Quantcast
Channel: Travel Journal of Satya
Viewing all 119 articles
Browse latest View live

Main Sebentar ke Pulau Sabolo, Seraya dan Goa Rangko

$
0
0

Meski sudah berkali-kali, saya nggak akan pernah bosan ke Pulau  Komodo. Tiap pulau dan titik snorkeling / divingnya seakan nggak pernah habis-habis untuk dieksplorasi.

Bersama teman-teman yang juga senang jalan-jalan, Guri @langkahjauh, Yudha @catatanbackpacker , Bobby @virustraveling , Ruby @rubyperkasa , Ashadinatha @ashadinatha, Tinae @tinaedenae dan Chan @cece_chaann, kami main ke gugusan Kepulauan Komodo di bagian utara yaitu Pulau Sabolo, Pulau Seraya dan Goa Rangko.

Kami berjanji untuk bertemu di pelabuhan kapal kayu di dekat Pasar Kampung Ujung Labuan Bajo. Kapal teman kami Ruby yang diberi nama Indahnesia, sudah siap untuk mengantarkan kami plesiran. Senang sekali cuaca cerah menyertai hari yang kami pilih untuk jalan-jalan. Meski sudah dua kali ke Kepulauan Komodo, saya belum pernah mengunjungi Pulau Sabolo dan Gua Rangko. Jadi saya begitu gembira mengiyakan ajakan teman-teman.

Kapal Indahnesia yang kami pakai. Photo by : Ruby

Kapal Indahnesia yang kita tumpangi ini cukup besar dan enak sekali, ada speakernya gengs, jadi bisa pasang music kekinian, ajeb-ajeb kayak live on board (memang kapalnya sering dipakai buat LOB sih). Di bagian bawah kapalnya ada tiga ruang kamar kecil yang ada pendingin ruangannya. Di tingkat tengah kapal adalah ruang kemudi dan duduk santai. Di bagian paling atas kapal bisa tidur-tiduran santai pakai matras. Ukuran kapalnya pas, tidak terlalu kecil dan tidak terlalu besar.

Agar perjalanan lebih seru, enaknya ya main kartu. Siapa yang kalah dihukum jongkok. 

Pulau Sabolo


Pulau kecil ini memiliki dermaga kayu yang bagus. Dari atas dermaga, kita sudah bisa melihat terumbu karang yang sangat menggoda. Saya pribadi senang sekali dengan kesadaran masyarakat dan pemerintah untuk sama-sama menjaga kelestarian dunia bawah laut di perairan Komodo yang menjadi asset utama. Daya tarik yang begitu besar tentunya bagi wisatawan. Saya sempat bingung karena ada yang menyebut pulau ini dengan nama Sabolo, ada juga yang menyebutnya Sabolon.

Pulau Sabolo yang sepi sekali. Ya memang nggak berpenghuni sih. Hihihih. Photo by : Bobby
Begitu kapal sandar, saya mendapati ada sekawanan lumba-lumba yang sedang berenang dan berlompatan. Saya begitu senang dan bertepuk tangan. Katanya kalau ada lumba-lumba dan kita bertepuk tangan, nanti lumba-lumbanya loncat-loncat terus. Tapi pada nyatanya, sekawanan lumba-lumba itu menjauh. Yaahahahahahaha...

Kyaaaaa... Lumba-lumba kyaaaa :D
Karena satu hal, saya tidak bisa bergabung untuk berenang dan snorkeling bersama teman-teman. Saya hanya duduk santai di dermaga, namun tetap bahagia berjemur di hari cerah dan panas itu. Teman-teman begitu bahagia berloncatan, tertawa, berenang, tertawa, berenang berulang-ulang.




Sehabis berenang, kita kembali naik ke kapal dan ternyata makan siang sudah terhidang. Dan menunya adalah ikan bakar segar yang dimasak langsung di atas kapal. Perut-perut keroncongan sudah tak sabar untu diisi. Jadilah semu hidangan tadi ludes tandas.

Makanan tandas dalam beberapa menit saja :p

Goa Rangko

Air di dalam Goa Rangko ini jernih banget yaaa :D
 Jadi kalau di Kupang ada Goa Kristal, di Labuan Bajo ada Goa Rangko. Untuk menuju Goa ini, bisa lewat jalur darat maupun jalur laut. Tapi sebenarnya lebih enak jalur laut karena kalau lewat jalur darat, kita tetap harus menyewa kapal untuk sampai di tepi pantai dan berjalan kaki 5 menit ke goa dari pantai.

Jika memilih jalur darat, teman-teman bisa menyewa motor di Labuan Bajo dengan harga Rp 75.000 sehari, berkendara sekitar 40 menit sampai 1 jam ke Desa Rangko dengan kondisi jalan rusak (katanya). Sampai di Desa Rangko, ada perahu nelayan yang bisa disewa dengan harga 100.000 - 200.000 untuk pulang pergi dari kampung, ke goa dan kembali ke kampung.

Goa Rangko ini bagus banget pas ada cahaya matahari masuk penuh ke dalam goa dan waktunya berbeda-beda setiap bulannya karena pergerakan bumi. Bulan Juni kemarin, waktu terbaik untuk ke Goa Rangko adalah jam 4 sore, namun karena sore air laut surut, kami tidak bisa menunggu selama itu. Jam 3 kapal sudah harus bertolak karena takut kapal terjebak karam jika air surut. Air yang ada di Goa Rangko ini terasa asin tapi tidak seasin air laut sih. Jika cahaya matahari masuk ke dalam goa, kita akan bisa melihat jernihnya air hingga ke dasarnya. Kita boleh berenang bebas asal tidak mengotorinya. Wisatawan asing yang ada saat kami datang bahkan berenang telanjang bulat. Syukurnya mereka sudah lansia, jadi nggak tertarik deh *eh hahahahaha.

Pulau Seraya


Dalam perjalanan  pulang dari Goa Rangko dan Pulau Sabolo, kami sempat mampir ke Pulau Seraya dimana ada resort milik warga negara asing. Jika bukan tamu, kita tidak diperbolehkan masuk ke area resort, hanya boleh bermain di sekitaran bibir pantai dan dermaga. Ya jadinya harus berpuas jalan-jalan sebentar saja. Pemilik resort sangat ramah menyambut kami meski pun kami tidak terlihat seperti orang yang mampu menginap. Ya rate satu malamnya paling murah sekitar 6 juta rupiah. Kan pusing kepala. Tapi yah kualitas pasti sebanding sama harganya. Mungkin teman-teman ada yang berminat untuk menginap di sana?

Santai sore di Pulau Seraya. Photo by : Bobby Ertanto


Hari itu ditututp dengan sempurna karena bisa melihat senja di tengah laut yang berwarna jingga menyala. Sambil nyemil pisang goreng yang disiapkan ABK “Indahnesia” yang lezat, kami menikmati panorama senja yang membuat hati hangat.


Kalau teman-teman mau mengeksplor Kepulauan Komodo baik untuk open trip maupun private trip, silahkan kontak Ruby “Indahnesia” di : Website Indahnesia www.indahnesia.net atau akun Instagram @indahnesiaid atau langsung kontak nomor CP yang ada di bio IG dan websitenya ya. Secara saya kenal personal dengan sang empunya, Ruby, dijamin tidak akan mengecewakan teman-teman sekalian.




Naik Gunung Papandayan Bak Tuan Putri Bersama Basecamp Adventure

$
0
0

Milky Way! Photo by : Alex @amrazing
Kalau ada pertanyaan yang datang dari teman-teman, kira-kira gunung apa yang cocok untuk pendaki pemula, saya pasti akan menjawab Gunung Papandayan yang ada di Garut.

Kenapa?

Gunung Papandayan lokasinya tidak terlalu jauh dari Jakarta, jalurnya relatif landai dan untuk sampai di puncak, hanya butuh waktu trekking sekitar 4 jam saja. Medannya juga bukan vegetasi lebat seperti hutan hujan tropis. Pemandangannya juga bervariasi, mulai dari kawah belerang aktif, pohon cantigi, hutan mati dan juga padang edelweiss yang luas sekali.

Jadi, saya tidak pernah berpikir dua kali jika diajak nanjak ke Papandayan. Tak akan pernah bosan.

Mendaki di jalur kawah belerang Papandayan (Photo : Janatan Ginting)

Tapi perjalanan ke Papandayan kali ini sedikit berbeda. Biasanya saya dan Janatan membawa perlengkapan naik gunung kami sendiri seperti tenda, kompor, matras, logistik dll. Kali ini, kami mempercayakan Basecamp Adventure yang merancang pendakian kami. Selain saya dan Janatan, ada Kak Abex @anak_bebek, Kokoh Billy @billydjokosetio , Kokoh Alex @amrazing dan Kak Gemala Hanafiah @g_hanafiah dan teman-teman dari @basecamp.adventure


Selain saya dan Janatan, mereka semua berangkat dari Jakarta dan kami bertemu di Cileunyi lalu bersama-sama berangkat ke Garut. Enaknya di dalam elf berkapasitas 12 orang itu, minuman dan cemilannya banyak. Seru deh sepanjang jalan ngobrol ngalor ngidul, dan ternyata begitu yang terjadi selama dua hari pendakian. Nggak berhenti tertawa.


Sebenarnya agak susah mendapati Gunung Papandayan sepi. Ya karena itu tadi, gunung ini terbilang gampang (meski sebenarnya kita tidak boleh meremehkan atau menggampangkan naik gunung). Oleh karena itu kami naik gunung sewaktu bulan puasa, jadinya gunungnya sepi banget.

Sebelum mendaki kami tidak lupa makan dulu dan memastikan cemilan cukup. Wooo iya selama mendaki, cemilan itu penting gaes. Minimal air, madu dan cokelat pasti ada di daypack agar bisa mendaki dengan riang gembira.

Terakhir mendaki ke Papandayan itu tahun 2013 dan daku ketinggalan info bahwa Papandayan kena longsor tahun lalu. Jadi jalur yang tadinya biasa dilewatin pendaki dialihkan ke jalur baru. Saya hanya menyayangkan banyaknya warung kaki lima yang ada di beberapa titik pendakian. Tapi ya kasihan juga kalau digusur, itu kan ladang pencaharian orang.

Tawa yang tak henti sepanjang jalan membuat kami tak sadar sudah sampai di tempat camp. Kami tidak ngecamp di Pondok Selada dan memilih ngecamp di titik lain. Di mana ya? Rahasiaaaaa… Tebak sendiri aja…

Begitu sampai, tahu-tahu kami disodorin handuk dingin yang wangi. Ya ampun, berasa kayak lagi di hotel berbintang ya, disodorin handuk dingin. Rasanya nyessss banget sehabis panas-panas mendaki, diusap wajahnya jadi adem dan segar kembali.

Tenda dan segala kursi serta meja makan sudah disiapkan. Baru saja kami duduk, sudah ada pisang goreng keju dan ubi goreng yang tersedia, ditambah dengan teh jahe hangat. Seumur-umur, saya tidak pernah dilayani di gunung seperti itu. Gini ya ternyata rasa diperlakukan bak putri raja, apa-apa serba ada. Enak juga…

Nyemil sore dulu! Foto by : @Gemala Hanafiah

Sambil menikmati cemilan, tim koki Basecamp Adventure sedang menyiapkan makan malam. Kami menerka-nerka ada menu apa malam itu. Baunya harum dan terasa lezat. Sambil menunggu, kami berjalan-jalan saja di sekitaran camp, menyaksikan langit senja yang jingga merona nan hangat. Begitu balik ke camp, makan malam sudah menanti.

