cinta ini memang menakjubkan dengan pasir putihnya yang lembut dan air lautnya yang berwarna turquoise bening dan berkilau saat matahari menyinarinya. Hanya lautan biru yang tampak sejauh mata memandang.

Photo by : Ellen



Saat air sedang pasang, akan sangat menyenangkan untuk snorkeling di sekitar Pulo Cinta, bahkan bisa langsung turun dari depan kamar. Tapi jangan turun saat air sedang surut ya karena kita bisa dengan tidak sengaja malah menginjak terumbu karang karena terlalu dangkal untuk direnangi.

Sebenarnya tanpa beraktivitas apa pun, kita bisa leyeh-leyeh seharian di water villa nya. Kasurnya lebar dan empuk bikin seharian ingin tiduran. Di balkon / sundeck–nya juga ada bean bags dan hammock untuk bersantai sambil baca buku. Tidak perlu mikir apa-apa karena makanan sudah tersedia di eco-resort tiga kali sehari dan juga snack.


Photo by : Ellen

Photo by : Yusni Mustafa


Lucunya, karena memang ingin menguatkan image “cinta”, sampai makanan pun dibuat sedemikian rupa berbentuk hati. Dan saya harus acungi jempol karena bukan hanya bentuknya yang ciamik, tetapi rasanya juga enak sekali. Saya langsung memberikan pujian kepada koki nya karena puas sekali dengan rasa makanannya.





Bagaimana cara ke sana?


Untuk mencapai “Pulo Cinta Eco Resort” ini, kalian bisa terbang ke Jalaluddin Airport Gorontalo, lalu menempuh jalur darat sekitar 2 jam ke arah Boalemo. Tiba di dermaga Boalemo, kapal dari Pulo Cinta akan menjemput dan mengantar ke resort dengan waktu tempuh sekitar 25 menit. Kami sedikit terguncang-guncang di dalam kapal karena laut saat itu sedang berombak, tetapi bersyukurnya cuaca cerah sekali.

Oh iya sebagai info tambahan, tidak ada sumber air bersih di resort ini sehingga air didatangkan dari daratan Boalemo. Jadi diharapkan pakai airnya hemat-hemat ya. Sinyal juga tidak terlalu bagus tetapi ada wi-fi yang disediakan untuk tamu yang datang ke Pulo Cinta yang koneksinya cukup kencang.


Photo by : Ellen


Dan harus diingat bahwa Pulo Cinta ini memang cocoknya buat pasangan. Baik yang baru menikah atau yang mengulang kembali masa-masa muda saat mereka jatuh cinta, merayakan wedding anniversary.

Kalau tidak ada pasangan, disarankan tidak ke sini, karena hanya akan bikin kamu gigit jari melihat banyak pasangan yang bermesraan di sana seperti saya dan Yusni kemarin ketika berkunjung ke Pulo Cinta. Karena itulah saya memberikan judul tiada cinta di Pulo Cinta. Hahahaha…

Cinta, oh cinta…

Ellen, Yusni, Ferry dan saya... | Photo by : Yusni Mustafa


Little Notes :


1.     Rate menginap satu malam di Pulo Cinta Eco Resort berkisar Rp 3.500.000,- hingga Rp 15.000.000,- per malam. Bisa dilihat lebih lengkap untuk rate nya di website Pulo Cinta. Harga itu semuanya sudah termasuk transfer pakai mobil Gorontalo-Boalemo-Gorontalo. Boat transfer Boalemo-Pulo Cinta-Boalemo. Meals 3x a day, snack, free flow tea and coffee, snorkeling gears.

2.     Bisa 1 day trip saja ke Pulo Cinta seperti saya kemarin. Sila kontak EllenWarung Kita Travel Agencydi nomor +62-813-4227-5551 . One day trip di Pulo Cinta juga asyik kok dan nggak semahal menginap di sana. Untuk harga silakan  kontak Ellen langsung ya.


Cheers,








Tips Mencari dan Memilih Hotel Murah Ala Backpacker di Singapore

$
0
0


Saat liburan, saya adalah tipikal yang tidak terlalu mementingkan harus tidur di hotel mewah atau hotel budget. Tapi sebenarnya saya lebih memilih tidur di hotel budget karena biasanya seharian saya akan sangat sibuk eksplorasi ke sana-sini dari pagi sampai malam hari.

Toh kamar hotelnya cuma buat ditidurin beberapa jam saja, jadi kenapa harus pilih yang mahal? Apalagi kalau solo traveling, belum punya gandengan atau keluarga, kayaknya lebih hemat memilih hotel murah ya kan? Ya namanya juga backpacker kan, budget-nya terbatas.

Nah, dalam waktu dekat saya mau berencana jalan-jalan ke Singapore lagi bersama teman-teman. Kalau jalan-jalan di negeri orang, pastinya harus pintar-pintar mengatur budget apalagi di Singapore kurs-nya mahal buat orang Indonesia. Kita juga nggak mau kan pulang traveling dari luar negeri terus langsung bangkrut?


Oleh karena itu, Saya dan teman-teman lebih memilih untuk tidur di hostel karena jauh lebih hemat dibandingkan tidur di hotel dan juga hanya ditumpangi sebentar untuk tidur. Tapi jika kamu mencari hostel di Singapore, mesin pencari akan memberikan banyak sekali pilihan hostel dan akan bikin kamu bingung sendiri.

Beberapa hostel yang saya rekomendasikan di Singapore adalah Footprints Backpacker Hostel di Little India, Travellers Loft di Lavender, Pine Hostel di Lavender, ABC Premium Hostel di Little India, G4 Station Backpackers Hostel di Rochor, Beds and Dreams Inn di Chinatown, Meadows Hostel di Lavender, Capsule Pod Boutique Hostel di Chinatown, 5footway Inn Project Bugis di Kampong Glam. Semua hostel yang saya sebutkan di atas memiliki rating di atas 8/10 dari Trip Advisor. Itu artinya sudah banyak backpackeryang puas menginap di sana dan pelayanannya bagus.

5 Footway Inn Hostel (Image Source : Traveloka)

G4 Station Backpackers Hostel di Rochor (Image Source : Traveloka)

Footprints Backpacker Hostel di Little India (Image Source : Traveloka)

Pine Hostel di Lavender (Image Source : Traveloka)



Nah, saya punya tips nih buat teman-teman yang mau memilih hostel di Singapore. Ini dia :

1.  Pilih lokasi strategis.  Karena memilih lokasi itu juga berpengaruh sekali. Misalkan, pilihlah dengan tempat pusat perbelanjaan atau yang dekat pusat kuliner agar bisa berjalan kaki saja ke penginapan. Bisa juga mencari penginapan yang dekat dengan MRT (Mass Rapid Transportation) Station.  Saran saya enaknya cari penginapan di sekitaran China Town, Kampong Glam, Geylang Little India. Di sekitaran sini juga gampang untuk menemukan makanan halal seharga 1 SGD.

2.     Perhatikan review dan rating hotel. Ini penting juga karena kadang foto kamarnya bagus-bagus tapi pelayanannya kurang nyaman. Tapi sebenarnya di Singapura, hampir semua hostel itu enak dan nyaman karena mereka sangat memperhatikan standar pelayanan dan juga kebersihan.

3.     Pesan dari jauh-jauh hari agar lebih hemat. Yang jelas, kalau memang sudah punya rencana traveling,pesanlah hotel dari jauh-jauh hari. Syukurnya sekarang sudah ada Traveloka jadi kita bisa lihat beragam pilihan hotel dengan kategori yang bisa kamu pilih, “Luxury”, “Budget” atau “Promo”. Bahkan sekarang ada kategori baru yakni “Pay at Hotel” dan juga “Near MRT Stations” untuk pencarian hotel di Singapore. Idealnya 1 bulan sebelum keberangkatan, kamu harus bookinguntuk dapat harga murah. Bisa juga goshowtapi agak riskan kehabisan kamar dan harganya jadi agak lebih mahal.

4.     Pakai fitur “Best Price Watch”– nya Traveloka untuk membantu kita menemukan hotel hemat dan mengetahui kenaikan harga kamar. Ini sangat membantu saya untuk membandingkan harga dari satu hostel ke hostel lain. Misalkan ada kenaikan, kita langsung dapat notifikasi harga dari Traveloka. Nah, kalau misalnya kita pesan dari jauh-jauh hari, fitur ini sangat berguna untuk melihat apakah harga kamar yang kita mau turun harga atau malahan naik.



Penginapan dekat Chinatown juga asyik karena gampang cari makanan hehehe... Tapi cek dulu halal atau nggak ya ;) Favoritku di sini Laksa nya sih endeus....


Nah, untuk tips yang terakhir, kalian bisa dengan sangat gampang pakai aplikasi Traveloka. Untuk menggunakan fitur ini, yang harus dilakukan hanya :
1.     Lihat beragam hotel di tanggal yang sama menggunakan aplikasi Traveloka. Pilih yang sekiranya enak menurut kamu.
2.     Kembali lagi ke fitur hotel dan pilih “recently viewed” yang ada di sudut kiri atas.
3.     Klik watch di kolom kanan setiap hotel yang sudah dilihat sebelumnya.
4.     Tunggu notifikasi di aplikasi Traveloka saat ada perubahan harga di hotel yang sudah kita “watch” yang ada di “My Inbox”. Jadi kita akan selalu update harga terbaru dari hotel-hotel yang kita pilih.



Jadi, kalau pakai fiturTraveloka “Best Price Watch”ini berguna banget sih untuk saya. Oh iya, fitur ini hanya berlaku kalau kamu pakai aplikasi Traveloka di smartphone kamu. Jadi poin pertimbangan penting kan kalau misalnya harga penginapannya naik atau turun.

Semoga tipsnya berguna ya buat teman-teman. Biar nggak perlu khawatir cari penginapan murah saat melancong ke negeri orang. Ya kan ya kan?

Cheers,




Kakatua Hostel Raja Ampat, Penginapan Nyaman Nan Minimalis

$
0
0

Memang di Raja Ampat ada banyak sekali penginapan mulai dari  resort, hotel, hostel, guesthouse, homestay. Silakan dipilih sesuai selera dan kemampuan kantong. Untuk di Raja Ampat penginapan ini terbagi di dua area yakni di Kota Waisai, sebagai pusat kabupaten, dan di pulau-pulau kecilnya. Salah satu yang saya rekomendasikan jika kalian memilih untuk menginap di Waisai, adalah Kakatua Hostel.

Tidak sampai 10 menit berkendara dari Pelabuhan Falaya, Kakatua Hostel ini gampang ditemukan karena bentuk bangunannya yang beda dari semua penginapan di Waisai. Di bagian depan ada signage Kakatua Hostel yang besar sekali dengan tulisan “Eat, Beach, Sleep, Repeat”.







Hostel yang baru beroperasi dari September 2015 ini jadi favorit saya karena hostelnya super bersih, desainnya unik minimalis didominasi warna hitam, putih, abu-abu (monokrom banget) dan interior kayu. Eksteriornya berbentuk rumah panggung jadi lebih unik dibandingkan penginapan lain di Waisai.




Sama seperti hostel pada umumnya, kamarnya tidak terlalu luas dan setiap kamar ada empat bunkbed, ranjang bertingkat. Enaknya, ranjang bertingkatnya dibuat spesial dengan ukuran yang lebih besar dari ranjang bertingkat pada umumnya. Karena saya sangat suka ranjang bertingkat, saya sampai tanya bikinnya di mana buat nanti dibangun di rumah masa depan. Hahahaha….






Kasurnya juga sangat empuk dengan bantal super empuk pula dan selimut lembut yang wangi. Handuk juga tersedia yang tak kalah wangi dengan selimutnya. Duh dijamin bikin nyamaaaannnnn, pewe (posisi wenak) banget dan nggak mau bangun dari tempat tidur. Di tiap tempat tidur juga terdapat colokan dengan tiga kepala (bisa bawa sendiri colokan sambung ekstra. Saya juga bawa kemana-mana) dan juga lampu baca.



Masing-masing tempat tidur memiliki tirai jadi tetap bisa punya privasi meski berbagi kamar dengan tamu lain. Dan juga ada 2 lemari yang berukuran cukup besar dengan empat pintu, jadi satu tamu bisa pakai masing-masing satu sisi lemari dengan kunci dipegang sendiri. 

Ada 6 kamar dengan masing-masing kamar ada empat kamar jadi totalnya 24 ranjang. Toilet dan shower nya ada di luar kamar, dipisah untuk pria dan wanita (ya iyalah ya), masing-masing dua shower room dan dua toilet. Saya pribadi suka sekali dengan kamar mandinya karena bersiiiiihhhhh banget. Kan nyaman ya kalau kamar mandi itu bersih dan nggak bau. Seluruh staff Kakatua benar-benar menjaga kebersihan setiap sudut hostel dengan apik. Rasa-rasanya kayak dibersihin tiap beberapa menit. Hahahaha.Thumbs up! Oh iya di Kakatua Hostel juga tersedia hot shower, shampoo, shower gel dan hair-dryer. Oh, enak banget!





Restoran Kakatua Hostel juga didesain seperti cozy café, dengan interior kayu serta kursi tinggi ala-ala di bar. Saya bisa duduk di sana berjam-jam untuk kerja dengan koneksi wi-fi yang super kencang. Tersedia free flow mineral water, coffee & tea di bar nya. Juga ada softdrinks, beer dan wine yang dijual di Kakatua Hostel.




Satu poin plus yang saya suka dari Kakatua Hostel ini adalah menu makan paginya yang enak. Bahkan kita bisa special order untuk makan siang dan makan malam kalau memang malas makan di luar hostel. Koki di Kakatua memang andalan deh. Saya sampai berpikiran akan bagus sekali kalau Kakatua Hostel juga membuat restoran dimana orang-orang yang tidak menginap di sana juga bisa menikmati sajian-sajian enak. Harus saya akui di Waisai susah mendapatkan makanan enak. Jadi kalaumenginap di Kakatua Hostel, enaknya sih minta disiapkan makan siang dan makan malam sekalian.




Oh iya, di belakang Kakatua Hostel ini ada pantai dengan pohon-pohon kelapa tinggi menjulang dan jadi spot favorit untuk mengabadikan panorama matahari terbit.


Kakatua Hostel juga punya little merch store yang menyediakan dry-bagberbagai ukuran, quickdry towel, t-shirt, keychain, totebag. Siapa tahu kalian tiba-tiba butuh pakaian atau handuk ekstra, atau nggak bawa drybag (ini penting lho kalau pergi liburan ke pantai / laut) bisa beli di Kakatua Hostel dan haganya bersahabat banget kok.

Selain mengelola penginapan, Kakatua Hostel juga menyediakan beragam paket trip Raja Ampat. Paketnya bisa kamu lihat di bawah ini. Bisa juga langsung kontak tim Kakatua Hostel jika kamu ingin arrange itinerary trip sendiri. Mereka akan dengan sangat senang hati membantu.



Untuk harga per malam di Kakatua Hostel : Rp 375.000,- sudah termasuk breakfast. Kalau minta makan siang tambahan costnya Rp 70.000,- dan makan malam Rp 80.000,-. Seluruh menu disediakan buffet. Tersedia juga menu ala carte, tingal disesuaikan saja, dikomunikasikan dengan staff Kakatua Hostel-nya.

Untuk reservasi, boleh langsung ke :

Website : www.kakatuahostel.com
Phone : (+62) 821 9750 9582
Instagram : @Kakatuahostel 

Selamat berlibur di Raja Ampat ya!

Cheers,





Weekend Seru di Lombok – Semua Bermula di Bandara LIA

$
0
0

Langit Lombok sedikit gelap mendung setelah hujan mengguyur cukup deras pagi itu ketika kami baru mendarat. Syukurlah sang pilot tetap bisa mendaratkan pesawatnya dengan smooth-landing. Sempat was-was cemas juga karena berpikir nggak bakal asyik kalau kalau selama kami berlibur di Lombok diguyur hujan terus. Ah, tapi kita harus selalu positive-thinking! Biar hujan, pasti banyak hal seru yang bisa kita lakuin di Lombok. Iya kan? Namanya juga cuaca di awal tahun, pasti basah, jadi ya kita nikmati saja.

Sapaan selamat pagi dari petugas Ground Crew Bandara membuat pagi saya terasa menyenangkan meski langit Lombok kelabu. Keluar dari garbarata, saya dan Monica menyusuri gedung arrival bersama dengan penumpang lain yang juga baru tiba. Bangunan bandaranya apik dan bersih. Mungkin karena Bandara Internasional Lombok yang berlokasi di Praya ini baru beroperasi 1 Oktober 2011 silam jadi bangunannya terbilang modern dan saya kagum masih terawat dengan baik.

Yang pernah ke Lombok sebelum tahun 2011 pasti tahu kalau sebelumnya Bandar Udara Lombok adalah Bandara Selaparang yang lokasinya di Kota Mataram. Pemindahan bandara Lombok memang sudah dicanangkan cukup lama. Tahun 1995, proses pembebasan lahan seluas 538,5 ha untuk lokasi bandara baru di Praya sudah dimulai dan baru selesai dibangun tahun 2011. Cukup lama juga ya ternyata proses membangun satu bandara itu.

Masuk ke gedung Arrival, Monica dan saya turun lewat escalatordan  berjalan ke conveyor belt, menanti bagasi kami keluar. Saat menunggu sambil melihat ponsel, tiba-tiba saya melihat ada photo booth lengkap dengan papan selancar di sudut ruangan. Seketika terbersit ide buat foto-foto seru di situ. Daripada bengong nungguin bagasi iya kan?

“Mon foto ala-ala di situ yuk. Seru tuh bisa bergaya ala surfer. Belajar foto di situ dulu baru nanti kita belajar surfing yang sebenarnya. Hahaha” ujar saya pada Monica.

Ternyata nggak cuma kami berdua saja. Beberapa wisatawan yang lain juga ingin berfoto di sana. Syukurlah ada 2 photo booth jadi tidak harus mengantri lama untuk foto-foto seru di situ. Saya juga jadi ikut senyum-senyum sendiri melihat ekspresi wisatawan yang tampaknya baru mengunjungi Lombok untuk pertama kalinya. Lucu banget hahahaha…




“Ah itu tas-tas kita” ujar Monica yang lalu mengambilnya dan menaruhnya di atas trolley lalu kami berdua berjalan menuju pintu keluar.

Namun di sisi kiri pandangan kami tertaut pada satu perempuan cantik yang berdiri dan tersenyum manis dengan selempang “Duta Bandara”. Wah, Duta Bandara ini apa ya?

“Eh eh bentar Mon, mampir ke booth itu sebentar yuk” ujar saya pada Monica.

Ternyata Duta Bandara yang cantik itu bernama Mega. Dengan senyum ramah dan tawa yang renyah, Mbak Mega menjelaskan kepada Monica dan saya lokasi-lokasi wisata yang seru buat dikunjungi di Lombok, Sumbawa dan Bima. Namun karena kami hanya akan menghabiskan akhir pekan di Lombok, Mbak Mega dengan lihai membuka peta dan menunjuk spot-spotfavorit yang bisa dikunjungi dalam waktu singkat. Oh ternyata itu tugas Duta Bandara ya.



