Quantcast
Channel: Travel Journal of Satya
Viewing all 119 articles
Browse latest View live

Resolusi 2017, Mencari Travelmate Baru!

$
0
0
Terhitung dari Mei 2016 lalu, saya melepaskan pekerjaan kantoran di salah satu digital agency asyik di bilangan Jakarta Selatan. Saya memutukan resign untuk mempersiapkan perjalanan panjang yang merupakan resolusi tahun 2017 saya ; ingin jalan-jalan penuh satu tahun dan ambil pekerjaan freelance yang bisa dikerjakan dari mana saja alias mobile working.

Sebuah keputusan besar dan gila karena di Jakarta hidup saya aman, nyaman, gaji oke, teman-teman kantor yang super asyik. Kurang enak apa coba? Tapi entah kenapa, saya ingin sekali melakukan perjalanan panjang selama tahun 2017. Meski pun sedari awal saya sudah menabung, saya yakin tabungan itu pasti tidak akan cukup untuk setahun.

One of the best travel moment in 2016! Pink Beach Komodo. Taken by Matt.
Jadilah saya traveling kemana-mana selalu membawa laptop agar tetap bisa bekerja, menghasilkan uang agar terus berjalan dan juga tetap bisa update cerita perjalanan panjang saya di blog ini. Laptop saya sudah semacam travelmate yang paling setia. Ke mana saya pergi, di situ juga dia berada.

Keliling penjuru Nusantara untuuk menikmati senja. 

"Sat, kamu kalau lagi jalan-jalan gitu bawa laptop nggak sih? Biasanya ditaruh di mana?" tanya seorang teman suatu waktu.

"Ya pasti bawa laptop biar bisa kerja. Biasanya aku bawa di ransel sih. Lumayan berat karena laptopnya 14 inch dan tebal pula" jawab saya.

"Kenapa nggak pakai tablet aja biar ringkas dan praktis dibawa kemana-mana?" tanya teman saya lagi.

"Hmmm, agak susah sih kalau tablet. Karena selain kebutuhan kerja, aku butuh laptop untuk transfer foto dan video pas traveling juga kan" lanjut saya.

Pertanyaan teman saya itu akhirnya membuat saya berpikir bahwa sebenarnya saya butuh laptop baru, travelmate baru. Laptop yang saya gunakan sekarang sudah berusia hampir 6 tahun. Bahkan sekarang Deelee (nama laptop saya) sudah tidak bisa menyala kalau tidak ada listrik. Terasa sekali repotnya.

Traveling ke spot-spot underwater yang cakep! Salah satu foto favorit saya di Raja Ampat!

Contoh nyatanya, saya sekarang berada di Arborek, pulau kecil di gugusan Raja Ampat, di mana listrik hanya menyala dari jam 6 sore sampai 12 malam. Memang sih sehariannya bisa dipakai buat main ke laut atau berkeliling kampung, tapi pas lagi butuh mau mengerjakan sesuatu, mindahin foto dan video karena memory card-nya full, tidak bisa langsung dikerjakan. Saya harus menunggu jam 6 sore dulu sampai listrik nyala. Hadeuh mesake...

Oke, bertambahlah satu wishlist saya, resolusi saya di 2017. Saya mau punya laptop baru, biar bisa dibawa jalan-jalan,spesifikasinya bagus untuk olah foto dan video, ringan dibawa kemana-mana dan tentunya baterai tahan lama.

Pas lagi browsing-browsing laptop keluaran terbaru mana yang mungkin cocok, saya melihat Acer Swift 7 dan Acer Spin 7 ada di dalam daftar. Entah kenapa, saya jatuh cinta dengan modelnya di pandangan pertama. Lalu saya mengulik lagi apa yang menjadi kelebihan dari Swift 7 dan Spin 7. Saya belum memutuskan mau memilih yang mana yang pas. Bantu saya untuk memilih ya ;)

Untuk Acer Swift 7, dia ini cantik, elegan dan ramping. Tebalnya saja hanya 9,98 mm, tipis kayak kertas ya? Dengan tebal segitu, tentunya sangat ringan dibawa kemana-mana. Acer Swift 7 ini didesain dengan warna gold yang bikin empunya-nya terlihat bold dan elegan juga. Ditambah lagi Full HD dengan Corning Gorilla Glass 5 yang jadi andalannya, pas untuk pekerjaan multitasking saya. Premium Sound Acer Swift 7 juga bikin kita puas saat mau nonton film, edit video atau sekedar memutar musik di laptop. Duh Mak, kok keren ya si Acer Swift 7 ini?

Penampakan Acer Swift 7. Warna goldnya itu lho aku suka sekali!


Eits, tunggu sebentar. Kita belum mengulik saudara kembar tapi tak sama dari Acer Swift 7 yaitu Acer Spin 7.

Si Acer Spin 7 ini bisa dijadikan beberapa model karena dia adalah convertible laptop. Fleksibilitasnya sampai 360 derajat lho! Acer Spin 7 bisa diubah menjadi 4 mode ; Tent Mode, Display Mode, Laptop Mode, Tablet Mode. Enak betul bisa diubah-ubah begitu ya? Butuh laptop bisa, butuh tablet bisa. Yang ini tampaknya lebih praktis.

Acer Spin 7 yang lebih luwes dan menggoda. Hmmmm.... Pilih mana ya?


Sama seperti saudara kembarnya, Acer Spin 7 ini tipis banget. Tebalnya 10,98 mm, hanya berbeda 1 mm saja dengan Acer Swift 7. Beratnya kira-kira 1,2 kilogram saja. Beda jauh dengan Deelee yang beratnya sekitar 2,5 kilogram. 

Dan yang bikin saya jatuh hati dengan Acer Spin 7 adalah endurance-nya. Daya tahan baterai Acer Spin 7 ini 8 jam lho! Kalau listrik nggak menyala siang-siang kayak di Pulau Arborek ini, saya masih tetap bisa mengerjakan tulisan, foto dan video perjalanan saya.

Hati saya sih lebih condong ke Acer Spin 7, tapi Acer Swift 7 juga cantik dan spesifikasinya oke. Hmmmm... Saya jadi bingung. Menurut teman-teman, kira-kira yang mana yang paling cocok menjadi partner resolusi 2017 saya yang ingin bisa mobile working bahkan dari tempat terpencil? Ditunggu komentarnya di bawah ya ;) 

Naik Kapal Pelni Lima Hari Menuju Tanah Papua

$
0
0

“Mau naik KM Dobonsolo Mbak? Masuknya lewat pintu GSN ya” ujar seorang Bapak yang melihat saya danJanatanmenggendong dua carrierbesar. Di dalam pikiran Bapak itu, kami berdua pasti mau bepergian jauh naik kapal. Tentu saja naik kapal karena saat itu kami ada di pelabuhan Tanjung Perak, Surabaya.

Menyenangkan sebenarnya naik kapal dari Surabaya karena pelabuhan penumpang Gapura Surya Nusantara yang bagus banget. Saya sudah pernah cerita juga tentang pelabuhan GSN ini lho. Mirip seperti bandara di mana semua penumpang harus melewati mesin x-raydulu dan harus check in di counter sebelum masuk ke ruang tunggu. Berbeda dengan pelabuhan lain yang masih melakukan pemeriksaan tiket di pintu masuk pelabuhan dan saat akan naik kapal saja.

Gapura Surya Nusantara dilihat dari KM Dobonsolo.
Sedikit sebal pada awalnya karena untuk membeli tiket PELNI ini susahnya bukan main. Di saat kita bisa memesan tiket pesawat dan kereta api di aplikasi online, untuk membeli tiket PELNI harus datang langsung ke pelabuhan. Katanya sudah bisa beli online di website PELNI, tapi saya sudah coba berkali-kali nggak pernah berhasil, error melulu. Jadwal kapalnya pun tidak update dan susah mengakses website nya dari ponsel, lebih baik lewat PC. Kan repot ya? Apalagi kalau kita tinggal jauh dari pelabuhannya. Bingung mau memastikan jadwal kapal dan reservasinya. 

Akhirnya saya datang langsung ke pelabuhan Tanjung Perak dan membeli tiket di KAHA Tours and Travel yang ada di sana. Syukurlah mereka mempermudah kita yang ingin naik kapal dengan memberikan layanan reservasi tiket kapal via telepon dan sistem pembayarannya via transfer bank. Tiketnya bisa diambil di pelabuhan 3 jam sebelum berangkat. Asyik banget kan? Semoga membantu buat teman-teman yang mau naik kapal PELNI dari Surabaya ya. Ini nomornya 031-3299-231 atau 031-328-6033 untuk operasional Senin - Minggu pukul 08.00 - 18.00 WIB. Di luar jam operasional bisa menghubungi 0821-4110-9919 atau 0853-3090-3177. Pesan tiket kapal Pelni jadi lebih mudah!

***

Apa saja sih pengalaman unik saat naik PELNI? Nih saya bagi ceritanya :

1. Rebutan Kasur di Kapal


Masih teringat jelas di ingatan betapa saya pernah menangis karena kepala terantuk barang-barang yang diangkut porter pelabuhan di bahunya, naik berdesak-desakan ke atas kapal. Semua itu terjadi karena semua orang berebut mengambil lapak di dalam kapal, khususnya kelas ekonomi. Meski di tiket kita tertera nomor deckkapal dan nomor tempat tidur, itu semua tiada guna. Hahahaha. Semua orang suka-suka ambil tempat semaunya. 

Kalau mau tidur di kasur ya siapa cepat, dia yang dapat....

Kalau tak dapat kasur, tidur di lorong atau di mana pun yang lowong...
Tak ada guna juga berdebat dengan orang yang menempati tempat tidurmu. Lebih baik mengalah dan mencari tempat lain. Kadang kita tidak mendapatkan tempat tidur ketika kapal sedang penuh-penuhnya. Sehingga saya biasanya membawa matras atau beli tikar dari karung yang dijual dua puluh ribu perak per satuannya, lalu mencari pojokan yang enak untuk tidur. Syukurlah saat lima hari ke Papua, saya dan Janatan mendapatkan tempat tidur sepanjang perjalanan 

Hmmmm, tapi jangan tidur di depan pintu juga ya hahahaha....

Apalagi tidur di tangga. Jadi nggak enak kalau mau naik turunnya...

Karena di beberapa kelas tidak ada kelas, jadi semuanya ekonomi.


2. Antri Makanan Dengan Porsi Secuil

Enaknya, tiket yang kita bayar itu sudah termasuk dengan makanan tiga kali sehari, pagi, siang dan malam. Jadwal makan pagi jam 6 pagi, makan siang jam 11, makan malam jam 5 sore. Sebenarnya pelayanan makanan di PELNI sudah lebih baik dari tahun-tahun sebelumnya. Dulu, naik PELNI itu kita antri makan pakai piring kaleng ceper persegi panjang macam di penjara itu. Sekarang mereka menggunakan kemasan plastik semacam katering. Tapi porsinya tetap sama, nasinya banyak, sayur dan lauknya hanya sejumput tangan. Menunya pun itu-itu saja, ikan goreng, ikan kuah kuning dengan sayur kol atau bihun. Tapi saya mengapresiasi PELNI karena sekarang pas makan pagi kita dapat susu, pas makan siang dapat crackers dan pas makan malam dapat jus botolan. Lumayan banget.

Kalau mau ambil makanan harus bawa tiket ya...

Menu secuilllll...

Kalau lapar, ada banyak pedagang di PELNI yang jualan nasi kotak atau Pop Mie dan juga minuman sachetan...


3. Sabar-sabar di Kamar Mandi

Kenapa harus sabar-sabar? Ya memang harus sabar karena kamar mandi tidak banyak sedangkan ada ratusan bahkan seribuan orang yang mau pakai. Begitu juga dengan toilet. Pernah saya kebelet ingin buang air tapi antrian toilet di deck saya cukup panjang. Mau nggak mau saya harus naik turun ke deck lain untuk mencari toilet yang kosong. Sumpah itu rasanya nggak enak pol lagi kebelet harus turun naik tangga, jalan cepat setengah berlari hanya untuk mencari toilet. Hahahaha.


Shower kamar mandinya meski buluk berfungsi dengan baik kok...

Selama perjalanan saya hanya mandi satu kali sehari dan itu siang-siang bolong jadi tidak harus antri lama. Hindari mandi jam mandi biasa (pagi dan sore) karena antriannya super panjang. Enaknya sekarang kamar mandi di PELNI pakai showerjadi air lebih hemat daripada pakai gayung. Tapi ya kita harus tahu diri kalau mandi di kapal. Air bersih di kapal itu terbatas dan ada banyak orang yang mau pakai, jadi kalau di rumah sendiri mandi bisa setengah jam, di kapal cobalah mandi 5 menit saja ya.


4.  Hiburan Film XXX di Bioskop Mini

Sebenarnya ini sudah rahasia umum bahwa di PELNI ada bioskop mini yang jadi hiburan penumpang. Setiap 3 jam sekali, ada pengumuman yang terdengar seantero kapal tentang judul film yang akan diputar. Penyiarnya pintar sekali memasarkan film, penuh semangat begitu dan kadang sedikit tipu-tipu. Seperti kemarin, saya sudah kasitahu ke Janatan yang baru pertama kali naik PELNI bahwa film yang diputar di bioskop mini PELNI itu film XXX jadi saya nggak mau nonton lagi, apalagi bayar Rp 15.000,- per orang.

Lalu sekali waktu, kami mendengar pengumuman bahwa film yang akan diputar adalah film tentang suku kanibal di pedalaman Amazon. Wooohhh, saya langsung tertarik kan. Jadilah kami turun ke deck dua, bayar tiket masuk dan bersiap nonton di dalam ruang kecil dengan kursi-kursi yang sudah ambles. Pas filmnya diputar ternyata film semi XXX, tentang kanibal juga tapi berlokasi di Amerika. Amazon nya sebelah mana? Nggak sampai setengah jalan film diputar, kami keluar. Agak mual nonton manusia dipotong-potong ditambah adegan XXX. Hih. Kebayang nggak?


5. Nonton Hiburan Malam dengan Biduan Seksi

Buat ABK PELNI yang bertugas layar 3 bulan dan libur satu bulan, hiburan dangdut dengan biduan cantik adalah kegemaran mereka. Setidaknya itu menjaga mereka tetap gembira meski setiap hari mereka juga punya kegiatan lain seperti bermain tenis meja atau bulu tangkis di deck  bawah.

Jadilah setiap malam ada dua biduan yang ikut berlayar (dengan tiket mitra kerja PELNI), bekerja menghibur ABK dan penumpang. Biasanya mereka mulai bernyanyi dari jam 8 hingga 10 malam. Yang mau menonton harus memakai pakaian sopan dan sepatu kata penyiar kapalnya. Sudah kayak mau menghadiri makan malam dengan orang penting ya. Hahahaha.

6. Menikmati Sunrise dan Sunset di Deck Atas

Yang jadi favorit kami selama pelayaran kemarin itu bisa nikmatin sunrise dan sunsetdi laut lepas. Lokasi favorit kami adalah dek atas. Semesta baik sekali selama kami berlayar tidak ada badai dan lautan teduh. Meski beberapa kali tidak dapat sunrise dan sunset karena hujan, tapi masih bisa dikategorikan bagus. Saya sudah pernah terkena badai hebat saat naik kapal besar dan berharap tidak mengalaminya lagi. Benar-benar nggak mau lagi.

Kalau lagi dapat sunrise bagus itu senang banget. Ini sunrise lho ;)


7. Bisa Pesiar Saat Kapal Sandar

Jika berlayar dari Surabaya ke Sorong naik KM Dobonsolo, kapal akan sandar di Makassar, Bau-Bau, Ambon sebelum tiba di Sorong. Biasanya kapal sandar sekitar 2-4 jam. Nah selama rentang waktu itu, penumpang bisa pesiar alias jalan-jalan di sekitar pelabuhan atau ke kota jika waktunya memungkinkan. Kemarin pesiar paling lama yang kami lakukan itu di Ambon karena kapal sandar sekitar 4 jam jadi bisa keluar ketemu teman dan jajan. Bosan juga tahu makan makanan kapal terus-terusan.

Pesiar di Ambon naik becak!

Tapi waktu di Bau-Bau kapalnya sandar tidak sampai dua jam, jadi kami berdua hanya keluar pelabuhan, lihat-lihat lalu masuk lagi. Ya begitu saja hiburannya. Hahahaha. Nggak lupa beli jajanan untuk tambahan makanan selama perjalanan. Favorit kami ya mie instan dalam cup. Itu yang paling praktis karena air panas di kapal itu gratis. Kami juga beli sambal sachet, Mayumi Pedas (ini favorit saya) dan BonCabe, penyelamat untuk rasa makanan di kapal yang rasanya standar.

8. Merayakan Pergantian Tahun di Atas Kapal

Tepat tanggal 31 Desember kemarin, kami masih dalam perjalanan dari Ambon menuju Sorong. Kami merayakannnya dengan ikutan syukuran bersama teman-teman ABK KM Dobonsolo. Ada banyak makanan dan cemilan selama acara. Lumayan makan enak gratis ya kan. Puncaknya, kami ikut menari dangdut dan poco-poco bersama. Malam itu menjadi salah satu pengalaman yang tidak terlupakan buat kami berudua. Biasanya pergantian tahun kami rayakan dengan berdoa bersama keluarga atau main terompet kembang api bersama teman-teman, kali ini kami rayakan dengan berjoget di atas kapal yang sedang berlayar, tak ada sinyal jadi semua orang sibuk bergoyang saja.

Lumayan ikut pesta dapat makan dan minum gratis...



9. Tersesat di Kapal

Kalau ini sih ceritanya si Janatan yang sering banget tersesat di kapal. Hahahaha. Setiap waktu pengambilan makanan, biasanya Janatan yang ambil ke pantry di deck 3 dan jalannya memang naik turun dan memutar kapal. Jadilah dia tersesat berkali-kali. Saya sampai terbahak-bahak melihat muka dia saat datang kembali ke tempat kami dan bercerita betapa dia kebingungan mencari jalan pulang. Mesake…

10. Berbagi Cerita Perjalanan Seru dengan Penumpang Lain

Ini juga menjadi salah satu favorit kami. Bercerita dan mendapat cerita baru dari setiap orang yang kami ajak bicara di kapal. Ada pasangan suami istri yang sering berlayar untuk bisnis MLM nya, ada Ibu dan anak balitanya yang plesiran dari Ambon ke Surabaya untuk berbelanja karena barang-barangnya murah di sana. Ada cerita anak muda yang lagi mandi, bajunya diambil dan raiblah dompet dan karcisnya sehingga dia harus mengemis ke seantero kapal untuk mendapatkan uang membeli tiket baru untuk pulang (ini sedih sih).

Dapat banyak wejangan spiritual dari Bapak Pendeta yang sedang berlayar ke Jayapura dari Ambon untuk bertemu keluarganya. Cerita seru dengan perwira dan ABK kapal yang merindu keluarga yang ditinggal berlayar berbulan-bulan dan bagaimana mereka menjaga kepercayaan dan kesetiaan dengan pasangannya (ini so sweetbanget). Setiap orang yang kami temui benar-benar membuat kami memperluas sudut pandang kami tentang kehidupan. Itu mengapa saya tidak bosan naik kapal. Meski tak bisa mengakses dunia maya, saya dapat cerita dari dunia yang nyata, yang saya dengarkan seksama dengan telinga, menikmati ekspresi raut wajah  mereka saat bercerita. Sangat-sangat menyenangkan bagi saya.