Sunset at Papandayan. Photo : @amrazing 

Namun, sehabis sunset, semesta memberikan kejutan dengan menyajikan pemandangan ‘susu berjalan’ atau milky way di langit yang cerah. Bulan belum muncul sehingga kami tentu tidak mau melewatkan momen untuk mengabadikan langit. Tentu saja meski indah dipandang dalam hasil foto, tetap lebih memesona jika dipandang langsung dengan mata.

Sebelum hidangan utama disajikan, kami dipersilahkan menyantap makanan pembuka, sup krim jagung ayam. Malam itu udara sangat dingin dan sup krim hangat adalah teman yang pas. Menu utamanya pun nggak kalah lezat, ada nasi bakar hangat yang sudah menanti. Duh nasi bakar dan lauk pauknya lezat tak terkira. Seluruh makanan itu dilahap, ditandaskan dengan cepat.


Karena kekenyangan, kami semua sangat mengantuk. Masuk ke dalam tenda, ternyata sudah ada kasur udara yang empuk. Wah, selama ini biasanya tenda hanya saya lapisi dengan matras saja. Baru kali ini, saya tidur di gunung dengan kasur tiup. Lebih hangat, lebih empuk.

Dan malam yang indah, berlanjut hingga pagi keesokannya.

Begitu membuka tenda, semburat jingga sudah menggantung di ufuk timur. Dengan menggosok-gosokkan tangan, kami berkumpul menikmati matahari pagi.




Koh Lexy bikin ngiri banget dengan sweater-hoodie Totoro. Ketika ditanya beli dimana, jawabannya, rahasia. Hahahaha. Ampun.




Morning glory! Photo by : Janatan Ginting
Maksn pagi kami juga terasa menyenangan karena ditemani oleh anjing-anjing lucu yang duduk manis di depan meja makan. Matahari sudah mulai tinggi dan udara semakin hangat. Jaket tebal sudah dilepaskan dan kami bersiap untuk jalan-jalan. 

Sarapan dengan anjing-anjing lucu yang tinggal di gunung.
Tujuan kami adalah hutan mati, tempat yang jadi daya tarik paling kuat di Papandayan. Hutan mati ini adalah bekas erupsi tahun 2002. Sudah hampir 14 tahun berlalu dan sudah mulai banyak tanaman hijau yang menghiasi. Bukit yang dulu putih gundul, sudah mulai menghijau. Mungkin beberapa tahun lagi, hutan mati ini akan berubah menjadi hutan hidup.




Pendakian yang sangat menyenangkan dengan teman-teman yang sangat menyenangkan. Makin-makinlah tak akan bosan kembali ke Papandayan. Apalagi dengan Basecamp Adventure, di mana mereka menyiapkan perjalanan yang sangat memuaskan. Ditambah dengan tim fotografer yang kece dari Basecamp Adventure, tidak perlu khawatir dengan dokumentasi perjalanan. Foto-foto ciamik karya mereka bisa jadi photo stock Instagram buat sebulan saking banyak dan bagusnya. Coba cek saja Instagram @motiopictures 

Selain foto-foto kece, Basecamp Adventure juga punya Chef mantap aka Abex! Makanan dia dijamin lezat banget!


Jadi, kapan mau naik gunung ala princess? Colek @basecamp.adventure aja di Instagram ya. Bakal ada pendakian juga lho tanggal 13-14 Agustus 2016!



Menjadi Rambu dan Mengenal Marapu di Kampung Tarung Sumba

$
0
0

Dapa tekki tamo

Dapa nunga ngara

Pamake mata pamomo wiwaui


Tiga kalimat itu adalah jawaban yang diberikan Nene Leda Goko saat kami berbincang tentang Marapu, kepercayaan adat masyarakat Sumba. Meski banyak yang mengatakan itu agama, pada nyatanya bukan. Nene bilang itu adalah kepercayaan turun temurun dari nenek moyang, tetapi tidak ada Tuhan yang disembah seperti agama lainnya. Pun arti dari kalimat paling atas itu kurang lebih artinya, dia yang tidak perlu dicari, tidak bisa dilihat, tidak bisa didengar tetapi ada di sekitar.

Nene Leda Goko sudah berusia 68 tahun, punya 5 anak dan 15 cucu. Di rumah beliau saya diterima dengan ramah dan Nene menjawab semua pertanyaan akan rasa penasaran tentang adat istiadat di Sumba, khususnya di kampung Tarung.

‘Tarung’ sendiri berarti tempat yang tinggi dan di bawahnya terhampar sawah, menurut cerita Nene. Memang lokasi kampung Tarung ada di atas bukit, menjulang di tengah-tengah kota Waikabubak. Sawah yang dikatakan Nene sudah berubah menjadi pemukiman penduduk.

Kampung Tarung bagian bawah...
Sewaktu memasuki Kampung Tarung, saya menjerit bahagia dalam hati karena antusias yang meluap begitu melihat rumah-rumah bambu beratapkan alang-alang dengan tanduk kerbau digantung di teras rumah.

Begitu melihat saya datang, seorang lelaki bernama Piu menyodorkan buku tamu yang sudah agak lusuh. Saya mengisi nama, alamat dan menyelipkan beberapa lembar uang untuk donasi seikhlasnya. Dengan masih mengunyah sirih, dia tersenyum, mengucapkan terima kasih dan sempat mengenalkan kampungnya secara umum dan dalam waktu singkat saja dia berlalu. Ketika saya bilang saya ingin bertanya banyak, dia mengatakan agar saya menemui yang tua-tua saja karena mereka lebih paham tentang adat.

Saat itulah saya bertemu dengan keluarga Nene Leda Goko yang sedang bersantai di teras rumah. Saya diajak masuk ke dalam rumah dan saya diperbolehkan mengenakan pakaian adat milik Kaka Nonce Rambu Rokuwage, menantu Nene.

Kaka Nonce, suami dan tiga anaknya yang lucu...

Halo dari anak-anak Humba (Sumba)

Mengenakan Pakaian Adat Sumba


Untuk perempuan, pakaian adatnya adalah ‘Lau Pahudu’ kain tenun khas Sumba dengan ‘Mamoli’ sebagai motif utamanya. ‘Mamoli’ sendiri adalah perlambang dari Rahim wanita. Selain menjadi motif di kain tenun, ‘mamoli’ juga dijadikan kalung dan menjadi seserahan saat seorang lelaki akan mempersunting perempuan. Sang lelaki harus memberikan dua kalung ‘mamoli’ kepada Ibu si perempuan karena anak perempuan dianggap dua biji mata orang tuanya. Ketika dia akan menikah dan meninggalkan rumah, si lelaki harus memberikan penggantinya. Saya terharu mengetahui bahwa perempuan sangat dihargai dalam adat budaya Sumba.




Selain mengenakan ‘Lau Pahudu’ dan ‘Mamoli’, saya dipakaikan gelang besar yang terbuat dari kayu dan juga ‘kaleko’, tas anyam yang biasa dipakai untuk menyimpan dan membawa sirih.

Untuk laki-laki, pakaian adatnya disebut dengan ‘hinggi’ dan terbagi menjadi dua yakni ‘hinggi kombu’ dan ‘hinggi kaworu’ dilengkapi dengan ‘kabiala’, senjata tradisional Sumba. Di kepala dililitkan ‘tiara patang’.

 Kak Ronce membantu saya mengenakan kain di bilik kamar yang gelap. Setelah selesai, saya diperkenankan untuk berkeliling kampung dan mengambil foto. Spot favorit saya adalah bagian tengah kampung, dimana rumah dan kuburan bisa terlihat dengan jelas dalam satu frame. Kata Kak Ronce, saya sudah pas seperti ‘Rambu’ (panggilan untuk wanita Sumba) dan tinggal tunggu dipinang ‘Umbu’ (panggilan untuk lelaki Sumba) saja. Hahahaha…

Halo, perkenalkan nama saya Rambu Satya.

Terima kasih eee kaka Nonce cantik yang kasi pinjam kain :)


 ‘Uma Kabubu’ dan ‘Wulla Poddu’ Marapu


Di bagian tengah kampung ada satu rumah kecil. Ternyata itu adalah ‘Uma Kabubu’ atau rumah suci dimana leluhur Marapu bersemayam. Tidak sembarang orang yang bisa masuk ke dalamnya. Hanya ‘Rato’ atau tetua adat yang boleh masuk ke dalam dan biasanya hal itu dilakukan saat ‘Wulla Poddu’, bulan suci bagi masyarakat Sumba dimana mereka tidak boleh membunyikan apa pun, tidak boleh mengadakan pesta kelahiran, perkawinan atau kematian. Mirip seperti perayaan Nyepi di Bali, tapi bedanya hal ini dilakukan sebulan penuh. Wow!

Yang di tengah kecil itu yang namanya 'Uma Kabubu'

Jadi, jika ada yang lahir sewaktu ‘Wulla Poddu’, maka pestanya ditunda hingga masa itu berakhir. Begitu pun dengan kematian, jenazahnya harus disemayamkan sampai ‘Wulla Poddu’ berakhir dan baru bisa dikuburkan setelahnya. Buat kita pasti mikirnya ribet banget ya. Tetapi itulah adat dan masyarakat Sumba sudah terbiasa dengan hal itu.

Bahkan toleransi sangat dijunjung tinggi di Sumba. Umat beragama lain sangat menghargai kepercayaan Marapu dan saat ‘Wulla Poddu’, mereka sebisa mungkin tidak ada yang mengadakan pesta kawinan dengan dangdutan sejenisnya. Pun biasanya jika sudah terlanjur akan mengadakan pesta pada bulan itu (biasanya bulan November), mereka akan naik ke kampung dan meminta izin pada ‘Rato’ untuk mengadakan pesta. Setelah mendapatkan izin, pesta akan terselenggara namun tetap tidak boleh terlalu berisik.


Ayam dan Rato


Selain Mamoli, ada banyak motif lain yang menjadi symbol kehidupan masyarakat Sumba. Nanti akan ada tulisan khusus tentang kain tenun ikat di Sumba dan cerita masing-masing motifnya. Salah satu motif yang lekat di Sumba adalah ayam. Bagian hati ayam menjadi sarana berkomunikasi dengan leluhur.

Misalkan ada penduduk yang sakit, mereka akan membawanya ke Tetua adat atau ‘Rato’. Lalu yang datang biasanya membawa ayam kampung dan Rato akan menyembelih lalu mengecek hati ayam itu. Jika terdapat noda di hati ayam tersebut, berarti memang ada yang salah dan dengan caranya, Rato akan berkomunikasi dengan leluhur. Setelah mendapat jawaban, maka Rato akan meminta agar yang memohon itu menyembelih binatang dan cara-cara lainnya. Jika sudah selesai, sang pemohon akan membawa lagi ayam untuk dilihat hatinya oleh Rato. Jika hasilnya bersih, itu artinya leluhur sudah mengampuni dan menyembuhkannya.

Rato memimpin seumur hidupnya. Jika Rato tiada, maka akan diadakan ritual untuk memilih Rato yang baru. Tidak akan ada yang bisa menerka, siapa yang akan menjadi Rato berikutnya karena Rato dipilih oleh leluhur.