“Kayaknya lagi musim hujan nih di Lombok Mbak Mega. Jadi asyiknya ke mana ya?” tanya saya.

“Kalau memang cuaca tidak mendukung untuk pergi ke pantai atau ke gunung, Mbak Satya bisa jalan-jalan keliling kota Mataram, mencicipi kuliner khas Lombok ; Ayam Taliwang, Plecing Kangkung, Bebalung, Sate Rembiga dll” ujar Mbak Mega.

“Oh iya, Islamic Centredan Taman Narmada di Mataram juga seru buat dieksplor loh Mba Satya. Bisa juga lihat proses tenun di Kampung Adat Sade atau Sukarara” lanjut Mba Mega lagi.

Iya juga ya. Kalau memang tidak memungkinkan main ke alam, keliling Mataram dan beberapa kampung adat bisa jadi pilihan untuk berakhir pekan ke Lombok. Lombok memang jadi destinasi yang komplit sih. Mau nature, heritage, culture,culinary, semuanya ada. Tinggal pilih saja sesuai selera maunya berkunjung ke mana, disesuaikan dengan cuaca juga. Hahahaha…

Setelah mengucapkan banyak terima kasih kepada Mba Mega, Duta Bandara Lombok International Airportyang cantik, kami berjalan ke luar bandara dan mata kami sempat terpaut sebentar pada papan besar yang terpampang di sebelah kanan pintu keluar, yang berisikan Calendar of Event 2018 di Nusa Tenggara Barat. Ternyata banyak sekali festival di NTB semacam “Festival Bau Nyale”, “Festival Tambora” dan beragam event lainnya.



Di sisi kiri pintu keluar ada booth yang menawarkan akomodasi di Lombok. Jadi kalau belum tahu mau tinggal di mana selama berlibur di Lombok bisa tanya-tanya sama petugas di booth itu. Dan begitu keluar dari pintu, berjejer booth taksi yang menyodorkan layanan transportasi. Karena lokasi Lombok International Airport ini jaraknya sekitar 30 menit dari Kota Mataram, kita pastinya butuh taksi. Pun kalau berencana untuk surfing di bagian Lombok Tengah atau Selatan, pasti tetap butuh taksi. Tersedia juga layanan Bus Damri jika ingin ke pusat Kota Mataram dan harganya jauh lebih murah dari taksi sih.



“Kita mau naik taksi atau nanti kita dijemput Mon?” tanya saya pada Monica.

“Nanti kita dijemput, katanya sebentar lagi sampai. Mungkin kita bisa ngopi dulu kali ya. Ngantuk banget  nih” ujarnya.




Berjalanlah kami ke Maxx Coffee yang ada di Arrival Area. Sambil menunggu kopi kami selesai dibuat, saya mengedarkan pandangan ke sekitar area kedatangan dan mata saya tertuju pada booth berwarna orangebertuliskan “Tourist Information Centre”.


“Wah Mon, kita harus ke TIC (Tourist Information Centre) itu tuh nanti ya. Aku penasaran ada apa di dalamnya. Pengen lihat-lihat”, ujar saya.

Jadilah selesai meneguk kopi pagi biar melek, kami mampir ke TIC dan disambut ramah oleh Mbak petugasnya. Di dalam ruangannya ada desk dan sofa serta rak yang berisikan brosur-brosur objek wisata di Nusa Tenggara Barat. Booth TIC ini memang disiapkan oleh Dinas Pariwisata Provinsi NTB untuk membantu para wisatawan mengenal semua objek wisata menarik di sana.

Cara memaparkannya pun sangat interaktif. Ibu petugasnya mengajak saya untuk menonton video-video travel yang ciamik di Lombok. Duh dijamin ngiler pengen ngunjungin semua tempat-tempat itu. Sayang karena cuma punya waktu 3 hari 2 malam, tidak semuanya bisa dijelajahi tapi ditaruh di dalam bucketlist untuk kunjungan ke Lombok berikutnya. Setelah mendapatkan penjelasan yang menarik dan mendapat peta serta brosur, kami mengucapkan terima kasih dan berjalan menuju ke luar bandara.




Tampak beberapa wisatawan mancanegara sedang membeli sim-card dari operator merah dan operator biru di pojok bandara. Di sebelahnya terdapat “Free Internet Access Booth” yang biasanya digunakan oleh wisatawan mancanegara yang butuh informasi via internetsebelum mereka mengaktifkan ponsel mereka dengan nomor lokal. Membantu banget sih itu pastinya ya buat wisatawan asing. Apalagi buat wisatawan mancanegara yang direct flight dari Singapore atau Kuala Lumpur.




Selain itu, untuk wisatawan mancanegara juga tersedia Money Changer Booth di sebelah kiri area kedatangan. Ada dua booth di sana jika ingin menukarkan rupiah. Saya sendiri juga tak lupa pergi ke ATM Center untuk mengambil uang tunai karena tidak semua tempat di Lombok menerima pembayaran via kartu debit atau kartu kredit. Jadi pastikan bawa uang tunai yang cukup ya.



Nah, pas saya baru selesai mengambil uang di ATM, tepat di sebelahnya ada gerai Angkasa Pura Logistik “Luggage Service” alias penitipan bagasi. Saya baru tahu kalau di Lombok International Airport melayani penitipan barang. Satu barang (entah tas, koper, kardus, papan surfing) dihargai Rp 50.000,- per hari jika ingin dititipkan. Wah, layanan ini berguna sekali jika kita hanya punya waktu sebentar untuk keliling Lombok dan nggak mau bawa tas-tas berat yang kita tidak butuhkan.



Mau tahu tampilan layanan Luggage Service di Lombok International Airport? Coba nonton dulu video berdurasi satu setengah menit ini. Petugasnya super ramah dan ini pelayanan yang sangat menarik dan berguna banget menurut saya.



“Sat, yuk, itu drivernya sudah tiba, sudah nunggu di depan katanya” ujar Monica.

Ah oke… Akan ke mana ya kita selama 3 hari 2 malam di Lombok? Tunggu di postingan berikutnya ya!








Cheers,




Meski Musim Hujan, Destinasi Wisata di Lombok ini Tetap Asyik Untuk Didatangi

$
0
0

Hujan sudah mulai mereda ketika kami beranjak dari Lombok International Airport. Mas Teguh, guidekami dan Pak Ketut, driver kami, menyambut ramah dan hanya dalam waktu sebentar saja, kami sudah asyik bercengkerama.

Entah sudah keberapa kalinya saya menyambangi Lombok dan tetap terpesona dengan segal pesona yang ditawarkannya, mulai dari keindahan alamnya, kekayaan budayanya, keramahtamahan orangnya dan tentu tak lupa kelezatan kulinernya. Membayangkan semua kuliner khas Lombok saja sudah membuat air liur saya menetes.

Monica sendiri baru pertama kali ke Lombok, jadi menyenangkan melihat dia begitu antusias sejak tiba di Lombok. Saya pun ingin mengenalkan banyak tempat-tempat yang cantik yang bisa dikunjungi di Lombok.

Namun datang di awal tahun ke Lombok sepertinya bukan ide yang terlalu bagus karena memang bulan Januari adalah musim penghujan. But hey, siapa yang bisa prediksi cuaca saat ini? Iya kan? Kadang kita prediksi nya cerah eh hujan. Prediksinya hujan, eh cerah. Ya jadi berpasrah lah sudah.

Tapiiiiiiiii, Lombok masih tetap bisa dinikmati meski di musim penghujan. Ini beberapa destinasi yang bisa saya sarankan untuk teman-teman.

1.     Desa Adat Sukarara

Sebagai pecinta kain tenun, berkunjung ke Desa Adat sangatlah menyenangkan buat saya. Di samping saya bisa melihat ragam kain tenun cantik yang dijajakan, saya juga bisa ikut belajar cara menenun meski hanya dalam waktu singkat saja. Sebenarnya jika ingin belajar menenun secara serius boleh lho asal bersedia berkomitmen minimal satu bulan tinggal di desa dan serius belajar menenun, pasti bisa, pasti jadi. Maukah kamu?




Selain itu naluri belanja kain tenun pasti tak tertahankan kalau sudah berkunjung ke Desa Sukarara. Habisnya kain tenunnya cantik-cantik sekali, pengen dibawa pulang semuanya. Harga kain tenunnya berkisar dari Rp 100.000,- hingga jutaan per lembar kainnya. Kalau di sentra tenun nya kadang harga tenunnya sudah fixdan tidak bisa ditawar. Tapi kalau beli langsung di pengrajinnya kadang masih bisa ditawar jadi pintar-pintarlah ya…






2.     Desa Adat Sade

Ini adalah Desa Adat favoritku sejak kunjungan pertamaku ke Lombok beberapa tahun silam. Meski katanya sekarang Desa Sade ini dipenuhi banyak sekali wisatawan lokal dan mancanegara, desa ini masih tetap apik dan sambutan masyarakatnya masih tetap hangat.



Bajang (sebutan untuk pria muda dalam bahasa Sasak) Semeru (namanya memang terinspirasi dari gunung tertinggi di tanah Jawa), menyambut saya dan Monica dan mengajak kami berkeliling. Saya senang sekali melihat masyarakat lokalnya mengembangkan desa mereka sendiri, menyambut dan menjelaskan desa mereka dengan cara yang menarik.




Di Desa Sade ini saya bertemu dengan Wani, gadis seusia saya. Saya mampir ke kiosnya dan membeli gelang-gelang cantik yang dianyam sendiri oleh gadis-gadis di Desa Sade (ini hal favorit yang senang saya lakukan saat berkunjung ke Desa Sade).



Setelah bertukar sapa, seorang teman Wani tiba-tiba menghampiri, menggoda Wani, dan mengatakan kepada saya kalau Wani itu perawan tua, karena belum ada lelaki yang “melaik” dia. “Melaik” adalah istilah proses penculikan perempuan Sasak untuk dinikahi. Penculikannya dalam arti baik yak arena si perempuan memang harus setuju untuk “diculik”. Setelahnya barulah prosesi adat perkawinan berlangsung dan salah satunya adalah “Nyongkolan”. Saya sudah pernah menuliskannya dan kamu bisa baca di sini.
Entahlah apa yang dirasakan Wani saat temannya berkata seperti itu tetapi Wani tetap sumringah dan tertawa-tawa. Ah, semoga kamu segera bertemu dengan jodohmu, yang terbaik, ya Wani. Pernikahan memang bukan kompetisi, namun pasti akan sedikit berat buat perempuan yang lahir dan dibesarkan di desa kecil.



Kami tak berlama-lama di Desa Sade. Adzan maghrib berkumandang, menjadi pertanda kami harus segera keluar dari sana karena selepas maghrib tidak ada pengunjung yang masih berkeliaran di sekitar desa karena seluruh warga akan beribadah dan beristhirahat.




Tak lupa sebelum meninggalkan Desa Sade, saya membeli satu kain tenun dengan warna peach. Ya, kalau memang ada rejeki lebih, bantulah perekonomian masyarakat dengan membeli hasil kerajinan tangan mereka ya. Jika membel langsung di desa pengrajinnya, harganya tidak semahal di toko atau di pameran kerajinan kok.

3.     Mencicipi Kuliner Lokal

Nah! Ini nih favorit saya kalau lagi berkunjung ke satu tempat dan cuaca sedang mendung tak mendukung, opsi yang paling bener ya wisata kuliner hahaha. Makan, makan, makan, makan, makan!



Ada banyak pilihan kuliner Lombok yang bisa kamu cobain. Buat kamu penyuka pedas seperti saya, tentu jangan lewatkan untuk menyantap Ayam Taliwang yang tersohor dan Plecing Kangkung nya yang nggak kalah “nendang” pedasnya! Salah satu rekomendasi tempat untuk makan Ayam Taliwang di Lombok ya RM Taliwang Irama. Ada beberapa cabang di Mataram dan semuanya enak kok! Cobain juga Sop Bebalung nya yang disajikan hangat dan cocok menjadi teman di kala musim hujan. Eh, ada lagi tahu gorengnya yang lembut dan wajib dicoba. Entah kenapa tahunya berbeda dengan tahu-tahu goreng di daerah lain. Agak sedikit susah menjelaskannya jadi dicobain sendiri ya.




Namun dari semua kuliner Lombok, favorit saya tetap Sate Sapi Rembiga Bu Ririn yang lokasinya di Rembiga. Ah ya mungkin belum banyak dari kalian yang tahu bahwa nama-nama kuliner khas di Lombok memang berasal dari nama daerah tempat masakan itu pertama kali dikenal. Ayam Taliwang ya dari Desa Taliwang, Sate Rembiga ya dari Rembiga, Nasi Balap Puyung ya dari Desa Puyung. Hahahaha… Mudah banget diingat kan?



Untuk Nasi Balap Puyung ini, karena lokasinya di dekat bandara, paling enak memang menyantapnya sebelum terbang pulang ke rumah. Sebenarnya bisa juga jadi penganan pertama yang disantap saat baru tiba di Lombok kalau memang sangat lapar. Tempat yang saya rekomendasikan adalah RM Cahaya yang lokasinya hanya 5 menit dari Lombok International Airport.

Nasi Balap Puyung ini juga sering saya beli beberapa bungkus untuk dibawa pulang ke Jakarta. Sambalnya yang pedas nendang itu juga bisa dibungkus untuk dibawa pulang lho!

4.     Taman Narmada

Tidak jauh dari pusat kota Mataram, ada satu tempat bernama Taman Narmada. Dibangun oleh Raja Mataram pada 1727, Anak Agung Ngurah Karang Asem, taman ini difungsikan sebagai lokasi upacara “Pakelem” dan juga sebagai tempat peristhirahatan keluarga Raja.



Di bagian dalam taman ada Pura tempat beribadah dan juga kolam pemandian. Ada juga Balai Petirtaan yang di dalamnya ada satu mata air yang konon katanya, jika kita konsumsi akan membuat kita selalu awet muda karena bersumber langsung dari Rinjani. Banyak orang yang datang ke sana dan membawa jerigen kecil untuk menampung air itu. Hmm, balik ke masing-masing orang sih ya, percaya atau tidak percaya.




Saya juga baru tahu bahwa nama Narmada diambil dari Narmadanadi, nama anak sungai Gangga di India. Pura Kelasa / Pura Narmada yang ada di bagian dalam taman adalah satu diantara 8 pura tua di Lombok dan masih digunakan sebagai tempat beribadah bagi umat Hindu hingga sekarang.

 5.     Islamic Centre Mataram

Mungkin teman-teman sudah tahu bahwa beberapa waktu silam, Nusa Tenggara Barat terutama Lombok mendapat penghargaan sebagai Destinasi Halal Terbaik di Indonesia.

Dan sejak 2013 lalu, Lombok memiliki icon baru yakni Islamic Centre Mataram yang dibangun dengan arsitektur khas lumbung Suku Sasak, dengan ukiran Samawa dan Mbojo yang dikenal dengan ‘Sasambo’.

Saya terkagum-kagum saat memasuki Islamic Centre ini karena memang megah dan bagus sekali. Di dindingnya terpahat 99 Asma’ul Husna (nama-nama Allah) dan ada menara 99 meter dimana kita bisa melihat panorama Kota Mataram 360 derajat. Tenang saja, ada lift nya kok, jadi tidak harus naik tangga untuk sampai ke lantai 13.



Sayang saat berkunjung ke sana, sedang ada grup besar yang berkunjung dan mereka sudah melakukan reservasi sebelumnya dan saya harus menunggu sekitar 1,5 jam. Karena keterbatasan waktu, saya tidak jadi naik ke atas dan mungkin akan berkunjung lagi. Saya tetap masih penasaran ingin melihat panorama Kota Mataram secara langsung dengan mata kepala saya.

Oh iya jika ingin berkunjung ke Islamic Center ini, diwajibkan untuk mengenakan pakaian sopan, terutama untuk perempuan, harus tertutup dari atas hingga bawah. Waktu ke sana, saya tidak mengenakan hijab, hanya membalut kepala saya dengan selendang, namun tetap memakai baju lengan panjang dan celana panjang yang tidak ketat.

Nah, itu dia rekomendasi destinasi yang asyik dikunjungi saat cuaca hujan di Lombok. Tetap mengasyikkan bukan? Jadi jangan bersedih kalau cuaca sedang tidak mendukung. Meski mendung, jangan biarkan sedih merundung *rhyming.

Kalau kamu? Punya rekomendasi destinasi yang asyik dikunjungi saat musim hujan di Lombok? Share di comment box ya ;)







Pesawat Delay? Santai Dulu Saja di Bandara…

$
0
0


NGGAK RELA NINGGALIN LOMBOK!

Beneran deh, ternyata libur pas akhir pekan yang hanya 3 hari 2 malam di Lombok nggak cukup, masih nggak rela ninggalin Lombok. Namun karena harus kembali ke realita, mencari sebongkah berlian di ibukota, mau tak mau, ya terbang pulang. 

Begitu sampai di check-in counter, kami dikabari pesawatnya mungkin sedikit terlambat meski tak sampai berjam-jam lamanya. Duh, saya dan Monica saja sudah tiba di bandara 1,5 jam sebelum jam keberangkatan seharusnya. Kalau pesawatnya delay, berarti bakal lebih lama dong nunggu di bandaranya. 




Tapi ya kalau masalah keterlambatan pesawat (delay), kita nggak bisa menggerutu karena pasti ada alasan yang jelas di baliknya. Entah itu karena masalah teknis mesin pesawat atau efek domino delayed hari itu atau juga cuaca. Memang awan gelap menggantung di langit saat saya melongok ke luar bandara. Jadi mending menunggu saja, bersabar sedikit agar semuanya aman dan selamat. Ya kan?

“Hmmm, ke mana dulu enaknya  sambil nunggu terbang Sat? Lumayan juga nih nunggunya. Mungkin sekitar 2 jam kali ya?” ujar Monica setelah kami menggendong ransel cabin kami dan naik escalator ke lantai 2. 

“Sebenarnya banyak pilihan sih Mon, kalau mau kita bisa keliling-keliling dulu nih cuci mata di toko-tokonya. Ngopi juga ayok, kalau kau lapar makan juga ayok. Kalau memang mau santai yang lebih sepi ya bisa ke Concordia Lounge yang ada di lantai 3 tuh”, kata saya.



“Aku juga kayaknya pengen beli buku di Periplus, lagi kehabisan bacaan nih buat di pesawat. Hidupku tak lengkap rasanya kalau nggak ada buku”, imbuh saya lagi.



Sebenarnya 2 jam itu nggak terlalu lama namun  bisa kita manfaatkan untuk santai-santai sejenak di Bandara. Khusus di Lombok International Airport, ada beberapa pilihan untuk membunuh waktu kosong jika memang jadwal penerbangannya mundur dari rencana. 

“Mon, aku ke toilet sebentar dulu ya sebelum kita ke ruang tunggu”, ujarku pada Monica.