Beberapa catatan kecil untuk teman-teman yang ingin naik kapal ke Papua :


1.       Tiket PELNI KM Dobonsolo Surabaya – Sorong harganya Rp 650.000,-
2.       Disarankan untuk memakai backpack / carrier jika ingin bepergian naik kapal agar lebih ringkas.
3.       Berhati-hatilah dengan barang berharga yang kamu bawa. Berteman baiklah dengan orang di sebelah tempat tidurmu agar terjalin rasa percaya saat ingin meninggalkan barang untuk mengantri makanan atau pergi ke kamar mandi. Tips ini penting banget untuk kamu yang bepergian naik kapal sendirian.
4.  Bawa bekal makanan yang tahan lama seperti orek tempe, teri sambal kacang dan sejenisnya agar tidak bosan di kapal. Aha, jangan lupa mie instan dalam cup. Enak disantap sambil lihat matahari terbenam. Hahahaha. Kalau mau jajan yang murah ya belilah di luar pelabuhan saat kapal sandar. Jajan di dalam kapal agak sedikit lebih mahal.
5.    Bawalah hiburan untuk diri sendiri kalau kamu cepat bosan. Bisa bawa buku bacaan, music player, gitar kecil. Ngobrol dengan banyak orang memang asyik tetapi menikmati waktu sendiri juga menyenangkan kan? ;)


Kami tiba di Pelabuhan Sorong tepat tanggal 1 Januari 2017. Di hari pertama dalam tahun ini, kami tiba di tanah impian kami sejak lama, Papua. Bersiaplah untuk menikmati cerita perjalanan kami berikutnya ya. Kira-kira ada yang mau ditanyakan? Taruh saja di kolom komentar di bawah ini ya. Psst, yang mau nambahin pengalaman serunya saat naik Kapal PELNI juga boleh lho ;)

Tiba di Sorong. Perjalanan baru saja dimulai ;)



Kenapa Banyak Orang Suka Liburan ke Bandung?

$
0
0

Ketika momen liburan atau membahas tentang lokasi liburan, Bandung selalu masuk dalam daftar teratas kota yang wajib dikunjungi di Indonesia. Popularitasnya tak setinggi Bali dan Jogja yang sudah dikenal dunia, tapi Kota Kembang ini selalu dibanjiri turis lokal dan mancanegara. Fenomena yang membuat Bandung terlihat sibuk, mulai dari kota, kawasan pinggiran, hingga jalan menuju kota tersebut.

Apa istimewanya? Kenapa sih banyak orang suka liburan ke Bandung?

Jika kamu juga penasaran, ini beberapa alasan kenapa kota yang kerap disebut Paris van Java itu begitu mempesona. Alasan yang mungkin juga akan menarikmu untuk melancong dan mencari hotel terbaik di Bandung saat liburan nanti.

Banyaknya Pilihan Tempat Wisata


Ingin mengunjungi wisata sejarah, wisata budaya, wisata alam, wisata air, wisata anak, wisata belanja, atau wisata kuliner? Semua itu ada di Bandung. Kota seluas 64,74 meter persegi ini menyajikan beragam pilihan wisata yang cocok untuk segala umur, segala kebutuhan, dan segala urusan.

Sudah pernah cicipin Martabak Andir yang tersohor se-Bandung raya ini?

Atau Bubur Legendaris Bubur Ayam Duti ini?
Maksudnya, mereka yang datang ke Bandung biasanya tak sekadar untuk liburan. Ada yang sedang melakukan perjalanan dinas, study tour, berbisnis, penelitian, berkumpul dengan komunitas, hingga mereka yang sengaja bersembunyi untuk menyendiri sejenak di Bandung.

Tentunya, mereka yang datang ke Bandung akan menyempatkan waktu mengunjungi sejumlah wisata unggulan seperti Trans Studio Bandung, Kawah Putih Ciwidey, Observatorium Bosscha, Rumah Mode, Museum Geologi, Paskal Food Market, dan sebagainya. Browsing saja di internet tentang wisata unggulan di Bandung dan kamu akan menemukan banyak sekali pilihan menarik.

Banyak Hotel Murah Tapi Tak Murahan


Kamu tak perlu khawatir soal penginapan karena banyak sekali hotel terbaik di Bandung. Titel terbaik bukan berarti harus mahal. Ini karena banyaknya hotel membuat pengelola harus bersaing secara kualitas dan kuantitas, termasuk bersaing harga.

Menginap di Dusun Bambu ini bisa jadi pilihan saat berwisata bersama keluarga di Bandung...
Di Bandung kamu bisa menemukan hotel mulai Rp100 ribuan hingga jutaan rupiah per malam. Hotel-hotel tersebut tersebar dari pusat kota hingga ke kawasan pinggiran. Kamu tinggal tentukan saja kriteria hotel yang dicari sesuai kebutuhan dan harapan. Cara termudah dan tercepat mendapatkan hotel cukup buka situs www.traveloka.com

Bagaimana jika kehabisan hotel? Meski banyak hotel, bisa saja kita kehabisan kamar karena sedang momen liburan. Tapi tak usah risau,  karena masih banyak alternatif penginapan lain yang tak kalah menarik. Misalnya menginap di guesthouse yang berkesan homey atau ke villa dan resort yang biasanya berkonsep unik.

Pesona Alam khas Bandung yang 'Ngangenin'


Kota Bandung dikeliling pegunungan dan membuat bentuk morfologinya seperti mangkuk raksasa. Kondisi geografis inilah yang membuat kota kembang memiliki panorama alam menakjubkan dan dilengkapi udara sejuk. Keindahan alam Bandung masih terjaga dan bisa jadi salah satu tempat terbaik untuk menyegarkan pikiran, serta menyehatkan badan.

Tebing Keraton yang sampai sekarang tidak pernah sepi pengunjung. Paling enak sih datang pas pagi hari ya ;)

Bayangkan kamu bisa mendengar nyanyian burung, menjelajah hutan atau sekadar melihatnya dari kejauhan, melihat taman dan hamparan hijau yang menyatu dengan rumah-rumah bergaya tradisional, atau menghirup udara bebas polusi sambil menyantap makanan bergizi. Semua dibalut dalam nuansa dan budaya khas Sunda. Itu adalah sebagian dari daya tarik Bandung yang mengundang wisatawan.

Salah satu spot sunrise favorit saya di Bandung. Coba tebak di mana ;)
Daya tarik terbesarnya, datanglah ke Bandung dan kamu akan mengerti kenapa kota tersebut dicintai dan ‘ngangenin’. Biasanya mereka yang datang ingin kembali lagi dan lagi, karena belum puas menjelajah Kota Kembang itu. Termasuk menjelajah penginapan dan berburu hotel terbaik di Bandung. Alasannya, sebagian besar hotel di Bandung bukan hanya tempat menginap, tapi juga lokasi rekreasi berfasilitas lengkap.

Selain itu, alasan lain kenapa kamu harus ke Bandung ialah agar bisa eksis. Ketika teman-temanmu sudah pernah ke Bandung dan pamer foto-foto terbaiknya di jejaring sosial, bagaimana denganmu? Jangan sampai kalah eksis dan tentukan kapan akan berlibur ke Bandung. Siapkan segala keperluan untuk melancong ke Bandung, termasuk kameramu. Kota Kembang punya banyak sekali spot menarik yang Instagram-abledan layak untuk diabadikan.


Buat saja daftar tempat-tempat yang ingin kamu kunjungi, lalu tentukan waktu dan hotel terbaik di Bandung yang paling tepat. Ketepatan ini termasuk letak hotel mudah di akses, dekat lokasi wisata tujuan, fasilitas lengkap, dan harga ramah di kantong. Jika sudah selesai, waktunya memesan tiket transportasi dan reservasikamar di hotel pilihan. Yuk, kapan mau ke Bandung?

Ini juga salah satu tempat favorit saya di Bandung untuk baca buku. Kineruku namanya.

Tradisi Tahun Baru Seru di Arborek Raja Ampat

$
0
0

Pergantian tahun selalu menjadi perayaan yang istimewa bagi semua orang. Tua dan muda, tak terkecuali. Tiap-tiap daerah pun memiliki tradisi khas untuk merayakan tahun baru. Di tahun 2017 ini, saya mendapatkan kesempatan untuk merayakannya di pulau kecil bernama Arborek di Raja Ampat. Sudah pernah mendengar nama pulau ini kah sebelumnya? 

Sebenarnya catatan ini sudah dipublikasikan di blog dari bulan lalu, eh baru kesampaian sekarang. Ya semoga tetap mau membaca cerita seru dari Arborek ya.

Saya dan Janatan tiba di Arborek tepat tanggal 1 Januari lalu. Setelah perjalanan panjang naik kapal Pelni, kami menjejak di tanah Papua dan diterima dengan hangat di keluarga Kaka Githa dan Acel Mambrasar di Arborek. Ada cerita spesial tentang Kaka Githa yang akan aku tulis di post lain ya.

Perayaan Natal dan tahun baru di Arborek masih sangat terasa dengan banyaknya hiasan lampu-lampu di halaman rumah biru. Oh iya, semua rumah di Arborek warnanya biru lho jadi hati-hati tersesat karena semua bentukan rumah dan warnanya sama ya. Ada banyak sebenarnya yang spesial tentang pulau kecil bernama Arborek ini namun lagi-lagi ceritanya nanti aku kasih di post terpisah ya. Sekarang saya mau bercerita khusus tentang tradisi tahun baru.

Tradisi ini disebut sebagai “sambung tangan” karena semua penduduk akan saling berjabat tangan sambil mengucapkan selamat tahun baru. Serunya, semua orang, tua dan muda, bergabung dalam riuh tabuhan gendang dan suling tambur sambil berkeliling kampung.  Abang Teis terlihat sangat gembira membawa bendera merah putih berukuran besar yang diikatkan di bambu dan mengayunkannya di depan barisan. Saya terharu betapa rasa nasionalisme mereka di sana begitu tinggi di kala banyak yang menyuarakan pembebasan tanah Papua dari NKRI. Betul saya sampai menitikkan air mata terharu. 

Suling tambur berkeliling kampung Arborek!
Di Arborek, kampungnya dibagi menjadi dua bagian, kampung barat dan kampung timur dengan jumlah KK kurang lebih 38. Dari jumlah KK itu, akan dibagi berpasang-pasangan. Antar pasangan akan saling mengundang untuk pesta syukuran tahun baru dan memberikan hadiah. Semacam tradisi ‘secret santa’ saat perayaan Natal namun lebih besar karena diadakan antar keluarga. Keluarga yang menjamu harus menghidangkan beragam menu makanan dan juga menyiapkan kado untuk seluruh anggota keluarga yang ada di rumah itu. Seru bukan?

Berjabat tangan satu-satu meski hari sudah mulai gelap.

Mereka begitu kreatif dan membuat KM Arborek ini. Hahahah xD
Jadi saat kami tiba di sana, seluruh warga kampung sedang sibuk mempersiapkan pesta syukuran tahun baru. Para bapak membangun tiang-tiang kayu dan memasang terpal di halaman rumah mereka masing-masing. Para Ibu berbelanja bahan makanan dan hadiah ke pasar lalu mengolahnya menjadi jamuan makan lezat. Untuk berbelanja ke pasar, Ibu-ibu harus naik kapal ke Waisai dengan waktu tempuh 1-2 jam sekali jalan. Berat di ongkos euy.

Tenda terpal dengan gantungan minuman kaleng untuk dibawa pulang tamu. Seru!
Tentu saja keluarga Bang Acel dan Kak Githa tidak ketinggalan. Saat giliran menjamu, Kak Githa menyiapkan banyak sekali hidangan lezat dari ikan dan ayam. Menu-menu itu dihidangkan di atas meja panjang di halaman rumahnya. Tak lupa seperangkat alat perkakas dapur yang baru ia beli di pasar disiapkan di meja dan juga bungkusan-bungkusan kado. Tamu yang akan dijamu tahun ini Kak Githa adalah satu keluarga yang terdiri dari Bapak, Ibu dan tiga putrinya yang masih kecil-kecil. Setiap tahun yang dijamu akan berbeda-beda keluarganya.

Selamat tahun baruuuu!!!
Dan satu yang tak boleh dilupa yakni menyiapkan piring porselen besar yang diisi dengan pinang, kapur sirih. Tentu saja hidangan ini harus ada karena setiap hari orang Papua pasti ‘nyirih’.

Acara syukuran pasti dimulai dengan doa dan sambutan dari Tuan Rumah dilanjutkan dengan makan bersama. Setelahnya, semuanya menyalakan sound system dan berjoget ria, bagian yang paling aku suka. Kami berjoget mengikuti alunan musik sambil….

Makan sirih! Itu sudah! Hahahaha. Asyik banget lho bergoyang sambil mengunyah sirih. Patut dicoba kalau kalian menyambangi Papua suatu waktu nanti ya.

Seusai pesta, tamu akan membawa seluruh makanan yang masih ada lengkap dengan piring, sendok, garpu, mangkok, dispenser, gelas, semua semuanya. Lucu kan? Saya belum pernah melihat acara syukuran seperti ini sebelumnya. Biasanya tamu hanya membawa makanan yang tersisa dalam kantong plastik atau kotak bekal yang mereka bawa dari rumah (sebagai orang Batak, saya sangat mengerti soal ini ;) ). Sedangkan di Arborek, tamu boleh bawa pulang semuanya! Dapat kado pula! Aih enak betul!

Dua hari berikutnya, giliran keluarga Bang Acel dan Kakak Githa yang dijamu. Mereka juga boleh membawa pulang semua peralatan dan makanan yang terhidang di meja tuan rumah. Saking banyaknya, lima orang tidak cukup untuk membawa semuanya pulang dan harus memanggil bala bantuan saudara yang lain. Senang betul melihat semuanya bergembira di tahun baru dan saya makin senang karena mendapatkan kesempatan bergabung dalam keriaan itu.


Kemajemukan budaya inilah yang akan membuat Indonesia selalu menarik untuk diulik. Kalau perayaan tahun  baru di daerah kalian bagaimana? J

Salam sayang dari anak-anak manis di Arborek! Happy New Year!

HamuEco Dive Resort Raja Ampat – Penginapan Apung Nan Ramah Lingkungan

$
0
0
Saya kerap berandai-andai suatu waktu nanti bisa memiliki rumah di atas laut yang bisa melihat matahari terbit dan matahari terbenam sekaligus di beranda. Tahu-tahunya saya menemukan role-model rumah impian saya itu, namun berbentuk resort bernama HamuEco Dive Resort.

Bayangkan, betapa nikmatnya kita bisa menikmati hangatnya mentari di pipi saat membuka pintu setiap pagi lalu hangatnya senja sore hari di belakang rumah sambil menyesap kopi. Tapi tidak hanya itu kenikmatan yang saya rasakan saat menginap di sana.

HamuEco Dive Resort ini terletak di Pantai Saleo di Pulau Waigeo (Raja Ampat itu terdiri dari gugusan pulau dengan empat pulau terbesarnya adalah Waigeo, Salawati, Batanta dan Misool). Dari Sorong, kita bisa menuju Waisai dengan kapal cepat dengan harga Rp 130.000 (kelas ekonomi) dan Rp 220.000 (kelas VIP). Keberangkatan kapal ini terjadwal setiap hari pukul 09.00 dan 14.00 WIT untuk hari Senin – Jumat dan keberangkatan 11.00 dan 14.00 WIT untuk hari Sabtu Minggu. Kapal Bahari Express ini berangkat dari Pelabuhan Rakyat Sorong ya!

Setibanya di Waisai setelah 2 jam perjalanan laut, kalau kamu menginap di HamuEco, akan dijemput langsung oleh Bang Ifan, pemandu ciamik HamuEco yang super asyik. Tidak jauh memang jarak pelabuhan Waisai dengan HamuEco, hanya butuh berkendara 15 menit saja. Sayang tak ada kendaraan umum sehingga HamuEco menyiapkan pelayanan antar jemput tamu dari pelabuhan atau dari bandara Waisai. Asyik kan?

Jauh dari keramaian kota Waisai juga bikin HamuEco Dive Resort jadi tempat yang asyik untuk kamu yang pingin liburan tanpa terganggu bising suara kendaraan atau orang banyak. Setiap hari mulai dari pagi sampai malam yang terdengar hanya suara burung dan suara ombak dan ya suara tamu dan staff di Resort yang tak seberapa. HamuEco memang merancang penginapannya hanya terdiri dari enam kamar untuk menjaga eksklusifitasnya demi kepuasan tamu.

Enam kamar yang dibangun di atas laut ini dibuat dari kayu dan beratapkan ijuk, a real tropical hut. Desain ini memang paling pas agar udara di dalam kamar tetap sejuk meski matahari begitu menyengat di atas kepala. Pintu depan dan dan pintu ke balkon langsung menghadap ke laut juga memberikan rasa sejuk di mata. Tidak perlu Air Conditioner, tidur di HamuEco Dive Resort ini sejuk pagi dan malam karena angin sepoi dari laut. 





Setiap kamar di HamuEco Dive Resort bisa menampung hingga tiga orang (satu twin bed dan extra bed). Ada kelambu gantung untuk menghalau gigitan nyamuk, bantal empuk dan berwarna-warni dan juga selimut kain tenun etnik Indonesia (my favorite!). Handuk tebal juga sudah tersedia kok.


Listrik menyala dari pukul 6 petang hingga 12 malam. Nggak perlu listrik kan siang-siang? Kan mau santai dan eksplorasi ke pulau-pulau. Cukup listrik menyala saat malam untuk mengisi daya baterai hp dan camera. Sinyal yang paling kuat di Raja Ampat sejauh ini sih Telkomsel. Sinyal 4G nya beneran kencang lho!

Kamar mandi memang terpisah dari ruangan kamar namun jaraknya tidak jauh. Konsep eco-friendly membikin pemilik HamuEco memisahkan kamar mandi agar kotoran dan limbah tidak dibuang langsung ke laut. Dulu sempat saya menemui penginapan apung yang toiletnya langsung blong bolong ke laut. Saya bergidik membayangkan saya berenang di sekitaran penginapan itu dengan kotoran yang mengambang. Syukurlah di HamuEco Resort tidak begitu. Lautnya bersih jernih tanpa sampah dan dijamin selalu menggoda kita untuk segera menyeburkan diri.

Anyway, selama menginap di HamuEco Dive Resort ada banyak hal-hal seru yang saya dan Janatan lakukan. Apa saja? Ini dia!

·         Bersantai dengan Hammock di Balkon HamuEco


Jelas bahwa membaca buku sambil menikmati angin sepoi laut di atas hammock adalah kenikmatan hakiki. Saya betah berjam-jam bersantai tanpa diganggu siapa-siapa. Hammockini tersedia di setiap balkon kamar kok. Selain hammock, ada ayunan jaring-jaring yang ada di depan restoran. Ini juga nggak kalah asyik buat bersantai.



 


·         Menikmati Ayunan Laut HamuEco


Sebagai anak kecil yang masa dulunya bahagia, sampai sekarang saya girang jika bertemu ayunan. Pas tahu ada ayunan di HamuEco, saya menjerit senang dan langsung menuju lokasinya. Tapi ayunan ini hanya bisa dipakai saat ‘meti’ (air laut surut) ya.

·         Tiduran di Laut


Tidur di laut? Memangnya bisa? Ya bisa kalau pakai airbed yang sudah disediakan HamuEco. Tinggal dipompa dan bisa dipakai bersantai, tidur-tiduran di atas air. Jangan lupa pakai sunblock supaya tidak gosong terbakar ya!