Rato yang sedang memimpin Kampung Tarung bernama Rato Lado dan merupakan Rato termuda yang pernah ada di Sumba. Ia terpilih menjadi Rato di usia 30-an. Dari bincang-bincang dengan Mama, kaka perempuan Rato, saya diceritakan prosesi pemilihan Rato dan bagaimana terkejutnya keluarga saat Lado terpilih karena masih sangat muda. Mereka takut jika Rato Lado tidak bisa mengemban tugasnya dengan baik. Namun pada akhirnya, Rato Lado bisa memimpin dengan baik, bijaksana dan disayang semua orang.



Masih ada cerita lain tentang Kampung Tarung. Silahkan baca blogpost berikutnya ya.


Salam sayang dari Sumba.

Menilik Uma dan Tradisi Kubur Batu di Kampung Tarung Sumba

$
0
0
Uma dan Kubur Batu di Kampung Tarung
Rumah (Uma) adat di Kampung Tarung memang tidak terlalu besar ukurannya. Untuk rumah, masyarakat Sumba memiliki filosofi sendiri. Bagi mereka rumah terbagi tiga ; bagian atas rumah atau atap sebagai tempat bersemayamnya para leluhur / roh-roh baik, bagian tengah adalah tempat tinggal dan pemujaan leluhur sedangkan bagian bawah adalah tempat hewan peliharaan dan roh-roh jahat.

Bagian lantai rumah terbuat dari bambu. Atapnya terbuat dari rumbia / alang-alang yang biasanya diganti 5 – 10 tahun sekali. Atap alang-alang ini adalah bahan atap yang paling pas untuk Sumba yang panas.

Kampung Tarung sudah dialiri listrik...


Bagian teras Uma...

Di bagian tengah rumah ada tungku yang letaknya di lantai. Di atasnya ada rak dari bambu yang berfungsi sebagai kulkas untuk daging. Daging yang sudah diolah, diletakkan di rak itu dan diasapi setiap hari saat tungku menyala. Hal itu membuat daging menjadi awet dan tahan berbulan-bulan.

Tungku ada di bagian tengah rumah. Ada Nene Loda Goko, Kak Nonce dan Kak Ina...
Saya disuguhkan dendeng kerbau asap yang disimpan Nene. Meski sedikit keras digigit, dendeng kerbau ini enak, gurih pedas asin. Saya lahap memakannya dengan nasi hangat yang mengepul. Saya juga diajak mencicipi ‘Peci’, minuman fermentasi khas Sumba, seperti Sopi / Moke di Flores. Namun rasanya tidak terlalu enak sehingga saya hanya meminum sedikit saja.

Dendeng kerbau khas kampung Tarung...
Setiap rumah inti yang ada di Kampung Tarung memiliki nama. Rumah Bang Piu disebutnya ‘Uma Wara’ atau rumah Menara. Ada juga ‘Uma Mawinne’ yang artinya rumah perempuan. Rumah Nene Leda disebutnya 'Uma Rato' atau rumah tetua adat.

Di bagian depan tiap-tiap rumah, ada tanduk kerbau yang merupakan simbol kekayaan dan kemakmuran keluarga. Semakin banyak dan besar tanduk kerbau itu, berarti kita tahu bahwa keluarga tersebut pasti kaya. Kan mengadakan pesta adat dengan kerbau sebesar itu, tidaklah murah. Tanduk-tanduk kerbau terutama yang ukurannya raksasa, sering ditawar oleh wisatawan asing dengan harga lebih dari sepuluh juta rupiah namun selalu ditolak.

Bayangkan kalau tanduk kerbau besarnya segitu, kerbaunya sebesar apa hayo...

Pemali dan Penggal Kepala


Ada satu tempat di tengah kampung disebut ‘Natara Katoda’ yang dulunya menjadi tempat perang dan tempat memenggal kepala musuh. Di dekatnya ada satu ranting pohon tua yang disebut ‘kayu adong’. Di ranting bercabang inilah kepala-kepala musuh digantung. Iya, di tengah-tengah kampung dan bisa dilihat semua orang mulai dari orang tua sampai balita. Seram kali ya. Saya membayangkan saya masih kecil dan bermain di halaman sambil melihat kepala tergantung di ranting pohon. Duh, bergidik saya jadinya.

Namun kini sudah tidak ada tradisi penggal kepala musuh seperti dulu.

Pohon temoat menggantung kepala musuh. Pohon ini sudah mati dan lapuk sehingga harus diberi penyangga.

“Kamu boleh keliling kampung dan lihat-lihat kuburan tetapi jangan menginjak batu yang ada di paling tengah itu ya” kata Nene.

Nene lanjut bercerita bahwa batu di tengah itu dikeramatkan oleh masyarakat Kampung Tarung dan tidak ada yang boleh menyentuhnya.

“Batu itu pemali dan dulu ada orang asing coba pegang batu itu, langsung buka baju, lari telanjang keliling kota”, tambah Nene lagi.

Sebaiknya kita tidak usah macam-macam di kampung adat. Jika memang dikatakan tidak boleh, patuhilah, hormatilah.


Batu yang di tenah itu jangan dipegang atau diinjak ya...


Kubur Batu dan Tradisi Tarik Batu


Kuburan tua adalah favorit saya, termasuk kubur batu di Kampung Tarung. Ada batu kubur yang berbentuk kotak dan ada penutupnya. Ada juga yang berbentuk meja besar yang penuh dengan ukiran. Usia kuburan ini diperkirakan mencapai ribuan tahun, berdasarkan penelitian yang dilakukan peneliti asing kepada lumut yang menempel di batu kubur.


Ada juga batu kubur yang sebesar ini dan lokasinya persis di depan rumah...
Yang menarik dari kubur batu ini adalah tradisi membawa atau memindahkan batu kubur ini. Batu-batu ini berasal dari pantai dan ditarik bersama-sama hingga ke gunung. Dengan tidak adanya alat angkut berat, bagaimana caranya masyarakat memindahkan batu kubur ini dulu? Itu pertanyaan terbesarnya.

Ternyata, zaman dulu, mereka menggunakan gelondongan kayu yang diikatkan ke batu memakai ‘tuwa’, batang tali dari hutan yang kini sudah susah ditemukan. Mereka menjadikan gelondongan kayu sebagai roda yang dipindahkan manual, ditarik oleh manusia. Bayangkan mereka menarik batu besar yang beratnya ratusan kilo dengan jarak belasan bahkan puluhan kilometer. Wow!



Kata Nene, biasanya sebelum memindahkan batu kubur, ada ritual yang diadakan untuk mendoakan proses pindah batu kubur berlangsung lancar. Para lelaki yang menarik kubur batu ini juga bernyanyi sepanjang jalan dan bebannya akan terasa ringan. Sayangnya saya tidak melihat langsung tradisi pindah batu kubur ini karena sedang tidak ada upacara kematian bangsawan besar.

Dalam satu kubur batu, tidak hanya terdapat satu badan melainkan ada banyak. Ada yang posisinya duduk, ada juga yang tidur. Mereka ditumpuk dengan dibalut kain tenun yang berbeda-beda. Jadi jika suatu hari, ada jenazah yang mau dipindahkan, kubur batu itu dibuka dan diambillah tulang-tulang yang terbungkus kainnys. Keluarganya pasti mengenali dengan baik kain tenun apa yang dipakai saat penguburan.

Pesta penguburan ini prosesinya panjang sekali dan memakan banyak biaya. Nanti akan ada cerita khusus tentang rangkaian adat penguburan. Ditunggu ya.

Kampung Tarung ini bisa dikunjungi kapan saja. Pesan saya hanya hormatilah segala aturan di dalam kampung, jangan jadikan masyarakat kampung adat sebagai objek. Akan lebih menyenangkan jika kita datang ke sana dan berbincang dengan mereka. Pasti mereka jauh lebih senang. Jika ada rejeki, belilah hasil kerajinan mereka. Kain tenunnya berkisar dari 75.000 hingga jutaan rupiah. Mereka juga bisa membuat kain tenun spesial dengan nama kita lho. Proses membuatnya memakan waktu 3 hari. Jika berkunjung dalam waktu cukup lama ke Sumba, bolehlah dipesan.





Salam sayang dari Sumba...  


Road Trip Motor Seru Bandung – Ranca Buaya Garut

$
0
0

Sewaktu masih jadi pekerja kantoran, mau liburan yang jauh itu susah karena terbatasnya jatah cuti. Rasanya pengen balik ke masa kuliah dimana jatah liburannya lebih dari satu bulan. Asyik bener. Iya kan iya kan?

Lalu terpikirlah buat ngelakuin kegiatan seru selama sabtu – minggu saja tapi tidak sekedar nongkrong di emol. Berangkatlah saya dan Janatan untuk…

ROAD TRIP!

Tujuan kali ini adalah Ranca Buaya, pantai selatan Garut. Kami pun menyiapkan perlengkapan dan peralatan untuk kemping karena kami berencana mendirikan tenda di dekat pantai. Perjalanannya cuma dua hari satu malam dan kami bakal pulang-pergi naik motor. Lebih seru daripada naik angkutan umum pastinya karena bisa berhenti sesuka hati, bisa motret, bisa jumpalitan di tengah jalan. Ya pokoknya suka-suka deh.

Biar jalan gak terasa capek, bercanda dan foto-foto lah kami. Tapi harus ingat, safety first ;)
Berangkatlah kami pagi-pagi sekali dari Bandung. Jalurnya melewati Leuwipanjang – Soreang – Ciwidey – Ranca Bali – Ranca Buaya. Lalu untuk jalur balik ke Bandung kami berencana mengambil jalur Ranca Buaya – Pangalengan – Soreang – Bandung. Jika punya banyak waktu, bisa juga mampir ke Ranca Upas dulu dan menginap semalam lalu melanjutkan perjalanan keesokan paginya.


Jalur berangkat lewat Ciwidey, jalur pulang lewat Pangalengan


Yang paling menyenangkan dari road trip ini adalah pemandangan sepanjang jalan yang hijau dan menenangkan. Apalagi pas ngelewatin Ranca Bali. Duh cantiknya area perkebunan teh ini ibarat permadani hijau yang besar sekali. Berbeda dengan kebun teh yang ada di Puncak yang lokasinya cenderung tinggi atau sejajar mata, Ranca Bali ini posisinya ada yang lebih rendah dari jalan jadi ciamik buat berfoto ala-ala di labirin gitu.

Kebun Teh Ranca Bali. Perpaduan warna hijau, biru dan putih manjain mata ya ;)


Setelah melewati Ranca Bali, nanti kita bisa menikmati beberapa air terjun yang ada di tebing sisi kiri jalan. Meski agak jauh, namun tetap menyenangkan untuk dipandang-pandang. Ada sekitar lebih dari lima air terjun kalau tidak salah.

Air terjun di pinggiran jalan. Musim kemarau jadi airnya kecil...
Cuaca cerah mendampingi perjalanan dari Bandung sampai Ranca Buaya sekitar 5 – 6 jam. Pantat nggak pegel tuh? Ya pasti pegel lah ya. Jadi kami menyiasatinya dengan sering berhenti untuk foto dan melempar canda atau tebak-tebakan selama di jalan. Meski kadang-kadang Janatan garingnya luar biasa, kami berdua tetap saja tertawa terbahak-bahak. Tanpa terasa, tahu-tahunya kita sudah sampai di tujuan.