Saya berjalan ke toilet dan  kaget saat masuk ke dalamnya, karena terakhir kali saya ke Lombok, toiletnya tidak semodern toilet yang saya masuki. Toiletnya luas, bersih, dengan dua jenis kloset duduk, untuk orang dewasa dan anak-anak. Tiap bilik toiletnya kering dan tersedia gulungan tissue. Wastafelnya pun bersih. Duh, saya sampai terperangah.







Tepat di sebelah toilet wanita, terdapat toilet khusus untuk teman-teman disabilitas yang dilengkapi dengan automatic-door. Di bagian dalamnya juga muat jika ingin dimasuki oleh penumpang disabilitas dengan kursi roda. Makin-makinlah saya terperangah. Senang banget nih kalau pelayanan bandara makin bagus dari hari ke hari.



Kalau ingin menunggu sambil cuci mata serta belanja oleh-oleh yang mungkin terlupa karena asyik jalan-jalan di Lombok, bisa dibeli di Bandara Lombok kok. Mulai dari cemilan-cemilan khas Lombok yang terbuat dari rumput laut, atau sambal dalam kemasan hingga kain tenun, juga dijajakan di sana. Di bagian lobby bandara ada Booth UKM di mana pihak Bandara Lombok menyediakan area untuk para penenun lokal bisa memamerkan dan menjajakan hasil karya tenun mereka dengan harga yang tidak terlalu mahal. Masih affordable lah. 




Saat Monica mencari kerupuk di souvenir shop, saya masuk ke Periplus, mencari buku yang ingin saya beli untuk menemani saya selama penerbangan. Koleksi bukunya lumayan lengkap dan update. 

Monica dan saya bertemu lagi setelah masing-masing selesai mendapatkan apa yang ingin dibeli. Monica dapat oleh-oleh untuk teman-teman kantornya, saya dapat buku yang saya cari. 

“Wah buku apa itu Sat? Mau dibawa pas terbang atau di sini? Eh, tadi gue sempat lihat kalau di airport ini ada Reading Corner-nya juga lho” cerocos Monica.

Eh serius?

Ada reading corner di Lombok International Airport? Jawabannya ada.  Reading Corner-nya sebenarnya terletak di pojokan ruang tunggu yang dipisahkan oleh pintu kaca. Ada beberapa buku di rak berwarna putih yang bisa kita baca asalkan jangan dibawa pulang ya. Baca bukunya bisa sambil santai di atas beanbags. Bisa juga sambil browsing internet karena memang di dalam area “Reading Corner” disediakan PC yang bisa digunakan pelancong dengan fasilitas free-access-internet. Sebenarnya lebih seru kalau misalnya banyak wisatawan bersantai di Reading Corner, bertukar cerita sambil menunggu pesawat berangkat. Terdengarnya asyik kan? Hitung-hitung menambah pertemanan.





“Duh, gue berasa pengen ngopi banget sekarang Sat” ujar Monica tiba-tiba saat kami masih di Reading Corner. 

“Oke, mau ngopi di mana Mon? Ada Excelso dan ada Coffee Bean toh, monggo dipilih mau kopi apa” ujar saya.

Monica pun membeli kopi yang lalu ia tenteng di tangan sambil menemani saya berjalan lagi, keliling bandara. Saya memperhatikan orang-orang yang sedang menunggu penerbangan mereka (ya saya juga sama lagi nunggu terbang) dan orang yang lalu lalang. Kadang saya merasa lucu saja melihat mimik calon penumpang itu satu-satu. Ada yang asyik baca buku, asyik mengetik di laptop dan internetan, asyik nonton TV, asyik bertelepon dengan kerabat, ada yang sedang menikmati snack-nya dan juga yang asyik selfie. Semuanya pasrah saja namun tetap menaruh harapan bahwa kami tidak akan terlambat terlalu lama dari jadwal. 



Beberapa orang lain saya lihat sedang menunggui ‘Charging Box’ yang bisa digunakan untuk mengisi daya gadget. Lalu ada juga Ibu yang sedang mengasuh anak balitanya di Kids Zone. Ah, bandara ini memang selalu sibuk ya. Semua orang lalu-lalang tanpa henti tapi selalu tertib dan aman. Ruang tunggu Bandara Lombok memang tak seberapa luas tetapi hampir semua penumpang terlihat nyaman menunggu giliran. 





Sebenarnya kalau kamu memang lapar saat menunggu pesawat berangkat, bisa isi perut dulu di restoran yang ada di lantai 1. Ada Solaria, Bakso Tembak dan beberapa kios makanan lainnya yang bisa jadi pilihan. 

“Kita masih mau keliling bandara atau mau nunggu di lounge yang ada di lantai 3 aja Mon?” tanya saya.

“Wah, ide bagus tuh Sat. Kayaknya lebih asyik di lounge ya. Gue butuh tempat yang agak sepi juga nih mau ngerjain kerjaan kantor” jawab Monica.

Jadilah kami menuju ke lantai 3 dengan escalator. Memang posisi Concordia Lounge nya ada di pojok tetapi begitu masuk ke dalam, loungenya luas banget! Rasa-rasanya bisa menampung sampai 100 orang!




Selain senang karena mendapat sambutan ramah dari resepsionis, saya senang karena memang lounge-nya luas dan juga ada beragam pilihan makanan ala buffet. Kan pasti bete ya kalau pesawat delay, jadi, makan makanan enak adalah salah satu cara untuk bikin mood happy balik lagi. Hehehehe…




“Sat, ada layanan refleksi juga lho di sini! Mau nggak?” seloroh Monica sambil membawa dan memberikan brosur Concordia Lounge pada saya.

Wah, enak juga ya kalau bisa pijat refleksi setelah jalan kaki dan hari liburan yang padat dan tentunya bikin pegal. Apalagi kalau yang liburan di Lombok hanya saat akhir pekan dan harus kembali bekerja di kantor hari Senin pasti butuh refleksi biar lebih rileks dan siap menghadapi realita lagi. 

Tapi saat kami ingin mencobanya, lagi ada tamu lain yang menggunakan jasa layanan refleksi itu sehingga kami harus menunggu dulu.

Monica pun dengan cekatan mengeluarkan laptop, menyeduh kopi, mengambil snack dan duduk manis di sofa lounge yang empuk kemudian tenggelam dalam pekerjaannya sembari menunggu giliran pijat refleksi. Sungguh dedikatif dan pekerja keras sekali gadis yang satu ini.

Enaknya menanti di lounge salah satunya adalah kita diingatkan dengan jadwal pesawat kita jadi nggak perlu khawatir ditinggal pesawat. Apalagi kalau jadwal penerbangannya belum pasti karena delay. Staff lounge dengan senang hati akan membantu mengecek jadwal penerbangan setiap penumpang yang ada di lounge.

Fasilitas lain di Lombok International Airport ini yang belum saya sebutkan mungkin ‘Nursery Room’ dan ‘Smoking Room’ yang letaknya di lantai 2. Dua fasilitas ini juga pastinya dibutuhkan buat Ibu yang membawa bayi atau balitanya. Para pria yang pengen sebat juga pasti akan mencari smoking area kan?.



Ternyata penerbangan saya hanya delayed 1 jam saja dan kami terbang ke Jakarta lalu tiba dengan selamat. What a super fun short weekend escape! Satu yang saya syukuri juga adalah Bandara Lombok sudah semakin oke jadi meski pesawat telat, banyak yang bisa dilakukan untuk membunuh waktu. Juga senang karena makin ke sini, makin banyak perkembangan sarana dan prasarana yang bikin pelancong macam kita-kita ini nyaman. 



Jadi, kapan kita jalan bareng ke Lombok? 


Chers,




Cerita Pemuda Sembalun, yang Bermimpi Lebih Tinggi dari Gunung Rinjani

$
0
0

Kopi hitam pekat masih mengepul panas dari gelas kaca tanpa gagang. Berbalut sarung Bima yang hangat, saya menyeruput kopi yang harus didiamkan beberapa saat setelah diaduk agar ampasnya luruh.

Di depan saya ada seorang Bapak merengkuh anak bayinya dekat ke dada agar tetap hangat. Tentu ia pun berbalut sarung seperti saya. Udara memang dingin tetapi sinar matahari pagi cukup cerah jadi artinya bagus untuk berjemur dan dapat vitamin D.



Pagi di pedesaan memang selalu menyenangkan. Saya menikmati sekali pagi di Sembalun, desa kecil di kaki Gunung Rinjani. Suasana pedesaan relatif sepi karena tak ada pengunjung atau pendaki. Rinjani sedang “beristhirahat” hingga bulan Maret nanti. Biasanya pendaki mulai ramai lagi di bulan April saat Taman Nasional Rinjani sudah dibuka. Ah, saya lupa bahwa bukan Taman Nasional lagi labelnya, tetapi Geopark. Namanya sekarang berganti menjadi Geopark Rinjani.



Saya sangat menyenangi suasana damai tanpa pendaki atau wisatawan di Sembalun. Memang katanya tak direkomendasikan untuk berkunjung ke Sembalun saat bulan November hingga Maret karena cuaca dipastikan tidak cerah, cenderung hujan dan berkabut setiap hari. Dan saya datang di bulan Februari. Hahahaha.

Namun pagi itu berbeda, Dewi Anjani (re : Gunung Rinjani) mood-nya sangat baik dan lagi bersolek cantik. Langit biru dengan gumpalan awan putih kecil menari-nari di atas kepalanya. Ia tampak memesona dari ujung kepala hingga kaki. Menggoda sekali.

Oh iya, tahukah kalian kenapa desa di kaki Rinjani itu dinamakan Sembalun?

Asalnya dari dua kata yakni ‘Sembah’ yang artinya taat / patuh ; dan ‘Ulun’ yang artinya di atas (bisa diartikan juga sebagai Yang di Atas, pemimpin, orang tua). Artinya, orang Sembahulun diwajibkan untuk menyembah Tuhan Yang Maha Esa sebagai pencipta dan pemelihara nan agung, menghormati orang tua dan pemimpin. Keharmonisan itu masih dijaga hingga saat ini.

Mayoritas penduduk di Sembalun bermata pencaharian sebagai petani atau peternak. Pasar hanya dibuka dua kali satu minggu, Pasar Kemis (Kamis) dan Pasar Minggu. Hanya dalam dua hari itu saja masyarakat Sembalun berkumpul, menggelar lapak, berjual beli kelontong, bumbu masakan, daging, pakaian, dan kebutuhan sehari-hari lainnya.



Kalian harus tahu bahwa saya adalah penyuka sarung dan sarung dari Nusa Tenggara Barat adalah sarung favorit saya dan kerap saya sebut sebagai sarung ajaib, menghangatkan saat hari sedang dingin dan bikin adem saat hari sedang panas terik. Jadi saya tak mau menyia-nyiakan kesempatan berbelanja sarung di pasar Sembalun. Hohohohoho…

Saat saya berbagi video belanja sarung di pasar di Instagram Story saya, langsung saja kotak pesan saya langsung dibanjiri permintaan “jastip” alias jasa titipan. Mereka ingin beli sarung seperti saya juga. Sayang saat mereka mengirim pesan itu, pasarnya sudah tutup karena pasarnya memang berlangsung beberapa jam saja di pagi hari. Duh maafkan ya teman-teman, nanti lain kali ya dibelikan sarungnya, atau beli langsung lah ke Sembalun. Asyik lho jalan-jalan ke sana. Mungkin sekalian mendaki Gunung Rinjani?

Saya juga mendapat banyak pesan menyenangkan dari teman-teman yang mengikuti dan menonton Instagram stories saya. Katanya mereka terhibur dengan pemandangan cantik Sembalun dan segala pesona orang-orangnya. Ya saya sih terus-terusan saja upload semua update perjalanan saya karena sinyal di Sembalun itu 4G lho! Serius!

Pakai provider apa Sat bisa dapat 4G di desa kecil terpencil begitu?

Pakai XL Axiata. Eheeehe… Dijamin sinyal selama di Sembalun 4G terus, ON terus. Saya sendiri juga terkesima sih karena biasanya kalau di desa-desa gitu kan sinyalnya paling ya 3G. Jadi pas di Sembalun dapat 4G signal, seneng banget lah upload dan updateterus-terusan. Video call sama orang rumah yang tersayang juga lancar karena sinyal 4G nya stabil banget. Bahkan Mama saya sampai berujar “Bah, di kampung-kampung pun kau tetap bisa lancar video call ya” dengan logat Bataknya yang kental. Hahahaha.

XL Axiata masuk ke Sembalun pertama kali tahun 2012. Sebelumya, tak ada sinyal sama sekali yang menjangkau desa ini. Memang XL Axiata sedang berekspansi besar-besaran ke pelosok negeri. Sekarang jaringan 4G LTE nya sudah menjangkau 360 kota / kabupaten di seluruh Indonesia. Bayangkan, total BTS nya saja sekarang ada 101.094 dan akan terus bertambah. Asyik banget kan ya kalau memang nantinya makin banyak desa-desa yang terbantu komunikasinya jadi lebih baik dengan sinyal XL.

Nah, ada satu cerita yang ingin saya bagikan ke kalian dari Sembalun kemarin.

Dalam perjalanan saya ke Desa Sembalun, saya bertemu dengan beberapa pemuda yaitu Anto, Ungga, Tiger, Abeng, Jo. Sehari-harinya mereka berkebun, berladang dan juga menjadi porter pendakian Gunung Rinjani. Mereka sedang libur karena kegiatan pendakian sedang sepi.



Hampir semua anak laki-laki di Sembalun, sudah terbiasa mendaki gunung, lewati lembah setiap harinya. Sudah terbiasa membantu orang tua sedari kecil, mengolah ladang mereka yang ada di balik bukit-bukit menjulang. Menjadi porter pun kadang mereka lakoni untuk membantu perekonomian keluarga. Naik gunung dengan bapaknya, bersama-sama menjadi porter. Jadilah seluruh pemuda yang tidak merantau ke luar dari Desa Sembalun, berprofesi seperti orang tuanya terdahulu, petani, peternak, porter. Sedangkan yang merantau ke luar desa dan mengenyam pendidikan di bangku universitas memiliki kesempatan lebih besar untuk memiliki profesi lain, entah itu guru, pengusaha atau profesi-profesi lainnya.

Kadang, saya merasa ada saja anak muda di desa yang tak pernah bermimpi. Mungkin karena sudah terbiasa dengan apa yang mereka punya, nyaman dengan tempat di mana mereka tinggal, merasa cukup untuk segala yang ada di sekitar mereka. Dan tentu saja itu tidak salah. Sama sekali tidak.

Tetapi ketika saya mendengar cerita teman-teman saya dari Sembalun, saya terkesima, saya kagum dengan semangat tinggi mereka, yang berani bermimpi. Bermimpi tinggi, lebih tinggi dari Gunung Rinjani. Salah satunya adalah Ungga, pemuda asli Sembalun yang berusia 20 tahun. Ini ceritanya.

Sejak mereka mengenal internet, mereka senang betul menggunakan social media. Lingkaran pertemanan mereka yang tadinya hanya teman-teman di desanya atau desa sebelah saja, semakin meluas dengan perkenalan via Facebook, Instagram, Twitter dan lain-lain. Tapi anak-anak muda ini lebih suka menonton Youtube. Mereka menonton banyak tayangan seru yang tidak disiarkan di televisi rumah.

“Paling suka dulu aku nonton video orang-orang bisa terbang tu Mba Satya” ujar Ungga dengan logat Bahasa Sasaknya yang kental.

“Dulu ada yang terbang pakai parasut dari puncak Bukit Pergasingan tu. Orang Australia. Mendarat dia di lapangan dekat masjid tu. Kami tanya-tanya lah orang itu dan katanya nama olahraganya paralayang. Wiiii langsung aku pengen kayak dia” lanjut Ungga lagi.



Ungga yang waktu itu masih di bangku SMA penasaran betul dengan paralayang ini sampai kerjaannya hanya menonton video-video terbang paralayang di Youtube. Karena sinyal 4G, ya hampir setiap saat Ungga mantengin layar ponselnya, bahkan saat sedang beristhirahat kerja di ladang.

Sampai akhirnya Ungga bertekad manta pia ingin jadi penerbang paralayang satu hari nanti. Ia ingin terbang solo dan berharap suatu waktu kelak ada orang yang akan mengajarinya terbang. Sekolah paralayang memang tidak murah jadi Ungga berharap ada keajaiban dari langit.

Keajaiban itu pun menghampirinya ketika ada seorang pilot paralayang dari luar Lombok yang menawarkan anak-anak muda Sembalun untuk belajar paralayang. Waaaah, pucuk di cinta, ulam pun tiba. Ternyata cantiknya Bukit Pergasingan di Sembalun sudah menyebar di social media dan banyak sekali pilot paralayang yang tertarik untuk terbang di sana karena view-nya memang spektakuler. Salah satunya adalah pilot yang akhirnya bertekad ingin mengenalkan dan melatih anak-anak asli Sembalun untuk terbang.

Anak-anak muda yang saya sebut di atas tadi, Ungga, Anto, Tiger, Jo, semuanya antusias sekali untuk berlatih. Keberuntungan lagi menyapa mereka ketika salah seorang pilot paralayang dari Taiwan melihat bakat dan kegigihan mereka, memberikan satu set parasut dan perlengkapan terbang untuk mereka gunakan. Satu set parasut dan perlengkapan itu harganya berkisar 30 juta – 70 juta rupiah. Mereka bagai kedapatan durian runtuh ya.



Semangat mereka semakin menggebu untuk berlatih terbang dan belajar banyak juga dari Youtube setiap harinya. Mereka belajar mengenali zona terbang, tipe angin dan manuver saat terbang dari video-video yang mereka tonton.

Dan kini mereka sudah menjadi penerbang paralayang berlisensi dan juga atlit paralayang provinsi Nusa Tenggara Barat. Harapan mereka ingin menjadi pilot tandem paralayang dan nantinya mengembangkan wisata dirgantara di Sembalun, kini tampaknya bukan khayalan belaka. Sebentar lagi, Sembalun pasti makin ramai dengan permintaan wisatawan yang ingin mencoba rasanya duduk terbang melayang-layang di udara.

Saya senang sekali mendengarkan cerita itu langsung dari mereka. Pun mereka bilang andai sampai saat ini belum ada sinyal internet yang menjangkau Desa Sembalun, mungkin mereka tidak akan pernah mengenal paralayang atau pilot di luar Lombok tahu tentang cantiknya Pergasingan dan potensinya untuk menjadi take off area paralayang.






Semua orang, kita, pasti ingin jadi lebih baik hari ke hari, sama seperti XL Axiata yang berkomitmen untuk dengan berusaha mengembangkan jaringan data berkualitas ke seluruh penjuru tanah air. XL Axiata ingin mendorong masyarakat Indonesia untuk menjadi lebih baik untuk dirinya sendiri dan keluarga, juga masyarakat dan komunitas sekitar dalam segala aspek kehidupan.