·         Snorkeling & Diving!


Menyelam (snorkeling / diving) adalah hal wajib untuk melengkapi kesempurnaan liburan kamu di Raja Ampat. Di sekitaran HamuEco ada beberapa spot snorkeling cantik tanpa harus island hopping. Tapi memang lebih bagus lagi kalau ikut island hopping dan melihat gugusan terumbu karang dan ikan hias. Raja Ampat juga dikenal sebagai spot divingterbaik di dunia. Mas Nando dan Bang Ifan adalah divemaster dari HamuEco yang siap menemani kamu menyelami titik-titik terbaik di Raja Ampat.



·         Main Kayak


Kalau kamu penyuka tantangan, cobain deh main kayak ke Pulau Saonek, pulau yang ada di seberang HamuEco. Kemarin, saya dan Janatan mencoba menyeberang dengan total waktu 3 jam pulang pergi dari Hamueco – Pulau Saonek. Yang jelas pastikan saat ingin menyeberang cuaca sedang cerah, laut teduh tidak berombak, bawa perbekalan dan juga pakai life jacketbiar aman selamat sampai tujuan.



·         Menikmati Sunrise & Sunset di Jetty HamuEco


Jettyini sebenarnya sebutan untuk dermaga kecil dari kayu yang ada di pulau-pulau, memang seringnya disebut jetty. HamuEco juga punya jetty pribadi yang setiap sore jadi tempat favorit saya untuk menikmati matahari terbenam. Bisa sambil baca buku, main gitar atau tidur santai di air bed

Di pagi hari, pemandanganny juga nggak kalah cantik. Mewah sekali bisa lihat matahari terbit di laut sambil tidur kan?




·         Ikut Open Trip Raja Ampat!


Sudah jauh-jauh ke Raja Ampat pastinya pingin keliling pulau-pulau di sana kan seperti Wayag, Arborek, Piaynemo, Yenbuba, Kabui, Friwen dll. Nah, HamuEco juga punya beberapa paket perjalanan ke pulau-pulau itu lho! Harga paketnya mulai Rp. 2.000.000 hingga Rp 25.000.000 per grup (8-10 orang max). Termasuk hemat lho itu harganya. Salah satu alasan kenapa island hopping di Raja Ampat mahal, memang karena jarak pulaunya jauh-jauh dan harga bahan bakar mahal. Bayangkan saja untuk ke Wayag, kita butuh 6 jam perjalanan pulang pergi jika laut teduh, jika berombak bisa lebih lama. Terbayang kan butuh berapa banyak bahan bakar? Nanti trip island hopping di Raja Ampat akan saya ceritakan di post terpisah ya!



Terima kasih untuk keramahtamahannya, HamuEco!


Selama menginap di HamuEco, saya sangat senang dengan keramahtamahan semua orang baik di HamuEco Resort. Ada Bang Nando selaku Dive Resort Manager dengan Kak Oci dan Kilau, Bang Ifan, Bang Basri, Bang Fajri, Kak Rangga dan Kak Ati. Mereka sangat menyenangi pekerjaan mereka dan selalu menebar senyum tawa. Makanan yang disajikan juga lezat-lezat, hasil karya tangan koki andal, Kak Rangga.


Ada beragam penginapan di Waisai mulai dari hotel, homestay, guesthouse, resort. Masing-masing punya kelebihan dan kekurangan yang tinggal disesuaikan dengan selera kita mau pilih yang mana. Saya pribadi merekomendasikan HamuEco Resort ini untuk teman-teman yang mencari penginapan yang asyik. Rate HamuEco Resort ini Rp 650.000,- per day per person. Harga tersebut sudah termasuk makan pagi, siang dan malam. Namun, HamuEco sering kasih penawaran harga khusus lho! Boleh langsung tanya ke email info.hamueco(at)gmail.com atau lirikInstagram Hamueco dan website HamuEco Dive Resort Raja Ampat ya ;)

Thank you HamuEco Dive Resort!

Perjalanan Hemat Penuh Berkat ke Raja Ampat

$
0
0

Suara gaduh porter pelabuhan yang menawarkan jasa menyadarkan saya bahwa kami memang sudah tiba di Sorong. Waktu itu kira-kira pukul sebelas, bertepatan dengan pengumuman bahwa penumpang sudah boleh mengantri mengambil jatah makan siang yang biasanya hanya nasi, ikan kuah kuning sebesar jempol dan sayur kol.

“Sebelum turun, ambil makan siang saja dulu”, ujar Bang Franky, penumpang KM Dobonsolo dengan tujuan Jayapura. Itu artinya dia masih harus berlayar 3 hari lagi untuk sampai di tujuannya.

“Ah Abang, ini kami sudah sampai tujuan, mana mungkin dapat jatah makan lagi” ujar saya.

“Eeee tak apa. Sini sa yang ambil” ujarnya seraya meminta tiket kapal saya dan Janatan. Segera dia berlalu ke pantry untuk mengantri.

Kapal memang sudah sandar sejak setengah jam yang lalu, namun kami berdua agak enggan beranjak. Selama lima hari di kapal PELNI, kami sudah terbiasa di lautan dan kini harus kembali menjejak daratan. Tak apalah, toh kapal sandar 4 jam di Sorong, masih ada waktu untuk bersantai.

Tak berapa lama, Bang Franky kembali.

“Iyo, su tra bisa dapat makan. Pelit sekali orang kapal ini” ujarnya sambil tertawa dan mengembalikan tiket kami berdua. Betul kan apa yang saya bilang, pasti sudah tidak dapat jatah makan karena sudah tiba di tempat tujuan.

Hingga akhirnya satu jam setelah kapal sandar, kami berdua baru beranjak keluar.

Pelabuhan masih riuh dengan porter dan penumpang KM Dobonsolo yang lalu lalang. Perut mulai memberikan isyarat butuh diberi asupan. Saya dan Janatan pergi ke warung nasi di seberang pelabuhan.

“Ma, nasi ikan berapa?” tanya saya.

“Nasi deng ikang tiga puluh ribu”, jawabnya sambil mengipasi ikan yang sedang dibakar.

Lumayan mahal juga ya nasi dan ikan satu porsi tiga puluh ribu. Kalau makan berdua enam puluh ribu. Akhirnya saya dan Janatan memutuskan membeli satu bungkus saja untuk dimakan berdua. Dengan muka memelas sedikit, kami meminta tambah nasi dan syukurlah si Mama baik dan menyendokkan nasi lebih ke bungkus nasi kami.

“Ade ini mo pigi mana?” tanya Mama.

“Katong ada mo pigi ke Waisai terus ke Arborek Ma” jawab saya.

“Berarti naik kapal cepat dari pelabuhan rakyat ya. Pergi cepat, jangan sampai tidak dapat tiket. Naik ojek saja dari sini, bayar dua puluh ribu” lanjut Mama.

Ternyata pelabuhan untuk naik kapal ke Waisai atau yang dikenal dengan nama pelabuhan rakyat masih jauh dari pelabuhan Sorong. Takut kehabisan tiket kapal cepat, kami mengikuti saran Mama untuk naik ojek ke pelabuhan rakyat.

Setibanya di sana tiket kapal cepat masih tersedia banyak. Syukurlah. Saya mengabari Kak Githa Arborek bahwa kami sudah di pelabuhan rakyat untuk menunggu keberangkatan kapal. Kak Githa membalas pesan singkat saya dan mengatakan dia akan menunggu di pasar Waisai. Bersamanya lah saya akan tinggal untuk beberapa waktu di Arborek, Raja Ampat.


Bungkusan nasi kami buka dan makan dengan lahap di ruang tunggu pelabuhan. Lucunya kami hampir tertinggal kapal cepat karena Janatan keasyikan bermain dengan anak-anak di lapangan belakang pelabuhan dan ada seorang bapak yang menyentak kami dengan suara keras untuk segera naik ke kapal. Kami berdua pun berlari tergopoh-gopoh dengan carrier masing-masing, berusaha secepat mungkin karena kapal cepat sudah membunyikan terompetnya beberapa kali. Ternyata kapal baru berangkat setengah jam setelah kami naik. Padahal masuk kapal sudah dengan peluh sebesar bulir-bulir jagung dan nafas satu dua. Hahahaha….

Petugas mengecek tiket penumpang hingga tiga kali. Entah untuk apa kami tidak mengerti. Yang pasti kami berdua tertidur pulas hingga kapal sandar di pelabuhan Waisai.

Awan hitam besar menggelayut di langit begitu kaki kami menapak Waisai. Sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya. Ternyata Kak Githa yang menanyakan posisi. Ia sedang berbelanja di pasar dan mengatakan suaminya, Marsel akan menjumpai kami di pasar. Kami menyetop dua ojek untuk mengantarkan kami ke pasar dan membayar Rp 20.000 per orang. Seorang laki-laki tegap dengan wajah ramah yang ternyata Bang Marsel.

“Githa ada pigi belanja, tunggu di sini dulu saja” ujar Bang Marsel.

Kami meletakkan carrier yang beratnya lumayan di para-para dekat muara. Saya membeli minuman dingin dan stok gula-gula (permen) untuk anak-anak di Arborek nanti. Semua anak pasti senang dengan gula-gula kan? Ah ya saya juga membeli ikan asap / ikan asar dengan harga Rp 15.000,- saja per ekornya. Waktu itu air liur saya menetes membayangkan menyantap ikan asar dengan sambal colo-colo. Mak!

Tak berapa lama, tampak seorang wanita yang tampilannya sama seperti foto-foto di akun media sosialnya. Tinggi, kulit sawo matang dan rambut kecokelatan. Pasti itu Kak Githa!

Pelukan hangat diberikannya saat kami akhirnya bertemu. Saling mengenal di media sosial selama bertahun-tahun namun baru kali itu kami bertatap muka. Kaka Githa sedang berbelanja kebutuhan pesta syukuran tahun baru jadi belanjaannya cukup banyak mulai dari makanan hingga perkakas dapur (untuk hadiah).

Setelah segala kebutuhan lengkap, kami menaiki kapal speed berkapasitas maksimal 15 orang kepunyaan Bang Marsel dan Kak Githa. Perjalanan dari Waisai ke Arborek memakan waktu sekitar 1,5-2 jam tergantung ombak. Saat laut teduh, bahkan bisa 1 jam saja kata Bang Marsel.

Hari semakin gelap, namun bukan berarti perjalanan menjadi membosankan. Buat saya malah semakin menyenangkan. Selama kapal melaju dalam gelap, buih-buih ombak dan plankton yang bersinar dalam laut berpercikan seperti kembang api. Betapa cantiknya! Andaikan bisa saya abadikan agar kalian melihatnya juga. Ah tak perlu lah ya. Kalian harus melihatnya dengan mata kepala sendiri nanti.

Kapal melambat pertanda kami sudah dekat dengan Arborek. Dengan bantuan headlamp kecil, kapal bisa mendarat tanpa menabrak terumbu karang. Bang Marsel sebagai juru kemudi tentu sudah hafal betul bagaimana memarkirkan kapalnya dengan aman.




Barang-barang mulai diturunkan. Belanjaan paling berat adalah galon-galon air mineral. Air mineral adalah komoditi penting di Arborek. Tak ada sumber air bersih sehingga seluruh penduduk harus membeli air dalam kemasan untuk minum dan masak.

Malam itu kami tidur dengan nyenyak di rumah Kak Githa dan Bang Marsel. Berkat kebaikan hati merekalah kami bisa berhemat di perjalanan Raja Ampat ini.

Keluarga baru di Arborek! Banyak kenangan di pulau ini yang pasti takkan terlupa!

Ah, masih banyak yang ingin saya ceritakan tentang Arborek. Tunggu post berikutnya ya!

Catatan Kecil :


Bagaimana cara hemat ke Raja Ampat? Ini sedikit tips dari saya...

  • Harga tiket PELNI KM Dobonsolo Surabaya – Sorong : Rp 650.000 per orang. Naik kapal memang makan waktu lama namun kami mencari jalan terhemat ke Raja Ampat, jadi ya naik kapal. Harga tiket pesawat Jakarta – Sorong berkisar 1,5 juta hingga 3 juta rupiah one way.
  • Dari Sorong, kita bisa menuju Waisai dengan kapal cepat dengan harga Rp 130.000 (kelas ekonomi) dan Rp 220.000 (kelas VIP). Keberangkatan kapal ini terjadwal setiap hari pukul 09.00 dan 14.00 WIT untuk hari Senin – Jumat dan keberangkatan 11.00 dan 14.00 WIT untuk hari Sabtu Minggu.
  • Naik ojek di Sorong dan Waisai sekitar Rp 20.000 per orang untuk jarak dekat. Untuk jarak jauh, silahkan dinegosiasi dengan abang ojeknya ya.
  • Harga makanan di Papua memang jauh lebih mahal dibandingkan Jawa. Jadi tanya dulu harga makanan di sana sebelum membelinya ya.
  • Harga homestay di Arborek rata-rata Rp 350.000,- per orang per hari sudah termasuk makan tiga kali sehari. Kami menghemat banyak karena mendapat tumpangan dari Kak Githa dan Bang Marsel. 
  • Memasak adalah jalan paling baik untuk menghemat. Bisa beli bahan makanan di Waisai dan memasak di rumah. Lagi-lagi terima kasih untuk Kak Githa. I love you!
  • Meski foto-foto di blogpost ini tak banyak nyambung dengan ceritanya tak apa ya? Yang penting beneran di Raja Ampat ;)


Pulau Arborek Raja Ampat yang Mencuri Hati

$
0
0

Angin laut meniup kain yang menutupi badan. Saya terbangun karena kedinginan dan dalam kondisi setengah mengantuk, memandang bulan yang sudah berpindah dari kiri ke kanan. Pasti sudah lewat tengah malam sekarang, pikir saya. Disinari cahaya bulan purnama, saya tidur lelap di tepi pantai, di atas para-para bambu, beratapkan langit. Tidak hanya saya sendiri yang tidur di tepi pantai, tetapi warga lain juga. Tidur di pantai saat bulan purnama sepertinya sudah menjadi kebiasaan yang menyenangkan bagi mereka.

Dua minggu saya dan Janatan menetap di Pulau Arborek, pulau kecil di gugusan Raja Ampat. Dalam waktu yang singkat itu, saya mencoba berbaur dengan kehidupan masyarakat lokal. Bersyukurlah kami mendapatkan tumpangan di rumah Bang Marsel Mambrasar dan Kak Githa Mambrasar, sepasang suami istri yang sama-sama dive master dan punya usaha Arborek Dive Shop. Berawal dari kegiatan volunteer yang dilakukan pada tahun 2012, Kak Githa akhirnya menetapkan hati selamanya di Arborek. Manis sekali.

Kak Githa, saya dan Janatan setelah dive di Sawondarek
Arborek ini kecil sekali sehingga dalam waktu 30 menit saja, kita sudah mengelilinginya dengan berjalan kaki. Benar-benar dengan kaki tanpa alas. Memakai sandal justru terasa sedikit aneh karena hampir semua warga lokal berjalan tanpa sandal, apalagi sepatu. Paling ketika ibadah minggu di gereja atau ada perayaan pesta baru mereka mengenakannya. Rasanya menyenangkan bertelanjang kaki dan berjalan di pasir lembut kecuali saat panas terik baru pakai sandal.


Satu-satunya gereja di Arborek dan semua warganya beragama Kristen

Hidup dengan Keterbatasan Air, Listrik dan Sinyal


Tak ada sumber air bersih sehingga warga Arborek sangat menggantungkan hidupnya pada air hujan. Di tiap-tiap rumah pasti ada tampungan air dengan tendon besar yang mengalirkan air hujan dari atap rumah. Sebenarnya dulu ada sumur air bersih yang dimanfaatkan bersama oleh warga Arborek namun gempa bumi yang terjadi beberapa tahun silam (mungkin) mengakibatkan pergeseran di bawah tanah sehingga tidak ada lagi air bersih di sumur itu.

Akhirnya untuk air minum, semua harus membeli air galon ke Waisai dan untuk mandi serta mencuci menggunakan air hujan. Saya menghitung benar bahwa setiap hari saya hanya mandi satu kali saja dengan air 10 gayung. Itu pun mandi kalau memang habis berenang ke laut. Jika hari itu tidak berenang ke laut, ya tidak mandi. Harus tahu diri, harus hemat air. Hehehehe…

Pun listrik hanya menyala dari jam 6 sore hingga sekitar jam 2 pagi. Tak mengapa karena semua orang saat pagi hingga siang hari sibuk beraktivitas. Jarang sekali saya melihat ada TV di Arborek. paling banyak radio atau speaker karena semua senang mendengarkan musik. Setelah ada ponsel, warga juga senang menyetel lagu yang seringnya lagu rohani. Oh ya, sinyal di Arborek hanya Telkomsel dan itu pun 'edge' tapi tetap bisa mengakses internet walau sedikit lambat. Jauh lebih baik dibandingkan tidak ada sinyal sama sekali.

Jetty Arborek yang Mendunia


Hampir semua orang yang pernah mengunjungi Arborek, pasti akan terkagum dengan pesona bawah laut yang ada di jetty (dermaga) Arborek. Schooling fish yang berjumlah ribuan membuat kita serasa masuk ke dunia fantasi. Namun perlu kita perhatikan agar saat snorkeling di jetty tidak membuat keributan dengan mengepak-ngepakkan fin (kaki katak) terlalu keras atau melompat dari jetty. Tujuannya agar ikan-ikan tidak kaget dengan banyaknya manusia dan tidak terganggu karena tidak ada orang-orang yang melompat heboh ke dalam air. Kalau foto paling atas itu anak-anak meloncat di jetty satu lagi yang tidak banyak ikan, jadi mereka senang meloncat dari jetty itu.

Thousand schooling fish under Arborek Jetty

Bapak Melaut, Ibu Merajut


Hidup di pulau tentu saja menempa para lelaki untuk menjadi pelaut ulung. Setiap hari para pria di Arborek pergi ke laut untuk menangkap ikan. Mereka kembali saat pagi atau sore hari dengan ikan tangkapan yang cukup banyak. Sebagian dikonsumsi sendiri dan lainnya dijual. Jangan heran jika mereka membawa tangkapan ikan – ikan besar semacam tenggiri dan bubara dengan panjang lebih dari satu meter. Jika musim ombak datang, pasokan ikan akan sangat sedikit bahkan tidak ada dan membuat masyarakat hanya bisa bertahan makan dengan nasi, sayur, telor atau daging ayam yang harus mereka beli di Pasar Waisai. 

Ketika para pria pergi melaut, para wanita melakukan pekerjaan rumah pada umumnya. Jika sudah selesai mengurus rumah, mereka akan berkumpul di bawah pohon besar dan mulai merajut noken, tas khas Papua. Namun, noken di Arborek sedikit berbeda dengan noken Papua yang berbentuk jarring-jaring. Daun Pohon Baru adalah bahan utama noken Arborek. Daunnya mirip daun pandan yang dikeringkan lalu dicelup ke pewarna sintetik. Setelah warna kering sempurna, barulah dianyam menjadi noken.





Selain noken, Mama-mama di Arborek juga ahli membuat  ‘topi pari' atau 'kayafyof', topi yang juga dianyam dari daun, lebar dan ada ekor seperti ikan pari. Sayangnya kemarin Mama-mama se-Arborek sedang sibuk menyelesaikan pesanan ratusan buah noken dari Waisai sehingga tidak ada yang membuat topi pari. Biasanya noken yang dbuat Mama dihargai mulai dari Rp 200.000,-.