Hai Ranca Buaya


Beberapa kali saya diajak teman-teman untuk main ke pantai yang ada di selatan Garut ini tetapi selalu gagal. Akhirnya kesampaian juga sama Janatan. Setelah melewati jalur meliuk-liuk yang membelah perkebunan teh dan hutan serta persawahan selama berjam-jam, terlihatlah pantai di kejauhan tetapi ternyata bukan Ranca Buaya. Dari turunan itu masih sekitar 1 jam untuk sampai ke Ranca Buaya. So excited!


Petunjuk jalan cukup jelas dan orang lokal pun pasti tahu dimana lokasi Ranca Buaya. Sebelum memasuki area pantai, kita harus membeli karcis seharga Rp 5000,- per orang lalu membayar lagi Rp 10.000,- untuk kendaraan roda dua dan Rp 20.000,- untuk kendaraan roda empat. Saya tidak menyangka ternyata Ranca Buaya itu luas sekali. Ada banyak sekali warung-warung berjejer di sisi kiri kanan jalan. Mulai dari warung makan, toko kelontong, toko baju pantai sampai pedagang ikan basah segar semuanya ada. Plus beberapa homestay untuk pengunjung yang mau menginap. Tapi kami berdua sudah membawa tenda jadi tinggal mencari lokasi yang pas dan nyaman.

Pantai Ranca Buaya dilihat dari bukit...
Kami berkendara menaiki jalan menanjak ke bagian atas dan ternyata cukup mengejutkan karena padang rumput berwarna cokelat yang datar dan luas sekali. Awalnya kami berpikir untuk mendirikan tenda di tepi pantai namun pada akhirnya diurungkan karena area pantai pasir sudah padat dengan warung dan parkiran motor dimana hanya area pantai dengan batu karang yang tersisa. Mana bisa membangun tenda di atas karang, pikir kami.

Meski sempat tersesat beberapa kali di jalan setapak padang rumput yang luas sekali itu, kami akhirnya mendapat lokasi camp yang enak dan sesuai harapan saya, menghadap ke barat, ke arah pantai.

Senja di Ranca Buaya, Paling asyik bikin tenda menghadap ke barat ;)



Dan jadilah sore itu sempurna karena senja jingga merona menggantung di ufuk barat Ranca Buaya…

Dan terputarlah lagu ini...

Oh lights, go down...
In the moment we lost and found...
I just wanna be by your side...

We'd remember tonight...
For the rest of our lives...

***

Malam menjelang dan kami menyiapkan makan. Waktu itu kami berpikir tak lengkap rasanya liburan ke pantai tapi tidak makan ikan. Jadilah kami turun ke pantai dan membeli ikan segar seharga Rp 60.000 per kilogram (harga ikan di kawasan pantai Ranca Buaya ini memang relatif lebih mahal) dan minta dibersihkan serta dibakar. Kami bawa kembali ke tenda, menyiapkan sambal dabu-dabu sendiri dan menandaskan ikan bakar dengan lahap. Setelah kenyang kami goler di rumput depan tenda dan memandang langit penuh bintang.



Terima kasih Tuhan, hidup kami asyik…

Ikan bakar segar yang manis dan mantap disantap pakai sambal dabu-dabu...

Kami sempat tertidur dan terbangun tak berapa lama setelahnya. Sadar kalau angin laut malam tidak baik, segeralah kami beringsut ke dalam tenda dan melanjutkan tidur.

Keesokan paginya kami bangun lalu bergegas mengepak semua barang dan memutuskan sarapan di warung makan di tepi pantai. Pilihan kami jatuh pada bakso. Nama pemiliknya Teteh Amoy. Selain menjajakan makanan, dia juga punya toko kelontong dan penginapan sederhana di atas rumahnya. Harga yang ditawarkan cukup bersahabat, hanya Rp 100.000,- per malam tapi itu harga tahun lalu lho ya. Saya tidak tahu apakah harganya sudah berubah sekarang.

Warung makan, toko kelontong dan penginapan Teteh Amoy...
Selepas makan pagi, pergilah kami berjalan-jalan menyusuri pantai. Ranca Buaya bukanlah pantai yang enak untuk berenang. Batu-batu karang menghampar dan ombak besar terus-terusan menghantam. Yah, pantai ini asyik buat dipandang-pandang saja. Takut digulung ombak kalau coba-coba berenang euy.

Ombak dan batu karang di Ranca Buaya
Puas berjalan-jalan, kami pamit dengan Teteh Amoy untuk pulang ke Bandung. Kalau awalnya kami memilih untuk lewat Ciwidey dan Ranca Bali, kami memilih jalur Pangalengan untuk pulang ke Bandung. Saran saya berkendaralah dengan hati-hati karena jalurnya menanjak dan panjang. Ada banyak warung makan di kiri kanan jalan untuk beristhirahat. Berhentilah sejenak jika lelah, jangan memaksakan diri dan malah membahayakan orang lain.

Ada warung makan yang ada di jembatan dekat tanjakan yang cukup panjang dan kami berhenti dulu di situ dan mengisi amunisi. Ternyata banyak juga pemotor lain yang sedang beristhirahat dan bersiap-siap untuk melewati tanjakan panjang nan jauh itu. Mobil-mobil saja antri untuk melewatinya untuk menghindari celaka jikalau ada mobil yang tidak kuat nanjak. Dan kami menonton dari kejauhan, tegang ketika ada mobil atau motor yang kesusahan saat menanjak dan menghembuskan nafas lega saat mobil / motor itu sampai dengan selamat.

Kami lewat Pangalengan ketika hari sudah sore benar. Tadinya saya berharap bisa melihat hamparan perbukitan the yang cantik. Apa daya hari sudah gelap. Hanya ada guratan jingga di langit yang membuat saya senang. Sisanya jalanan gelap yang kami nikmati hingga tiba kembali lagi ke Bandung.

Senja di Pangalengan

Bokong rasanya tipis begitu kami sampai di rumah tapi badan kami rasanya seperti habis diisi penuh dayanya, fully charged. Liburan singkat yang seru dan jadi baterai untuk seminggu ke depan.


Yuk kita roadtrip lagi!


Catatan Kecil :


  • Periksa kondisi kendaraan agar tidak ada masalah di jalan, baik itu mesin, roda, lampu.
  • Pastikan bawa surat-surat lengkap agar aman jika ada pemeriksaan mendadak.
  • Pakai pakaian yang nyaman dan pakai jaket windbreaker yang tipis agar tidak terlalu kegerahan di jalan tetapi tubuh tetap terjaga dari masuk angin. Ah ya jangan lupa sunglassesdan buff agar mata dan wajah terlindung dari paparan matahari.


Berkeliling Kampung Adat dan Mengenal Budaya Sumba Lebih Dekat

$
0
0


Dapa tekki tamo
Dapa nunga ngara
Pamake mata pamomo wiwaui

Tiga kalimat itu adalah jawaban yang diberikan Nene Leda Goko saat kami berbincang tentang Marapu, kepercayaan adat masyarakat Sumba. Meski banyak yang mengatakan itu agama, pada nyatanya bukan. Nene bilang itu adalah kepercayaan turun temurun dari nenek moyang, tetapi tidak ada Tuhan yang disembah seperti agama lainnya. Pun arti dari kalimat paling atas itu kurang lebih artinya, dia yang tidak perlu dicari, tidak bisa dilihat, tidak bisa didengar tetapi ada di sekitar.

Hal itu sebelumnya pernah saya tuliskan di ‘Menjadi Rambu dan Mengenal Marapu di Kampung Tarung Sumba’. Saya pun menambahkan cerita tentang rumah adat dan kubur batu di ‘Menilik Uma dan Tradisi Kubur Batu’.

Itu sebenarnya hanya secuil cerita dari keseluruhan perjalanan di Sumba. Sudah lama sekali saya ingin menginjakkan kaki ke pulau di sebelah selatan Flores, Nusa Tenggara Timur, khusus untuk mengenal lebih dalam tentang kebudayaan Sumba.

Perjalanan saya dimulai dari menyusuri Sumba Barat Daya, Sumba Barat lalu Sumba Timur. Buat saya ini adalah pilihan yang tepat karena dengan menjadikan Sumba Barat Daya sebagai destinasi pertama, kita bisa belajar mengenal kebudayaan Sumba di Rumah Budaya Sumba yang dibangun oleh Pater Robert di daerah Kodi.


Rumah Budaya Sumba yang ada di Sumba Barat Daya
Saya terperangah melihat semua koleksi museum yang diberi label berisi nama dan fungsi benda tersebut. Mulai dari kain tenun yang usianya lebih dari seratus tahun, perhiasan, alat masak, alat musik dan juga foto-foto keindahan Sumba hasil bidikan mata Pater Robert sendiri selama belasan tahun lebih.

Dari Rumah Budaya Sumba inilah saya mendapatkan info tentang beberapa kampung adat yang tersebar di seluruh Sumba. Dikarenakan keterbatasan waktu, saya tidak bisa mengunjungi semuanya dalam satu waktu. Ini beberapa kampung adat yang saya kunjungi ;

Kampung Adat Ratenggaro, Sumba Barat Daya


Yang menjadi ciri khas dari Kampung Adat Ratenggaro ini adalah atap ‘uma’ atau rumah yang sangat tinggi. Nama desa Ratenggaro berasal dari dua kata yakni ‘Rate’ yang berarti kubur dan ‘Goura’ yang merupakan nama suku. Ya, daerah ini dulunya merupakan kuburan suku ‘Goura’.

Kampung adat Ratenggaro berciri khas atap tinggi menjulang...

Senja di Kampung Ratenggaro (Photo Credit : Andi Patarai)
Kampung ini menyambut saya dengan sangat hangat. Mama Maria Dimukatupu bercerita cukup banyakk tentang kehidupan wanita Sumba. Pun ia bertelanjang dada sambil bercerita bahwa itulah potret wanita Sumba, meski tidak keseluruhan, tergantung dari kasta mana ia berasal.

Maaf kalau dada Mama harus disensor ya :)

Kampung Adat Tarung, Sumba Barat


‘Tarung’ sendiri berarti tempat yang tinggi dan memang, kampung ini terletak di bukit tengah-tengah kota Waikabubak. Di Kampung ini, saya bertemu dengan Nene Loda Goko yang bercerita tentang kepercayaan tradisional ‘Marapu’ dan juga kubur-kubur batu.

Hampir sama dengan kampung adat lainnya, di Kampung Tarung, kita akan menjumpai tanduk-tanduk kerbau raksasa yang ada di teras rumah dan merupakan lambang kemakmuran. Tak lupa saya mencoba dendeng kerbau asap asin pedas khas Sumba yang dimasak di rumah keluarga Nene Loda Goko. Luar biasa rasanya.

Tanduk kerbau di Kampung Tarung

Kampung Adat Wunga, Sumba Timur

Masyarakat Wunga mengenal Kampung Adat Wunga sebagai tempat dimana Nenek Moyang mereka mendirikan pemukiman, tak berapa lama setelah mereka mendaratkan perahu di Tanjung Sasar. Meski harus menempuh perjalanan sekitar 3 jam dari pusat kota Waingapu, saya merasa senang bisa melihat langsung kampung pertama di Sumba.