Kalau kamu? Apa definisi #JadiLebihBaik versimu sendiri?



Cheers,





[Review] The Quincy Hotel Singapore – 10 Alasan yang Bikin Nggak Mau Keluar Hotel 24 Jam

$
0
0


Segelas jus dingin mengalir di kerongkongan, memuaskan dahaga di siang yang panas. Kami baru saja tiba di lobby The Quincy Hotel setelah mendarat beberapa waktu sebelumnya di Bandara Changi. Tentu tak macet ya dari Changi ke pusat kota, jalanan lancar banget!

Saya dan tiga orang gadis kesayangan; Yuki, Marizadan Samantha diajak jalan-jalan ke Singapore untuk weekend escape. But no fix itinerary, impulsif saja. Kebayang nggak? Hahaha...

Lobby The Quincy Hotel bersebelahan tepat dengan area restaurant dan bar. Tidak terlalu luas memang  namun tertata apik sekali. Sofa-sofa empuk warna-warni mewarnai lobby hingga terlihat cozy dan nyaman untuk tamu yang sedang menunggu giliran untuk check-in. Lokasinya yang strategis memang membuat hotel ini ramai sekali dikunjungi setiap hari.

Colourful The Quincy Hotel Lobby. I love it! ( Photo by : Samantha @alexandriamenthe )


The Quincy Hotel ini baru saja mendapatkan award sebagai “Top Hotel & Best Service” dari TripAdvisor Traveler’s Choice Award 2018.

“Pada laper nggak sih? Makan yuk! Ada Nasi Hainan yang enak di dekat sini”, ujar Ida, host kami yang super ramah di Singapore.

Wah, Nasi Hainan di Singapore memang terkenal kelezatannya. Banyak food stall atau restoran yang menjajakannya. Rasanya akan makan waktu yang lama kalau mencicipi semuanya. Ida sendiri punya tempat rekomendasi yang ternyata tak jauh lokasinya dari The Quincy Hotel.

Benar saja. Begitu kami tiba di sana, tempatnya sedang ramai pengunjung yang sedang menikmati makan siang. Kami masuk di daftar waiting list dan syukurlah tak lama kemudian kami dapat meja yang cukup untuk menampung kami berenam. Santap makan siang kami begitu lezat sampai kalau yang lagi diet pasti lupain dietnya. Hahahaha. Kan, diet selalu dimulai besok. Iya to?

Nanti cerita detil soal Nasi Hainan ini di blogpost berikutnya ya...

Tempting, isn't it? 


Usai santap siang kami berjalan kembali ke hotel yang jaraknya hanya selemparan batu. Bawaannya ngantuk banget karena habis makan enak, jalan kaki di jalan setapak berangin sejuk semilir. Kami akhirnya sepakat akan beristhirahat di kamar masing-masing dulu sebelum berkumpul lagi buat beraktivitas atau jalan-jalan sekitaran Singapore.

Kamar yang saya tempati luas dan saya senang sekali karena bantalnya banyak! Hahaha. Langsung saya colokkan ponsel dan memutar musik lewat music player yang ada di atas meja kamar. Sambil mendengarkan musik favorit, saya rebahan di kasur super empuk yang luas. Saya lirik ke jendela, ada sofa panjang yang pas untuk leyeh-leyeh baca  buku sambil menikmati pemandangan sejuk di sekitaran hotel.

Sebenarnya kami keluar hotel hanya untuk cari makan saja, nyicipin kuliner khas Singapore. Tapi sebenarnya kita pengennya di hotel saja karena betah banget asli. Bikin maunya ‘ngendon’ di hotel saja gitu.

Kenapa?

Ini nih alasannya :

1. Kamarnya luas banget, bikin betah seharian di kamar, kasur king-size nan empuk serta bantal-bantal yang bertebaran dan selimut lembut itu favorit banget. Saya yang tukang tidur ini pasti maunya bergelung di balik selimut nggak keluar seharian hahaha.


 
Saking asyik di kamar, bawaanya mager ke luar hotel. Hahaha... (Photo by : @iammariza )
  2. Kamar mandinya nggak kalah luas, kayaknya muat jadi kamar kos-kosan mahasiswa. Hahaha. Dilengkapi dengan bathtub buat berendam seharian (kemarin dapat compliment bath-salt tapi sayang nggak terpakai karena nggak sempat berendam, hiks).



Yak, siapa yang senang berendam kalau di hotel? ( Photo by @yukiangia )
     3. Amenities-nya dari “Le Labo”, produk yang katanya sedang digandrungi anak muda di New York. Setelah saya coba sendiri, barulah saya tahu kenapa dia jadi favorit. Wanginya enak banget dan bikin kulit lembut. Hmmmmmm ena’....



    4. Free Flow ICE-CREAM!

Maybe you want to try our ice cream? Free flow from 12 pm to 6 pm every day” ujar salah satu staff The Quincy kami sedang duduk di restoran. Whoaaaa, free flow ice cream? Really?

Langsung saya ingin meluncur secepatnya menuju area bar dan menarik tuas mesin ice cream dan mengisi wadah cup saya dengan vanilla ice cream yang saya tuang sauce topping chocolate & strawberry di atasnya. Makan es krim enak sepuasnya? Uh, bahagia tak terperi.

Ice Cream Stall my love! ( Photo by @yukiangia )

5. Free Flow COFFEE!

Nah, kalau ini Yuki yang girangnya setengah mati. Saya juga girang banget karena suka kopi. Kopinya beneran enak kata Yuki (percayalah pada lidah Yuki tentang kopi) jadi kita refill cangkir berkali-kali selama menginap di The Quincy. Hahahaha…

Selain Coffee Machine yang ada di bar hotel, ada juga Nespresso Machine yang tersedia di masing-masing kamar jadi bisa seduh kopi kapan saja...




6. Handy Phone untuk Internet Gratis. 
Sore itu kami berencana untuk keliling sekitaran Orchard Road karena jaraknya dekat sekali dari The Quincy Hotel. Tapi kami lupa belum beli simcard. Sementara update-an pakai wifi hotel sampai mata saya tertumbuk pada sesuatu. Ada ponsel dengan layar cukup lebar terletak di atas meja. Ternyata itu adalah “Handy”, fasilitas ponsel dari hotel. Bisa dipakai untuk internetan. Duh asyik sekali nggak usah beli simcard lagi karena kami hanya stay 3 hari. Untuk beli simcard sendiri biasanya harganya SGD 15, unlimited untuk 5 hari. Kalau pakai handy lebih hemat kan? Nggak bayar lagi kan? Iya, iya, tenang saja, handy ini fasilitas gratis dari The Quincy Hotel untuk seluruh tamu yang menginap kok.

Super cool Handy, so useful so you don't have to buy Singapore Simcard, Hahaha... (Photo by @yukiangia )



     7.  24 Hours GYM & POOL!
      Seumur-umur aku menginap di hotel mana pun dalam dan luar negeri, belum pernah nih aku tahu ada hotel yang fasilitas Gym dan Kolam Renang-nya bisa dipakai 24 jam. Mau berenang subuh-subuh silakan nggak ada yang melarang, asal siap-siap masuk angin kalau berenang jam segitu ya. Hahaha. Gym-nya terletak tepat di sebelah pool, dilengkapi dengan alat fitness standar seperti treadmill dan beberapa alat latihan beban. Kalau gym sih kedemenannya Mariza yang paling aktif olahraganya setiap hari. Begitu lihat gym dan tahu itu buka 24 jam, matanya langsung berbinar-binar. Hahahaha… Oh iya, disediakan juga handuk bersih, isotonic drink dan cemilan yang bisa kita ambil sebanyak yang kita mau.


Nggak terlalu luas tapi gymnya bersih dan wangi! ( Photo by : @yukiangia )
     8. Makanan yang disajikan di The Quincy enak semua! Saking enaknya, saya lupa foto beberapa karena keasyikan menyantap makanan. Menunya bervariasi dan menarik sekali saat disajikan. Kami semua nggak berhenti ngunyah-ngunyah-ngunyah.



      9.  Rooftop Movie Night Every Weekend!
Kalau lagi liburan barang keluarga atau sahabat, asyik kan kalau menghabiskan malam minggu dengan nonton film seru? Apalagi kalau minuman ringan dan cemilannya juga sudah disediakan. Nah, itu yang kami lakukan sewaktu menginap di The Quincy. Setiap malam minggu, selalu ada movie night di rooftop hotel. Jadi sambil nonton film, kita bisa menikmati panorama gedung-gedung berlampu di Singapore saat malam.

Saturday Movie Night with the gengs. Coba tebak kami nonton film apa ya itu?

Cityscape view from The Quincy Hotel Rooftop! (Photo by @yukiangia)

10. Qool Weekend Project!
Ini juga yang jadi alasan kuat kenapa kita nggak harus keluar hotel untuk seru-seruan. The Quincy punya beberapa kegiatan seru yang bisa kita ikuti di akhir pekan dan salah satu contohnya adalah Cooking Class. Kami berempat bersama dengan 2 tamu lain diajakin untuk membuat cookies dan menghiasnya. Nggak disangka-sangka, Yuki dan saya keluar jadi pemenang kompetisi kecil itu. Hahaha. Aneh bin ajaib. Harusnya Samantha yang menang karena anaknya artistik banget!

Super fun Qookielicious! Kalian juga cobain kalau menginap di sini ya...


Beberapa nilai plus lain kalau menginap di The Quincy adalah mereka menyediakan layanan “Early Check In” dan “Late Check Out” (tapi based on room availability juga ya). Jadi kalau tiba terlalu pagi atau pesawatnya agak malam, bisa tanyakan ke resepsionis apakah bisa early check in / late check out.

Karena lokasinya strategis (dekat banget dari Orchard Road) dan dilengkapi fasilitas serta layanan yang mumpuni, wajarlah harganya memang tidak seperti hotel-hotel budget. Asyik lho kalau memang mengajak keluarga atau sahabat-sahabat untuk menginap bersama di sini. Kalau pesan lewat website Far East Hospitality bisa dapat diskon hingga 30% lho. Lumayan banget kan?

Selamat menikmati Singapore!

The Quincy Hotel

22 Mount Elizabeth Singapura 228517. 

Phone : (+65) 67385888

Email: info.tqh@fareast.com.sg

Website : www.stayfareast.com


Cheers,




KBA Rawajati, Oase di Tengah Kota Jakarta

$
0
0

"Bagaimana tadi perasaannya pas masuk ke Rawajati tadi? Sejuk nggak? Mungkin tidak terlalu terasa ya karena sehabis hujan", ujar Ibu Ninik yang menyambut kedatangan saya dan teman-teman yang berkunjung ke Kampung Rawajati di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan.

Kampung Rawajati ini konon katanya adalah oase di tengah kota, kampung terhijau di DKI Jakarta. Benar saja ketika saya datang ke sana, saya sedikit tidak percaya bahwa tempat seperti ini benar-benar ada di Jakarta. Saya sedikit malu juga karena belum pernah sama sekali mendengar nama kampung ini sebelumnya padahal nyatanya Kampung Rawajati ini sudah diberitakan di 33 Negara oleh BBC karena prestasi penghijauan kota yang mereka lakukan sejak 17 tahun silam.

Kampung Rawajati yang bersih, tidak ada satu pun sampah di jalan atau pun selokan. 

Ibu Ninik Nuryanto yang akrab dipanggil Ibu Ninik adalah salah satu inisiator untuk penghijauan Kampung Rawajati. Di usianya yang sudah lebih dari setengah abad, Ibu Ninik tetap terlihat segar dan enerjik. Dengan wajah sumringah, beliau bersemangat menjelaskan awal mula perjuangan mereka untuk menghijaukan Rawajati.

“Dulu, tahun 2001 itu saya baru menjabat sebagai Ketua PKK, lalu kebetulan Ketua RW nya juga baru terpilih. Jadi kita berinisiatif untuk membuat suatu gerakan agar lingkungan tempat kami tinggal lebih asri, hijau dan lebih nyaman untuk dihuni. Bersama-sama kami mencari tahu apa yang bisa kami lakukan dari rumah sendiri” ujar Ibu Ninik.

Ibu Ninik membagikan cara untuk membuat kompos dengan bahan tong biru, sterofoam dan karpet.


Gerakan paling kecil yang bisa dilakukan adalah memilah sampah organik dan anorganik di tiap-tiap rumah. Kemudian sampah organik yang berasal dari limbah rumah tangga, diolah lagi menjadi kompos, sedangkan sampah anorganik dipilah dan dimanfaatkan lagi, didaur ulang. Tidak mudah tentunya untuk mengajak seluruh warga untuk menjalankan ide yang diusung Ibu Ninik dan teman-temannya.

Setiap sudut kampung ada tempat sampah yang sudah dibagi menjadi sampah basah, sampah kering dan sampah beracun.

Di tiap rumah, ada kantong sampah untuk memudahkan warga untuk mengantarkan sampah plastik ke Bank Sampah Rawajati.

Kompos yang dibuat dipakai untuk menyuburkan tanaman pohon di sekitar halaman rumah. Meski tiap-tiap rumah tidak punya halaman yang luas sekali, diusahakan setiap rumah punya tanaman hijau dan juga tanaman obat yang bisa dikonsumsi sehari-hari. Tak ayal setelah 17 tahun, kawasan Rawajati ini sudah dipenuhi pohon-pohon rindang yang bikin udara jadi sejuk dan segar. Katanya, sekarang kadar udara di Rawajati ini paling bersih begitu pula dengan kadar air yang dikonsumsi tiap rumah tangga di sana. Sampai dilakukan penelitiannya lho.

Program penghijauan ini tidak hanya dilakukan oleh para Ibu PKK saja melainkan para Bapak juga. Oleh karena itu mereka menyebutkan di Rawajati adanya PKK Plus. Semua orang (Bapak dan Ibu) punya tanggung jawab masing-masing. Ada yang mengelola aktivitas bank sampah, pengolahan kompos, tanaman hidroponik dan membuat lubang resapan biopori.

Sampah plastik dipilah, disiangi dulu sebelum dicacah di mesin pencacah plastik.

Kebun Hidroponik di Rawajati.

Bu Ninik  berbaik hati mengajarkan kami bagaimana cara membuat kompos dari sampah organik. Dengan modal tong plastik, sterofoam, karpet yang jadi pelapis di bagian bawah dan atas, kita juga bisa membuat sendiri di rumah. Limbah rumah tangga seperti sayur dan buah dicacah dan dimasukkan ke dalam tong lalu dicampur dengan kompos yang kasar. Didiamkan saja satu bulan sambil diaduk beberapa hari sekali, jadilah kompos cair rasa buah. Hahaha.


Limbah rumah tangga yang akan diolah menjadi kompos organik.


Nah, untuk sampah anorganik, Bu Silvi berbaik hati menunjukkan Bank Sampah Rawajati kepada kami. Ada banyak kotak-kotak berisi barang bekas yang masih bisa didaur ulang, timbangan dan juga mesin pencacah sampah plastik.

Ibu Silvi sedang menjelaskan proses Bank Sampah Rawajati.


“Kita senang sekali ketika mendapat bantuan mesin pencacah sampah plastik dari ASTRA. Satu bulan kita bisa mengolah sampah plastik hingga dua ton setiap bulannya” ujar Ibu Silvi.

“Tiap warga bisa membawa sampah plastik yang sudah dipilah ke sini, pakai kantong sampah yang sudah dibagikan. Nanti sampahnya ditimbang, dikemas rapi lalu dijual lagi ke Bank Sampah Kota Jakarta yang ada di Matraman” lanjut Ibu Silvi lagi.



Barang-barang plastik yang bisa dijual ke Bank Sampah.

Mesin pencacah plastik, bantuan dari ASTRA.


Namun tak semua sampah plastik dijual ke Bank Sampah Kota. Beberapa sampah yang sekiranya bisa dijadikan kerajinan, biasanya dipisahkan misalnya kertas koran, bungkus kopi sachet, bagian tutup minuman ringan, beberapa botol plastik yang masih dalam kondisi bagus dan lainnya.

Dari sampah di atas, Ibu-Ibu di Rawajati menyulapnya menjadi vas bunga, keranjang belanja, wadah buah, hiasan bunga plastik, tissue box bahkan tikar. Keren banget kan? Kerajinan-kerajinan ini kerap ditampilkan di berbagai pameran dan mengundang decak kagum banyak orang. Ada satu ruang khusus juga di Rawajati yang diperuntukkan menjadi etalase produk kerajinan daur ulang itu. Tak sedikit tamu yang datang berkunjung ke Rawajati memborong hasil kerajinan dari sampah itu, soalnya menarik dan unik sekali.

Diajari membuat kerajinan dari sampah kertas dan koran. Bisa disulap menjadi barang-barang ini lho!

Kerajinan ini bisa dibeli dengan harga Rp 50.000,- hingga Rp 200.000,- 


Dari penjualan sampah ke Bank Kota mau pun dari hasil kerajinan dari sampah, warga Rawajati mendapat penghasilan tambahan dan membuat warga sadar bahwa kita masih tetap bisa mendapatkan keuntungan dari sampah. Memang sih itu hanya bonus ya, keuntungan terbesar yang didapat tentu saja lingkungan kita jadi lebih hijau dan warganya sehat karena tinggal di daerah yang udara dan airnya bersih.

Karena melihat program penghijauan lingkungan yang dilakukan seluruh warga, sejak 2015 silam lalu, Kampung Rawajati diresmikan menjadi Kampung Berseri ASTRA (seringnya disingkat KBA). Kampung Berseri ASTRA ini biasanya mencakup empat pilar pengembangan yakni pendidikan, kewirausahaan, lingkungan dan kesehatan.

Dalam binaan ASTRA, Kampung Rajawati terus berkembang dan kini dinobatkan sebagai Kampung Proklim oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Penghargaan ini diberikan kepada kampung yang memenuhi syarat penghijauan lingkungan seperti kadar udara, upaya pengendalian kekeringan, banjir dan longsor. Upaya pengendalian penyakit, upaya pengelolaan dan pemanfaatan limbah, peningkaatan tutupan vegetasi, pencegahan kebakaran lahan dan hutan serta upaya peningkatan ketahanan pangan.

“Kita berterima kasih sama ASTRA karena sudah dibimbing dan akhirnya kita bisa memenuhi semua persyaratan untuk dinobatkan sebagai Kampung Proklim”, ujar Ibu Ninik.

Selain binaan soal lingkungan, Ibu-Ibu di Rawajati juga dibina di bidang kewirausahaan. Tidak hanya kerajinan dari sampah, kini Rawajati punya produk panganan makanan ringan dan minuman yang bisa jadi buah tangan ketika berkunjung ke sana.

Ibu Mimi dengan wajah sumringah menjelaskan semua produk yang dihasilkan oleh Ibu-Ibu di Rawajati. Ada peyek, jamu-jamuan seperti jahe merah, temulawak bahkan bir pletok dibuat dalam kemasan yang sangat menarik dan enak. Tentu saja saya bisa bilang enak karena saya sudah mencicipinya sendiri bahkan membawa pulang beberapa. Hahahaha…


Produk-produk penganan makanan dan minuman yang dibuat oleh Ibu-Ibu Rawajati.