Keceriaan Anak-Anak yang Tak Terbatas


Dari matahari terbit hingga terbenam, anak-anak Arborek pasti tak lepas dari air garam. Ya air garam adalah sebutan mereka untuk air laut. Sejak pagi sebelum berangkat ke sekolah, biasanya mereka akan berenang di sekitar jetty dan sepulang sekolah, kembali bermain lagi. Memang betul mereka anak-anak laut, masih bayi-bayi saja sudah sangat pandai berenang. 





Anak-anak yang tinggal di Arborek rata-rata masih balita dan usia SD. Anak remaja SMP dan SMA biasanya bersekolah di Waisai dan Sorong dan pulang saat liburan saja. Hanya ada satu sekolah dasar dengan dua orang guru saja. Acap kali saya menjumpai anak-anak Arborek sudah pulang sekolah pukul 9 pagi yang ternyata disebabkan guru mereka yang harus pergi ke pulau lain. Anak-anak itu sih senang saja bisa pulang cepat namun di sisi lain saya sedih karena mereka seharusnya bisa belajar jika ada guru lain di sekolah.

Permainan yang paling disenangi anak-anak Arborek adalah bermain kole-kole (sampan kecil yang terbuat dari kayu) dan main benteng. Ingatkah kalian dengan permainan benteng yang sewaktu kecil sering kita mainkan? Beberapa kali saya ikut main benten dengan mereka. Kalau untuk main kole-kole, saya tidak bisa karena bokong saya terlalu besar untuk muat ke dalamnya. Hahahaha…



Ada satu anak yang sangat menarik perhatian saya di sana. Darius namanya. Anak lelaki kelas 5 SD yang sedikit pemalu namun bersuara merdu. Jika Bang Teis sudah pergi ke tepi pantai dan mulai memetik gitar, Darius pasti ada di sana untuk turut bernyanyi. Tentu tidak mau saya sia-siakan kesempatan itu untuk merekam suaranya. Mereka menyanyikan lagu-lagu daerah bernada riang yang meski saya tidak mengerti artinya, tetap membuat saya ingin ikut berdendang.

Selain Darius masih ada Ines, Ledy, Elsa, Margret, Maryam, Jeni yang mewarnai hidup saya selama di Arborek kemarin. Mereka semua anak-anak pintar dengan rasa ingin tahu yang tinggi. Mereka tidak akan berhenti bertanya tentang apa pun kepada setiap orang yang datang ke Arborek.

Darius itu anak laki-laki pakai topi di belakang. Untuk melihat ke kamera saja dia malu xD



Masker wajah mulus yang murah meriah, pasir pantai!
Mereka juga pandai menari lho! Jika ada festival-festival kecil, anak-anak ini siap menampilkan atraksi terbaik. Jika teman-teman datang bersama grup boleh lho patungan bersama teman-teman untuk melihat atraksi mereka. Tentu saja harus reservasi dulu via tour operator kalian di Raja Ampat agar bisa diberitahu kepada masyarakat di Arborek dan bersiap. Sayang kemarin saya tak sempat menyaksikan tarian di Arborek tapi setidaknya bisa ikut dalam keriaan tahun baru yang unik


Tak Bosan Menikmati Matahari Terbit dan Terbenam!


Sebagai pencinta senja, saya sangat betah tinggal di Arborek. Setiap hari, saya dimanjakan dengan rona langit jingga kemerah-merahan. Tinggal pergi ke ujung barat pulau dan kita bisa menikmati senja.



Pemandangan matahari terbitnya pun tidak kalah cantik. Sehabis tidur semalaman di para-para tepi pantai, saya tinggal berjalan sebentar saja ke ujung timur pulau dan duduk menanti matahari bangun dari peraduannya.


Cermin cantik Arborek ; Bersih dan Rapi!


Arborek memang ditata untuk menjadi kampung wisata. Kesan yang saya dapatkan saat pertama kali menjejak di pulau ini adalah bersih. Hari Selasa dan Kamis adalah hari khusus di Arborek untuk membersihkan seluruh pulau. Dengan memakai ‘garu-garu’, semua bergotong royong membersihkan halaman rumah mereka hingga pantai. Tempat sampah besar tersedia di beberapa titik. Jadi mari sama-sama menjaga kebersihan saat datang ke Arborek ya (sebenarnya di mana saja).


Beberapa waktu lalu, Kak Githa pernah menuliskan keluh kesahnya di facebook tentang perilaku wisatawan yang datang ke jetty Arborek meninggalkan sampah sehingga Mama-mama di sana harus membersihkannya. Untuk masuk ke Arborek, tidak dikenakan biaya lagi karena sudah termasuk ke biaya konservasi Rp 500.000,- untuk wisatawan lokal dan Rp 1.000.000,- untuk wisatawan asing. Namun meski sudah membayar biaya konservasi, bukan berarti kita boleh semena-mena buang sampah karena berpikir nanti pasti ada yang membersihkan, kan sudah bayar. Itu pemikiran yang sangat-sangat salah. Kebersihan itu dimulai dari diri kita sendiri bukan?


Di peta, pulau Arborek bahkan lebih kecil dari sebuah titik di atas kertas, namun selayaknya kita bercermin pada pulau kecil itu. Di mana masyarakat hidup selaras dengan alam. Mereka menjaga kebersihan pulau dengan kesadaran penuh bahwa nantinya pariwisata di daerah mereka akan turut berkembang jika alam terus terjaga.

Jika nanti kalian berkunjung ke Arborek, jangan hanya menikmati pemandangan alam bawah lautnya ya. Cobalah berjalan keliling kampung, berkenalan dengan masyarakat dan berbaur meski hanya sebentar. Ada banyak hal yang akan mencuri hati kalian, sama seperti Arborek sudah mencuri hati saya. Saya berjanji akan kembali lagi...

Mama Ines dan Niko kesayangan Tata Satya.
Keluarga kesayangan di Arborek yang mencuri hati. Kami pasti kembali lagi!




Menjejak Wayag Raja Ampat, Puncak Impian Para Pejalan

$
0
0
 


Kapal kecil berpenumpang lima belas orang melaju dengan sangat cepat membelah laut tenang tak berombak. Panas matahari membakar kulit kami yang duduk di bagian belakang kapal. Setelah mengoleskan tabir surya, menutup wajah dan badan dengan kain, kami tertidur berjam-jam sepanjang perjalanan.

Betapa beruntungnya kami karena cuaca sangat cerah waktu itu. Perjalanan dari Waigeo ke Wayag memakan waktu tiga jam saat laut teduh dan bisa lebih lama jika ombak besar. Butuh ratusan liter bahan bakar untuk kapal agar cukup untuk pergi dan pulang. Terjawablah pertanyaan mengapa harga untuk mengunjungi Wayag begitu mahal bukan?

Kapal yang mengantarkan kami ke Wayag
Tidak lengkap katanya berlibur ke Raja Ampat jika  tidak menjejak di Wayag atau Piaynemo, untuk melihat gugusan karst hijau yang menjulang gagah di atas lautan biru. Ah, itu sebenarnya kurang pas. Memang benar bahwa daya tarik terbesar Raja Ampat adalah Wayag dan Piaynemo namun tak berarti tidak ada hal menarik lainnya. Ada banyak pulau-pulau lain yang bisa memberikan kesan menyenangkan. Seperti saat saya tinggal dua minggu di Pulau Arborek.

Sebelum tiba di Wayag, semua kapal diwajibkan sandar dan melapor ke Kampung Serpele untuk membayar retribusi sebesar Rp 1.000.000,- per rombongan. Kedatangan wisatawan ke Wayag adalah angin segar bagi penduduk Serpele, kampung kecil yang jauh terisolir dari pusat kota Waisai. Tak ada sinyal, listrik dan bahan bakar pun terbatas di sana. Uang retribusi tadi dikelola oleh pengurus kampung untuk kesejahteraan masyarakat Serpele. Semoga ini memang benar adanya ya.

Ketika Bang Ifan pergi menghadap ke Kepala Kampung, kami berinteraksi dengan anak-anak di Serpele. Mereka begitu antusias dengan wisatawan yang datang dan tak malu-malu minta difoto. Pagi itu seharusnya mereka sekolah, namun lagi-lagi guru mereka sedang pergi ke pulau lain sehingga mereka diliburkan. Mereka sebenarnya senang dan tak mau ambil pusing, tinggal pergi saja ke jetty dan memancing ikan-ikan yang bisa diberikan kepada Mama untuk dimasak.

Memancing hanya memakai bilah bambu sederhana saja.
Salah seorang anak yang menarik perhatian saya adalah Siena yang saat saya tanya siapa namanya, bercanda dengan memperkenalkan diri sebagai singa. Rambutnya yang jigrak berwarna pirang dan coklat memang membuatnya terlihat seperti singa kecil yang menggemaskan. Sudah ada empat ikan kecil yang dia tangkap pagi itu. Sayang tak ada banyak waktu untuk bercengkerama dengan anak-anak ini karena speed boat kami akan berangkat ke Wayag. Walau begitu, melihat senyum mereka saja sudah membuat perasaan saya senang.

Siena the little lion!



Tangan mungil anak-anak Serpele melambai-melambai hingga kapal kami menghilang di kejauhan. Satu bapak dari Serpele naik ke atas speed kami. Memang sudah menjadi kesepakatan bersama bahwa setiap trip ke Wayag harus membawa satu orang lokal agar jika terjadi sesuatu dengan rombongan kapal, masyarakat Serpele akan segera tahu dan mengirimkan bala bantuan.

Cuaca kepulauan yang bisa berubah ekstrim, berangin dan berombak besar kapan saja bisa membahayakan kapal dan penumpangnya. Tanpa adanya orang Serpele, tentu akan sangat sulit mengetahui jika kapal bermasalah apalagi di sana tak ada sinyal. Pun orang Serpele lebih jago untuk mencari tempat berlindung jika memang kapal akan berhadapan dengan badai.

Tak lama setelah kami bertolak dari Serpele, gugusan bukit-bukit karst sudah terlihat, kapal kami merapat di salah satu bukitnya dan ABK bersiap mengikatkan tali kapal ke batu karst.

“Naiknya hati-hati ya, bawa barang seperlunya saja, air minum akan dibawakan nanti” ujar Bang Ifan.

Saya sedikit melongo begitu tahu tak ada pantai untuk kapal menepi dan kami bisa naik ke atas bukit. Nyatanya, kita harus meloncat dari kapal langsung ke dinding karst yang cukup tajam. Berhati-hatilah saat melangkah agar tidak tergelincir ya.

Gambaran jalur menuju puncak Wayag 1. Sama saja konturnya dengan jalur puncak Wayag 2
Meski pijakan hingga ke puncak adalah batuan karst yang cukup tajam, awak kapal yang membawakan minuman untuk rombongan kami berjalan santai saja tanpa alas kaki. Seperti kambing gunung, si bapak begitu lincah bergerak ke atas sambil membawa kantong kresek hitam yang besar.

“Bapa tra sakit kah itu kaki tra pake sandal e?” tanya saya.

“Su biasa begini Nona” jawab si Bapak sambil terkekeh.

Padahal selain batu karst yang cukup tajam, matahari yang mulai meninggi membuat jalur semakin berat karena panas menyengat dan si Bapak tetap santai. Luar biasa kan ya?

Puncak 2 Wayag adalah tujuan pertama kami. Bang Ifan bilang lebih baik ke puncak 2 dulu baru ke puncak 1. Jalur ke Puncak Wayag 1 lebih rimbun jadi tidak apa jika mendakinya saat tengah hari, jalurnya didominasi pepohonan sehingga tidak akan terlalu capek meski puncak 1 lebih tinggi.

Trekking ke puncak 2 Wayag makan waktu sekitar 15-30 menit tergantung kemampuan masing-masing orang. Sedangkan ke puncak 1 Wayag butuh waktu 30-45 menit. Kalau ditanya paling suka pemandangan puncak yang mana, hmmm…. semuanya bagus jadi saya tidak bisa memilih. Cobalah lihat foto-foto di Wayag ini dan beritahu saya pemandangan puncak mana yang paling kalian suka ya.

Bisa sampai ke sini berdua kesayangan itu bahagianya tak terkatakan!

View dari Puncak 1 Wayag.


Si cantik kesayanganku Devanosa (IG @devanosa) Idola jutaan lelaki soleh...
Di kawasan Puncak Wayag 1, terbentang pantai pasir putih yang asyik dipakai untuk berenang santai. Siapa yang tahan untuk tidak menceburkan diri jika ada pemandangan air laut biru jernih di depan mata?


The crystal clear water!

View dari Puncak 1 Wayag!
Sayangnya waktu itu saya tidak berenang karena menjadi orang terakhir yang turun dari Puncak Wayag 1 dan kami harus segera bertolak ke pusat konservasi Wayag untuk makan siang dan laporan kepada petugas di sana. Biasanya di pusat konservasi ini, seluruh wisatawan harus menunjukkan Raja Ampat Tourist ID yang harganya Rp 500.000,- untuk wisatawan lokal dan Rp 1.000.000,- untuk wisatawan mancanegara.


Jetty Pusat Konservasi Wayag, tempat kita bisa berenang bersama hiu!


Makan Siang Bersama Hiu


Di pusat konservasi Wayag, kita bisa melihat banyak black tip sharks dan white tip sharks yang menggemaskan. Ada banyak bayi hiu juga lho! Menyenangkan sekali bisa menikmati makan siang sambil melihat hiu lalu lalang di sektar dermaga. Siapa bilang hiu itu menyeramkan dan selalu menggigit manusia? Ah, jangan termakan film-film. Selama kita tidak terluka dan berdarah, hiu tidak akan suka dekat-dekat dengan manusia.

Ooooo cute baby shark!
Siang itu makin semarak karena alunan musik Maumere “ge mu fa mi re” mengalun dari pengeras suara yang ada di pusat konservasi. Saya, Deva dan Tante berjoget mengikuti nada gembira hingga Bang Ifan mengisyaratkan bahwa kami harus segera pulang ke Hamueco  Dive Resort, tempat kami menginap. Ah, cepat sekali waktu berlalu.

Kapal kami berhenti di Serpele dan kami mengucapkan terima kasih kepada Bapak pemandu dan kembali menempuh tiga jam perjalanan pulang. Cuaca baik sejak berangkat hingga pulang membuat senyum mengembang di wajah kami semua. Deva begitu senang dengan cuaca waktu itu karena sebelumnya dia mengalami cuaca buruk saat menuju Wayag.

Tim Hore Wayag! Terima kasih guide hore kami Bang Ifan! Thanks HamueEco!
Menjejak di Raja Ampat adalah satu impian saya sejak lama. Bersyukur bahwa saya mendapat berkat semesta lewat HamuEco Dive Resort yang menyiapkan trip yang sangat menyenangkan. Boleh lho intip Hamueco di Instagram,website nya atau langsung email ke info.hamueco@gmail.com.


Catatan Kecil :

  • Untuk biaya trip ke Wayag ini sekitar Rp 2.500.000,- per orang namun tergantung jumlah orang. Jika sedikit, maka biayanya akan lebih mahal. Cara terbaik untuk menghemat adalah mencari tahu open trip ke Wayag. Bisa kontak HamueEco Dive Resort untuk tahu jadwal trip mereka ke Wayag ya. Tidak ada yang lebih murah dari harga ini karena memang jumlah bbm yang dibutuhkan ke Wayag itu banyak sekali.
  • Musim terbaik untuk mengunjungi Wayag adalah Maret - Mei dan September - November. Meski cuaca kini sulit diprediksi namun biasanya cuaca baik pada bulan-bulan tersebut. Kemarin kami pergi di bulan Januari dan beruntung sekali hari super cerah!
  • Untuk mendaki ke Wayag, pakailah alas kaki yang aman dan nyaman seperti sepatu atau sendal gunung. Pakai sendal jepit agak sedikit berisiko jika terpeleset.
  • Meski sudah dibawakan air minum oleh TL, tetap saja saya terbiasa untuk membawa tas kecil berisi botol air minum, ditambah kamera dan sunblock.
  • Memakai topi dan sunglasses sangat disarankan agar kepala tidak pusing karena tersengat panas matahari dan mata tidak silau.
  • Jangan lupa ambil foto dan video sebanyak-banyaknya untuk kenang-kenangan ya ;)




Ragam Homestay di Arborek Raja Ampat

$
0
0

Ada banyak sekali pertanyaan dari teman-teman tentang rekomendasi tempat menginap saat berlibur di Raja Ampat. Di pulau tempat saya menetap waktu itu, Arborek, ada banyak sekali pilihan homestay. Harganya semua sama rata, Rp 350.000,- per orang per hari. Harga tersebut sudah termasuk makan tiga kali sehari ya.

Dikarenakan semua harga sama, sekarang terserah teman-teman ingin memilih penginapan mana yang sesuai dengan selera. Hampir semua penginapan di Arborek berbentuk pondok kayu beratapkan rumbia. Konsep ramah lingkungan ini juga membuat waktu menginap di Arborek lebih berkesan. Tiap-tiap kamar di homestay tidak memiliki kamar mandi pribadi karena kamar mandinya dipakai bersama. Airnya pun air payau jadi agak asin karena tidak ada sumber air bersih di Arborek. Namun tak perlu khawatir, untuk air minum, pemilik homestay sudah menyediakan air galon.

Listrik hanya menyala dari pukul 6 sore hingga pukul 12 malam. Terkadang lebih cepat. Jadi jangan lupa mengisi ulang daya baterai kamera dan ponsel pada jam tersebut. Tak perlu khawatir jika pagi sampai sore tak ada listrik, toh lebih asyik beraktifitas menikmati pantai, entah bersantai di tepi, snorkeling atau diving.

Jadi ini daftar homestay yang ada di Arborek, Raja Ampat :

  • Penginapan Lumba-Lumba


Telepon : +62-823-9774-4323 / +62-812-4054-9351 / +62-852-4416-4297


  • Kayafyaf Homestay


Telepon : +62-812-4893-9137


  • Lalosi Homestay


Telepon : +62-812-4796-4006




  • Manta Homestay


Telepon : +62-813-4440-2542



  • Indip Homestay


Telepon : +62-813-4416-1791



  • Mawar Homestay


Telepon : +62-812-4751-8978




  • Arborek Homestay


Telepon : +62-851-9705-1443





Semoga membantu teman-teman yang ingin mencari penginapan saat berlibur ke Arborek, Raja Ampat ya ;)

Menikmati Matahari di Pulau Bidadari #EnjoyTheSun

$
0
0



“Sat, kamu berbulan-bulan di pulau di timur Indonesia kok kulitnya nggak gosong dekil sih?” tanya seorang teman baik saya minggu lalu saat saya baru pulang melanglang buana.

“Mungkin karena rajin pakai sunblock ya, kulitku nggak gosong dan mengelupas, tapi berubah warna jadi coklat itu mutlak, hehehehe” jawab saya.

Kulit hitam berkilau itu cantik versi saya... Hitam tak apa asal sehat ;)

Memang benar adanya kalau beraktivitas di bawah matahari, kulit kita pasti berubah menjadi lebih gelap. Jadi nggak berguna dong pakai sunblock kalau kulit kita tetap jadi hitam?

Eits, jangan salah.

Memakai sunblock itu tujuannya bukan supaya kulit kita tetap putih atau cerah melainkan agar tetap sehat. Sehat karena terhindar dari kulit terbakar, penuaan kulit dini dan yang terburuk adalah kanker kulit.