Kampung Wunga sebagai kampung tertua di Sumba
Sayangnya, setibanya di sana saya melihat kampung ini sangat sepi. Ternyata kebakaran tahun 2010 telah membumihanguskan 9 rumah dari 12 rumah yang ada dan kini hanya 3 rumah yang tersisa. Meski panas menyengat di kulit, saya senang bisa berbincang dengan Nene Lingga, Mama Anabaya dan Kaka Yubi yang menyambut saya dengan ramah di teras rumah.


Kampung Adat Raja Prailiu, Sumba Timur


Jika tidak punya banyak waktu untuk mengelilingi Sumba Timur, datanglah ke Kampung Raja / Kampung Prailiu yang letaknya di pinggir Kota Waingapu, tidak jauh dari bandara. Mampirlah ke rumah Tamu Rambu Margaretha yang hangat serta luwes bercerita tentang adat-isitiadat di Kampung Raja. Di halaman rumahnya ada pohon yang dihiasi dengan rahang babi dan tulang belulang. Ada beberapa kuburan batu di sekitarnya. Sarah, menantu Tamu Rambu Margaretha, juga dengan antusias mengenalkan budaya Sumba kepada siapa pun yang datang berkunjung.


Tamu Rambu Margaretha, Tetty, saya dan Sarah

Memakai pakaian tradisional Sumba - Kampung Adat Raja / Prailiu

Kampung Adat Prayawang / Rindi, Sumba Timur


Bisa saya katakan bahwa kampung ini adalah favorit saya. Kampungnya tidak besar, namun punya nilai budaya yang begitu luar biasa. Saya beruntung bisa bertemu langsung dengan Rambu Ana Intan, seniman tenun asli Sumba. Dari beliau lah saya belajar makna setiap motif yang ada di kain, sambil menyesap kopi. Saya begitu terpukau dengan setiap karyanya. Tentu saja kain-kain itu bisa dibeli. Saya juga mau kalau ada uangnya. Harganya memang mahal namun sebanding dengan kualitasnya.




Kain ikat tenun khas Sumba hasil tangan Rambu Intan
Berkunjunglah ke Sumba dan dapatkan kejutan menyenangkan dan tak terlupakan, apalagi buat yang senang belajar budaya. Untuk menuju kesana, bisa dengan jalur laut atau jalur udara naik pesawat ke Waitabula atau Waingapu. Pesawat yang paling sering melayani penerbangan ke Sumba dari Jakarta adalah Lion Air. Coba cek langsung tiket pesawat ke Sumba di Airpaz!

Baiknya Airpaz ini suka kasih diskon tiket. Lumayan banget ksn? ;)
Jadi, siapa yang mau ke Sumba dan mengenal budayanya lebih dekat? Yuk ;)

Aku Cinta Indonesia!

Keluarga yang menyenangkan di Kampung Tarung

Salam sayang dan damai dari Sumba. <3

Wara-Wiri ke Danau Weekuri

$
0
0

“Kita berangkat jam 8 pagi ya besok”, sebuah pesan singkat masuk ke ponsel saya. Itu pesan Bang Andi, teman saya yang akan mengajak saya jalan ke Sumba Barat Daya, tepatnya ke Laguna Weekuri. Tidak hanya kami berdua, ada beberapa teman-teman yang akan ikut ke sana.

Eh keesokan harinya karena saling tunggu menunggu, keberangkatan ngaret hingga 1 jam. Siap-siap berpanas ria di perjalanan karena matahari mulai meninggi. Setelah mengenakan jaket, buff, kacamata hitam dan helm supaya aman, kami siap berangkat!

Lokasi Danau / Laguna Weekuri ini ada di Sumba Barat Daya dan menurut Bang Andi, kami akan menempuh perjalanan selama kurang lebih 2,5 jam dari Waikabubak, Sumba Barat. Jadi diperkirakan kami akan tiba tengah hari. Saya berharap airnya belum surut  karena berdasarkan penuturan Bang Andi, semakin sore, debit airnya semakin turun. Pagi hari adalah waktu yang terbaik untuk ke Weekuri sebenarnya tapi ya gimana dong. Masa ditunda ke Weekuri nya? Ya sudah jalan aja yuk!

Belum ada petunjuk jalan ke Weekuri, jadi penting sekali untuk pergi bersama pemandu atau teman yang sudah kenal betul dengan jalur menuju Weekuri. Syukurlah ada Bang Andi dan Zindan yang entah sudah berapa puluh kali main ke Weekuri jadi sudah hafal sekali jalan ke sana. Kami sempat berhenti di Waitabula untuk membeli makan siang (kami memilih untuk membeli nasi dan sate) dan air mineral. Pun tak lupa mengisi bahan bakar agar perjalanan lancar tanpa hambatan.

Peluh bercucuran dan membasahi kaus yang ada di balik jaket. Gibran yang membonceng saya tidak terlalu banyak bicara meski sesekali kami bercanda. Biar jauh dan panasnya jalan tidak terlalu terasa. Kami mengarah ke daerah Kodi dan lalu di satu persimpangan jalan, Zindan memimpin rombongan dan berbelok ke kanan. Seterusnya, jalanan menembus padang rumput luas, belok kanan, belok kiri, kanan lagi, kiri lagi, rasanya kelokan ini tak henti-henti.

“Bagaimana cara menghafalkan jalan ini ya Ban?” celetuk saya ke Gibran.

“Itulah Sat, saya juga nggak hapal-hapal jalan ke Weekuri” jawabnya terkekeh.

Motor kami terus mengikuti motor Zindan, menembus jalan kecil berbatu di tengah padang rumput dan tibalah kami di Weekuri menjelang tengah hari.

Saya cukup terkejut karena ada banyak pedagang begitu kami tiba di sana. Saya kira karena lokasinya jauh sekali dari pemukiman penduduk, bakal tidak ada yang berdagang. Eh ternyata ada. Mereka menjual air mineral dan beberapa jajanan yang tentu saja harganya sudah berlipat ganda dibandingkan di kota. Ada juga yang menjual kain tenun. Ah, kalau mau lihat kain tenun, nanti di tempat lain saja, pikir saya.  Saya lebih tertarik untuk segera menceburkan diri ke air biru jernih yang menggoda itu. Setelah berganti baju renang di semak-semak tertutup, saya siap untuk nyebur. Wuwuwuwuwu…

Pedagang di Weekuri. Ramee...


Sebenarnya, Weekuri ini bukan danau melainkan laguna. Dikelilingi tebing karang, air yang ada di laguna Weekuri ini datang sebagian dari laut dan sebagian lagi berasal dari mata air. Jadi airnya payau dan ada percampuran temperatur di sini, kombinasi air hangat dan dingin yang biasa disebut ‘thermocline’.  Ketika pagi hari saat air laut pasang, air di laguna ini meninggi dan ketika air laut surut, airnya menjadi sedikit hingga sebetis orang dewasa saja.

Kita bisa naik ke atas tebing karang yang ada di perbatasan laut dan danau untuk mengambil panorama danau.

Warna airnya kadang berbeda-beda karena pantulan dan arah cahaya matahari.

Teman sekaligus pemandu Sumba terbaik namanya Zindan. Pssstt, Zindan masih jomblo lho :p

Gugusan batu karang yang langsung menghadap laut...

Begitu datang dan melihatnya, Danau Weekuri ini memang menggoda. Pantulan matahari mempertegas kombinasi warna biru muda dan biru tua di danau itu. Dasar dari danau pun  terlihat sangat jelas. Jika ingin menggambil foto underwater, jangan bergerak terlalu banyak atau pasir-pasirnya akan membuat air menjadi sedikit keruh.

Whereever you are, don't forget to take selfie, said Zindan. Hahahaha...



Sudah ada beberapa anak-anak yang sedang berenang dan bermain di air. Tak tahan lagi, saya dan teman-teman juga ikut nyebur. Sayangnya air sudah tinggal sepinggang saat kami turun ke air. Kalau datangnya lebih pagi, bisa loncat bebas dari tepian batu ke dalam danau. Tapi kalau airnya ‘cetek’ ya dengkul orang dewasa mentok kalau loncat. Saya jadi sedikit iri melihat anak-anak kecil yang oh tentu saja masih sangat bisa bergembira loncat-loncat ke dalam air. Hahahaha…

Ceria sekali kalian adik!


Matahari panas membakar ubun-ubun tetapi air yang segar bisa bikin adem. Ya jadi ada alasan untuk terus-terusan di dalam air. Bang Andi yang sudah sering ke Weekuri malah memilih tiduran di hammock yang dia pasang di bawah pohon. Mungkin Bang Andi lelah dan ingin beristhirahat saja.



Kami berenang ke sana ke mari dan tidak menyangka sudah berenang dan foto selama lebih dari dua jam. Dijamin gosong kulitnya tapi senang betul hatinya.

Kalau liat warna gini, mikirnya pasti ini danau atau laut yaaa...



Untuk menuju Danau / Laguna Weekuri, bisa mencaritiket pesawat ke Bandara Tambolaka di Sumba Barat Daya. Maskapai Lion Air yang paling sering melayani rute ke Sumba. Coba cek saja www.airpaz.comuntuk melihat jadwal penerbangan ke sana. Selama di sana bisa menyewa mobil atau motor untuk berkeliling Sumba.

Wah kapan lagi ada promo ke Sumba dari Jakarta cuma sejutaan. Mauuuuuuu...
Jadi, kita pergi wara wiri ke Weekuri? Yuk mari…

Aku Cinta Indonesia...


Kopi Es Tak Kie, Tak Sekedar Obrolan Kopi

$
0
0

Sudah tiga kali saya gagal mendatangi kedai kopi ini. Alasannya? Kesiangan alias terlambat. Dari 2012, akhirnya baru kesampaian tahun 2016. Bayangkan, setelah empat tahun baru terlaksana. Hahaha...

Tempat ini memang tersohor di kalangan penyuka warung-warung kopi tua. Salah satu teman baik saya, Bang Chan, juga pernah menuliskan tempat ini di blognya. Seperti Bang Chan, saya pun berharap bisa bertemu langsung dengan si empunya warung, Latief  Yunus, biasa dipanggil Engkong Latief.

Menemukan warung kopi ini tidak terlalu sulit. Sehabis turun dari commuterline yang membawa saya ke stasiun Jakarta Kota, saya tinggal menyeberang jalan menuju Gang Gloria. Nama gang itu tidak asing bagi penyuka kuliner non-halal alias aneka makanan berbahan dasar daging babi. Gang kecil itu padat dengan gerobak makanan dan pedagang yang masih berjualan dengan sepeda dan dandang. Di dalam gang itulah, Warung Kopi Es Tak Kie, nyempil.



Saya memilih meja dekat pojokan dinding, meja nomor 17, di samping meja bapak-bapak tua yang sedang asyik mengobrol memakai Bahasa Tionghoa. Lucunya, saya cukup lama tersadar bahwa salah satu bapak yang duduk di meja itu adalah Engkong Latief. Padahal saya sudah pernah melihat potret beliau. Kok bisa-bisanya saya lupa. Lantas saya senyum-senyum sendiri sampai Janatan bingung dan bertanya saya kenapa.


“Sssst. Aku lagi senang karena Engkong Latief ada di meja sebelah kita”, bisik saya pelan.