Sebagai penutup kunjungan ke “Oase Jakarta”, kami bersama-sama menanam bibit pohon kelor untuk ditanam di halaman rumah Ibu Mimi.

“Ini pohon Kelor lagi popular di kalangan Ibu-Ibu karena ternyata banyak manfaatnya. Daunnya kalau dikonsumsi bagus untuk membantu menurunkan kolesterol, bikin jadi lebih sehat. Jadi sekarang lagi senang menanam ini” ujar Ibu Mimi sambil menyerahkan satu bibit pohon daun kelor yang masih dibungkus polybag untuk saya tanam.

Menanam Pohon Kelor di halaman rumah.


Berkunjung ke KBA Rawajati buat saya sangat menyenangkan karena bisa dapat banyak ilmu baru yang bisa saya sebarkan dan saya implementasikan di rumah sendiri. Semoga teman-teman yang membaca juga bisa dapat ilmunya ya.

Coba bayangkan jika semua rumah di Indonesia melakukan hal seperti yang dilakukan warga Rawajati pasti Indonesia asri sekali. Enak kan?


Hijau dan segar banget kan Rawajati ini? Demeeennn betah lama-lama di sini.


Kalian juga boleh lho mampir ke KBA Rawajati untuk melihat dan belajar bagaimana mereka melakukan “waste management”-nya langsung. Dengan senang hati, seluruh warga Rawajati akan membantu kamu.

Yuk sama-sama kita wujudkan Indonesia Zero Waste 2020! (pesan dari Bapak Presiden!)

Untuk cerita-cerita inspiratif dari Kampung Berseri ASTRA lainnya, kamu bisa baca di SATU INDONESIA yaa....

Cheers,





Mendaki Gunung Sumbing via Banaran 3 Hari 2 Malam (East Route Sumbing)

$
0
0



“Terakhir-terakhir, Wonosobo, terminal, terminal” ujar seorang Bapak dengan suara agak keras agar penumpang terbangun dan bersiap karena akan segera tiba di tempat tujuan.

Saya lirik jam di tangan kiri, menunjukkan jam 4 pagi. Bus Sinar Jaya yang kami tumpangi dengan trayek Depok – Wonosobo ini hampir tiba di tujuan setelah menempuh perjalanan kurang lebih 12 jam. Tiket busnya Rp 90.000 saja. Ini cara termurah dan paling praktis jika ingin mendaki Gunung Sumbing. Opsi lain bisa naik kereta api, turun di Stasiun Purwokerto tetapi makan waktu yang cukup lama dan masih jauh ke titik pintu basecamp pendakian Banaran. 

Saya berangkat berdua dari Depok bersama Bang Herdi yang akrab dipanggil Bang “Kibo”. Tapi untuk pendakian ke Gunung Sumbing, kami tidak berdua saja. Ada Bang Aris, sahabat Bang Kibo yang akan turut serta namun berangkat  dari Cikarang. Terminal Wonosobo menjadi titik tengah pertemuan kami.

Pagi di Terminal Wonosobo tidak sedingin yang saya kira. Saya dan Bang Kibo menghampiri Bang Aris yang sudah duluan tiba dan duduk di pojokan terminal, menyesap kopi panas. Dari pertemuan pertama saja, impresi yang saya dapat adalah orangnya pasti lucu seneng ngguyu. Hati saya riang karena dengan ditemani Bang Kibo dan Bang Aris bikin pendakian ini pasti makin seru. 

Dari Terminal Wonosobo, kami ‘numpak’ bus kecil ke Temanggung. Jam 5 pagi langit masih gelap dan kami bertiga duduk di kursi belakang. Kami berhenti di Pasar Parakan dan berbelanja logistik segar macam sayuran, tahu, tempe, bumbu masak hingga kerupuk udang! (YES, kami bertiga memang penyuka kerupuk!). 

Ingatlah bahwa naik gunung itu harus mencakupi tiga hal ; makan enak, tidur enak, perjalanan enak supaya pendakian nyaman, aman dan selamat sampai pulang ke rumah. Makanya buat saya persiapan pendakian itu amatlah penting. Antisipasi segala hal yang terburuk dalam pendakian dengan persiapan yang matang ya.

Dari Pasar Parakan, kami naik mini bus lagi hingga perempatan lampu merah. Sudah ada tiga sepeda motor yang menunggu kami dan akan mengantarkan hingga ke basecamp Banaran. Yang membonceng saya namanya Mas Alfi yang menjadi teman mengobrol saya sepanjang jalan. Sekitar 30 menitan dengan jalan menanjak, sampai juga kami di basecamp Banaran. Saat kami tiba, ada beberapa pendaki yang sudah siap untuk mendaki dan kami hanya bertukar anggukan dan senyum saja.

Biaya naik ojek dari Temanggung - Basecamp Banaran : Rp 50.000 per orang.

Kami sepakat beristhirahat sekitar 1 jam-an sebelum memulai pendakian Gunung Sumbing. Teman-teman di Basecamp Banaran ramah-ramah sekali. Baru saja pantat dihempaskan ke lantai dan rebahan meluruskan punggung, sudah ada yang membawakan nampan berisi teh manis hangat. Baik betul sih.

Di Basecamp Banaran ini juga kita melakukan pendaftaran dan membayar Simaksi sebesar Rp 10.000 per pendaki (murah banget!). Saya sampai bertanya ulang apa benar hanya bayar sepuluh ribu saja dan diiyakan oleh teman di sana. Masih ada ya bayar segitu buat naik gunung? Hahaha.

Sebelum berangkat, mau ucapin terima kasih dulu buat teman-temabn di basecamp Banaran yang baik sekali menjamu kita...


Setelah memastikan tak ada lagi perlengkapan dan peralatan yang kurang untuk mendaki, kami naik ojek lagi menuju Pos 0 alias pintu masuk jalur Banaran. Carrier harus diletakkan di bagian depan motor agar tidak terjungkang (terbalik ke belakang) ketika dibonceng karena jalanannya menanjak pol! Kalau terlalu berat, kita yang dibonceng harus turun dan jalan menanjak sedikit ya. Jangan malas hahaha…

Sebelum berangkat, saya sebenarnya sudah diwanti-wanti oleh Bang Kibo dan Bang Aris tentang jalur pendakian Banaran yang hampir 100% menanjak dan minim “bonus”. Whatever it is, let’s do it!

 POS 0 – POS 1 


Dari Pos 0 menuju Pos 1, kita akan melewati ladang penduduk, bila berjumpa dengan bapak dan ibu yang sedang bekerja di ladang, sapalah mereka dengan hangat ya.  Selain itu kita akan menjumpai shelter besar seperti gazebo yang ada aliran airnya dengan nama yang aneh menurut saya "Dongbanger". Dong Dong Bang Bang!

Fotonya diambil ketika perjalanan turun sebenarnya dan Bang Kibo senang sekali minum air segar langsung hahaha...


Kami berjalan pelan, mengatur nafas dan begitu memasuki pintu hutan, saya melihat jalur tangga yang panjang, jauh sekali sampai tak terlihat ujungnya. 

“Ah, ini ya jalur escalator yang terkenal itu” celotehku pada Bang Kibo yang hanya dijawab singkat “yoi”.

Jalur Banaran Sumbing ini punya dua julukan, “Escalator Route” & “Shaolin Route”. Kedua nama itu tersemat karena memang jalur tangga kayu-nya yang panjang macam tak berujung itu mirip escalator dan yang melewati jalur itu pasti akan teringat film shaolin di mana murid-muridnya harus mengangkat beban dan mendaki jalur panjang yang semacam tak ada habisnya. Ya sudah, nikmati jalurnya saja ya. Bisa sambil berdendang (asal suaramu tak sumbang dan mengganggu hewan dan pendaki lain), sambil menghayal yang seru-seru (tapi jangan bengong nanti kesambet), ngobrol sama teman di jalur (asal jangan kelewatan berisik). Tapi biasanya sewaktu mendaki, semuanya pasti diam karena semuanya sibuk menyesuaikan ritme langkah dengan nafas. Apalagi hari pertama kan, beban di carrier sedang berat-beratnya.

Jalurnya tangga-tangga tak berujung. Siap-siap dengkul, apalagi pas turun...


Perkenalkan Bang Aris (kiri) dan Bang Kibo (kanan)


Sangat berbeda dengan cuaca saat kami berangkat mendaki, pukul 12, langit berubah menjadi kelabu dan kabut mulai turun. Firasat saya mulai tidak enak karena pasti akan turun hujan sebentar lagi. Kami tetap lanjut berjalan dan beruntung sekali ketika kami sudah hampir tiba di Pos 1, hujan deras mengguyur. Kami pontang-panting mengerahkan tenaga sedikit berlari masuk ke dalam Pos 1. Binggo! Tepat waktu!

Pos 1 setelah diguyur hujan. Syukurlah shelternya cukup hangat untuk berteduh dan tidur sejenak.


Dengan peluh membasahi tubuh, saya langsung mengenakan jaket windbreaker agar suhu tubuh saya tidak drop. Hujannya bukan gerimis main-main melainkan hujan deras beserta petir. Kami memutuskan untuk menunggu hujan reda agar bisa berjalan lagi dan kami bertiga akhirnya tertidur. 

Jam menunjukkan pukul 3 sore ketika saya terbangun dan melihat Bang Kibo dan Bang Aris sedang ngobrol dengan pendaki-pendaki lain. Hujan sudah mulai mereda dan tampaknya tak lam lagi sudah bisa melanjutkan pendakian. Hanya karena sudah tertidur beberapa waktu, rasanya badan sedikit lemas dan kami mulai berjalan lagi mengatur nafas dan langkah pelan-pelan. 

POS 1– POS 2 


Sekitar satu setengah jam berjalan dari Pos 1, kami tiba di Pos 2. Ada pohon besar yang menarik perhatian saya di dekat shelter. Pohon itu besar dan dipagari. Hmmm. Kenapa ya dipagari?

Kami hanya berhenti sebentar untuk isthirahat di Pos 2 karena ingin cepat-cepat tiba di tujuan. Target kami hari itu bermalam di Camp 4, sebelum melanjutkan perjalanan ke puncak keesokan harinya. 

Katanya pohon besar yang dipagari itu keramat. Iya kah?

POS 2– POS 3 


Kami tiba di Pos 3 saat maghrib. Butuh sekitar 1,5 jam untuk sampai di pos itu. Ada beberapa teman pendaki dari Yogyakarta yang sedang  berteduh di shelter dan menawarkan untuk bergabung, ngobrol sambil menyeduh kopi. Hari sudah gelap namun semua memutuskan untuk tetap melanjutkan perjalanan ke Pos 4 dan mendirikan camp di sana.



“Cuma 2 sampai 3 jam lagi kok”, ujar salah seorang dari  kami yang tidak saya kenali karena gelap. Setelah beberapa gelas kopi panas habis diteguk bersama-sama, kami melanjutkan perjalanan.

POS 3 – POS 4


Kami bersama-sama (sekitar 11 orang) berjalan menuju Pos 4 dengan bantuan penerangan headlamp. Jalurnya semakin licin karena habis diguyur hujan. Sempat berhenti beberapa kali untuk isthirahat di jalur sampai akhirnya kami bertemu tebing batu besar yang bernama “Watu Ondho”. Batu besar itu harus didaki jika ingin tiba di Camp 4. Sudah ada semacam rantai pengaman yang dibuatkan teman-teman@sumbingeastrouteuntuk membantu para pendaki memanjat batu. Semua saling bantu agar semua dapat sampai di atas batu dengan selamat.

Watu Ondho, batu besar yang harus dipanjat hati-hati apalagi saat musim hujan. Awas terpelincir ya...


Setelah 2,5 jam akhirnya kami semua tiba di Camp 4 dan segera memilih lokasi yang enak untuk mendirikan tenda. Tak banyak ba-bi-bu, semuanya berbagi tugas, bangun tenda, masak makan malam dan tidur. 

Di Pos 4 ini ada sumber mata air dan Bang Aris langsung berinisiatif untuk membawa jeregen besar ke mata air, malam hari. Luar biasa memang keberanian sang "Dewa Bumi" itu. Hahahaha. Saya dan Bang Kibo sampai was-was jika Bang Aris hilang karena cukup lama juga waktu yang dibutuhkannya untuk mengambil air. Syukurlah batang hidungnya tampak juga.

Senangnya punya tim mendaki yang jago masak. Masaknya bisa gantian haha...



POS 4 – PUNCAK RAJAWALI


Keesokan paginya, saya terbangun dengan alarm yang sudah saya set pukul setengah enam pagi. Bang Kibo dan Bang Aris masih tertidur pulas. Sudah banyak pendaki di luar yang grasak-grusuk. Sayang sekali matahari agak malu-malu pagi itu. Memang, lautan awan tampak membentang jelas serta Merapi Merbabu yang menjulang gagah. Tiada “Golden Sunrise” warna keemasan yang saya harapkan. Ah tak apa. Bisa menikmati bangun pagi di ketinggian lebih dari dua ribu meter saja sudah membuat saya senang. 

Pemandangan dari Pos 4 Sumbing. Bisa lihat Merapi dan Merbabu di kejauhan.


Bang Kibo dan Bang Aris bangun tak berapa lama kemudian dan langsung menyiapkan sarapan. Kami bertiga hobi masak di gunung dan menyenangkan sekali bisa masak bertiga sambil tertawa-tawa. Di Pos 4 ini kita juga bisa menjumpai bunga edelweiss nan cantik. 



Awalnya kami berencana untuk lintas jalur pendakian. Namun pada akhirnya kami memutuskan untuk tetap ngecamp di Pos 4 dan summit attack hanya membawa daypack. Katanya dari Pos 4 ke Puncak akan memakan waktu 2.5 – 3 jam. 

Pemandangan Camp 4 dari atas, saat perjalanan turun dari Puncak Rajawali kembali ke camp...


Kami berangkat menuju puncak sekitar jam 8 pagi. Langit biru cerah dan panas dan kami berharap di puncak Rajawali akan secerah itu. Jalur menuju puncak terus menanjak dan air dingin dicampur Nutri Sari Jeruk jadi penyelamat. 

Dua jam mendaki, tibalah kami di Segoro Banjaran yang konon katanya ada airnya makanya disebut ‘Segara’ atau mata air. Namun hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat airnya dan saya bukan salah satu orang tertentu itu. Kami isthirahat sejenak sambil menikmati cemilan yang kami bawa. Saya asyik membuat timelapse awan-awan yang mencumbu pucuk-pucuk bukit. 

Segara Banjaran yang tertutup kabut...



Dari Segoro Banjaran, masih butuh 1 jam perjalanan lagi untuk tiba di puncak Rajawali. Sebelum tiba di puncak, kita akan melintasi kawah yang mengeluarkan bau belerang yang cukup kencang. Tutuplah hidung dengan buff agar tidak pusing ya.

Boleh main ke kawahnya asal hati-hati ya...


PUNCAK!


Akhirnya! Tiba juga kami bertiga di puncak dengan sehat dan selamat. Tapi, semuanya putih! Hahahahaha…

Kami tiba sekitar pukul 11 dan puncak sedang berbalut kabut. Kami bertiga sepakat menunggu hingga jendela awan terbuka agar bisa melihat Gunung Sindoro dari puncak Gunung Sumbing. Kami menyeduh kopi, makan nasi bakar sampai ketiduran. Sudah 3 jam menunggu, tak juga ada tanda-tanda puncak akan cerah, bersih dari awan. 



Yeay! We made it!

Kami bertiga memutuskan untuk turun agar tidak kesorean tiba di camp. Sepanjang perjalanan turun, kabut tebal menyelubungi dan kami harus berjalan berdekatan agar tidak terpisah. Jalurnya terlihat jelas sih tapi lebih aman kalau jalan tidak berjauhan kan?

Bang Kibo terlalu senang ketemu batu yang dia yakini ada goa di dalamnya...


Begitu tiba di camp, rombongan teman-teman pendaki yang lain sudah turun semua kecuali teman-teman dari Yogyakarta. Tinggal tenda kuning kami saja yang masih tersisa. Kami memang sudah merencanakan untuk tinggal 1 malam lagi. 

Terima kasih teman-teman Jogjaaa!


Sayangnya, kami masih kurang beruntung. Berharapnya bisa lihat sunrise cantik keesokan paginya hanya untuk kami bertiga, tetapi pada akhirnya jadi angan-angan saja. Kalau di pagi sebelumnya minimal bsia lihat lautan awan dan Merbabu serta Merapi di kejauhan, pagi kedua kami tidak dapat apa-apa selain kabut tebal nan dingin.

Malam sebelumnya, memang hujan badai mengguyur namun kami sudah bergelung nyaman dalam sleeping bag hangat. Dikarenakan hujan semalaman mungkin ya jadi pagi-paginya dingin berkabut tak ada matahari.

Hingga pukul sepuluh pagi pun langit masih gelap dan kami sudah bersiap untuk turun. Yang paling tidak mengenakkan adalah hari itu tiba-tiba tamu bulanan datang. Dia datang terlalu cepat dari jadwal tetapi untungya saya memang selalu sedia “roti” dalam tas ke mana pun saya pergi. Tapi kram dan sakitnya itu lho. Perut dan pinggul saya sakit sekali hingga dalam perjalanan turun, saya minta beberapa kali berhenti agar bisa duduk atau telungkup sebentar. Syukurnya teman-teman saya pengertian sekali.

Hampir  3 jam waktu yang dibutuhkan untuk turun dari Pos 4 hingga Pos 0. Seharusnya bisa lebih cepat kalau saya tidak sering minta berhenti. Tapi syukurlah kami bertiga tiba lagi di bawah dengan aman, selamat tanpa kekurangan suatu apa pun. 

Puncak itu bukan tujuan utama. Tujuan utama kita ya pulang ke rumah dengan selamat!



“Jadi, kapok nggak lewat Banaran?” tanya Mas Alfi saat kami tiba di basecamp.

“Ah, nggak dong. Saya mau lagi naik ke atas asal dipastikan sepanjang jalur harus cerah ya Mas”, jawab saya sambil terkekeh.

Terima kasih Sumbing, saya pasti kembali lagi!


CATATAN KECIL :


  • Biaya Ojek dari Kota Temanggung - Basecamp Banaran : Rp 50.000 sekali jalan.
  • Entry Fee pendakian Gunung Sumbing : Rp 10.000 per orang.
  • Jika memungkinkan, mendakilah pagi-pagi agar bisa tiba di Pos 4 sebelum hari gelap. Watu Ondho cukup berat didaki ketika malam hari, harus lebih ekstra hati-hati dibandingkan saat siang hari.
  • Pastikan peralatan dan perlengkapan serta logistik mencukupi ya. Jadi kalau diterpa badai pun sudah siap dan tidak akan terserang hipotermia atau mountain sickness lainnya.
  • Bawalah air dua x 1,5 liter per orang. Sumbet mata air hanya ada di shelter "Dongbanger", Pos 4 dan jalur menuju puncak ada mata air kecil yang untuk menampungnya dibutuhkan kesabaran ekstra. 
  • Jangan tinggalkan sampahmu di gunung ya!
  • STOP vandalisme. Di jalur menuju puncak saya melihat banyak sekali coret-coretan di batu dan itu membuat saya sedih. Semoga yang baca postingan ini nggak ada yang begitu ya. 
  • Jangan sembrono dalam bertutur dan berlaku saat di gunung. Permisi permisi-lah setiap lewat jalur, buang air kecil dan buang air besar.