Oleh karena itulah, kita butuh perlindungan tabir surya yang memiliki SPF (Sun Protection Factor) dan PA (Protection Against UVA). SPF berguna untuk melindungi kita dari sinar Ultraviolet B (UVB) dan PA untuk melindungi kita dari sinar Ultraviolet A (UVA).

Pasti teman-teman pernah lihat kan produk perawatan kulit yang ada tulisan SPF 20, SPF 30, SPF 50 bahkan SPF 100? Lalu ada tulisan PA++ atau PA+++. Apa sih artinya?

Jadi, SPF rendah atau tinggi, menentukan berapa lama kita harus mengoleskannya kembali tapi tergantung jenis kulit dan lingkungan juga. Suncare yang memiliki SPF lebih tinggi pun tidak menjamin perlindungan kulit sepanjang hari.  Saya dapat info kalau 1 SPF = 5 menit. Jadi kalau SPF 30 berarti melindungi kulit kita selama 150 menit, sekitar 2,5 jam. Kalau SPF 50 berarti 250 menit atau sekitar 4 jam.

Untuk PA biasanya diindikasikan dengan tanda +. Tanda + diartikan sebagai seberapa kuat kulit kita terlindung oleh UVA. Satu + berarti 2x lebih kuat, ++ berarti 4x lebih kuat dan +++ berarti 8x lebih kuat. Untuk iklim di Asia, yang disarankan adalah PA++.

Namun meski hitungannya seperti di atas, ada baiknya kita mengoleskan kembali tabir surya setiap dua jam sekali karena paparan sinar matahari berbeda-beda di tiap tempat. Pemakaian di tiap-tiap area tubuh pun ada takarannya. Takaran yang tepat adalah memakai metode ‘teaspoon rule’ atau aturan sendok teh.  Untuk area wajah, leher dan lengan, baiknya masing-masing 1 sendok teh sunblock. Untuk area dada, punggung dan kaki, masing-masing 2 sendok teh sunblock. Dengan takaran segitu, dijamin saat kamu pakai sunblock di muka nggak comeng-comeng kayak pakai topeng. Hehehe…

Varian Sun Care dari Nivea. Silakan pilih sesuai kebutuhan kamu ;)


Satya kok jadi banyak tahu ilmu tentang Sunblock, SPF, PA++ sih?

Sebenarnya itu karena Sabtu kemarin saya diajak ikut blogger and community gathering ke Pulau Bidadari, Kepulauan Seribu. Bersama NIVEA Indonesia, saya dan teman-teman lain dibekali ilmu baru tentang kesehatan kulit dari dokter spesialisnya langsung dan bermain games-games seru nan atraktif langsung di bawah matahari.

Beda penampilan, beda warna kulit, tapi perlindungannya sama-sama pakai Nivea dong ;)

Sesi belajar jadi model Nivea by Kelly Tandiono


Untuk saya pribadi, memakai sunblock memang sudah jadi kebiasaan sehari-hari. Saya senangnya sunblock yang tidak lengket di kulit, melindungi kulit dari UVA & UVB, tahan air karena saya seringnya main di laut, dan juga bisa melembabkan kulit. Dan ternyata semua itu dimiliki oleh produk-produk NIVEA SUN. Jadi, saya memang sudah memakai produk ini sejak dulu. Kini ada 18 varian produk mulai dari regular protection, kids, face, after sun dan juga tanning.

Tapi saya baru tahu ada produk NIVEA baru yang lebih pas buat saya yaitu Nivea Sun Invisible Protection Transparent Spray SPF50. Jujur nggak tahu awalnya kalau Nivea punya varian produk yang ini. Eh tahu-tahunya dikasih gratis sama NIVEA untuk dicoba dan dibawa pulang. Kyaaa! Terima kasih NIVEA! Pas dicobain semprot ke wajah sendiri memang enak, wangi dan juga nggak lengket di kulit. Nilai plusnya adalah spray ini transparan jadi nggak kayak pakai topeng putih kalau pakai sunblock. Super love it!

Ini jadi travel companion favorit saya yang baru!


Semua partisipan gathering kemarin diajak ke Pulau Kelor untuk seru-seruan menyelesaikan #EnjoyTheSun challenge yang disiapkan oleh tim NIVEA. Makin seru terasa karena ada bintang tamu spesial yakni Ramon Y Tungka dan Kelly Tandiono. Siapa sih yang nggak kenal mereka? Bertepatan dengan promo film terbaru mereka yang bertajuk ‘Labuan Hati’, Ramon dan Kelly terlihat sangat senang bermain bersama di Pulau Kelor. Meski langit tidak terlalu cerah, tapi terik panasnya tetap terasa. Tapi karena sudah pakai Nivea Sun, nggak perlu khawatir apa-apa karena kulit kita terlindungi.


Kak @TitiwAkmar bahagianya kebangetan pasti karena ketemu Bang Ramon yaaa...

Pose setelah model coaching-clinic by Kelly Tandiono


Oh ya, baiknya kita memakai sunblock 20 menit sebelum terpapar matahari langsung ya. Pun meski cuaca mendung, ada baiknya kita tetap memakai sunblock karena sinar UVA dan UVB ini tidak kasat mata dan tidak selalu terasa panas di kulit. Semakin tinggi suatu tempat, maka paparan sinar UVA & UVB akan semakin kuat. Itu kenapa kalau pendaki gunung tidak pakai sunblock, wajahnya pasti gosong dan terkelupas. Jadi  memakai sunblock itu, nggak harus saat ke pantai kan?

Waktu acara kemarin kita diberitahu juga kalau Ramon dan Kelly sedang mencari sepuluh orang untuk diajak jalan-jalan gratis ke Labuan Bajo / Kepulauan Komodo di Flores. Wah, semua langsung belingsatan ngiler mau ikutan.

Caranya mudah banget! Kamu boleh pilih mau jadi #TeamRamon atau #TeamKelly, follow Instagram @enjoythesunramon atau @enjoythesunkelly dan ikutan challenge-nya. Meski saya sudah berkali-kali ke Labuan Bajo, nggak akan pernah bosan untuk ke sana. Jadi, ikutan challengenya sama-sama yuk!

Team hore-hore #EnjoyTheSun







Perempuan yang #MemesonaItu Seperti Apa?

$
0
0


Apakah kamu pernah merasa terpesona melihat seorang perempuan? Apakah perempuan bisa terpesona karena perempuan lainnya? 

Tentu saja bisa.

Menurut saya (mungkin menurut kamu juga), setiap perempuan itu hebat, punya kisah yang bisa menginspirasi perempuan lain untuk berkembang dan melangkah lebih jauh, melampaui batas kemampuannya. 

Kata Mamak saya, perempuan itu memang layaknya bunga, yang punya cara sendiri-sendiri untuk mekar namun tetap memesona. Bahkan di kondisi paling sulit pun, perempuan itu harus bisa survive dan tumbuh di mana saja.

“Like wild flowers, you must allow yourself to grow in all the places people thought you never would”

Bicara tentang perempuan yang memesona, yang menghidupkan mimpinya dan menjadi inspirasi bagi saya, ini adalah beberapa diantaranya ;


Wanita #Memesonaitu yang Berani Menjelajah ; Dewi Patlia Novitasari


Perawakannya mungil, berparas cantik imut layaknya ABG baru lulus SMA, namun sudah menjelajah hampir semua provinsi di Indonesia. Meski berhijab, Devanosa, panggilan akrabnya, tak pernah merasa kerudung menjadi penghalang untuk bertualang. Mendaki gunung tinggi hingga menyelami lautan dalam, menelisik kampung adat dan budaya sudah menjadi penganan sehari-harinya. Deva menginspirasi banyak perempuan di Indonesia untuk berani menjelajah tanpa harus takut bahwa berhijab menjadi hambatan untuk bepergian ke sana ke sini. Benar-benar memesona kan?




A post shared by DEVANOSA 👻 (@devanosa) on


Wanita #Memesonaitu yang Berjuang untuk Lingkungan ; Githa Anathasia


Bukan hal yang mudah untuk menjadi penyuluh lingkungan. Bertahun-tahun tinggal di pulau terpencil untuk memberikan penyuluhan kepada masyarakat pesisir tentang pentingnya kelestarian alam bawah laut.  Penolakan di sana-sini mungkin sudah jadi makanan sehari-hari. Namun seorang wanita cantik berdarah Jawa bernama Githa Anathasia, membuktikan bahwa ia memesona dengan ketangguhan dan keuletannya untuk mengembangkan pariwisata berbasis lingkungan. Pun Kak Githa juga berjuang untuk mensejahterakan masyarakat dengan melatih mereka sebagai pelaku pariwisata. Kini, Githa sudah mantap mendedikasikan seumur hidupnya untuk terus mengembangkan Arborek, pulau kecil di gugusan Raja Ampat.



Wanita #MemesonaItu yang Berkarir Sepenuh Hati, Mewujudkan Mimpi ; Sri Anindiati Nursastri


Punya pekerjaan yang sudah menjadi passion tentu sangat menyenangkan. Sri Anindiati Nursastri atau yang akrab dipanggil Sastri, menghidupi mimpinya sebagai jurnalis portal berita kenamaan dengan segment favoritnya, travel. Tulisan-tulisannya apik dan menarik pembaca untuk menunggu cerita-cerita perjalanan berikutnya. Ia juga sangat senang membagi-bagi ilmu penulisan kepada siapa pun. Menjadi jurnalis adalah pekerjaan yang sangat menyenangkan baginya dan selalu dikerjakannya sepenuh hati.



Wanita #MemesonaItu yang Memaksimalkan Hidup dengan Berkarya ; Vira Tanka


Sejak dulu saya selalu terkagum dengan orang-orang yang sangat jago menggambar, apalagi perempuan. Bukan sekedar karena mereka memiliki bakat, namun juga karena mereka tidak berhenti untuk berlatih menggambar. Salah satu wanita yang saya kenal sangat jago menggambar adalah Vira Tanka, salah satu founder travel blog kenamaan di Indonesia, indohoy.com. Syaa sangat sangat sangat menyukai semua sketsa dan gambar yang dihasilkan dari tangannya. Dan tak ingin sekedar menggambar, Kak Vira mencetak sendiri sketsa-sketsa cantiknya di scarf, slingbag, notes, t-shirt, notes dan juga membuat postcards. Karya-karyanya digemari banyak orang dan terus berkembang. Saya sangat bangga bisa mengenalnya.

A post shared by Vira Tanka (@byviratanka) on

A post shared by Vira Tanka (@byviratanka) on

Empat perempuan di atas hanya sedikit dari banyak sekali wanita memesona yang saya kenal. Kalau menurut kamu, wanita yang #MemesonaItu seperti apa sih?

Yuk ikut blog competition #MemesonaItu dengan buka website ini. Kamu nggak punya blog? Tetap boleh ikutan dengan menulis langsung di micrositenya ya. Masih ada waktu sampai tanggal 10 April buat ikutan lomba ini lho!

Hadiahnya apa?

Nah, kalian berkesempatan untuk memenangkan dua kamera mirrorless dan juga hadiah cash jutaan rupiah plus hadiah-hadiah lainnya. Yuk langsung buka bit.ly/memesonaitu!

Good luck!


Jelajah Kampung Sendiri, Sibolga, Tapian Nauli

$
0
0

Seminggu sebelum Paskah, terbersit keinginan untuk pulang ke rumah. Apalagi, Mama akan berulang tahun. Sebagai si anak sulung yang sering bepergian dan jarang pulang ke rumah saat hari raya, saya merasa bahwa ini adalah saat yang tepat untuk pulang. Mama berulang tahun tanggal 14 April, perayaan Minggu Paskah bersama keluarga tanggal 16 April, dan ulang tahun almarhum Bapak tepat tanggal 17 April. Seminggu yang penuh dengan perayaan penting itulah yang menjadi magnet kuat saya untuk segera memesan tiket pesawat ke Medan. Anyway, kalau mendengar kata Medan / Sumatera Utara, apa sih yang terbersit di kepala teman-teman? Mungkin Danau Toba dan Samosir kali ya? Nah, kali ini saya mau ceritakan tentang kampung halaman Bapak saya, Sibolga.

Untuk mencapai Sibolga dari Bandung, saya terbang selama 2,5 jam dan masih harus melanjutkan perjalanan darat dari Bandara Kualanamu sekitar 10-11 jam. Memang sih, sudah ada penerbangan dari Medan ke Sibolga dua kali sehari, namun jadwalnya hanya di pagi hari dan seringkali penerbangannya dibatalkan. Beberapa kali punya pengalaman buruk saat ingin pulang langsung ke Sibolga naik pesawat, membuat saya lebih memilih duduk di dalam mobil travelselama 11 jam. Poin utamanya adalah yang penting sampai.

Tapi, kalian harus tahu dan bersiap untuk berdoa sepanjang jalan MedanSibolga karena sopir travel asli kelahiran Sumatera Utara sudah terbiasa menyetir dengan kecepatan tinggi di kondisi jalan apa pun. Bayangkan, saat perjalanan kemarin, saya sampai di Sibolga hanya dalam waktu 7 jam karena Abang Driver-nya begitu bersemangat menginjak pedal gas. Syukurnya, tidak ada penumpang yang muntah, hanya sedikit benjol di kepala karena seringkali kepala kami terbentur ketika mobilnya ‘terbang’.

Karena sering bepergian, saat pulang ke rumah, biasanya saya memilih untuk isthirahat atau membantu Momong berdagang di pasar. Lalu, saya teringat kalau saya belum pernah menulis daya tarik kampung saya sendiri. Sudah melanglang buana kemana-mana, tapi tidak pernah memperkenalkan rumah? Duh, saya malu.

Sibolga merupakan kota kecil di tepian teluk yang diapit perbukitan dan laut. Sebutan Tapian Nauli yang berarti tepian yang cantik, disematkan untuk Sibolga, kota yang juga menjadi penghasil ikan terbesar di Sumatera Utara (sekarang disebutnya ‘Sibolga Kota Ikan’). Baiklah. Mari, saya perkenalkan kepada kalian apa saja yang menjadi daya tarik kampung halaman Bapak saya:

1.     Pantai Wisata Indah (WI)
WI ini tempat nongkrong favorit orang Sibolga pada sore hari. Dinamakan Pantai Wisata Indah karena lokasinya persis di depan hotel Wisata Indah. Setiap sore, banyak pedagang membuka kios jajanan untuk menemani orang-orang bersantai sambil menikmati senja dan laut. Jika tidak sedang berombak, orang Sibolga senang mandi laut pada sore hari. Bisa bikin sehat dan tubuh lebih kuat, katanya.



2.     Tor Simarbarimbing
Selain menikmati panorama laut, sedari kecil, saya senang naik ke Bukit Tor Simarbarimbing untuk melihat Kota Sibolga dari ketinggian. Meski harus mendaki ratusan anak tangga, pemandangan dari puncak bukit akan membuat rasa letih saya hilang seketika. Apalagi, kalau naiknya menjelang senja. Saya bisa dapat pemandangan senja dan Teluk Sibolga.




3.     Tangga Seratus
Sebenarnya, jumlah anak tangganya ada lebih dari 100, tapi orang Sibolga menyebutnya tangga seratus sejak dulu. Dari atas, kita bisa melihat panorama Kota Sibolga dan Teluk Tapian Nauli, tapi tidak seluas saat kita memandangnya dari Tor Simarbarimbing.

4.     Pulau Mursala
Ditilik dari letak geografisnya, Pulau Mursala masuk ke wilayah administrasi Kabupaten Tapanuli Tengah, bukan Kota Sibolga. Namun, karena letaknya sangat dekat, orang-orang kerap mengenal bahwa Pulau Mursala berada di Sibolga. Yang membuat pulau ini terkenal adalah air terjunnya langsung mengalir ke laut. Konon katanya, air terjun seperti ini hanya ada beberapa di dunia. Saya sudah pernah bercerita tentang Pulau Mursala di sini, lho.



5.     Sibolga Square
Tempat yang hanya buka pada malam hari ini menjajakan beragam kuliner, seperti sate, nasi goreng, mie tek-tek, pempek, soto ayam, mie sop dan masih banyak yang lainnya. Ada juga Mie Gomak yang digadang-dagang sebagai makanan khas di Sumatera Utara. Namun, jika kalian bertandang ke Sibolga, saya menyarankan untuk menyicipi kerang rebus khas Sibolga. Apanya yang bikin khas? Bumbunya, dong! Di Sibolga, kerang rebus disantap bersamaan dengan saus spesialnya yang terdiri dari parutan nanas dan kacang tanah yang diulek ditambah kucuran jeruk nipis. Rasanya? Coba sendiri!



6.     Pelabuhan Lama Sibolga
Bagi penyuka gedung-gedung tua, mungkin akan tertarik mengeksplorasi banyak bangunan sudah terbengkalai yang banyak dialihfungsikan menjadi gudang. Tapi, lokasi ini bagus untuk foto-foto, lho. Saya kerap berandai-andai jika pemerintah Sibolga mau merenovasi gedung-gedung tua ini pasti akan menjadi objek wisata yang sangat menarik. Yah, seandainya.

7.     Jembatan Kuning Sibolga
Jembatan ini baru saja rampung dan mungkin ke depannya akan menjadi objek wisata menarik di Sibolga, di mana para pengunjungnya bisa bersantai sore sambal berjalan-jalan di atas jembatan yang dibangun di tengah laut ini. Enaknya sih, datang saat pagi atau sore hari ketika matahari tidak terlalu terik dan angin laut sepoi-sepoi membelai wajah.

8.     Rujak Ulek dan Cendol Pasar Belakang
Saat pulang ke Sibolga, saya tidak pernah lupa untuk menyambangi rujak ulek dan cendol pasar Belakang yang menjadi langganan saya sejak SD. Di kawasan pasar Belakang, kalian juga bisa menemukan banyak ikan asin yang menjadi komoditi khas dari Sibolga selain ikan segar.

9.     Pajak Nauli Sibolga
Bila ingin melihat jantungnya Kota Sibolga, datanglah ke Pajak Nauli. Pajak di sini bukan berarti kantor pajak ya, tetapi sebutan untuk pasar. Dulu sempat bingung juga kenapa orang-orang sering pergi ke Pajak (karena dulu, saya pindah sekolah dari Bengkulu ke Sibolga). Ternyata, maksudnya adalah pasar, toh. Kalian bisa mencoba kuliner mie sop yang ada di Pajak. Warung-warung di pasar ini juga menjajakan penganan khas Sibolga, panggang pacak, serta ikan yang dilumuri bumbu kuning dan dibakar.

10.Pantai Pandan, Pantai Kalangan, dan Pantai Bosur
Sama seperti Pulau Mursala, pantai-pantai ini juga berada di Kabupaten Tapanuli Tengah. Tapi, orang-orang pasti pergi ke Pantai Pandan, Pantai Kalangan, dan Pantai Bosur saat bertandang ke Sibolga. Pantai-pantai ini bersebelahan dan bisa dieksplor dalam waktu yang bersamaan. Di akhir pekan, pantai ini ramai dengan keluarga yang berpiknik ria.

11.Pantai Mela
Pantai ini persis di halaman belakang rumah saya dan yang menjadi favorit saya adalah suasananya lebih sepi ketimbang pantai lainnya. Rasanya enak betul setiap sore bisa duduk santai di belakang rumah sambil menikmati senja. Ada beberapa warung yang menjajakan pisang goreng dan es kelapa muda. Bayangkan saja betapa nikmatnya hidup di Sibolga.