Saya memesan Es Kopi Susu dan Janatan memesan Es Kopi biasa. Rasa es kopi susu ini pas di lidah saya, tidak terlalu manis dan masih terasa pahit kopinya. Janatan juga sangat menyukai es kopi nya.


Selain minuman, Kedai Kopi Tak Kie juga menyajikan beberapa menu makanan seperti Nasi Campur, Nasi Tim dan Bakmi. Sayang sekali mereka hanya menyajikan bakmi ayam hari itu dan Nasi Campur nya dipesan dari gerobak makanan di luar. Belakangan saya tahu ternyata ini adalah ide Engkong agar pedagang makanan di luar kedainya juga kecipratan rejeki.

Kaget sekali saya ketika tak berapa lama berselang setelah memesan bakmi, Engkong Latief sendiri yang datang menyajikan nya di meja kami. Begitu senang layaknya ketemu bintang idola.




Engkong Latief masih sangat gagah meski seluruh rambutnya memutih. Dari parasnya, saya menebak bahwa Engkong pasti sangat tampan di masa muda nya dan masih tersisa hingga masa tua.

“Selamat menikmati ya”, ujarnya ramah.

“Terima kasih Kong. Nanti saya boleh ngobrol-ngobrol sama Kong?” tanya saya.

“Hahaha. Mau ngobrol apa? Tentu saja boleh. Makan saja dulu”, katanya sambil membawa nampan makanan ke dapur.

Saya begitu senang dan menikmati setiap suap nasi campur dan juga mencicipi bakmi ayam yang bertabur potongan dadu daging dan daun bawang. Percayalah, untuk bakmi ayamnya, halal.

Jam sudah menunjukkan pukul setengah dua siang. Setengah jam lagi kedai kopi ini tutup. Hanya beberapa pelanggan yang tersisa di warung termasuk kami. Saya mendekati Engkong dan mengobrol sebentar.

Yang pertama kami bahas adalah filosofi dari nama kedai kopi nya, 'Tak Kie', yang terpampang jelas di papan kayu di atas dinding terbuka antara dapur dan tempat tamu. Saya mengedarkan pandangan ke tiap sudut kedai yang sudah ada sejak tahun  1927 ini. Kedai turun temurun yang dibangun oleh sang kakek lalu diteruskan kepada bapak kemudian Engkong Latief.


Nama ‘Tak Kie’ berasal dari ‘Tak’ yang berarti orang yang sederhana dan ‘Kie’ yang berarti tempat yang akan selalu diingat orang.

Filosofi itu masih sangat melekat dengan citra kedai ini. Kedai yang kecil, sederhana, mempertahankan menu yang itu itu saja. Namun siapa pun yang pernah mengunjungi kedai kecil itu, pasti akan merasa rindu.

Kedai ini adalah pemuas yang pas bagi orang-orang tua yang merindu ngopi sambil mengobrol dan 'ngudut' alias menghisap rokok. Itu terpampang jelas di dinding kedai yang penuh dengan pigura-pigura foto orang tua ternama di Indonesia. Pak Presiden Jokowi pun sudah pernah mengunjungi kedai kopi di gang sempit ini.


Obrolan berlanjut dan berganti topik mengenai biji kopi apa yang dipakai Engkong di kedai. Jawaban beliau ya campur-campur tetapi selalu memilih biji kualitas yang terbaik. Engkong sendiri yang mendatangi petani atau supplier biji kopi dan lalu mengolahnya.

“Di lantai atas ada mesin gilingnya”, ujar Engkong lagi.

Obrolan tentang kopi ini membuat mata Engkong berbinar. Beliau katakan jika suatu waktu saya kembali lagi dari perjalanan, bolehlah saya membawa beberapa biji kopi yang khas dan kami bisa mengobrol banyak tentang itu. Kalian juga boleh lho…

Namun binar di mata Engkong redup saat obrolan kami beralih ke topik tragedi 1998. Raut wajahnya sedih. Rasanya pasti lebih pahit dari kopi racikannya. Engkong menuju meja kasir dan mengambil dua lembar foto.

“Ini potret Glodok yang dulu. Saya dulu tukang foto, tetapi sudah tidak lagi. Kamera saya pun sudah saya jual” ujarnya.


Engkong lanjut bercerita bahwa dia sangat bersyukur diselamatkan oleh penduduk (maaf) pribumi, tetangganya. Tetangga itulah yang menyuruhnya sembunyi dan lalu berbohong serta meyakinkan para penyerang bahwa tidak ada etnis Tionghoa di rumah itu. Saya tak bisa bayangkan betapa mencekamnya saat itu karena saya masih berumur 6 tahun saat tragedi itu terjadi. Yang saya tahu, tragedi itu begitu membekas bagi orang-orang yang mengalaminya, seperti Engkong Latief.

Kursi-kursi sudah dinaikkan ke atas meja dan jendela sudah ditutup. Saya tersadar sudah tidak ada pengunjung lagi selain kami berdua. Engkong Latief lagi-lagi memberi saya pelajaran penting untuk merasa berkecukupan dalam hidup. Buat Engkong, kedai dibuka sampai jam 2 siang saja sudah cukup. Cukup untuk menghidupi keluarganya dan para pegawai. Kontras sekali dengan kedai kopi modern yang buka 24 jam. Engkong yakin bahwa tiap-tiap hari Tuhan akan memberikan berkat dan rejeki cukup.


Terima kasih Engkong Latief. Kita pasti akan berjumpa lagi dan mengobrol yang tak sekedar obrolan tentang kopi. 



Sante-sante di Danau Ngade dan Tolire, Ternate

$
0
0

Pulau Ternate memang hanya pulau kecil yang bisa dikelilngi dalam waktu kurang lebih satu jam. Namun jangan salah sangka atau salah duga kalau pulau kecil ini tidak ada apa-apanya. Nyatanya, kunjungan 3 hari ke sana nggak cukup saking banyaknya tempat indah yang bisa dikunjungi dan dinikmati.

Dulu saya pernah menulis tentang cantiknyaPantai Sulamadaha dan masih ada beberapa tulisan lain yang akan menyusul tentang kecenya Ternate. Di sini, saya mau berbagi sedikit pesona danau nya.

Ada tiga danau di Pulau Ternate yang biasanya jadi favorit warga  dan wisatawan untuk ‘sante-sante’ (santai-santai) yaitu Danau Tolire Besar, Danau Tolire Kecil, dan Danau Ngade. Danau yang pertama kali saya kunjungi adalah Danau Tolire Besar.

Berkendara sekitar setengah jam dari pusat Kota Ternate, saya dan teman-teman sampai di Danau Tolire yang ada di kaki Gunung Gamalama, gunung ‘ibu’ Ternate. Pernah saya membaca jika  kaki Gunung Gamalama ini ada di dasar laut. Jadi meski pun ketinggiannya 1715 meter di atas permukaan laut, jika ditotal dari dasar laut mencapai 3000 meter. Wah, tinggi ya. Gunung Gamalama masih aktif hingga hari ini dan sempat ‘batuk’ beberapa waktu lalu. 

Puncak Gunung Gamalama nya tertutup kabut. (Photo by Him +Him @saifanah )
Erupsi Gunung Gamalama sekitar tahun 1775 menjadi awal pembentukan Danau Tolire Besar atau yang dikenal dengan nama ‘Tolire Jaha’.  Kalau Danau Tolire Besar luasnya hampir lima hektar, Danau Tolire Kecil tak ada ubahnya dengan kolam. Tidak terlalu besar dan sangat dekat dengan bibir pantai. Sayang kami tak sempat berhenti untuk mengambil potret Danau Tolire Kecil.

Mitos-mitos di Danau Tolire


Dari parkiran, pengunjung harus menaiki tangga untuk sampai di bibir danau. Jangan heran kalau menemukan banyak warung yang berjejer, menjajakan jagung bakar, mie instan dan jajanan-jajanan lainnya. Namanya juga objek wisata favorit kan.

Danau yang berwarna hijau dan berair tenang ini ternyata menyimpan dua mitos lho. Mitos pertama adalah, batu yang dilemparkan dari bibir danau tidak akan pernah jatuh ke permukaan air. Hmmmm, mitos semacam ini juga pernah saya dengar waktu mengunjungi Danau Kelimutu. Pernah tahu kan?

Meski itu mitos, teman seperjalanan saya, Yuki, penasaran dan mau melemparkan batu ke dalam danau. Sayangnya, nyari batu di sana susaaaaahhhhhh sekali karena ternyata batunya dijual seharga Rp 2.000,- untuk lima buah batu, Kakak. Hahahaha…

Danau Tolire yang airnya tenang sekali...
Kata salah satu orang lokal, biasanya banyak anak kecil yang menjajakan batu dalam kantong kresek namun kami tidak menjumpai satu pun. Yuki akhirnya mendapatkan batu kecil yang lalu dia lempar sekuat tenaga ke danau. Mungkin karena jauh dan dalam, batu yang dilempar itu tidak kelihatan. Atau bisa saja nyangkut di pohon kan? Kedua alasan itu masuk di akal sih.

Mitos yang kedua adalah tentang adanya buaya putih di Danau Tolire. Begitu menurut kepercayaan masyarakat lokal Ternate. Katanya sih ada yang pernah melihat penampakan buaya putih sepanjang kurang lebih 10 meter itu di permukaan danau. Saya percaya nggak percaya sih, soalnya danaunya kan jauh sekali di bawah. Apa iya kalau ada buaya naik ke permukaan bisa terlihat? Mereka bilang sih kelihatan.

Pun mitos buaya putih ini memang sudah ada sejak lama dan ada di berbagai tempat kan ya? Buaya putih kerap diyakini sebagai makhluk penjaga suatu tempat yang dikeramatkan. Hanya orang-orang tertentu yang bisa melihat penampakan buaya putih ini. Katanya lho.

Vegetasi yang ada di sekitaran Danau Tolire masih hijau lebat dan diyakini menjadi habitat bagi burung endemik Ternate. Memang saya melihat ada beberapa burung yang sedang terbang rendah dekat permukaan air. Mungkin saja mereka sedang mencari ikan untuk santapan.

Burung-burung yang terbang rendah di sekitaran danau...
Waktu yang enak untuk santai di Danau Tolire biasanya pagi hari kalau ingin mendapatkan potret cerah (kalau cuaca cerah ya) atau sore hari ketika cuaca sendu, tidak terik. Kami datang di sore hari dan ya meski tidak dapat potret cerah, rasanya senang bisa menyambangi dan menikmati indahnya Danau Tolire.

Halo Danau Ngade!


Danau ketiga yang kami sambangi adalah Danau Ngade, yang juga jadi favorit saya di Ternate karena pemandangannya juara. Jika hari cerah dan tidak berawan, kita bisa melihat Pulau Tidore dan Maitara segaris lurus dengan Danau Ngade. Saya pernah melihatnya di akun Instagram dua teman saya yang super kece dari Ternate, Acho ( @acho_09 ) dan Ilham ( @ilhamarch ).


Butuh berkendara sekitar 30 menit dari pusat kota untuk mencapai Danau Ngade yang jaraknya sekitar 18 kilometer. Berbeda dengan Danau Tolire, kita bisa menikmati panorama Danau Ngade dari dua sisi. Baik itu dari tepian mau pun dari atas danau.