Cheers,




10 Tips Mendaki Gunung Saat Datang Bulan atau Menstruasi

$
0
0




Banyak mitos-mitos yang beredar bahwa perempuan itu tidak diperbolehkan naik gunung karena dianggap “kotor”, “gampang ditempelin”, bisa kesurupan dan masih banyak mitos lainnya. Padahal sebenarnya naik gunung saat datang bulan itu bisa-bisa saja asal kita tahu triknya.

Namun, saya menulis ini berdasarkan pengalaman pribadi ya. Saya tahu bahwa setiap perempuan berbeda-beda dalam menghadapi si tamu bulanan. Ada yang sakitnya sedang-sedang saja, ada yang sakitnya sampai bikin nggak bisa bangun tidur, ada juga yang tidak merasakan sakit apa-apa (serius ada kok). 

Nah, karena banyaknya pertanyaan dari teman-teman perempuan bagaimana tips mendaki gunung saat datang bulan, ini dia tips dari saya :

1.     Kenali Tubuhmu Sendiri

Ya, ini yang pertama yang harus kamu lakukan. Kalau saat datang bulan biasanya rasa sakit kram-nya nggak karu-karuan dan bikin nggak bisa bangun dari tempat tidur, ya sebaiknya tidak mendaki gunung atau melakukan aktifitas berat. Isthirahat saja yang cukup dulu di rumah ya. Jangan memaksakan diri karena kamu yang tahu tubuhmu sendiri.



2.     Bawa Pembalut Kemana Saja

Karena siklus tamu bulanan saya kadang suka berantakan, sekarang kemana saja pasti selalu ada pouch di tas saya yang berisikan pembalut & pantyliner. Penting memang ada di tas karena ketika kita dadakan kedatangan tamu bulanan, kita nggak panik kalang kabut cari “sumpelan”. Nah kalau lagi mendaki gunung, susah kan cari sesuatu untuk menyumpal? Makanya minimal bawa 6 pembalut di carrier. Beratnya kayak bulu begitu ya nggak akan menambah beban siginifikan. Bawa saja kemana-mana. Oh iya pilihlah pembalut yang berukuran panjang dan tebal supaya bisa menyerap lebih banyak karena ketika kita beraktifitas mendaki gunung, biasanya lebih deras alirannya.

3.     Minum Air Putih yang Banyak

Nah, ini sebenarnya yang harus dilakukan setiap hari, tidak hanya saat datang bulan saja. Karena tubuh yang terhidrasi itu penting, setiap hari. Ketika sedang menstruasi saat mendaki gunung, minum banyak air putih akan membantu untuk meredakan rasa sakit (ini berdasarkan pengalaman saya lho ya) dan kalau bisa air putih saja terus-terusan. Hindari minuman dengan pewarna dan pemanis buatan serta soda.


 
4.     Jujur Kalau Sedang Datang Bulan kepada Teman Pendakian

Nah, kemarin waktu ke Sumbing, saya tiba-tiba kedatangan tamu bulanan yang tidak sesuai jadwalnya. Aman sih karena bawa pembalut di carrier, tetapi saya akui sakit kram nya bikin saya beberapa kali harus berhenti atau sedikit lambat karena bukan hanya karena capek, tapi kram perut-nya seperti sedang “ditonjok” banyak orang. Ya saya jujur dengan dua teman pendakian saya yang keduanya lelaki bahwa saya sedang menstruasi dan mendadak. Mereka baik dan pengertian sekali menunggui saya yang jadi lebih sering berhenti di jalur bahkan menawarkan untuk membawa turun carrier saya. Aduh mereka memang manis sekali tapi saya masih mampu kok untuk memanggul carrier saya sendiri.


5.     Bawa Suplemen Penambah Darah

Di kotak P3K saya, suplemen penambah darah ini selalu ada karena saat kita melakukan aktifitas berat dan melelahkan seperti naik gunung, kita butuh asupan zat besi. Nah karena ketika kita sedang kedatangan tamu bulanan akan kehilangan banyak darah, suplemen penambah darah ini bisa membantu agar kita tidak cepat lemas.

6.     Minum Pereda Nyeri Haid

Sebenarnya saya pribadi belum pernah minum obat pereda nyeri haid. Namun saya pernah mendaki bersama teman perempuan yang sedang datang bulan dan dia bilang dengan minum obat pereda nyeri, dia lebih merasa nyaman untuk terus berjalan karena rasa sakitnya jauh berkurang. Hmmmmm, kalau teman-teman perempuan yang lain bagaimana? Pernah minum pereda nyeri haid juga saat naik gunung?


7.     Ganti Pembalut Setiap 4 jam Sekali

Nah, kalau tips yang ini sepertinya sudah sering disiarkan dimana-mana. Karena pembalut itu menampung darah kotor tentu saja banyak bakteri yang tidak baik untuk daerah kewanitaan. Jadi diusahakan mengganti pembalut setiap 4 jam sekali agar selalu merasa “segar”.


 
8.     Buang & Simpan Pembalut Bekas dengan Benar

Nah, ini nih yang penting sekali kita ketahui. Agak dilematis juga untuk menuliskan ini karena untuk membuangnya butuh kantong plastik. Biasanya, langkah-langkah yang saya lakukan adalah membersihkan kewanitaan dengan tissue basah, lalu pembalut bekas-nya diganti dengan pembalut baru (tentu saja) dan yang bekasnya saya bungkus dengan plastik pembungkus bekas pembalut baru-nya (ngerti kan?) dan dimasukkan ke kantong plastik kecil. Nah kantong plastik kecil-nya saya masukkan lagi ke kantong plastik yang lebih besar dan biasanya saya simpan di kantong samping carrier. 

Kenapa harus berlapis-lapis plastiknya? Ya agar bau amis atau bau anyir-nya tidak tercium. Ada juga yang bilang bagus ditetesin sedikit minyak kayu putih agar baunya lebih tidak tercium lagi. Teman-teman punya solusi nggak ya buat kantong plastik untuk membuang pembalut bekas? Apakah dengan kantong kertas menurut kalian akan lebih efektif?

9.     Lakukan Gerakan-Gerakan ini saat Kram Perut Menyerang

Nah, ketika sedang mendaki gunung dan kram perut menyerang nggak karu-karuan, biasanya saya melakukan gerakan ini. Buat saya pribadi, gerakan ini sangat ampuh untuk mengurangi rasa nyeri.



10.  Nikmati Pendakianmu & Jangan Menggerutu di Jalur

Ingatlah bahwa pikiran itu yang paling penting. Kalau kamu tetap tenang, santai meski pun rasa sakit kram sedang menyerang, niscaya kamu akan tetap bisa melanjutkan pendakian. Harus positive thinking ya. Tapi pada akhirnya pun sama seperti poin 1 di atas, kamu yang paling mengerti badanmu. Jadi kalau memang dirasa tidak sanggup lagi, utarakan kepada teman pendakian jika kamu memilih untuk turun. Apa pun yang dipaksakan itu tidak baik kan? Dan juga tenang saja, gunung-nya nggak kemana-mana. Yang terpenting bukan sampai puncak gunung tetapi sampai di rumah dengan selamat. Betul?

Nah, itu 10 tips dari saya untuk teman-teman perempuan yang datang bulan saat melakukan pendakian. Jika ada yang mau menambahkan, monggo ya, dituliskan saja di kolom komentar di bawah.


Cheers,

 

Kedai Lur Yogyakarta, Ngopi dan Makan Enak di Kebun Tengah Kota

$
0
0


“Coba kopi di Kedai Lur yuk Mba Sat, enak kopinya”, ujar Rinda setelah kami makan malam bersama sedulur blogger di Jogja. 

“Ayok banget, aku selalu percaya pilihanmu pasti enak”, ujar saya sambil terkekeh.

Setiap menyambangi Yogyakarta, pasti sudah ada saja tempat-tempat baru yang bisa dikunjungi. Kota pelajar ini berkembang pesat sekali, super pesat. Di tiap-tiap sudut kota bermunculan warung-warung kopi sedap. Banyak yang bertahan, namun tak sedikit juga yang “ngos-ngosan” dan akhirnya tutup.

Kami mengendarai sepeda motor kami masing-masing menuju Kedai Lur. Tak jauh dari Stasiun Tugu dan Jalan Malioboro. Selesai memarkirkan motor, kami masuk ke dalam dan saya langsung suka dan jatuh cinta dengan suasananya yang sejuk. Kursi-kursinya bukanlah bean-bags warna warni yang kekinian, melainkan kursi dan meja kayu tua yang semakin menambah daya tarik kedai ini buat saya. Katanya Kedai ini dinamakan “Lur” mengambil singkatan kata Bahasa Jawa “Sedulur” yang artinya saudara. 

Sejuk kan tempatnya?


Kami duduk di satu meja kecil untuk dua orang. Memesan kopi hitam dan teh JJS, Jeruk Nipis, Jahe, Sereh (yang kemudian jadi teh jahe favorit saya). Dengan penerangan lampu yang temaram, Kedai Lur jadi tempat yang nyaman sekali untuk bertukar cerita. Saya dan Rinda mengobrol tak henti soal hidup kami sejak terakhir perjumpaan kami di perjalanan Saumlaki.

Teman ngopiku yang cantik, Rinda @rheevarinda <3


Karena perut kami sudah sama-sama kenyang, kami tak memesan makanan padahal Rinda merekomendasikan makanan di Kedai Lur ini yang sedap. Menu-menu makanannya memang sederhana seperti Bakmi Godhog Jawa, Tempe Mendoan, Ayam Goreng Kampung, Nasi Brongkos Koyor, Urap, Telo Goreng tapi rasanya top (katanya karena saya belum coba langsung).

Bakmi Godhog-nya cuma Rp 18.000 lho~


Duh semua menu di atas itu favorit saya tapi tentu nggak bisa makan semuanya dalam sekali kunjungan kan?

Akhirnya keesokannya saya datang lagi namun sendirian saja dan karena masih bulan puasa, hanya saya tamu yang datang untuk makan siang hari itu. Mbak-nya menyapa ramah dan mempersilahkan saya untuk duduk di meja yang saya mau.

“Di depan sini saja Mbak, semilir sejuk, enak” ujarnya sambil menunjuk meja kayu besar dekat pintu masuk. Kami sempat mengobrol sebentar namun sayang saya lupa menanyakan namanya. 

Semakin sore, suasana Kedai Lur makin enak, ditemani angin semilir dan bunyi “klintingan” kecil di pintu, saya menikmati “me time” saya. Saya melahap Bakmi Godhog yang saya pesan dengan dua porsi tempe mendoan yang dicocol sambal kecap. Lezat sekali!

Jangan sampai nggak cobain tempe mendoan nya kalau ke Kedai Lur ya...


Tak terasa saya duduk hampir 6 jam di Kedai Lur. Begitu jam berbuka puasa, semakin banyak orang yang datang ke Kedai Lur dan saya tak enak mengambil satu meja besar untuk saya sendiri sedangkan banyak orang lain yang mengantri giliran.

Kedai Lur Jogja ini buka dari jam 12 siang hingga jam 11 malam setiap hari kecuali hari Minggu. Hari Minggu tutup yaaaa gaes.

Selain makanan dan minuman enak, Kedai Lur ini juga menyediakan layanan wi-fi yang kencang. Tetapi saya sendiri lebih senang membaca buku sambil menikmati mendoan dan the jahe saya sih kalau ke Kedai Lur lagi. 

Jadi, kalau ke Jogja kalian mau mampir ke Kedai Lur nggak?

Ya mau dong! Iya kan?

Ini dia alamatnya ya :

 Jl. Gowongan Kidul No.29 A, Sosromenduran, Gedong Tengen, Kota Yogyakarta, Daerah Istimewa Yogyakarta 55233


Cheers,



Mendaki Merbabu via Suwanting, Jalur dan Pemandangannya Sinting

$
0
0


“Kenapa milih jalur Suwanting, Sat?” tanya seorang teman yang saya beritahu ketika saya mau naik Gunung Merbabu.

"Hmmm karena menarik sepertinya jalur ini", jawab saya, meski dalam hati agak deg-degan karena jalur ini katanya sulit. 

Untuk mendaki gunung Merbabu sebenarnya ada beragam pilihan jalur ; Selo, Wekas, Gancik, Chuntel, Thekelan dan Suwanting.  Lalu kenapa memilih Suwanting?

Karena katanya meski pun sulit jalur ini menawarkan pemandangan yang we o we (WOW!). Ronny yang duluan melakukan riset lalu tertarik sama jalur ini dan akhirnya memutuskan kami akan mendaki via Suwanting. Saya mah ikut aja, easy anaknya.

Bagaimana cara ke Suwanting?


Saya menemukan kontak Mas Ambon, orang basecamp Suwanting, dari salah satu blog yang saya baca. Saya lupa alamat blog yang mana, tapi yang jelas terima kasih ya. 

Saya menyapa Mas Ambon via jejaring whatsapp dan Mas Ambon dengan baik menjabarkan jalur Suwanting itu seperti apa. Kalau dari peta yang ada, jalur ini konturnya tipis-tipis alias terjal. Bahkan saya sempat membaca satu artikel pendakian ke Gunung Merbabu via Suwanting yang bilang kalau jalur ini bisa bikin pengen gantung sepatu gunung atau cuti naik gunung. Hahahaha…

Kami berangkat dari Jakarta menuju Yogyakarta lalu Suwanting. Mas Ambon akan menjemput kami di Bandara, namun karena saya sudah tiba duluan di Jogja, Mas Ambon menjemput saya dulu di kota baru Ronny. Karena kami memilih mendaki di minggu terakhir bulan puasa, yang artinya arus mudik sudah dimulai, perjalanan kami dari Yogyakarta ke Suwanting terkena macet parah. Biasanya cuma dua setengah jam jadi hampir 5 jam (dua kali lipatnya). Kami tiba di basecamp Suwanting (rumah Mas Ambon) hampir pukul 12 malam. Untuk biaya transportasi PP dari Jogja kami membayar Rp 900.000,-. Sebenarnya bisa dibagi 8 orang tapi saat itu kami cuma berdua saja dan tak ada pendaki lain. Ya namanya juga resiko mendaki saat bulan puasa ya, nggak banyak teman untuk sharecost.

“Cuma segini saja Mbak Satya kamarnya, seadanya. Menjelang pagi biasanya dingin banget, kalau mau Mbak Satya sama Mas Ronny bisa tidur di tenda yang ditaruh di atas kasur biar hangat dan empuk”, ujar Mas Ambon.

Saya tertawa mendengarkan Mas Ambon dan mengucapkan banyak terima kasih sudah diberikan tumpangan satu malam sebelum kami mendaki keesokan harinya. Saya dan Ronny mengeluarkan sleeping bag masing-masing dan langsung tertidur pulas. Lumayan melelahkan juga perjalanan malam itu jadi mari isthirahat yang cukup.

Pagi harinya, meski masih puasa, istri Mas Ambon dengan baik hati menyiapkan Nasi Goreng dengan telor ceplok, kerupuk serta teh manis hangat untuk jadi santapan kami. Pukul setengah 9 kami registrasi dulu di pos. Saya membayar Rp 17.500 sebagai wisatawan domestik dan Rp 160.000 untuk Ronny sebagai wisatawan asing.

Sebelum berangkat, mari foto dulu di depan warung Mas Ambon...


Sebelum kami benar-benar memulai pendakian, Mas Ambon menjelaskan jalur pendakian Suwanting karena kami hanya akan mendaki berdua saja. Dia menjelaskan setiap kelokan tanjakan agar kami tidak tersesat, tiba di camp, puncak dan kembali ke rumah dengan selamat.

Kami memulai pendakian dari basecamp ke pintu hutan jam 9 pagi. Sebenarnya agak kesiangan dari jadwal yang kami rencanakan tapi yawis nggak apa-apa karena bisa dapat jadwal isthirahat yang cukup sebelum mendaki.

Dari basecamp ke pintu hutan memakan waktu kurang lebih 15 menit. Dari depan rumah Mas Ambon (basecamp) saja jalannya sudah mendaki terus. Ya anggap saja pemanasan ya (pemanasan yang sangat panas tentunya).

Dari pintu rimba tak terlalu jauh menuju Pos 1 (Lembah Lempong) sekitar 15 menit juga. Pemandangannya cantik, dikelilingi “Cemoro” atau pohon pinus. 

Pintu Rimba dilengkapi dengan papan informasi jalur. Biar ada bayangan pendakiannya seperti apa.


Pos 1 masih diominasi pohon pinus, ademmmm banget pas lewat jalur ini.


Dari pos 1 menuju pos 2, ada beberapa titik yang akan dilewati ; Lembah Gosong, Lembah Cemoro, Lembah Ngrijan dan Lembah Miloh. Di jalur Suwanting kita akan menemukan 3 pos air. Satu pos air yang ada di Lembah Cemoro. Bentuknya hanya gentong air yang dialiri pipa kecil. Kemudian di antara Pos 2 menuju pos 3 ada pos air namun saat kami di sana kemarin kosong. Yang terakhir ada di titik 15 menit sebelum mencapai pos 3. Saya dan Ronny masing-masing membawa satu botol air 1,5 L plus botol 1L saja karena bisa diisi ulang di jalur. Maka daripada itu, jalur Suwanting ini disukai karena ada air di sepanjang jalurnya. Ya, disukai yang senang tantangan tentunya karena mari kita membicarakan soal tanjakannya. 

Dari Pos 1 ke Pos 2, jalur tanjakannya memang sudah cukup terjal namun karena vegetasi masih lebat, semacam tidak terlalu terasa beratnya (padahal berat juga). Sepanjang mendaki dari Pos 1 ke Pos 2 itu kabut turun jadi terasa dingin jadi kami tak pernah berhenti lama. Hanya minum seteguk lalu berjalan lagi.

Kami tiba tepat pukul 12 siang di Pos 2 yang artinya makan waktu 1,5 jam dari Pos 1.Karena tepat jam makan siang, kami berhenti untuk makan dan yang terpenting, tidur. Hahaha. Kami berdua tipikal pendaki santai, jadi ya habis makan siang, tidur dulu sebentar dan tak terasa sudah 1,5 jam lebih kami beristhirahat di Pos 2. Kebablasan tidur.