12.Pulau Putri
Pulau ini lokasinya dekat dengan Pulau Mursala dan bisa ditempuh dengan naik speed boat selama kurang lebih satu jam. Meski pulaunya tidak terlalu besar, terumbu karangnya akan menggoda kamu yang senang dengan dunia bawah laut. Laut biru jernih dan pantainya yang berpasir putih akan membuat kamu betah berlama-lama di pulau ini. Untuk cerita lengkap tentang Pulau Putri, bisa kalian baca di siniya.



Sebenarnya, tempat-tempat yang aku sebutkan di atas hanya sebagian kecil dari pesona wisata yang dimiliki Sibolga dan Tapanuli Tengah. Bahkan Barus, kota kecil yang bersebelahan dengan Sibolga juga sangat menarik buat diulik. Jadi, pastinya masih ada banyak lagi tempat-tempat menarik di sana.

Akhirnya, saya berencana untuk tinggal lebih lama di Sumatera Utara untuk mengeksplorasi setiap sudut Sibolga dan Tapteng sampai satu email masuk ke dalam kotak surat saya. Isinya? Diajak ke Melbourne tanggal 6 Mei mendatang. Hatiku riang, girang tak terkira.

Sampai saya menyadari sesuatu. “Laaaahhh, 6 Mei kan, dua minggu lagi!”, pekik saya saat membaca email itu. Duh, mulai kalang kabut karena posisi masih di Sibolga, sedangkan saya harus mengurus Visa Australia secepatnya.

Saat itu, yang terpikir di benak saya pertama kali adalah harus reschedule tiket pesawat secepatnya untuk pulang ke Jakarta karena tiket pulang saya dijadwalkan ke Bandung. Makin was-was lah saya karena reschedule-nya bukan cuma jadwal, tetapi juga destinasinya.

Karena waktu itu booking tiket pesawat PP dari mobile apps Traveloka, saya buka lagi aplikasinya dan ternyata ada fitur Easy Reschedule yang bisa mengubah jadwal penerbangan langsung. Jadi, saya tidak harus datang ke kantor maskapai atau repot menelepon Customer Service maskapai. Pun di Sibolga, tidak ada kantor maskapai Citilink yang tadinya saya pesan untuk pulang dari Medan ke Bandung. Repot kan, kalau disuruhnya datang ke kantor maskapainya.

Sebelum mengulik fitur tersebut, saya sempatkan untuk intip website Traveloka untuk memastikan hal-hal terkait Easy Reschedule, seperti syarat dan ketentuan yang biasanya jarang orang-orang perhatikan. Jangan sampai kita salah informasi ya, kan? Yang paling saya ingat adalah bahwa tidak semua maskapai menyediakan layanan ubah salah satu jadwal dari tiket PP yang sudah dibeli di satu maskapai, biasanya disebut ubah secara parsial. Kedua, kita akan dikenakan biaya adminstrasi untuk mengubah jadwal penerbangan dalam atau luar negeri. Masing-masing nominalnya berbeda. Ketiga, jika tiket yang diubah lebih murah dari tiket yang baru, kita akan mendapat refund, namun sebaliknya, kita harus membayar tambahan harganya. Fair enough.

Saya cobalah untuk klik “Manage Booking” di aplikasi Traveloka dan muncul tiga pilihan, yaitu ‘Reschedule’, ‘Refund’ atau ‘Contact Traveloka’. Saya klik Reschedule dan memilih penerbangan yang akan saya ubah jadwalnya. Yang bikin saya kaget, ternyata saya nggak hanya bisa ubah jadwal terbang, tetapi juga destinasi dan maskapainya. Jadi, misalkan kamu awalnya terbang dengan Citilink, lalu mau menggantinya menjadi Batik Air, bisa lho! Namun, saya tetap memilih maskapai Citilink dengan hanya mengubah destinasi dari Medan–Bandung menjadi Medan–Jakarta.




Saat memilih jadwal penerbangan yang baru, kita langsung diberitahu berapa perkiraan biaya untuk reschedule. Ada yang gratis lho,alias 0 rupiah. Itu artinya nggakperlu menambah biaya lagi. Enak betul!

Tetapi, karena tetap memilih Citilink, saya harus menambah biaya sebesar Rp50.087. Yah, nggak mahal-mahal amat lah. Setelah melakukan pembayaran, saya langsung menerima kode booking penerbangan saya yang baru. Semudah itu ya, sekarang buat reschedule flight. Padahal dulu, ya ampun, ribet sekali hanya untuk pindah jam terbang saja.


Saya janji akan pulang lagi ke Sibolga secepatnya untuk mengulas semua potensi wisata di sana. Sekarang, mari fokus mengurus Visa Australia, sendiri. Hahahaha. Wish me luck, ya!

Mingalabar Myanmar; Kesan Pertama Menyapa Burma #Escapers17

$
0
0
Calon Bhikkuni berjalan menyusur jalanan di Yangon
“Mingalabar, welcome to Myanmar, how was your flight?” ujar seorang laki-laki yang mengenakan baju kuning dan sarung hitam kepada kami yang baru tiba di Yangon International Airport, sambil tersenyum. Ia mengucapkan kalimat itu dalam bahasa Inggris dengan dialek yang belum akrab di telinga saya dan saya tergelak karena parasnya yang lucu. Namanya Min-min, local guide yang akan menemani kami mengeksplorasi Myanmar beberapa hari ke depan.

Awalnya, saya sempat terheran mengapa Min-min mengenakan sarung ke bandara. Lalu saya menyadari bukan hanya Min-min yang mengenakan sarung, melainkan hampir seluruh lelaki yang saya lihat di bandara, bahkan supir taksi dan bus yang menyetir pakai sarung.

Ketika diperhatikan lagi ternyata para perempuan di Myanmar juga mengenakan sarung namun corak warnanya lebih menarik dibanding sarung yang dikenakan para lelaki. Dari Min-min saya tahu bahwa itu adalah bawahan khas Myanmar yang biasa disebut ‘longyi’ (dibaca ; longji). Di Indonesia, sarung juga sudah melekat sebagai identitas, namun tampaknya tak sekental Myanmar. Mungkin untuk orang kita, sarung identik dengan pakaian rumah atau ke masjid atau pura, sedangkan di Myanmar, lelaki dan perempuan memakai sarung hampir ke mana saja, ke kantor, ke bandara, ke kuil, ke mall, ke mana-mana. Mereka juga jarang memakai sepatu dan lebih memilih memakai sandal jepit ke mana-mana.

Coba di Indonesia kamu pergi ke mall pakai sarung, mungkin jadi bahan tertawaan. Tapi kalau Asoka Remadja sih pengecualian ya, sahabat yang tak pernah mengenakan celana (pakai kain doang) yang juga jadi partner saya di #Escapers17 Myanmar memang tiada dua uniknya!

Selain mengenakan ‘Longyi’, para perempuan di Myanmar juga membubuhkan bedak dingin di wajah yang mereka sebut ‘Thanaka’. Selain berfungsi sebagai tabir surya, ‘Thanaka’ juga dipakai agar kulit tetap adem karena suhu di sana saat siang hari bisa lebih dari 40 derajat celcius. Tapi lucunya saya juga menjumpai banyak petugas wanita di Bandara Yangon yang memakai ‘Thanaka’ padahal mereka bekerja di ruang berpendingin udara. Mungkin karena sudah terbiasa kali ya.

Potret stasiun di Yangon

Setelah Min-min mengecek setiap anggota rombongan #Escapers17, kami digiring untuk naik ke bus tua yang mirip dengan bus yang beroperasi di Jakarta sekitar tahun 80’an. Meski nampaknya ringkih, bagian dalam busnya bersih, wangi dan setiap kursinya diberi alas duduk bulu-bulu sehingga empuk. Ternyata enak juga bis ini, tidak sejelek penampakan luarnya, pikir saya. Nah kan, makanya don’t judge the book by its cover.

Saat bus  mulai bergerak melaju keluar dari bandara, seketika itu pula saya bingung karena bis ini memakai jalur kanan tetapi stir-nya juga di kanan. Lho kok? Biasanya kan kalau stir kanan jalannya di kiri dan stir kiri jalannya di kanan. Lha ini stir kanan, pintunya di kiri, jalan di kanan. Kalau lagi naik angkutan umum, turunnya di tengah jalan dong? Hahaha…

Bayangkan, mobil setir kanan tapi jalan juga di kanan xD

Tempat yang kami tuju tidak terlalu jauh dari bandara, tapi macetnya memang luar biasa, bahkan menurut saya lebih parah dari Jakarta. Karena itulah pemerintah Myanmar melarang sepeda motor melintas di Yangon untuk mengurangi kemacetan. Ternyata hasilnya sama saja dan tetap macet di mana-mana. Taksi-taksi dan bis-bis tua berjubelan di jalan dengan klakson tiada henti berisiknya. Sesekali terlihat becak kecil menyempil diantara kemacetan itu pasrah tak berdaya. Ya, di Yangon sepeda motor memang sudah tidak ada tetapi becak masih (sedikit) berjaya.

Daripada menggerutu karena macet panjang tak berkesudahan, saya memilih untuk memperhatikan Min-min saja yang sedang menjelaskan tentang sejarah Myanmar dan ingin saya bagikan untuk kalian di sini. Min-min bercerita bahwa dahulu, Republik Persatuan Myanmar dikenal dengan nama Birma / Burma karena memang etnis terbanyak di Negara ini adalah Birma ( Burmese). Burma diganti menjadi Myanmar dengan alasan agar etnis lain selain Birma seperti Karen, Kayah, Mon, Kachin, Shan, Senin, Rakhine dan Chin, merasa menjadi bagian dari negara. Yangon yang dulunya bernama Rangoon tidak lagi menjadi Ibukota Myanmar melainkan Naypyidaw sejak tahun 2005 berdasarkan keputusan pemerintahan junta militer. Namun karena infrastruktur di Yangon masih jauh lebih baik, Yangon tetap masih dianggap sebagai Ibukota hingga sekarang.

Myanmar dulunya merupakan jajahan Inggris sehingga tak ayal banyak bangunan tua peninggalan ala Britania tersebar di Yangon namun sayangnya kurang terawat.  Myanmar merdeka tahun 1948 dari Inggris namun tak semerta-merta bisa langsung berkembang seperti Indonesia. Banyak sekali konflik yang menjadi catatan kelam Negara ini baik itu kasus pelanggaran HAM, rezim militer tak berkesudahan, konflik antar etnis, Rohingya dll. Lepas dari jajahan asing, Myanmar menjalani era penjajahan baru oleh kaum elitnya sendiri hingga berpuluh-puluh tahun.

Naik sepeda juga tetap pakai 'long yi' ya Pak...

Meski didera konflik, sebenarnya orang Myanmar sangatlah ramah kepada pendatang. Mereka sangat murah senyum meski tidak bisa berbahasa Inggris. Mereka sama sekali tidak merasa asing dengan wisatawan asing. Myanmar sudah mulai membuka diri kepada dunia luar dan  tidak lagi sekelam cerita atau film tentang Burma yang mungkin pernah kamu tonton. Pun menurut saya, Myanmar aman untuk solo traveler khususnya perempuan.

Hanya saja, Myanmar ini sedikit telat berkembang teknologinya. Bayangkan handphone saja baru banyak dipakai oleh penduduk Myanmar sekitar tahun 2012. Jadi jangan terlalu berharap banyak dengan kecepatan internet di sana ya. Provider lokal yang kemarin saya pakai adalah MPT yang dengan harga 10 USD dapat kuota 1GB dan free-access Facebook. Htoo, teman baru saya dari Myanmar juga bilang, orang Myanmar sekarang keranjingan main facebook dan tidak tertarik dengan social media lain seperti twitter atau instagram.

Mata uang Myanmar adalah Kyatt (dibaca ; chat) yang kursnya 1 USD = 1000 Kyatt. Kalau diubah ke rupiah, dikali 10 aja, misalkan 500 Kyatt berarti 5000 rupiah. Tapi sebaiknya sih tidak usah menukar Kyatt banyak-banyak karena kalau sisa, tidak bisa ditukar lagi di luar Myanmar. Untuk kebutuhan bayar tiket bus, restoran, hotel, rental mobil, pakai USD juga diterima kok.

Sambil tetap mendengarkan penjelasan Min-min, saya memperhatikan jalanan Yangon dari jendela bus. Sambil berjalan, orang Myanmar sering meludah sirih pinang. Jadi jangan heran kalau melihat bercak-bercak merah di jalan. Itu bukan darah tapi sirih pinang. Seketika saya langsung teringat orang Papua yang juga suka meludah sirih. Sebagai penyuka sirih, saya merasa wajib coba dong sirih pinang Myanmar.

Rasanya?

Kayak makan daun pakai bedak bayi. Ada sesuatu yang mereka bubuhkan seperti krim putih yang tadinya saya kira kapur seperti di Indonesia namun ternyata berbeda. Saat dikunyah rasanya memang seperti mencecap bedak atau lotion bayi. Saya tahu betul karena itu seperti lotion yang saya pakai sehari-hari. Hahahaha. Selain karena rasanya, saya juga terkejut karena sirih pinang ini cukup memabukkan juga. Kepala saya sempat pusing untuk beberapa waktu lamanya setelah memakan sirih pinang Myanmar ini. Saya sampai harus meminum beberapa botol air mineral untuk menghilangkan rasa pusingnya.

Pedagang sirih lokal yang bisa ditemui di tiap sudut kota Yangon. Berani coba?
Cerita di atas baru pembuka dari perjalanan saya di Myanmar. Tujuan utama saya datang ke Myanmar sebenarnya untuk familiarization trip bersama Accor Hotels. Ada 10 negara yang ikut berpartisipasi dalam keseruan acara berjudul #Escapers17 ini.  Selama di Myanmar, kami akan diberikan tantangan semacam ‘Amazing Race’ gitu. Asoka dan saya jadi perwakilan dari Indonesia tentu saja sangat bersemangat untuk menyelesaikan permainan super seru ini sambil mengeksplorasi daya tarik Myanmar. Masih ada cerita seru tentang perjalanan #Escapers17 di Myanmar ini yang akan aku tulis. Ditunggu ya ;)

Guide kami Min-min dan Mr Phillipe yang mewakili Accor Hotels di opening #Escapers17 Myanmar




[Review] Sabun - Hand Body Purbasari Zaitun Series

$
0
0


“Main panas-panas matahari boleh, asal ingat buat rawat kulit. Kau itu perempuan” kata Mama saya suatu hari saat saya pulang ke rumah sehabis traveling berbulan-bulan.

“Itu ada lulur Mama di kamar mandi, pakai itu dulu buat gosok kulit badakmu itu”, tambahnya lagi.

Tak mau membantah, saya pergi mandi dan mencoba lulur Purbasari yang ada di rak sabun. Karena saya tomboy, saya awalnya nggak terlalu peduli sama penampilan. Namun karena Mama bilang perempuan itu harus bisa merawat kulit saya jadi tergugah untuk mencoba produk-produk perawatan kulit punya Mama, belum beli sendiri.

Sejak saat itulah, Purbasari jadi teman baik saya untuk menjaga kulit tetap sehat ke mana pun saya bepergian. Semua varian lulur Purbasari sudah saya coba dan cocok. Saya sih tidak berharap kulit saya jadi putih mulus wong kerjaannya di bawah matahari terus. Tetapi saya ingin punya kulit sehat, apa pun warnanya, tetap terawat.

Pakai tabir surya saja sebenarnya nggak cukup melindungi kulit kita agar tetap sehat lho. Perawatan yang pertama kali kita lakukan tentu saja saat mandi dan beberapa saat setelahnya. Berarti yang pertama kali bersentuhan dengan kulit kita saat mandi adalah?

Yap! Sabun! (dan lulur juga)

Kali ini, sebagai pengguna setia Purbasari, saya mau berbagi review, pengalaman saya mencoba produk sabun dari Purbasari yang teranyar, Sabun Zaitun. Sejak zaman Cleopatra, zaitun juga sudah dikenal sebagai bahan alami yang baik untuk merawat kulit. Selain karena fungsinya, banyak perempuan yang suka dengan produk zaitun karena wanginya.



Sebenarnya lulur Purbasari juga bisa digunakan untuk menjadi pengganti sabun karena aman dipakai setiap hari. Namun pasti diantara teman-teman yang tetap merasa aneh kalau mandi pakai lulur terus jadi tetap memilih sabun. Tak apa. Kan kita bebas memilih.

Sabun zaitun ini ukurannya tidak terlalu besar dan berwarna putih. Sejak saya keluarkan dari kotaknya, aroma wangi zaitunnya sudah menguar dan bikin rileks seketika. Saya langsung mengguyurkan air ke badan dan menggosokkan sabun hingga ujung kaki.

Tidak banyak busanya saat saya pakai dan ternyata itu karena Purbasari Sabun Zaitun tidak mengandung terlalu banyak Sodium Laureth Sulfate atau SLS. SLS ini bahan yang biasanya terkandung di dalam sabun yang bukan busanya melimpah-limpah. Tapi teman-teman harus tahu kalau kandungan SLS ini juga tidak terlalu baik untuk kesehatan kulit. Nggak percaya? Coba cari infonya sama Mbah Google.

Mandi pakai Purbasari Sabun Zaitun ini juga nggak bikin kulit kita keset karena mengandung minyak zaitun dan juga moisturizer. Sabun zaitun ini berfungsi untuk melembutkan kulit, mencerahkan kulit dan melembabkannya sepanjang hari. Padahal kalau orang Indonesia mikirnya kalau kulit keset artinya mandinya sudah bersih. Hmmm, padahal itu salah kaprah lho. Kalau misalnya kita merasa kulit kita keset setelah mandi, itu tanda-tanda awal kulit kita akan sangat mudah kering.

Supaya nggak kering, pakai apa dong?

Ya body lotion!

Karena sudah mandi dengan Purbasari Sabun Zaitun, saya juga mencoba Purbasari Hand & Body Lotion Zaitun nya. Sama seperti sabun tadi, begitu dibuka, wangi zaitunnya sudah menguar. Teksturnya kental, nggak encer, dan saat dioleskan ke kulit langsung meresap dan nggak lengket. Wah, enak banget nih pakai lotion yang sekali ulas.



Purbasari Hand & Body Lotion Zaitun ini juga mengandung minyak zaitun, vitamin E dan antioksidan yang bisa melindungi kulit kita dari efek buruk sinar matahari, antioksidannya melindungi kulit kita dari radikal bebas dan kulit tetap lembap sepanjang hari. Buat teman-teman yang setiap hari berada di ruangan ber-AC penting banget untuk rutin mengoleskan body lotion agar kulit tidak kering dan pecah-pecah.

Kalau saya pribadi, memang selalu bawa body lotion di dalam ransel karena paling nggak suka kalau kulit kering dan kasar. Dipakainya sehabis mandi, saat beraktivitas dan juga sebelum tidur supaya kulit kita regenerasinya baik. Pun Purbasari Hand & Body Lotion Zaitun ini mengandung triple moisturizing agent yang membantu regenerasi baik kulit kita. Jadi pilihan saya sudah pas dong memilih Purbasari Zaitun Series?



Dan enaknya, Purbasari ini harganya ekonomis dan mudah kita temukan di seluruh penjuru Indonesia. Untuk sabun, harganya berkisar Rp 6.500,- dan body lotion nya sekitar Rp 20.000,-.  Bersahabat di kantong kan?

Teman-teman juga bisa baca info-info lengkap tentang Purbasari Zaitun Series ini di sini ya...