Sewaktu kami ke sana, belum banyak yang tahu tentang Danau Ngade ini. Hanya beberapa teman-teman yang senang mengeksplor Ternate yang tahu seperti Acho dan Ilham. Sayangnya mereka sudah ada agenda lain sehingga tidak bisa menemani. Bahkan, Bang Sarifudin Koroy yang  menjadi pemandu kami waktu itu, kurang mengerti di mana letak viewpoint yang saya temukan di Instagram lalu saya tunjukkan kepadanya. Dia tahu di mana lokasi Danau Ngade, namun belum pernah melihat danau dari sudut atas. Setelah tanya-tanya warga lokal, mereka menunjukkan jalan yang menanjak ke atas. Namun sesampainya di atas pun kami tetap linglung karena ternyata spot viewpoint itu ditutupi seng oleh yang menjaga. Ya pantas susah ditemukannya ya. Hahahaha…

Malu juga saya waktu itu karena sedikit ngotot bahwa kami haru jalan lebih ke atas untuk menemukan viewpoint itu. Ternyata kita sudah sampai di titik yang dituju, namun tertutupi seng.

Kami masuk ke bagian dalam dan ada Pak Kasim yang menjaga spot itu. Dia mempersilakan kami masuk dan mengingatkan untuk selalu menjaga kebersihan, tidak membuang sampah sembarangan. Berbalut kemeja berwarna cokelat dan topi biru, Pak Kasim tersenyum malu-malu saat kami ajak foto bersama. Teman-teman yang ingin menghubungi beliau bisa kontak ke 0823 – 4687 – 5803. Soalnya kalau kalian ke sana dan ternyata pintu seng nya tertutup, teman-teman bisa menghubungi Pak Kasim untuk dibukakan. Hingga kemarin saya ke sana, tidak ada biaya tiket masuk, namun kita bisa memberikan sumbangan suka rela untuk Pak Kasim ya.

Teman-teman seru di perjalanan eksplor Ternate kemarin.
ki-ka ; Mas Him @saifanah , Mister Dan @hellomisternet , saya, Yuki @yukianggia dan Bang Sarifudin
Ngomong-ngomong, Danau Ngade ini dikenal juga dengan nama Danau Laguna. Jarak dari pinggir danau ke bibir pantai kurang lebih satu kilometer membuat danau ini memang terlihat seperti laguna. Beda dengan Danau Weekuri di Sumba yang airnya berasal dari campuran air tawar dan air laut, Danau Ngade ini masih murni air tawar. Masyarakat sekitar Danau Ngade juga membiakkan benih ikan air tawar seperti ikan nila dan mujair. Kalau mau berenang atau bermain sampan juga bisa. Bisa minjam atau sewa sama masyarakat lokal sekitar.


Menurut teman-teman, danau mana yang paling cantik? Yuk lah kita baronda (jalan-jalan) di Ternate!


A Jenius Way to Travel in Style

$
0
0


Baru saja menyambangi Ibukota setelah beberapa bulan di kampung halaman, saya langsung diundang untuk ikut hadir ke acara #BrightspotxJeniusLIVE di Atrium Senayan City. Ada yang datang juga ke event Brightspot minggu kemarin? Berarti sudah kenalan dong sama Jenius, si pintar yang akan sangat membantu perencanaan finansial kita. Apa tuh Jenius? Nanti aku ceritakan lengkapnya di bawah.

Saat tiba di Atrium Senayan, ternyata ada Kak @marischkaprue dan @asokaremadja yang sedang berbagi ilmu tentang style mereka saat lagi traveling. Nggak habis-habis dan memang banyak sekali variannya. Kalau kalian follow socmed mereka pasti tahu dong betapa stylish-nya duo traveler itu. Siapa sih yang nggak kenal mereka, ya kan?

Marischka Prudence terkenal dengan gaya traveling dengan bold colors dan beragam aksesori atau outer catchy, sedangkan Asoka Remadja terkenal dengan style nya yang selalu mengenakan kain tenun sebagai ciri khas. Dikenakan kemana pun, bahkan sampai ke puncak gunung atau ke dasar laut. Asoka sampai berbagi tutorial bagaimana mengenakan kain agar nyaman dipakai saat traveling. 

Dipandu oleh Kak Mumun dari @indohoy dan @wego, acara bincang-bincang tentang 'Travel in Style' ini berjalan seru dan interaktif. Pembawaan Kak Mumun yang khas dengan senyum sumringah, mampu menyedot perhatian orang-orang di Senayan City untuk merapat ke stage. She's so adorable.




Selesai bincang-bincang, saya disamperin sama seorang dari salah satu Jenius team yang menawarkan bantuan untuk menjelaskan apa itu Jenius, kegunaannya dan registrasi jika aku tertarik.

So, Jenius ini sendiri adalah inovasi baru dari Bank BTPN yang bertujuan membantu perencanaan dan pengelolaan keuangan kita menjadi lebih mudah hanya dengan smartphone.

Iya, ponsel pintar nan canggih yang tampaknya sudah dipakai semua orang kini. Yang bisa download aplikasi Jenius di App Store (iOS) dan Google Play untuk Android.

Lalu, apa saja keunggulan aplikasi Jenius ini?

Jenius mengunggulkan istilah 'Bank Reinvented' alias diciptakan kembali. Ada beberapa hal yang diperbaharui semacam nggak perlu mengantri lama di bank untuk membuka rekening. Nggak perlu capek menghafalkan nomor rekening yang panjang itu ketika mau transfer dana karena kita bisa bikin cashtag ($) unik sebagai penggantinya. Serunya lagi, kita bisa transfer uang dengan cukup tahu nomor telepon dan emailnya.

Oh iya, kita juga bisa belanja online dengan memakai E-card berlabel Visa yang sama fungsinya seperti kartu kredit karena ada CVV code nya. Buat yang sering ditolak saat apply Credit Card, Jenius ini solusi yang menguntungkan sekali. Bisa dipakai untuk booking tiket pesawat ke luar negeri atau booking hotel di luar negeri. Biasanya kan di luar negeri lebih milih pembayaran pakai kartu kredit. Bisa juga buat beli aplikasi berbayar, langganan Spotify / Apple Music, langganan Netflix, bayar Uber dll. Asalkan saldo di dalam Jenius e-Card kamu mencukupi ya.

Asyik bener deh si Jenius ini! Tentu saja saya setuju untuk bergabung menjadi pemakainya.

"Boleh saya pinjam KTP dan NPWP nya Mbak?", ujar Mas Jenius nya.

Saya berikan kepadanya dan lalu difoto dan datanya terpindai otomatis ke kolom data yang dibutuhkan untuk registrasi Jenius. Jadi nggak perlu diketik lagi. Wow! Canggih betul. Saya sampai terperangah. Foto KTP saya yang sudah bulukan bisa terbaca datanya sama Jenius. Berikutnya Jenius meminta foto saya sedang selfie dengan kartu KTP, lalu foto NPWP dan yang terakhir foto tanda tangan saya.

"Mbak Satya mau pakai nama apa buat cashtag nya", tanya si Mas lagi.

"Saya pakai nama sendiri aja deh Mas biar gampang inget", jawab saya.

Jadilah cashtag Jenius ku : $satyawinnie (nanti yang mau transfer-transfer boleh langsung ke cashtag ku ya. Hahahaha)



Asyik kan punya akun rekening pakai nama kita atau mau nama-nama unik kayak $coolgirl atau $richieboy , $boytampan ya terserah.

Nggak sampai 15 menit, setelah membuat password dan kode pin, akun Jenius saya sudah jadi. Mak! Cepat sekali. Bandingkan dengan kita datang langsung ke bank, mengantri di belakang puluhan orang (kecuali kalau kita yang datang pertama pagi-pagi) dan lalu menunggu lagi proses pembuatan rekening, isi formulir panjaaaaang. Jelas banget Jenius ini jauh lebih efisien untuk masalah waktu. Klik, foto, klik, jadi deh rekeningnya.

Simple! Fun!

Jika seluruh proses registrasi sudah selesai, kita akan menerima kartu fisik seperti kartu debit dan e-card yang ada di aplikasi Jenius. Aplikasi nya sederhana, user interface dan user experience juga bagus. Nyaman dan mudah dimengerti sama user.

Untuk M-Card Jenius, fungsinya kurang lebih sama seperti kartu debit lain, untuk menarik uang dari mesin ATM BTPN, ATM yang berlogo Prima atau ATM Bersama. Jangan lupa untuk top up M-Card karena E-Card bisa diisi kalau M-Card nya ada isinya.

Sekarang buatku mengelola keuangan dengan Jenius jadi lebih mudah. Buat teman-teman yang mau tahu apa lagi keunggulan Jenius lebih lengkap bisa langsung ke www.jenius.com atau kontak langsung Jenius Help di 1500365. Bisa juga dengan kirim e-mail ke : jenius-help@btpn.com 

Eh, ada line account nya juga : @jeniushelp . Mereka akan dengan sangat senang menjelaskan kepada kalian detil manfaat dari Jenius. 

Jujur saja sebenarnya saya agak malas jika ada tawaran tentang layanan Perbankan. Tapi Jenius ini beda, dia punya keunggulan yang dibutuhkan di zaman sekarang. I'm a happy user.

Yuk cobain langsung aplikasi Jenius dengan download aplikasinya dan registrasi. Setelah registrasi, nanti kartu fisik nya akan sampai di alamat rumah masing-masing dengan estimasi pengiriman satu minggu. Yeay!

Selamat menikmati fitur-fitur unggulan Jenius ya.

Suzuki GSX-R & GSX-S, Motor Sport Tangguh Untuk Road Trip

$
0
0


Sejak kecil, saya kepengen banget punya motor sport. Kok rasanya keren kalau perempuan berambut panjang bisa naik motor sport besar (sepertinya ini juga ada di adegan TVC dulu). Kece banget kayaknya. Dan ketika sudah menginjak usia segini, saya sudah mulai menimbang-nimbang motor sport apa yang mau dibeli. Ya siapa tahu ada yang cocok dan ada rejeki, langsung cusss beli.Maunya sih kalau ada motor sport, bisa dipakai juga untuk road trip.

Pas banget kemarin ada event otomotif Indonesia Motorcycle Show (IMOS 2016) di Jakarta Convention Center, yang dihelat dari tanggal 2 – 6 November 2016. Datanglah bersama beberapa teman ke sana untuk cuci mata sekalian mencari tahu apakah motor impian saya sedari dulu ikut dipamerkan. Ya jelas ada, namanya juga pameran sepeda motor!

Selama berkeliling di JCC, mata saya tertumbuk pada beberapa motor sport yang dipamerkan dan rasanya hati jatuh pada Suzuki GSX. Suzuki mengeluarkan motor sport GSX yang dibagi menjadi dua jenis yaitu GSX-R untuk ‘racing’ dan GSX-S untuk ‘Street Sport’. Katanya sih GSX-S ini adalah ‘alter ego’ buat pengendara motor yang mendambakan performa tinggi tapi tetap menyenangkan dan dinamis untuk dikendalikan . Cocok nih sebenarnya buat kaum hawa seperti saya. Pun rasanya pas buat diajak road trip kemana-mana.