Dari Pos 2 ke Pos 3 harus saya akui jadi salah satu jalur terberat yang saya pernah lewati selama karir (karir) mendaki gunung. Jalur ini benar-benar menguras mental siapa pun yang melewatinya. Saya sendiri harus berujar berkali-kali ke kaki saya sendiri “ayo berjalan, ayo jalan, hei kaki” saking beratnya jalur itu. Jalur di mana ketika kau bukan sekedar lagi mendaki tapi memanjat, di mana lutut ketemu jidat.

Jalur dari Pos 1 - Pos 2. Hampir sedikit lagi sampai Pos 2.

Maaf ya ini ngasal banget ambil fotonya udah capek haha. Di tempat Ronny duduk itu kita tidur siang pas berangkat dan pas perjalanan turun.


Tanjakan Pos 2 - Pos 3, begini saja terus nggak habis-habis. Hahaha..

Kebayang sih jalur ini pasti licin sekali sewaktu hujan. Syukurnya kami tidak diguyur hujan selama pendakian. Nah, itu kelihatan kan tali untuk membantu pendaki?



Di beberapa titik curam menuju Pos 3 ada jalur di sebelah kanan yang lebih empuk di kaki dibandingkan jalur tanah yang curam. Apalagi kemarin jalurnya sedang kering-keringnya, berdebu dan licin. Ada beberapa tali yang sudah disiapkan sebenarnya untuk membantu para pendaki. Nggak kebayang sih kalau mendaki via Suwanting saat hujan, pasti lebih licin lagi dan harus jauh lebih ekstra hati-hati mendakinya. 

15 menit sebelum mencapai Pos 3 ada Pos Air di sebelah kiri. Kami tiba sekitar jam 16.30 itu artinya butuh waktu 3 jam untuk sampai di Pos 3 dari Pos 2. Agak susah mencari lokasi camp karena angin bertiup kencang sekali dan camp 3 ini lokasinya terbuka. Tidak ada siapa-siapa ketika kami tiba di sana.  Akhirnya Ronny memutuskan untuk mendirikan tenda di titik di mana kami bisa melihat Gunung Merapi dengan jelas. And there it is…

Melihat Merapi menjulang gagah dari depan tenda itu bikin bahagia.

Dan semakin sore, langitnya berubah warna...

Makin cantik saat rona jingga, ungu dan merah muda mulai menghiasi atas langit dan Merapi.


Kebayang kan susahnya bangun tenda ketika angin bertiup sekencang-kencangnya. But hey it was fun. Seru juga! 

Bagian terbaik dari hari itu selain ngecamp tanpa ada orang lain di sekitaran adalah, kami mendapatkan senja terbaik di atas gunung yang pernah saya lihat. Mungkin melihat sunrise dari puncak gunung itu hal yang biasa. Tapi sunset? Itu adalah pemandangan yang belum tentu kita bisa nikmati setiap mendaki gunung kan. It was a very special moment especially when you can share it with your loved one. 

Sunset di atas awan.... Kalau lihat langsung pasti sampai tidak bisa berkata-kata...


Sehabis memasak dan menyantap makan malam, kami yang sudah sangat kelelahan langsung tertidur. Ronny sudah set-up tripodnya untuk memotret milky-way namun sayangnya malam itu langit berawan tebal jadi bintang-bintangnya tidak terlihat. Nggak apa-apa toh di luar anginnyaa dingin dan kencang sekali. Lebih enak bergelung di dalam sleeping bag kan.

Saya tertidur dari jam 6 sore hingga jam 6 pagi. Luar biasa “kebo”-nya. Sepanjang malam kami tidur dengan tenda ‘menampar’ muka kami. Benar-benar ditampar karena angin yang luar biasa kencangnya. Terbayang sih kalau tidak ada orang di dalam tenda sebagai pemberat pasti tenda kami sudah terbang. Saya juga heran kenapa saya bisa tidur pulas 12 jam dengan angin ribut besar di luar. Hahahaha...

Keesokan pagi sekitar jam 6, Ronny, si morning person itu tentu sudah bangun dan sambil ngulet-ngulet bertanya apakah kami mau melanjutkan ke puncak dengan angin masih bertiup gila. 

Ya iyalah. Sudah sampai di Camp 3 hanya butuh 2 jam lagi mendaki ke puncak. Apalagi cuaca cerah ya sebenarnya. Ya tentu harus  lanjut jalan meski anginnya kencang. Masih angin saja bukan hujan badai. Jadi kami putuskan untuk sarapan dan packing termasuk tenda agar tidak terbang dan hilang. 

Whuooooooo…. Ampun anginnya…

Bayangkan, badan sebesar saya bisa tergeser karena angin yang bertiup. Terbayang kan sekencang apa. Dan saat sudah berada di atas ketinggian 2600 mdpl, bernafas kan susah sekali ditambah angin kencang, makin-makin deh luar biasa perjalanan menuju ke puncaknya. 

Kami hanya membawa satu daypack kecil yang isinya air minum, beng-beng dan kamera. Nggak usah bawa carrier berat kecuali mau lintas jalur.

Pemandangan Sabana menuju puncak Merbabu.








Tapi ya pemandangannya Sabana 1, Sabana 2 dan Sabana 3 sebelum sampai di Puncak Suwanting memang amboi, aduhai cantiknya. Saya biarkan Ronny jalan duluan karena saya masih mau menikmati Sabana-nya, duduk berlama-lama. 



Dan akhirnya sampai ke puncak…


Total waktunya 1 jam 45 menit. Kalau tidak pakai duduk bengong mungkin akan lebih cepat ya. Tapi esensi naik gunung itu kan menikmati viewnya. Begitu di puncak ada dua titik, Puncak Triangulasi dan Puncak Kenteng Songo. Buat yang sudah pernah ke Merbabu, menurut kalian puncak mana yang lebih tinggi. Kalau saya sih Puncak Triangulasi ya, tapi banyak yang bilang yang tertinggi itu Kenteng Songo. Tapi tetap buat saya Triangulasi yang tertinggi.

Nggak ada siapa-siapa waktu kami tiba pertama kali, namun tak berapa lama banyak pendaki yang menyusul ke puncak.

Terima kasihhhhh Ronny sudah menemani naik Merbabu! Kamu batu!


Di puncak kami bertemu dengan beberapa pendaki yang mendaki via Selo dan Wekas. Senang juga akhirnya bertemu manusia lain di gunung hahahaha…

Kami berjalan turun dari puncak dan tiba jam 9.45 di camp 3, repacking dan jalan turun sekitar pukul 10.11. Perjalanan turun jauh lebih menantang dibandingkan saat naik. Ketika turun, kemungkinan tergelincir di jalur sangatlah besar jadi tiap langkah benar-benar harus mantap, tidak boleh ragu-ragu karena pasti jatuh. Peluh sebesar bulir jagung terus membasahi dahi saya karena capek dan juga gugup. Saya tidak pernah segugup itu saat turun gunung. Dan ketika sudah sampai di Pos 2 baru saya merasa lega karena jalur terberat sudah lewat. 





Kami kembali beristhirahat di Pos 2 dan tidur lagi. Hahahahaha… Memang enak ya tidur di jalur itu kadang-kadang. Asal ingat untuk pakai jaket agar suhu badan tidak drop.

Total waktu yang kami butuhkan untuk turun sekitar 4 jam, sebenarnya 3 jam kalau tidak termasuk tidur 1 jam di Pos 2. Mas Ambon kaget karena jam setengah 3 sore kami sudah tiba di basecamp. Ya karena kami harus mengejar penerbangan ke Jakarta jam 8 malam, kami harus berangkat dari basecamp Suwanting sebelum jam 5 sore agar tidak terlambat. 

Karena tiba lebih cepat dari yang kami perkirakan, kami masih punya waktu untuk mandi dan makan mie goreng pakai telor. Kalau bukan karena bakal terbang naik pesawat, saya pasti memilih nggak mandi. Airnya sedingin es di Desa Suwanting. Ampun dinginnya. Tapi dari pada orang mengernyit padamu sepanjang perjalanan, ya harus mandi kan ya. Tahan deh sakitnya itu air dingin. 

Ah, terima kasih banyak Merbabu untuk jalur pendakian dan juga view-mu yang sinting bagusnya. Saya pasti akan kembali lagi, tapi tidak dalam waktu dekat ya. *elus-elus dengkul*

Mas Ambon, istrinya yang baik hati dan anak lanangnya yang cakep!


Little Notes :


1.Untuk para pendaki weekend-ers dari Jakarta bisa lho terbang dari Jakarta ke Jogja jumat malam, lalu menginap di Basecamp Suwanting, mendaki Merbabu dan pulang terbang ke Jakarta hari Minggu malam.

2.Jalur Suwanting ini plusnya memang banyak air hampir di tiap pos. Tapi harus dipertimbangkan bahwa pendaki pemula untuk tidak memilih jalur ini. Bagus sih buat latihan mental tapi ya siap-siap saja ya.

3.Ini kontak Mas Ambon Suwanting jika kalian butuh ya. Baik banget Mas Ambon ini jadi kalau kalian ke tempatnya, sampaikan salam dariku ya. 0878-3430-6869 atau 0858-6543-5969

4. Untuk mendaki via Suwanting ini, usahakan bawa beban yang tidak terlalu berat ya. Bawa makanan yang praktis saja dan peralatan yang ringan. Cukup membantu biar tidak terlalu kelelahan di jalur. 

5. Pakai sepatu sangat dianjurkan untuk mendaki via Suwanting (sebenarnya di semua gunung juga disarankannya pakai sepatu ya) karena jalurnya menanjak dan cukup terjal. 

6. Kalau mau naik transportasi umum, saya dapat info dari blog Hilmi soal perjalanannya ke Merbabu via Suwanting juga. Dari Terminal Giwangan bisa naik bus kecil jurusan Magelang / Semarang dan turun di perempatan Blabak. Dari perempatan Blabak itu minta dijemput orang basecamp Suwanting. (Kurang lebih sama seperti saya tapi jadinya lebih murah ya ongkosnya).



Sehari di Bandung, Menikmati Festival Pesona Lokal Bumi Pasundan

$
0
0


Belum jam 6 pagi namun orang-orang sudah memadati area Gedung Sate Bandung. Berpakaian semarak lengkap dengan dandanan berwarna cerah memikat. Mulai dari anak TK yang masih terkantuk-kantuk memakai kostum sambil memegang tangan orang tuanya, hingga kakek-kakek veteran yang sedang bercanda dengan teman sejawatnya meski gigi tak lengkap lagi.



Saya edarkan pandangan ke sekitaran. Mojang-mojang (gadis) elok rupa sibuk memegang ponselnya dan tak henti-hentinya berswafoto ria, kadang sendiri, kadang dengan teman-temannya. Dandanan meriah mereka tentu patut dapat ribuan likes di social media. Meski sudah cantik tanpa dandan, mereka berdandan lebih cantik lagi untuk mewarnai pawai karnaval pagi itu.



Yap, mereka semua sedang bersiap-siap untuk  mengikuti karnaval pawai budaya Festival Pesona Lokal yang merupakan kerja sama Adira Finance dan Kementerian Pariwisata Indonesia. Areal Gedung Sate memang pilihan pas untuk dijadikan lokasi pawai karena biasanya setiap hari Minggu, urang Bandung berjalan kaki di lapangan Sabuga bersama keluarga. Nah, kalau olahraga di pagi hari sambil disuguhkan tontonan karnaval pawai cantik pasti lebih menarik kan?

Setidaknya ada 5000 orang yang hadir dari 27 kota / kabupaten di Jawa Barat hari Minggu itu untuk menikmati festival. Masing-masing mengenakan kostum yang menunjukkan ciri khas daerahnya, misalkan tim Garut yang membuat kostum bertemakan domba (ingat domba Garut yang tersohor itu kan?), tim Sumedang dengan kostum kuda ronggeng-nya (kuda yang bisa joget itu lho). Tak ketinggalan pula penampilan arak-arakan Sisingaan dan Reak Bangbarongan. 




Pernah nonton nggak semua pertunjukan kesenian yang saya sebutkan di atas? Kalau belum sayang sekali. Hahaha. Makanya saya senang betul kalau ada karnaval pawai budaya karena bisa lihat beragam kekayaan budaya daerah kita. Bisa terbengong-bengong kita dibuatnya dan tak berhenti berdecak kagum. 

Saya sendiri tak henti-hentinya menekan tombol shutter kamera, mengabadikan semua pemandangan di sekitar. Kapan lagi coba saya bisa memotret seluruh pesona budaya Jawa Barat dalam satu hari? Ya kemarin itulah. Makanya tak mau sedikit pun lengah, jepret sana jepret sini. Agak sedikit kewalahan saat pawai karnaval sudah berjalan karena harus sedikit berdesak-desakan. Memotret dengan lensa fix manual dengan objek yang bergerak pun tidaklah mudah tapi jadi tantangan menarik buat saya. Pas dapat potret yang tajam, senang kali! Wuwuwuwuwuwu~




Karnaval dimulai sekitar pukul setengah delapan. Total jarak rute pawainya hanya 2,8 kilometer saja saya ikut keliling satu putaran penuh. Hitung-hitung jalan sehat euy. Jalanan dipadati yang ikutan pawai-nya baik peserta ataupun penonton. Peserta pawai-nya semangat sekali joget 45, unjuk kehebatan daerahnya karena katanya yang performance-nya paling kece bakal dapat hadiah. Mantul! Mantap betul!




Semarak tabuhan gendang dan denting angklung sepanjang pawai pun membikin saya  memotret sambil ikut joget. Begitu pawai selesai kok saya rasanya sedih. Yaaah masih pengen joget soalnya. Hahaha. Andai saja jarak jalur pawainya lebih jauh. Eh tapi kasihan juga buat peserta yang pakai kostum berat-berat ya kalau jaraknya kejauhan. 



Begitu pawai selesai, saya langsung ngacir ke area pameran UMKM. Ada 16 booth UMKM yang juga saling unjuk kualitas produknya. Ada jaket, sepatu, kerajinan tas. Termasuk sepatu dari kulit ceker ayam. Wow! Pernah dengar ada sepatu dari kulit ceker ayam? Hahahaha. Saya juga baru pertama kali dengar dan terbengong-bengong saat lihat hasil sepatunya sebagus itu. Nanti ada cerita khusus soal proses pembuatan sepatu kulit ceker ayam deh ya. 


Saat lagi lihat-lihat hasil kerajinan, hidung saya membaui makanan lezat dengan bau beras kencur. Ternyata itu SEBLAK! Wowowowowowo. Di Festival Pesona Lokal ini juga ada lomba kreasi makanan tradisional dan seblak dipilih menjadi makanan yang harus dikreasikan.



Macam-macam kreasi seblak seperti seblak mozzarella, seblak asin manis pedas, seblak daging kepiting, seblak abcdefg banyak variasinya akan di. Pas diicip-icip kok enak semua. Itu yang jadi jurinya pasti pusing lidahnya ya. Selain rasa, dinilai juga penampilan dari hidangannya dan semua juga jago menghias kreasi seblaknya jadi seperti makanan kelas bintang lima. Makin-makinlah pusing jurinya.

Selain pawai karnaval, pameran UMKM, lomba kreasi masakan tradisional, ada pula lomba mural. Nah ini juga pasti yang susah penjuriannya. Habisnya kan orang Bandung memang terkenal ‘nyeni’ dan kreatif banget. Para peserta lomba mural berjejer di tepi jalan, tepat di depan gedung sate, bekerja dalam tim untuk membuat mural terbaik yang bisa merepresantasikan Bandung seutuhnya. Meski sempat diguyur hujan siangnya, mural-muralnya tetap aman karena diberikan pelindung. Hujan reda, pengerjaan muralnya dilanjutkan lagi.




Saya orang awam, jadi buat saya semua muralnya bagus, unik dan menarik. Setiap mural punya daya pikat masing-masing. Banyak yang menggambarkan Bandung dengan hal-hal ikonik seperti angklung, gedung sate, si cepot sampai Persib, semua yang dibanggakan Jawa Barat. Jawa Barat Kahiji!



Hingga menjelang sore, lokasi festival juga masih ramai karena ada penampilan Zaskia Gotik yang ditunggu-tunggu peserta yang hadir. Para peserta ikut berdendang dan bergoyang bersama Zaskia yang terlihat sumringah di atas panggung. 

Photo Source : iNews.id


Saya membayangkan pastinya akan seru kalau pesta rakyat macam ini bisa diadakan di lebih banyak kota di Indonesia. Sejauh ini sih Festival Pesona Lokal di tahun 2018 akan diadakan di Bandung, Solo, Malang, Bali, Makassar, Pontianak, Medan, Palembang, Jakarta. Bandung menjadi pembuka rangkaian festival panjang ini. 



Diharapkan dengan adanya Festival Pesona Lokal (FPL), kita makin mengenal ragam budaya daerah kita dan mempromosikan daerah kita sendiri. FPL ini sendiri adalah salah satu program Corporate Social Responsibilty atau CSR dari Adira Finance. Para BOC (Board Of Commisaries) Adira hadir meramaikan Festival Pesona Lokal Bandung. Mereka turut serta bergembira dalam festival pesona lokal yang pertama dan berharap 8 lokasi berikutnya tidak kalah serunya.

Oke, berikutnya kita ke mana? 

Festival Pesona Lokal di Solo tanggal 9 September besok. Datang yuk di De Tjolomadoe ya! Sampai jumpaaaa di sana...



Cheers,







Meriahnya Festival Pesona Lokal Solo di De Tjolomadoe

$
0
0


Sejak dulu, Jawa memang terkenal sebagai ‘performer’, apalagi kalau kita berbicara soal tarian. Ada banyak sekali jenis tarian yang tentunya tidak mudah dipelajari. Butuh disiplin dan konsistensi sampai bisa benar-benar menguasai satu tari tradisional Jawa.

Kalau saya sih kepingin juga, kepingin menonton semua tarian maksudnya. Hahaha. Rasa-rasanya tak cocok saya jadi penari lemah gemulai seperti perempuan Jawa. Cocoknya menari penuh semangat dan enerjik seperti tari tor-tor dari kampung halaman saya di Sumatera Utara.

Makanya pas hadir di acara Festival Pesona Solo Adira Finance di De Tjolomadoe (Colomadu) kemarin, saya rasa-rasanya tak ingin pulang. Pengennya memandangi dan menikmati semua tari-tarian yang ditampilkan oleh seluruh daerah di Jawa Tengah. De Tjolomadoe dipilih jadi lokasi festival karena dianggap sebagai salah satu ikon dari Jawa Tengah, sebagai pabrik gula tertua yang kini sudah dipugar menjadi museum yang apik (nanti ada cerita sendiri soal ini ya).






Sedari pagi, semua peserta karnival sudah bersiap di sekitaran Tjolomadoe. Ada yang asyik berias, ada yang berlatih musik, ada yang berdiskusi dan berlatih gerakan bersama teman-teman tim-nya. Mereka pasti ingin memberikan pertunjukan yang terbaik. Ya tentu ya apalagi ini perlombaan dengan hadiah belasan juta untuk performer terbaik.