Jika kesulitan menemukan produk Purbasari Zaitun Series ini di kota kamu, bisa dibeli online di sini dan selamat mencobanya ya...








Keliling Yangon dalam Satu Hari Pakai Longyi

$
0
0

“Sok, bawa sepatu kan di tas? Habis press conference, kita langsung race lho” ujar saya pada Asoka, partner #Escapers17 dari Indonesia, sewaktu kami duduk manis di dalam bis.

“Heeee? Bukannya kita balik hotel dulu ya?” tanya Asoka dengan wajah lugu.

“Yeeeee mana ada kita balik ke hotel. Kan kita langsung race hari pertama. Terus kau mau pakai apa? Sandal kayumu ini?” jawab saya sambil menunjuk kakinya dan tergelak.

Hahahaha...

“Ya sudah nanti sambil jalan cari sandal pengganti deh. Capek gila gue kalau jalan kaki kemana-mana pakai sandal ini” jawab Asoka.

Saat kami tiba, suhu udara di Yangon hampir 40 derajat celcius, terbayang nggak jalan kaki keliling kota pakai sandal kayu? Kalau pakai sandal 'burung walet' sih lebih mending ya. Saya sih memakai sepatu tapi ternyata agak menyusahkan juga. Di hari itu juga saya baru mengerti mengapa hampir semua orang di Yangon memakai sandal. Alasannya supaya memudahkan saat masuk ke pagoda atau kuil karena tidak diperbolehkan  mengenakan alas kaki. Agak sedikit ruwet buka pakai sepatu dan kaos kaki setiap masuk dan keluar tempat-tempat tadi.

Me and Asoka Remadja, Escapers17 from Indonesia!


My favorite little boy on the trip and he has travelled many countries in that such young age! Follow him @boyeatsworld

Challenge pertama kami hari itu adalah mengunjungi beberapa lokasi bersejarah di pusat Kota Yangon. Kami diberikan waktu 3 jam untuk mengelilingi empat spot yang sudah ditentukan dan dibekali dengan amplop berisikan uang 10.000 Kyatt atau kurang lebih Rp 100.000,-. Uang itu bisa kami gunakan untuk naik taksi atau becak, bisa juga untuk jajan cemilan dan minuman dingin di tepi jalan. Selain uang, kami juga dibekali boneka kayu khas Myanmar yakni “Pyit-Tian-Tung” atau kita singkat saja PTT.

Becak di Yangon kecil dan cuma muat satu orang, itu pun nggak leluasa duduknya karena sempit.

Abang becaknya bingung kali ya ada dua orang asing tiba-tiba naik becaknya dan minta foto bersama.
Melihat hampir semua pria dan wanita di Yangon memakai longyi (bawahan sarung khas Myanmar), saya juga ingin mencobanya. Apa ya rasanya jalan kaki keliling kota memakai longyi, pikir saya. Kebetulan setiap peserta #Escapers17 mendapatkan satu longyi sebagai hadiah penyambutan. Ya kenapa tidak dipakai langsung? Kan sekalian mengimbangi Asoka juga yang ke mana-mana selalu pakai kain. Biar kembar.

Ini dia tempat-tempat yang kami sambangi di Yangon ;

1.     Telegram Office Yangon
Bangunan peninggalan Britania Raya ini berwarna merah dan tidak terlalu terawat namun tetap berfungsi hingga kini. Seketika saya ditarik ke masa lalu dan membayangkan proses kirim dan terima telegram dari gedung cantik itu. Myanmar memang agak jauh tertinggal untuk perkembangan teknologi. Bayangkan, ponsel saja baru ada sekitar tahun 2012 di sana. Paket internet nya juga jadi mahal seperti paket internet di Indonesia sepuluh tahun lalu.



2.     Sule Pagoda
Awal tahu nama pagoda ini, saya terkekeh dan kalian pasti tahu alasannya kenapa. Masih kenal pelawak Indonesia bernama Sule kan? Hahaha.

Saya dan Asoka masuk ke dalam pagoda ini tentunya dengan melepaskan alas kaki terlebih dahulu. Ada petugas di pintu masuk yang akan menyimpan sepatu kita (petugasnya selalu pakai sarung tangan plastik) dan kita diberi  nomor lokernya. Kami masuk ke bagian dalam pagoda berjingkat-jingkat dan tidak bersuara sama sekali.



Di dalam pagoda ternyata cukup ramai orang. Saya jadi berpikir mungkin aktivitas terpenting di Myanmar adalah bekerja dan berdoa di pagoda. Mereka duduk bersimpuh menghadap ke pagoda dan melantunkan doa dan puji-pujian tak henti. Biaya untuk masuk ke pagoda ini 4.000 Kyatt.

3.     Independent Monument of Myanmar

Lokasinya berada tepat di seberang Sule Pagoda. Monumen ini terletak di tengah taman rumput yang cukup luas. Banyak pemuda yang mengenakan kemeja putih kaku (mungkin pakai kanji) serta longyi duduk di sekitaran taman ketika kami di sana.

Saat saya sedang mengambil potret monumen, salah satu pemuda mendekati dan bertanya “Where are you come from?” dengan sedikit terbata-bata. Saya jawab “From Indonesia” sambil tersenyum. Si pemuda itu langsung dengan sumringah berkata “Ah Indonesia, apa kabar, terima kasih” dengan pelafalan yang baik sehingga membuat saya sedikit terkejut. Saya balas dengan tawa sambil berujar “baik, terima kasih, terima kasih. Mingalabar (salam dalam bahasa Burma)”.

Rasanya ingin lebih lama mengobrol dengan pemuda itu. Penasaran apakah dia pernah ke Indonesia sebelumnya atau belajar bahasa Indonesia di Myanmar sehingga bisa melafalkan sebaik itu. Namun Asoka sudah memberi kode dari jauh agar kami segera pergi karena masih harus menyelesaikan tantangan #Escapers17. Karena tergesa-gesa, saya juga lupa meminta foto bersama atau sekedar menanyakan nama. Semoga kita berjumpa di lain waktu ya Abang berkemeja putih berkanji.

PTT berpose di Independent Monument of Myanmar


4.     St Mary Cathedral Yangon

Gereja Katedral Katolik di Yangon ini hampir serupa dengan gereja katedral di berbagai Negara. Khas dengan dua menara kerucut di bagian atap gereja. Sayang sewaktu kami datang ke sana, gereja nya tutup sehingga kami tidak bisa masuk dan melihat-lihat bagian dalamnya.

Saya penasaran seperti apa interior dalam gereja, sayang sedang tutup.


5.     Bogyoke Aung San Market (Scott Market)

Referensi untuk belanja oleh-oleh khas Myanmar ya di Bogyoke Aun San Market ini. Di pasar ini, kami sempat menyicip teh susu yang jadi favorit orang Myanmar dan cara menikmatinya adalah sambil duduk di kursi-kursi dan meja kecil seperti di taman bermain. Saya suka sekali teh susunya meski Asoka bilang terlalu manis. Harga satu cangkir kecil teh susu ini 700 Kyatt atau 7000 rupiah.

Kalau di Indonesia bapak-bapak sering nongkrong di kedai kopi, di Yangon nongkrongnya di kedai teh susu.


Di pasar ini juga dijajakan banyak longyi dengan kisaran harga 35 USD atau 35.000 Kyatt. Agak mahal memang tapi kan sebanding dengan proses pembuatannya. Miriplah harganya dengan kain tenun di Indonesia. Enaknya, longyi, khususnya untuk perempuan, sudah dilengkapi dengan tali jadi tinggal dililit dan diikat sesuai lingkar pinggang masing-masing. Karena saya sudah dapat longyi satu, saya tidak beli lagi.


Kami juga sempat menyicip es tebu yang harganya cuma sekitar Rp 5000
Di pasar ini juga, Asoka akhirnya membeli sandal jepit seharga 3000 Kyatt. Syukurlah kaki Asoka belum melepuh harus berjalan dengan sandal kayu di bawah terik matahari Yangon. Saya salut pada partner jalan yang satu ini karena setelah berjalan berjam-jam pakai sandal kayu, wajah Asoka masih terlihat sumringah padahal kakinya melepuh tuh pasti.

Sudut pasar yang menjajakan perhiasan. Myanmar juga dikenal dengan batu mulianya.


6.     Shwedagon Pagoda

Pagoda ini adalah pagoda terbesar dan juga merupakan icon dari Kota Yangon. Biaya masuknya 8000 Kyatt per orang. Saat masuk ke dalam pagoda, saya ternganga karena untuk naik ke bagian teratas, kita harus naik escalator tiga kali dan melewati pemeriksaan x-ray macam di bandara. Setiap orang baik pria dan wanita wajib mengenakan pakaian tertutup dan melepas alas kaki saat memasuki pagoda berlapis emas terbanyak ini.

Konon katanya, Shwedagon Pagoda dilapisi belasan kilogram emas, dihiasi 3154 lonceng emas dan puluhan ribu intan dan batu mulia. Ah mungkin itu alasannya penjagaan dan pengawasan di pagoda ini sangat ketat. Banyak harta karun ternyata. Pun katanya di dalam pagoda ini tersimpan banyak barang-barang suci Buddha yang juga sering diincar pencuri barang koleksi museum atau kuil.

Waktu terbaik untuk berkunjung ke pagoda ini adalah sore menjelang malam. Karena kita akan bertelanjang kaki selama berkeliling pagoda, sore hari adalah waktu yang pas karena lantai tidak terlalu panas. Favorit saya adalah potret pagoda saat blue hour. Saat langit berubah warna menjadi biru, dan warna emas menguar di langit, terpancar dari 'hti' pagoda. Kita boleh ikut menyalakan lilin dan berdoa juga di sana.



Sebenarnya masih ada tempat-tempat di Yangon yang ingin saya tunjukkan kepada teman-teman sekalian. Tapi karena takut kalian capek karena post ini kepanjangan, dilanjut ke post berikutnya ya. Ditungguuuu.....









Blusukan di Pasar Tradisional Nyaung Shwe Myanmar

$
0
0

“Mingalabar, be lau’le?” tanya saya sambil menunjuk setumpuk cabe merah yang ada di atas tampi kepada seorang Ibu pedagang.

Wajahnya terlihat bingung saat ingin menjawab saya, mungkin karena saya berbicara bahasa Burma dengan logat yang aneh. Saya tanyakan sekali lagi dan memberi isyarat dengan mengangkat cabe itu dan mengarahkannya ke saya, barulah kemudian dia memberi isyarat angka 7 dan nol dua kali dengan jari. Ah pasti jawabannya 700 Kyatt. Saya mengangguk, si Ibu memasukkan cabe merah ke dalam plastik lalu saya memberikan uang 700 Kyatt nya. Transaksi jual beli kami berlangsung tanpa banyak berbicara namun syukurlah bisa saling mengerti.

Ibu pedagang cantik nan baik hati...
Hari itu terasa sangat seru karena kami, tim #Escapers17 dari sepuluh Negara Asia Pasifik, mendapatkan challenge untuk memasak makanan tradisional Myanmar, salad sayur (yang menurut saya lebih cocok disebut asinan) yang dikenal dengan sebutan ‘Lephet Thoke’.

Namun sebelum kontes memasak dimulai, kami harus berbelanja bahan-bahannya dulu di pasar. Sebagai #AnakPasar, saya senang betul berkesempatan mengunjungi langsung pasar tradisional di Myanmar. Jadilah kami menyambangi Pasar Lokal di Nyaung Shwe, Shan State. Setiap tim hanya dibekali uang 5000 Kyatt saja, jadi harus pintar-pintar membelanjakannya.

Mereka sedang menyantap semacam mie kuah. Ingin coba tapi tak sempat.
Bus yang membawa kami diparkirkan tidak jauh dari pintu pasar. Senyum bapak-bapak tukang becak tersungging menyambut kami saat masuk pasar. Mereka tentu bingung karena pasar bukanlah tempat yang biasa didatangi turis dan lalu ada segerombolan manusia berbaju hijau (t-shirt seragam kami hari itu) masuk ke pasar. Saya dan Asoka langsung bergegas mencari bahan-bahan yang ada di dalam daftar belanjaan. Yang sulit kami temukan hanya dua yaitu udang kering dan mixed nuts untuk membuat salad. Karena para pedagang di sana tidak mengerti bahasa Inggris, akhirnya kami menemukan cara untuk dapat berkomunikasi dengan tepat kepada para pedagang di pasar itu, yakni dengan menunjukkan gambarnya dari ponsel kami. Mereka baru mengerti setelah melihat gambarnya dan menunjukkan arah menuju lokasi kios yang menjual bahan yang kami cari. Hahahaha…

Becak yang berjejer rapi di depan pintu pasar...


Ada satu kejadian yang membuat saya senyum-senyum ketika berbelanja di pasar itu. Ketika masih ada bahan makanan yang tertinggal, ingin beli bawang putih, kami kembali membelinya ke kios pertama yang kami datangi.  Tahu-tahunya, si Ibu memberikannya kepada kami gratis, tidak mau dibayar. Saya terharu dengan kebaikan Ibu itu. Kurang ramah apa coba orang-orang di Myanmar. Selain murah senyum, mereka juga sangat murah hati.

Buat saya pribadi, menyambangi pasar ini membuat hati saya sangat senang, meski hanya diberikan waktu setengah jam saja. Kepinginnya bisa lebih lama main di pasarnya buat melihat aktivitas di pasar, mencoba jajanan pasarnya, berinteraksi dengan orang-orang di sana. Namun apalah daya jika jadwalnya sudah padat dan tak boleh mangkir.

Pasar tradisionalnya cukup bersih dan nggak becek


Laki dan perempuan, hampir semua pakai 'thanaka'

Selain membeli bahan-bahan untuk kontes memasak, saya menyempatkan mencari kopi Myanmar yang dititip oleh teman baik saya. Sayangnya saya tidak menemukan kopi yang dia mau. Adanya kopi sachet yang sudah dikemas seperti yang ada di Indonesia, sedangkan dia meminta kopi pasar yang tidak berlabel.

Saat sedang menyusuri pasar mencari kopi itu, mata saya tertumpu pada satu kios yang menjejerkan karung-karung besar berisikan daun teh kering. Ah ya, Shan State di Myanmar memang terkenal sebagai penghasil teh terbesar di negeri itu. Saya lalu membeli dua bungkus kecil yang dibanderol 800 Kyatt per bungkusnya atau setara dengan Rp 8.000,-.


Pemilik kios teh itu adalah seorang gadis muda yang sangat cantik. Dengan balutan ‘long yi’, dia menampakkan senyum ramah yang malu-malu saat saya meminta izin untuk memotretnya.

Di cerita sebelumnya di sinidan di sini, saya sempat bercerita tentang ‘Thanaka’, tabir surya khas Myanmar yang biasanya di Indonesia disebut bedak dingin. Kalian penasaran nggak sih sebenarnya ‘Thanaka’ itu terbuat dari apa?

Jawabannya adalah….

Kayu.

Memang benar adanya ‘Thanaka’ dibuat dari gelondongan kayu yang digosok-gosok ke batu gilingan dan dibalurkan ke wajah. Saya menghampiri dan berjongkok di depan pedagang ‘Thanaka’ itu.

Itu dia kayu 'thanaka', dijual gelondongan kecil.

‘Gyin de (artinya saya mau)’ ujar saya sambil menunjuk kayu itu.

Ibu pedagangnya tertawa namun langsung menggosok kayu ke ulekan dan jadilah ‘Thanaka’ untuk saya. Ibu itu lalu membalurkannya ke wajah saya dengan masih senyum-senyum.

Kayunya digosok ke batu ulekan baru dibalur ke wajah...

Mama Thanaka rock and roll!



Mungkin buat mereka aneh kenapa ada orang asing yang mau memakai ‘Thanaka’ karena mukanya jadi coreng moreng, tetapi buat saya hal itu sangat menyenangkan. Sudah pakai ‘long yi’ dan ‘thanaka’, saya merasa menjadi gadis Burma (Myanmar) yang seutuhnya. Hahaha.

Di sebelah penjaja ‘thanaka’ ada satu kios yang menjual sirih. Paman penjual sirih itu tersenyum sambil menawarkan sirihnya. Namun karena saya sudah pernah mencoba sirih Burma ini dan jadi sedikit mabuk dan sakit kepala, saya berikan saja senyum dan mengucapkan ‘kyai zu tin ba de’ yang artinya terima kasih.

Sirih Burma, ampunnnn....

Hal yang menarik lainnya adalah kita akan menjumpai hampir semua orang di pasar ini memakai 'long yi', dengan baluran 'thanaka' di wajahnya. Para lelaki beberapa mengenakan kain seperti sorban dan para perempuannya memakai topi jerami atau topi pantai yang cantik.

Pretty lady at the market! What a beautiful smile :)

Selesai berbelanja di pasar, mereka akan menggunakan jasa becak (lar kyamharpar) dan delman (myinn lar kyamharpar). Becaknya kecil tidak seperti di Indonesia. Tetapi untuk delman, ukurannya kurang lebih sama.

Becaknya kecil dan cuma muat segitu aja...

Jadi, bila teman-teman plesiran ke Myanmar, sempatkanlah main ke pasar, untuk melihat langsung kehidupan masyarakat di jantungnya. Niscaya ada banyak hal menarik yang bisa kita temukan di sana. Masih banyak lagi cerita tentang Myanmar. Ditunggu ya.












[Review] Lulur - Hand Body Purbasari Zaitun Series

$
0
0

Bilamana di sini saya bercerita tentang Purbasari Sabun Zaitun dan Purbasari Hand & Body Lotion Zaitun, nah kita bahas lulurnya yuk!

Setomboy-tomboynya perempuan, kalau bisa tetap memperhatikan penampilan ya. Dalamnya boleh sama kuat sama laki, tapi di luarnya tetap harus jadi perempuan yang bersih dan wangi. Bukan berarti harus pakai make up tebal setiap hari juga, tetapi apik menjaga kebersihan diri agar tetap menarik di mata orang lain.

Apalagi buat perempuan-perempuan yang beraktivitas di luar ruang, butuh perawatan yang lebih karena sering terkena paparan sinar matahari dan radikal bebas. Inginnya sih sering ke salon untuk perawatan kulit dan rambut, namun sayang karena jadwal yang cukup padat, rasa-rasanya untuk ke salon saja susah menemukan waktu yang pas ya? (bukan sombong, bener ini curahan hati).

Itulah alasannya kenapa saat traveling, saya sering membawa stock lulur Purbasari, teman andalan yang praktis saya ajak kemana-mana. Mau ke gunung atau ke laut biasanya saya tetap bawa. Kalau lagi di rumah stok lulur yang ukuran 235 gram dan yang biasa dibawa traveling yang ukuran 125 gram.

Kenapa saya suka lulur Purbasari Zaitun ini?

Yang jelas zaitun ini sudah terkenal sangat bermanfaat untuk kesehatan kulit, baunya pun harum. Siapa yang tidak suka?

Tetapi Lulur Purbasari Zaitun ini istimewa karena berbeda dari produk-produk zaitun lainnya.

Apa yang jadi pembeda nya?

Lulurnya berwarna hijau dengan ekstra minyak zaitun, butiran scrub nya halus dan bulat sempurna, jadi nggak sakit saat digosokkan ke kulit. Selain itu lulur zaitun mengandung Extra Squalane, Whitening, Vitamin E, yang berfungsi sebagai antioksidan dan tentunya melembabkan kulit kita.



Sudah begitu, kalian harus tahu kalau lulur Purbasari bisa dipakai setiap hari lho. Jadi tinggal dibalurkan ke seluruh tubuh, digosok lembut dan dibilas tanpa perlu memakai sabun lagi. Cobain deh sensasi habis mandi pakai lulur Purbasari. Kulit rasanya lembab, nggak keset dan wangiiiiii….

Pas pakai lulur Purbasari memang nggak keluar banyak putih-putih seperti lulur yang lain. Tahu nggak kenapa? Ternyata Purbasari tidak mengandung banyak ‘Amilum’ atau zat tepung seperti beberapa produk lulur lainnya namun tetap ampuh mengangkat sel-sel mati kulit sehingga kulit kita cerah kinclong terus.

Nah kalau kulit sudah cerah kinclong, lebih enak lagi kalau pakai Purbasari Hand & Body Lotion Zaitun juga. Yang jelas sejak produk ini pertama kali diluncurkan, saya langsung suka. Impresi pertama karena wanginya yang relaxing dan yang kedua, teksturnya kental dan tidak lengket di kulit.



Purbasari Hand & Body Lotion Zaitun ini juga mengandung minyak zaitun, vitamin E dan antioksidan yang bisa melindungi kulit kita dari efek buruk sinar matahari, antioksidannya melindungi kulit kita dari radikal bebas dan kulit tetap lembap sepanjang hari. Buat teman-teman yang setiap hari berada di ruangan ber-AC penting banget untuk rutin mengoleskan body lotion agar kulit tidak kering dan pecah-pecah.

Kalau saya pribadi, memang selalu bawa body lotion di dalam ransel karena paling nggak suka kalau kulit kering dan kasar. Dipakainya sehabis mandi, saat beraktivitas dan juga sebelum tidur supaya kulit kita regenerasinya baik. Pun Purbasari Hand & Body Lotion Zaitunini mengandung triple moisturizing agent yang membantu regenerasi baik kulit kita. Jadi pilihan saya sudah pas dong memilih Purbasari Zaitun Series?



Dan enaknya, Purbasari Zaitun Series ini harganya ekonomis dan mudah kita temukan di seluruh penjuru Indonesia. Untuk lulur 235 gram, harganya berkisar Rp 13.000,- ; untuk ukuran 125 gram harganya Rp 10.000, dan body lotion nya sekitar Rp 20.000,-.  Bersahabat banget di kantong kan?

Teman-teman juga bisa baca info-info lengkap tentang Purbasari Zaitun Series ini di sini ya! 

Jika kesulitan menemukan produk Purbasari Zaitun Series ini di kota kamu, bisa dibeli online di sini ya :

Jika kamu ingin membei rangkaian Purbasari Zaitun Series ini, kamu dapat membeli rangkaian produk ini di :

Selamat mencoba Purbasari Zaitun series nya….










Obrol Sore Bersama Iwan Bajang – Insipirasi Berkarya di Jalur Indie

$
0
0

“Menulislah sedari SD. Apa pun yang ditulis dari SD, pasti jadi” – Pramoedya Ananta Toer

Kutipan di atas tidak asing bagi saya yang menggemari karya Pram. Oleh karenanya saya senang sekali melihat tulisan itu terpampang di kaos yang dipakai oleh orang yang baru menyapa saya.

“Irwan Bajang. Panggil Bajang saja”, ujarnya ramah saat bersalaman.

Dongeng Kopi di daerah pinggir Jogjakarta menjadi tempat perjumpaan kami. Bau biji kopi yang sedang digiling menyeruak di seluruh ruangan dan sangat menggoda untuk disesap saat kami masuk. Namun saya memilih jamu untuk menemani obrolan sore itu. Cinta saya terhadap jamu masih lebih besar daripada kopi. Hehehe.



Baik, mari kembali ke topik. Siapa sih Irwan Bajang ini sehingga kami ingin sekali menemuinya. Ya, tak hanya saja, melainkan ada Mas Ardian, blogger dari Jogja, beserta tim Astra dan Tim NEO yang akan berjumpa dengannya.

Alasannya adalah Mas Irwan Bajang adalah penerima apresiasi SATU Indonesia Awards yang diadakan ASTRA setiap tahunnya. Penerima apresiasi ini ada empat kategori yakni pendidikan, lingkungan, kesehatan dan kewirausahaan. Mas Irwan Bajang menerima apresiasi pada tahun 2014 silam untuk bidang pendidikan.

Tentu saja Bajang layak menerimanya karena usahanya selama ini untuk mengembangkan minat menulis anak-anak muda di Jogjakarta. Ia mendirikan ‘Indpendent School’ untuk semua orang yang tertarik dengan penulisan. Sebenarnya tidak hanya menulis, di sekolah itu juga ada kelas digital copy writing atau kelas cover design. Yang bergabung di dalamnya dilatih untuk lebih dari menulis, menerbitkan buku sendiri.

Lelaki 29 tahun yang berdarah asli Suku Sasak, Lombok, ini lantas bercerita bagaimana awal mulanya ia membuka ‘Independent School’.

2005, saat ia masih mengenyam pendidikan di Jogja, ia membuat cerpen dan puisi-puisi yang lalu dicetak, difotokopi lalu dijual ke teman-teman dekat yang ternyata disambut baik dan mulai digemari. Sehingga Bajang berpikir untuk mencetak buku namun saat itu ia tidak tahu bagaimana caranya agar naskahnya diterima oleh penerbit sehingga mencoba menerbitkannya sendiri setelah bertanya kepada teman-teman di Jogja.

2008, buku pertamanya terbit. Sebuah novel yang berjudul “Rumah Merah”. Tak disangka dalam 10 hari, ada 3000 buku yang dicetak untuk memenuhi permintaan. Bajang pun kaget saat itu. Untuk ukuran buku indie, angka 3000 itu sudah sangat besar dan bisa dikategorikan sebagai “best seller”. Sejak saat itulah, Bajang mulai mengembangkan penerbitan buku Indie.

“Dalam penerbitan buku Indie, kita memakai metode “print on demand”, atau mencetak sesuai permintaan” ujar Bajang.

Karena memang tidak mudah untuk memasarkan buku yang dicetak indie, bukan yang dicetak penerbit besar. Namun bukan berarti pasarnya tidak ada. Banyak kok penggemar buku-buku Indie. Hanya yang menjadi kendala di awal-awal penerbitan buku adalah pemasaran. Memasarkannya lewat platform social media seperti blog, twitter, facebook, instagram ternyata menjadi strategi yang baik agar buku-buku indie ini dikenal dan menarik pembaca untuk membelinya.





2009, Bajang menggagas untuk membuat Indie Book Corner dan menjual karya-karya itu di  toko buku ‘Budi’ yang ternyata akronim dari “Buku Indie”. Tokonya ada di lokasi yang sama dengan Dongeng Kopi. Bersiaplah unuk terkejut saat menyambangi toko buku ini. Koleksi bukunya memang unik dan berbeda. Judul-judulnya menarik dan cenderung kontroversial. Saya pun jadi penasaran untuk membaca buku-buku itu.

“Di penerbitan Indie, kami menjunjung kolaborasi, bukan kompetisi. Kami semua bersama-sama mengembangkan buku Indie dan saling memotivasi satu sama lain”, imbuhnya lagi.

Di Independent School, mereka saling bergantian untuk berbagi materi. Minimal satu kali setiap bulan, ada kelas-kelas menulis yang diadakan. Setiap bulan juga minimal ada satu buku yang diterbitkan. Pun saat kami datang ke Dongeng Kopi, mereka sedang mengadakan kelas sore dengan materi ‘desain sampul buku’. Asyik-asyik lho tema kelasnya setiap bulan.

Bajang sendiri senang menulis topik sosial politik dan sastra. Lalu, bagaimana akhirnya Bajang menerima apresiasi SATU Indonesia Awards?



Ia sebenarnya tidak menyangka akan menerima apresiasi itu karena tidak tahu informasinya dan sebenarnya tidak merasa pantas untuk mengajukan diri. Tak dinyana, ada teman yang mendaftarkannya kepada penyelenggara sehingga Irwan Bajang ada di dalam daftar kandidat penerima apresiasi di bidang pendidikan. Saat wawancara, pastilah cerita Bajang memukau para panelis sehingga memilihnya sebagai penerima apresiasi.

Percakapan kami mengalir tanpa ada satu kata pun yang bernada sombong. Betul Bajang memang layak untuk menerima apresiasi itu. Bajang yang tidak menyangka bisa terpilih menjadi penerima apresiasi akhirnya memakai hadiahnya untuk terus mengembangkan ‘Independent School’ dan juga ‘Indie Book Corner’ agar makin banyak insan-insan, tidak hanya di Jogjakarta, yang berani untuk menuliskan pemikiran-pemikirannya dan menuangkannya dalam buku, tidak hanya coret moret di kertas dan diarsipkan sendiri.

Bajang memang layak mendapatkan apresiasi SATU Indonesia Awards karena kegigihannya menularkan semangat untuk menulis dan menelurkan karya. Karena dia juga, saya juga jadi tertarik untuk menerbitkan buku Indie nih. Bagaimana menurut teman-teman? Kalian tertarik juga kah?




Wajah Merekah Telaga Kemuning Kini Setelah Jadi Kampung Berseri

$
0
0

Sinar mentari yang hangat serta merdu kicau burung menyambut kedatangan kami di Desa Kemuning, Gunung Kidul, Jogjakarta. Menyenangkan sekali rasanya bisa menikmati pagi yang cerah dan menghirup udara segar di desa yang berjarak tempuh sekitar 1,5 jam dari pusat kota Jogja ini.

Kami berjalan kaki menyusuri jalan setapak desa. Sebenarnya jalan itu bisa dilalui oleh kendaraan roda dua maupun roda empat namun kami lebih memilih berjalan, bergerak sehat di pagi hari. Udara segar begitu, ya lebih enak dinikmati sambil jalan kaki, toh.

Jalan masuk menuju Desa Kemuning Gunung Kidul...

Mungkin kalian belum pernah mendengar nama Desa Kemuning di Jogja. Ya saya juga. Saya awalnya tahu Kemuning itu area perkebunan teh di Karang Anyar, Solo, Jawa Tengah. Ternyata, Desa Kemuning Gunung Kidul ini memang baru menggeliat padahal di daerah Gunung Kidul sendiri sudah banyak atraksi yang dikenal khalayak ramai seperti Gunung Purba Ngglangeran, Goa Pindul, Goa Jomblang dan pantai-pantai yang ciamik.

Awal mula Desa Kemuning ini konon katanya berasal dari pohon yang ada di desa tersebut. Memang betul desa ini asri dan hijau. Di sepanjang jalan masuk ke desa ini saja kita akan melihat banyak sekali pepohonan di kanan kiri yang didominasi dengan pohon kayu putih.

Di Desa Kemuning pula terdapat satu telaga yang menjadi daya tarik wisata yakni Telaga Kemuning. Luasnya sekitar satu hektar dengan kedalaman kurang lebih tiga meter. Masyarakat sekitar senang datang bersantai di tepian telaga ini dan terkadang sambil memancing untuk hiburan di akhir pekan.

Tepian Telaga Kemuning sekarang ada pendoponya...

Telaga Kemuning ini berada di kawasan hutan yang tidak terlalu jauh dari pemukiman warga. Kita bisa trekking santai di dalam hutan milik Perhutani dan juga Hutan Lindung Wanagama. Di Hutan Lindung Wanagama seluas kurang lebih 500 hektar ini, tersimpan ragam flora dan fauna yang bisa kita jumpai saat trekking. Kawasan hutan yang hijau rimbun dan sejuk seolah-olah menjadi oase di tengah kawasan Gunung Kidul yang didominasi perbukitan karst nan gersang.

Di dalam area Wanagama tersedia bumi perkemahan yang bisa jadi alternative liburan saat plesir ke Jogja. Biaya masuknya hanya Rp 2.000,- per orang. Jalan-jalan hemat sekaligus jalan-jalan sehat.

Oke, kembali ke Desa Kemuning yuk!

Desa Kemuning mulai menggeliat karena usaha Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) pada tahun 2008 dan berhasil menjadi Desa Wisata tahun 2012. Makin berkembang lagi ketika ASTRA datang ke kampung ini dan menawarkan program Kampung Berseri ASTRA yang menitikberatkan pengembangan empat aspek yakni pendidikan, lingkungan, kesehatan dan kewirausahaan. Desa Kemuning pun menjadi salah satu dari puluhan KBA (Kampung Berseri Astra) yang tersebar dari Sabang sampai Merauke.




Dalam pelaksanaan program KBA itu, seluruh masyarakat turut andil karena memang diharapkan seluruh KBA di Indonesia bisa mandiri dan terus berkembang meningkatkan kualitas kehidupan mereka.

Jika ada kendala, masyarakat akan berdiskusi dengan tim program KBA untuk menemukan solusi yang terbaik. Satu demi satu terselesaikan demi mencapai tujuan. Tujuannya tentu saja agar Desa Kemuning bisa menjadi wilayah dengan lingkungan yang bersih dan hijau serta masyarakat yang sehat, cerdas dan produktif.

Lihat saja contohnya Telaga Kemuning yang dulunya keruh dan tidak terawat, kini bersih dan apik. Saya sendiri betah duduk bengong berlama-lama di tepian telaga ini. Sambil baca buku dan menikmati kopi tampaknya lebih asyik.

Di tepian Telaga Kemuning ini juga sudah dibangun toilet yang bersih dan uniknya, ASTRA mengajak anak-anak di sana untuk menggambar dan mewarnai dinding toilet itu. Super menarik kan?



Tak hanya itu saja. Kini Ibu-ibu di Desa Kemuning, mengembangkan cemilan cemilan khas dari kampungya dan dikemas dengan ciamik. Bila berkunjung ke sana, cicipilah Wedang Secang, Dodol Pisang Uter, Kripik Pisang, Kripik Talas dan cemilan-cemilan lainnya. Untuk bungkusan berukuran sedang, harganya cuma Rp 10.000,-. Untuk rasa tak usah ditanya. Semuanya lezat sampai membuat saya tidak berhenti mengunyah.






Senang rasanya jika melihat desa-desa lain ikut berseri seperti Desa Kemuning ini. Bagaimana? Kamu tertarik untuk mengunjungi Desa Wisata Telaga Kemuning kan?




Tips Merawat Kulit Agar Sehat Mengkilat dengan Purbasari Zaitun Series

$
0
0

Sebagai perempuan, kita pasti merasa cantik ketika bersih dan wangi. Bukan cantik perkara make-up saja tapi kulit sehat yang sedap dilihat.

Kulit yang sehat tentu saja tak bisa didapat dengan membiarkan mandi biasa dengan sabun biasa. Tentu ada perawatan yang harus kita lakukan untuk membuat kulit bercahaya ((bercahaya)). Hahaha.

Apalagi buat perempuan yang sering beraktivitas di luar ruang setiap hari bakal cukup repot untuk perawatan kulit begitu. Tapi saya ada tipsnya nih. Mau tahu nggak? Sini sini dibisikin.

Tentu ini berdasarkan pengalaman pribadi dong. Saya memakainya sendiri dan ingin berbagi kepada teman-teman tentang apa yang saya rasakan. 100% honest review.

Perawatan kulit kita tentu dimulai dari sesi mandi di pagi hari. Saya biasanya memakai Purbasari Sabun Zaitun. Mandi sabun ini nggak bikin kulit kita keset karena mengandung minyak zaitun dan juga moisturizer. Plus berfungsi untuk melembutkan kulit, mencerahkan kulit dan melembabkannya sepanjang hari. Wanginya pun segar dan jadi mood bosster untuk menjalani aktivitas seharian.


Habis mandi dengan Purbasari Sabun Zaitun, langkah berikutnya adalah mengoleskan Purbasari Hand & Body Lotion Zaitun. Dulu pernah mencoba lotion zaitun juga tapi bukan produk  keluaran Purbasari. Tampilannya agak encer,  lengket dan lama menyerap ke kulitnya. Makanya saya sempat underestimatejuga sama Purbasari Hand & Body Lotion Zaitun. Surprisingly, Purbasari mematahkan keraguan saya. Ternyata produk Purbasari yang ini tidak encer, nggak lengket dan cepat diserap kulit. Suka suka suka sekali.


Purbasari Hand & Body Lotion Zaitun mengandung triple moisturizing agent yang membantu regenerasi baik kulit kita juga mengandung minyak zaitun, vitamin E dan antioksidan yang bisa melindungi kulit kita dari efek buruk sinar matahari. Antioksidan juga melindungi kulit kita dari radikal bebas dan kulit tetap lembap sepanjang hari. Buat teman-teman yang setiap hari berada di ruangan ber-AC penting banget untuk rutin mengoleskan body lotion agar kulit tidak kering dan pecah-pecah.



Rangkaian Purbasari Sabun Zaitun ditambah Purbasari Hand & Body Lotion Zaitun biasanya saya gunakan di pagi hari sebelum beraktivitas. Ketika sore atau malam hari setelah selesai melakukan rutinitas, saya biasanya mandi pakai Purbasari Lulur Zaitun. Hmmmmm, mandi pakai lulur ini selalu jadi hal yang menyenangkan saat membersihkan diri setelah satu hari yang padat kegiatan.

Setelah seharian terkena panas matahari, debu dan polusi, kulit kita tentunbutuh diangkat kulit matinya. Purbasari Lulur Zaitun akan sangat membantu regenerasi kulit kita dan tentunya aman digunakan sepanjang hari. Cukup dibalurkan saja ke seluruh tubuh, digosok pelan-pelan lalu dibilas pakai air tanpa perlu memakai sabun lagi. Praktis!

Setelah mandi sore / mandi malam (saya terbiasa harus mandi sebelum tidur), saya tentu tidak lupa membalurkan Purbasari Hand & Body Lotion lagi. Ini penting dlakukan karena saat malam hari, kulit kita juga butuh ‘tidur’. Dan hasilnya adalah saat bangun pagi, kulit kita pasti terasa lembab meski tidur dengan pendingin ruangan semalaman.

Selain menjaga kulit kita tetap lembab, Purbasari Hand & Body Lotion Zaitun ini bekerja lebih maksimal untuk meregenerasi kulit kita saat malam hari. Apalagi kalau tidur benar-benar dengan seluruh lampu mati atau gelap gulita, kulit kita akan lebih sehat. Benar lho ini. Psst, jangan lupa juga untuk membalurkannya ke area-area yang sering luput seperti punggung, perut dan belakang leher dan bawah paha.

Jadi meski saya rutin traveling dan main di bawah matahari, saya nggak pernah bermasalah dengan kulit kering dan kasar karena bantuan teman baik saya, Purbasari. Mungkin bisa menjawab pertanyaan teman-teman “kok jalan-jalan di bawah matahari terus nggak gosong dan buduk sih Sat?” Ya memang karena sudah pakai Purbasari sejak dulu. Jadi sudah tahu kan rahasianya sekarang?

Dan enaknya, Purbasari ini harganya ekonomis dan mudah kita temukan di seluruh penjuru Indonesia. Untuk Purbasari sabun zaitun, harganya berkisar Rp 6.500,- ; Purbasari Hand & Body Lotion-nya sekitar Rp 20.000,- ; Purbasari Lulur Zaitun Rp 10.000,- (125 gr) Rp 13.000,- (235 gr) Bersahabat banget di kantong kan?

Jika kesulitan menemukan produk Purbasari Zaitun Series ini di kota kamu, bisa dibeli online di sini dan selamat mencobanya ya.






Viewing all 119 articles
Browse latest View live