Ada Tari Topeng Ireng di mana semua penarinya mengenakan pakaian yang dilengkapi dengan banyak lonceng dan giring-giring. Kostumnya lumayan berat berdasarkan penuturan dari salah satu penari. Nggak kebayang sih gerahnya kayak gimana menari dengan kostum seberat itu dengan matahari terik Solo yang wuaw lumayan bikin berkeringat sebesar bulir-bulir jagung. 




Tapi tarian itu saya akui sebagai tarian yang paling menarik perhatian saya karena jumlah penarinya ada lebih dari dua puluh orang, dengan kostum warna-warni yang super eyecatching dan tak perlu menari, dengan mereka berjalan saja sudah membuat bising karena banyaknya lonceng yang ditaruh di kaki. Asal tarian-nya dari Magelang dan biasanya dibawakan oleh campuran penari perempuan dan laki-laki. Dandanannya mirip-mirip seperti orang Apache Indian saat pertama kali saya melihat mereka, hiasan kepala besar penuh dengan bulu-bulu. 

Nah, selain tari topeng ireng, ada juga tari kretek dari Kudus, tari kebo-keboan, tari Hanoman, tari Barongan dari Semarang, tari kuda lumping dan masih banyak lagi. Di Festival Pesona Lokal Solo ini tak lupa juga berlenggak-lenggok peserta karnival dengan kostum berwarna-warni yang ukurannya “wuaw” besar sekali.







“Ini berat nggak bawa kostumnya?” tanya saya pada salah satu peserta. 

“Iya Mbak, apalagi kalau angina lagi kencang, harus ada yang megangin”, jawabnya.

Pantaslah saat mereka berjalan, pasti ada dua orang yang mendampingi di kanan dan kiri, berjaga-jaga jika yang berjalan sudah mulai oleng. 






Lebih dari 1.700 peserta yang memamerkan busana adat dan musik tradisional, serta seni pertunjukan khas budaya Jawa Tengah berkeliling di sekitar De Tjolomadoe. Masyarakat tumpah ruah hingga ke tepian jalan. Saya sedikit kesulitan untuk mengambil potret para peserta karnaval karena padatnya penonton yang mengerubungi para peserta karnaval. Meski hanya menggunakan ponsel, mereka bersemangat sekali mendokumentasikan festival pesona lokal. 


Acara Festival Pesona Lokal Solo dibuka dengan menyanyikan Indonesia Raya bersama jajaran BDO dan peserta festival. Head of Region SSD (Central Java Region) Adira Finance Irfan Budianto,  Deputy Director-Head Motorcyle Financing Adira Finance Andy Sutanto, Chef Executive Officer PT Dinamika Adira  Dinamika Julian Noor, Direktur SDM dan Marketing Adira Swandajani Gunadi, CFO iNews Rafael Utomo, Wakil Pemimpin Redaksi iNews Ariyo Ardi, hadir untuk melepas para peserta karnival di garis start. 

Gubernur Jawa Tengah, Bapak Ganjar Pranowo juga hadir untuk memeriahkan Festival Pesona Lokal Solo. Masih dengan mengenakan pakaian bersepeda, beliau hadir bersama istri tercinta yang juga mengenakan pakaian yang sama. Ternyata sebelum hadir di FPL Solo, mereka menghadiri acara sepeda santai dulu. 


Bapak Gubernur yang terkenal humoris dan berjiwa muda ini bahkan membuat vlog di atas panggung yang diikuti dengan riuh tawa para penonton FPL. Senang betul saya ketika mendapat kesempatan untuk ‘selfie’ bersama dengan  Pak Ganjar, bareng dengan Hannief dan Halim juga setelah berdesak-desakan dan meringis karena kaki diinjak orang. Hahaha.

Selain menikmati keseruan karnival budaya, pengunjung yang datang ke Tjolomadoe juga berkeliling di booth UMKM, menikmati jajanan-jajanan unik dan berbelanja barang kerajinan. Oh iya, UMKM booth ini juga diperlombakan. Lumayan hadiahnya bisa dipakai untuk mengembangkan UMKM-nya.



Selagi panggung utama diisi hiburan oleh para penari dan MC, di Tjolomadoe, para peserta lomba kreasi masakan dan mural berkonsentrasi penuh untuk menyelesaikan karya mereka. Tentu tidak mudah, terutama bagi peserta lomba mural karena siang itu cuaca super terik dan mereka mengerjakan muralnya di ruang terbuka, di bawah matahari. Salut sekali melihat semangat mereka yang tak surut. Saking bagus-bagusnya semua mural yang ditampilkan, saya jamin jurinya pasti pusing untuk memilih pemenangnya.




Setelah seluruh pemenang diumumkan, panggung langsung dikerumuni penonton untuk berjoget dangdut bersama Zaskia Gotik dan Resa Lawangsewu. Sudah hampir pukul 3 sore jadi matahari tidak terlalu menyengat lagi di kulit dan para penonton dengan asyik berjoget dan satu-satunya komentar saya saat itu adalah Zaskia Gotik memang aslinya cantik ya dan senang bercanda dengan penontonnya. 

Yaaaa Bandung dan Solo sudah selesai, masih ada rangkaian Festival Pesona Lokal di Bali, Makassar, Malang, Pontianak, Medan, Palembang dan Jakarta. Datang yuk dan seru-seruan bareng.



Cheers,


3 Hari Bergembira di Tanjung Bira

$
0
0


“Ada libur 3 hari nih sebelum event kerjaanku hari sabtu & minggu di Makassar. Bira dulu yuk?” ajak saya pada Yusni lewat whatsapp.

“Yoklah, butuh libur syuting dulu torang ini”, jawabnya langsung.

Hanya segampang itu memang mengajak anak yang satu itu untuk pergi eksplorasi ke mana saja. Tentu dengan catatan asal tidak ada jadwal kerjaan atau kerjaan bisa dipercayakan ke teman yang lain dulu ya. Hahaha.


Sudah lama memang kami berdua ingin mengunjungi Tanjung Bira namun belum kunjung terealisasi. Jadilah ketika waktu-nya pas, tanpa babibu, langsung meluncur ke Tanjung Bira dari Makassar.

Butuh waktu kurang lebih 5-6 jam berkendara dari kota Makassar untuk tiba di Tanjung Bira. Awalnya, kami berpikir menyewa mobil dari Makassar menjadi ide yang bagus karena kami bisa bergantian menyetir mobil. Keuntungan yang lain, kami bisa berhenti di mana saja, kapan saja sesuka hati kalau ada objek di pinggir jalan yang menarik perhatian.

Pada akhirnya niat itu diurungkan karena Yusni sedang malas menyetir mobil. Capek menyetir tiap hari, maunya disetirin saja. Saat itu saya juga sedang lelah kalau harus menyetir 12 jam pergi-pulang dan juga ada kerjaan setelahnya. Harus jaga kesehatan agar tidak terlalu lelah dan bisa bekerja maksimal di hari H.

Akhirnya win-win solution-nya adalah naik travel saja. Tentu lebih murah dari menyewa mobil dan kami tinggal duduk manis atau tidur sepanjang jalan lalu bergembira mengeksplorasi Tanjung Bira.

Dari Ceya, sahabat saya di Makassar, kami diberitahu untuk naik BMA Travel dari Makassar ke Bulukumba, ongkosnya Rp 110.000 saja per orang sudah termasuk satu botol kecil air mineral. Setiap hari BMA berangkat jam 7 dan 9 pagi. Kami memilih berangkat jam 9 dan tiba di Bulukumba sekitar pukul setengah tiga sore. Tak seperti biasanya saya tertidur mulai dari berangkat hingga tiba di Bulukumba padahal saya ingin menikmati panorama kiri dan kanan.

“Ngana tidur kayak orang mati. Dipegang-pegang juga nggak bangun. Syukur nggak jadi nyewa mobil kita, yang ada ngana nyetir sambil tidur”, kata Yusni yang ketika saya bangun melihat saya sambil tertawa-tawa. 

Iya juga ya, memang naik BMA Travel adalah pilihan yang baik. Meski jadinya tidak lihat apa-apa di jalan tak apa. Bisa balik kapan-kapan toh, road trip naik mobil atau motor yaw!

Oh iya, dari Bulukumba ke Tanjung Bira masih sekitar 45 menit perjalanan. Bisa naik angkutan kota atau “pete-pete” disebutnya, cukup dengan membayar Rp 25.000 per orang. Beruntungnya, kami dipertemukan dengan teman yang baik dari Bulukumba yang bersedia mengantar kami ke Bira, Ari namanya. Terima kasih Ceya yang sudah mengenalkan kami dengan Ari yaaa.

Ari, anak asli Bulukumba yang tampak malu-malu di awal kami bertemu, namun ternyata super seru. Sepanjang jalan Bulukumba – Bira kami berbincang banyak sekali dan tertawa-tawa. Sayang karena kesibukan pekerjaan, Ari tak bisa bergabung dengan kami untuk eksplor Bira. Padahal kalau bertiga seru juga. 

Sempat mampir di tepi jalan Tanah Beru untuk melihat kapal phinisi yang hampir jadi, tibalah kami di Tanjung Bira. Sudah hampir pukul setengah lima sore karena kami sempat berhenti untuk makan ayam goreng enak di Bulukumba.

Saya dan Yusni sudah memesan penginapan selama dua hari di “Woywoy Sunrise Bira”. Bentuk penginapannya lucu seperti Bathbox / Bathhouse yang ada di Brighton Beach, Melbourne, kecil dan berwarna-warni. Meski kecil, kamarnya bersih dan wangi, itu yang terpenting. Tak harus besar kamarnya karena cuma dipakai buat tidur. Seharian kita ada di luar eksplorasi. Yang penting bisa isthirahat, cukup.



Mengapa saya memilih untuk menginap di Woywoy Sunrise Bira? 

Alasannya adalah saya ingin ketika bangun pagi  saya tidak harus berkendara lagi untuk menikmati matahari terbit. Oleh karena itu saya memilih penginapan yang menghadap ke timur. 




Ini pemandangan sunrise dari depan kamar, Pagi-pagi pindah ke kasur balkon ini, tiduran sambil lihat matahari terbit.


Ada dua opsi untuk menginap di Tanjung Bira dan menikmati matahari pagi, yaitu Woywoy Sunrise Bira dan Woywoy Paradise. Karena saya menyukai bangunan yang lucu-lucu, saya memilih untuk tinggal di Woywoy Sunrise. Saya memesan penginapannya via traveloka, jadi untuk harganya, silakan cek sendiri ya. Hahaha. 

Bercanda! 

Untuk menginap di Woywoy Sunrise harganya Rp 300.000 per malam ya. Cuma ada lima kamar jadi dipastikan setiap weekend selalu penuh. Tips dari saya, datanglah di hari biasa.

Ini Woywoy Paradise yang tampilannya mirip Santorini mini katanya. Lucu ya...


Untuk berkeliling di Tanjung Bira, saya menyewa motor di Warung Bambu Tanjung Bira dengan harga Rp 80.000 per hari. Dengan catatan tanpa helm ya. Waktu saya tanya helm, katanya nggak ada. Jadi ya gimana dong. Ya terima saja begitu adanya. Kalau mau menyewa datang saja dan bilang kalau kalian berniat menyewa sepeda motor.

Jalan sendiri tanpa local guide memungkinkan kok di Tanjung Bira. Petunjuk ke objek-objek wisatanya jelas dan bisa juga bertanya dengan penduduk lokal yang dengan senang hati menunjukkan arah jalan. Bisa juga pakai google maps. 

Untuk masuk ke Tanjung Bira, setiap pengunjung dikenakan biaya masuk Rp 10.000 dan untuk sepeda motor bayar Rp 5.000. Kalau kalian menginap di Tanjung Bira, bayarnya hanya sekali saja dan beritahu petugas pintu masuk-nya kalian menginap di mana pasti dikasih lewat.

Cukup nggak ya 3 hari 2 malam berkeliling Tanjung Bira?


Jawabannya sih bisa cukup, bisa nggak hahaha. Tergantung masing-masing pribadi. Andai punya waktu lebih lama pasti saya memilih menetap lebih lama, minimal seminggu lah. Jadi satu hari cuma satu destinasi saja terus leyeh-leyeh sepanjang hari boleeeeehhhh. Lalu bisa lanjut ke Selayar dan Takabonerate. Sayangnya kemarin mepet waktunya. 

Jadi ke mana saja kami kemarin?

  • Pantai Tanjung Bira


Ya kalau ke Tanjung Bira pasti mampir ke pantainya ya. Pasirnya halusss sekali seperti bedak dan saya senang ketika menemukan papan bertuliskan “dilarang membawa pulang pasir”. Ya iyalah ya, kalau pasirnya secantik dan selembut itu pasti banyak yang mau bawa pulang. Meski sudah banyak warung-warung dan puluhan boat terparkir di pantai ini, tetap menyenangkan untuk duduk di tepi pantai menikmati senja. Semesta mendukung sekali waktu kami ada di sana. Senjanya selalu memukau dengan matahari bulat, bulat bola pingpong. 

Matahari senja dan air kelapa, tiada dua nikmatnya!




  • Tebing Apparalang 



Jika pergi ke Apparalang, pastikan kamu sedang tidak patah hati dan berniat untuk loncat dari tebing ya. Hahaha. Soalnya menggoda memang warna birunya untuk menceburkan diri dan memang sebenarnya bisa ‘cliff jumping’ tapi ada tempat khususnya dan harus ketika air sedang pasang. Jangan sembarangan asal loncat dari tebing ya.

Enaknya ke Apparalang di hari biasa adalah tidak banyak pengunjung. Saat kami tiba, hanya ada 3 anak gadis yang sedang asyik bersantai di hammock dan pergi tak berapa lama sejak kami tiba. Jadilah saya dan Yusni berdua-dua saja di Apparalang tanpa ada orang. Awalnya ingin cliff jump juga tetapi mengingat kondisi tangan saya yang baru saja dioperasi dua bulan lalu, niat itu saya urungkan. Nanti saja balik lagi dan loncat dari tebing ketika kondisi tangannya sudah lebih kuat ya Sat, ya.





  • Tanjung Bara




Ada Bira ada Bara, ada Bara ada Bira. Semacam nama kakak beradik ya meski sebenarnya itu adalah nama pantai yang bersebelahan dengan Tanjung Bira. Banyak wisatawan yang memilih menginap di Tanjung Bara karena lebih sepi dari warung-warung dan pantainya serasa milik pribadi katanya. Saya bersyukur karena kemarin tidak jadi menginap di Tanjung Bara karena posisi matahari sedang tidak menguntungkan, dalam artian posisinya sedang tidak pas untuk menikmati matahari terbit maupun matahari terbenam. Kalau di pertengahan tahun lebih enak katanya di Bara, bisa nikmatin sunrise dan sunset sekaligus di pantainya.

Kalau disuruh memilih Tanjung Bara atau Tanjung Bira, saya lebih suka Tanjung Bara karena lebih panjang dan luas pantainya, lebih sepi dan banyak pohon kelapanya (alasan apa itu pohon kelapa?).

Di sekitaran Tanjung Bara juga jadi spot snorkeling yang asyik. Tak terlalu jauh dari bibir pantai kok spotnya tapi naik kapal juga boleh. Sekalian ke spot-spot lainnya mungkin?

  • Pantai Kaluku


Pantai Kaluku ini juga salah satu favorit saya karena selain main di pantai, kita bisa lihat proses pembuatan kapal phinisi yang harganya bisa milyaran itu! Saya ingin sekali punya satu kapal phinisi suatu hari nanti (mari kita bekerja keras bagai kuda ya!). 


  • Pulau Liukang Loe


Selain bagian daratan Tanjung Bira, kita bisa eksplorasi dua pulau di seberangnya, Pulau Liukang Loe dan Pulau Kambing. Tentu kita harus menyewa kapal untuk menyambangi dua pulau itu. One Day Trip ke Liukang Loe & Pulau Kambing harganya Rp 650.000 – 800.000 dan bisa dibagi hingga delapan orang. Masalahnya saya dan Yusni hanya berdua saja dan tidak ada tamu lain yang kami bisa ajak share cost. Akhirnya kami memutuskan untuk main-main ke Pulau Liukang Loe saja dengan harga sewa kapal Rp 300.000 seharian. Bang Iskandar yang jadi boat driver kami super asyik sekali orangnya. Ini kontaknya kalau kalian butuh kapal ya 0856-5617-2855 ya…

Bang Iskandar, our fun boatman!


Tak mau menggerutu, namun saat kami di Liukang Loe, ombak sedang tidak bersahabat untuk snorkeling. Ombak dan arus membuat snorkeling jadi tidak terlalu nyaman. Tak berapa lama setelah nyebur, Yusni naik ke atas kapal lagi dan saya hanya snorkeling di sekitaran kapal, tak boleh jauh-jauh karena tak ada temannya. Hiks. 

Cuma ini foto underwaternya yang saya punya karena nggak ada lagi yang motoin. Yusni nya sudah naik ke kapal. Hahahaha...


Akhirnya kami lebih banyak menghabiskan waktu di darat, makan mie goreng dan berenang di tepi pantai. Asyik juga berjalan hingga ke ujung pulau Liukang Loe yang sepi dan didominasi batu karang yang besar-besar. Andai tak harus pulang ke Makassar hari itu, saya pasti mau bersantai di situ seharian.

Oh iya, jika ingin snorkeling dan tidak bawa alat sendiri, bisa menyewa di Tanjung Bira dengan harga Rp 25.000 per alat-nya. Jadi kalau menyewa google, snorkel + fin, harganya jadi Rp 75.000. Ya, not bad lah.


  • Tebing Marumasa



Berbeda dengan tebing Apparalang, tebing ini didominasi oleh spot-spot selfie kekinian yang tentunya buat saya…. ya sudahlah. Nggak bisa berkomentar apa-apa. Mungkin memang targetnya adalah wisatawan yang senang ber-selfie ria di tempat-tempat seperti itu. Lucu kok tempatnya. Saya tidak bilang itu tidak asyik atau alay, hanya saya tidak tertarik jika diajak berfoto di situ. Itu saja.



Rekomendasi tempat makan di Tanjung Bira dong!


Kemarin di Tanjung Bira cuma sempat mencoba dua rumah makan yaitu Warung Bamboo di dekat Pantai Bira dan Rumah Makan Yasmin yang ada di dekat pelabuhan. Dari dua tempat itu, favorit saya RM Yasmin karena menu Ikan Palumara-nya enak sekali. Mirip seperti ikan kuah kuning di Papua namun lebih pedas. Yummmm! Ya kalau ke daerah pantai tentu saja menu seafood nggak boleh dilewatkan.  Harga makanan di Tanjung Bira sekitar Rp 30.000-50.000 ya per porsinya. 



3 hari berlalu. Di hari kami pulang, senja sedang cantik-cantiknya, membuat saya meringis dalam hati, ingin tinggal lebih lama lagi.

Ah, tenang saja, Tanjung Bira takkan kemana mana. Kami akan kembali! Janji!

Terima kasih sudah membaca perjalanan kami berdua! Tertanda, Satya & Yusni!



Cheers,






Viewing all 119 articles
Browse latest View live