Ada +Josefine Yaputri yang senang banget naik GSX-R

Tuh, Kak +Reh Atemalem Susanti Bangun cocok banget ya ngendarain GSX-S ini :D

Menyesuaikan dengan kecintaan dan gaya hidup bikers  Indonesia yang mendambakan motor sport 150cc tercanggih, Suzuki GSX-R dan GSX-S menjadi anggota keluarga baru Suzuki yang penuh dengan kecanggihan dan performa terbaik di kelasnya. Yang senang nonton Moto GP pasti tahu kalau Suzuki GSX-RR adalah andalan Suzuki yang sudah terbukti performanya dan mendulang sukses di kejuaraan balapan motor paling bergengsi di dunia itu.

Tampakan Suzuki GSX-R

Suzuki GSX-S
Dan tentunya kita patut berbangga karena Indonesia menjadi Negara yang terpilih untuk mengadakan World Premier Suzuki GSX-R150 dan GSX-S 150, motor sport stylish, kompak dan ringan yang telah dinanti - nanti. Yang menjadi sorotan juga adalah pemilihan negara Indonesia sebagai basis produksi Suzuki GSX-R150 dan GSX-S 150, yang besar kemungkinan juga akan di ekspor ke negara – negara lain. Woohooo…

Kira-kira, apa saja sih yang menjadi pembeda Suzuki GSX-R dan GSX-S?

Suzuki GSX-R 150 yang memiliki tampilan racing, mengusung mesin 150cc DOHC berteknologi fuel injection yang sanggup menghasilkan performa tinggi. Bobotnya yang ringan (perempuan saja bisa lho) menjadikan GSX-R sangat menyenangkan dikendarai. Perlengkapan terkini seperti LED Headlight, LCD Speedometer, dan Easy Start System telah digunakan. Selain itu, yang menjadi gebrakan dari Suzuki adalah penggunaan Key-less Ignitionsebagai terobosan teknologi pertama dalam sejarah yang digunakan pada sepeda motor yang diproduksi di Indonesia.

Sedangkan GSX-S 150  menggunakan mesin dan sasis yang sama dengan GSX-R 150 namun bergaya lebih sportydan ergonomis, menjadi suatu keunggulan yang berbeda dan tidak dimiliki oleh motor lain di kelasnya. GSX-S 150 sangat cocok untuk pengunaan sehari-hari maupun hobi berkendara di akhir pekan. Sepertinya enak juga dipakai road trip ke luar kota ya. Suzuki GSX-S 150 turut menemani kemunculan GSX-R 150 sebagai pilihan terbaik bagi konsumen yang lebih mengutamakan kenyamanan mengendarai motor berperforma tinggi.






Hmmmm, jadi kalian pilih yang mana? Aku sih tetap kesengsem sama si Suzuki GSX-S 150, semacam si feminine yang tangguh gitu. Rasanya cocok sama kepribadian daku. Hahahaha… Sudah terbayang bisa mengendarainya untuk road trip ke berbagai belahan tempat di Indonesia. So excited!

Kira-kira cocok nggak ini buat jadi temanku road trip? ;)
Sebenarnya, Suzuki GSX-R dan GSX-S ini baru mulai dipasarkan tahun depan. Beruntungnya yang datang pas event IMOS kemarin bisa dapat melihat langsung wujudnya dan juga coba-coba menaiki meski tidak mengendarai. Andai saja ada test ride-nya ya. Hehehehe…

Tapi GSX-R 150 dan GSX-S 150 sudah bisa di-booking dari sekarang lho melalui www.suzukigsxrs150.com. Kamu cukup mengisi persyaratan dan menyetorkan booking fee Rp 500.000 ke pihak dealer yang menghubungi konsumen. Kesempatan baik buat teman-teman yang ingin menjadi pemilik GSX-R 150 dan GSX-S 150 pertama nih di tanah air.


Yuk dlihat dulu, siapa tahu naksir dan harganya cocok di kantong, langsung deh dibeli buat road trip berikutnya. 

Staycation The One Legian – Sky Pool & Santap Mantap di Bali

$
0
0

Nggak ada orang yang suka kalau penerbangannya ditunda aka delayed. Apalagi kalau delay nya sampai 3 jam lebih. Tapi yah al itu lumrah terjadi di Indonesia, apalagi kalau jam penerbangannya nanggung. Jam dua belas siang.

Rencana awal terbang dari Bandung ke Bali langsung bisa ke pantai nikmatin senja, pupuslah sudah. Begitu tiba di Ngurah Rai, langit sudah gelap. Namun, senyuman Ira, teman baik saya yang menjemput ke bandara, bisa bikin lupa rasa keki delay sama si singa.

Berkendara sekitar lima belas menit dari Bandara Ngurah Rai, resepsionis manis dengan outfit orange The One Legian menyambut hangat.

 “Morning Spirit, Miss Satya”, ujar Mbak nya.


Kan senang ya kalau habis kesal karena delay, begitu sampai hotel disambut ramah. Hati jadi adem lagi. Belakangan, saya baru sadar bahwa semua karyawan The One Legian ini saling sapa, baik ke tamu atau sesama staff dengan kalimat “Morning Spirit”. Usut punya usut, The One Legian ini memang mengedepankan keramahan dan kehangatan kepada setiap orang, ibarat matahari pagi. Jadi meski pun sudah malam, tetap bilangnya morning spiriiiiittttttt… *lalu tiba-tiba ingat salah satu restoran yang juga punya filosofi dan sapaan yang kurang lebih sama. Apaan ya?*

The One Legian ini dulu namanya The 101 Legian. Familiar kan sama namanya? Nah, karena mereka sudah naik kelas dari hotel bintang 3 menjadi bintang empat, namanya juga turut ganti. Meski dari tepi jalan hotel ini tidak terlalu besar, The One Legian ini punya 300 kamar lho yang dibagi menjadi Superior, Deluxe, Deluxe Pool Access, Deluxe Balcony, Deluxe Family & Suite. Aku sebenarnya kepengen Deluxe Pool Accesssupaya pas bangun pagi langsung bisa nyebur ke kolam renang, Romeo Pool. Sayangnya ketika saya menginap di sana, Deluxe Pool Access nya penuh. Ya karena banyak pasti yang sepemikiran sama aku, jadinya full-booked.




Tak apa, kamar Deluxe yang lain kan juga enak ya. Cuma tetap nggak bisa langsung ke kolam renang.  Bisanya lihat dari atas lalu loncat bebas ke kolam. Hahahaha.

Semua kamar yang ada di The One Legian didominasi warna orange, senada dengan ‘Morning Spirit’ nya. Kamarnya cukup luas dan disediakan sepiring buah-buahan segar di atas meja sebagai sambutan. Aw, manis sekali, buahnya.


SKY POOL PARTY


Salah satu yang menjadi daya tarik The One Legian ini adalah Sky Pool Party-nya. Ada tiga kolam renang di sana, Romeo Pool, Kids Pool dan Sky Pool. Biasanya, mulai jam 3 sore di hari Rabu, Jumat dan Minggu, musik sudah berdentam, pertanda sky pool party sudah dimulai. Bar yang ada di pojokan kolam terlihat ramai dengan tamu-tamu yang bolak-balik memesan bir dan berbagai macam cocktail untuk jadi teman bersantai. Aku suka DJ nya yang ciamik memilih musik dan bikin sky pool party nya super asyik!



Sewaktu aku update di social media bahwa aku menginap di The One Legian, salah satu teman yang berdomisili di Bali langsung nyeletuk “Wih The One. Asyik banget tuh Sky Pool Party-nya” di kolom komentar. Hmmmm, ternyata memang digandrungi banyak orang ya The One Legian ini, khususnya untuk Sky Pool Party.

Siapa saja boleh lho bergabung di Sky Pool Party meski bukan tamu The One Legian dengan membayar entrance fee Rp 150.000,-. Makanya lebih enak sekalian menginap di sini jadi nggak perlu bayar lagi.

Sehabis santai-santai di kolam renang, saya memilih untuk membaca buku  di bale-bale yang ada di Sky Lounge Bar, menikmati alunan musik sambil menyesapi hangatnya matahari senja. Di sore hari, kita memamng bisa melihat senja bulat dari rooftophotel lho kalau lagi malas beranjak ke pantai.  Ini juga menjadi salah satu alasan kuat saya merekomendasikan The One Legian karena nggak semua hotel punya spot untuk menikmati langit senja di ruang terbuka.




SANTAP MANTAP di THE ONE LEGIAN


I’m so easy to pleased, with food. Nggak nyesal sama sekali menginap di The One Legian ini karena menu-menu yang disediakan super lezat. Dua chef yang sangat aku suka, Chef Nyoman Picha dan Chef Made Sudi, benar-benar lihai meracik bahan makanan menjadi santapan mantap. Ada dua restoran di The One Legian yakni Rooftop Dine & Music Lounge (tempat breakfast-nya di sini) dan De Basilico Kitchen & Bar.




Untuk menu lunch, aku mencicipi ‘Crispy Ginger Chicken’, ‘Grilled King Prawn Salad’, ‘Baked Chicken with Tamarillo Sauce’, ‘Lamb Shank with Blackpepper Sauce’, ‘Crab Cappelini Pasta’ yang disiapkan Chef Made Sudi. So juicy, so yummy! Tak lupa dessert-nya ‘Lava Chocolate Cake’ dan buah-buahan segar.






Untuk makan malam, Chef Nyoman Picha yang super humble mengizinkan saya untuk masuk ke dapur dan melihat beliau ‘berdansa’ di kerajaannya.

“Saya mau menyiapkan menu yang kamu banget dan nggak ada di menu The One Legian”, kata Chef Picha, panggilan akrabnya.

“Oh ya Chef? Menu apa?”, jawabku dengan mata berbinar.

“Just wait and ready for surprise”, ujar Chef Picha dengan kalem.

Aku langsung menerka-nerka menu apa yang akan disiapkan Chef Picha ya. Yang aku banget katanya. Hmmm…

Ternyata special menu untuk aku adalah grilled salmon dengan telur ikan hitam dilengkapi asparagus dan mashed potatoes. Aku terkejut juga dari mana Chef Picha tahu kalau aku suka sekali salmon. Padahal dia tidak bertanya apa-apa lho. I’m impressed… What a surprise… Hahahaha… Thank youuuuuu Chef Picha!

Makan malam makin terasa hangat karena Chef Picha bergabung di meja kami untuk makan malam dan berbagi cerita seru. Meski sedikit terdistraksi dengan suara dari speaker sound system film yang sedang diputar (ada free movie night-nya lho!) tapi malam itu tetap berkesan.



SPAAAAAA!!!


Sebelum staycation berakhir, aku menyempatkan diri untuk mencoba fasilitas spa & massage yang ada di The One Legian. Disambut dengan terapis manis, handuk dingin dan segelas minuman relaksasi (aku lupa namanya), aku diperbolehkan memilih minyak yang akan dipakai untuk massage. Sampai bingung saat memilih minyak saking semuanya berbau enak. Nggak cuma minyak aromatherapy, massage-nya juga enak banget sampai bikin ketiduran. Deuh, mana ada massage di Bali yang nggak enak ya.




PASTI KEMBALI LAGI!


Kalau sudah suka, pasti kepengen balik lagi. Begitu juga yang saya rasakan di The One Legian. Semuanya pas, nggak ada yang kurang. Pelayanannya oke, fasilitas bagus, makanan sedap. Selain itu lokasinya di Jalan Legian jadi memudahkan kita untuk kemana-mana di sekitaran Kuta Legian hanya dengan berjalan kaki. Meski di sepanjang jalan Legian banyak bar, rasa-rasanya sky pool party di The One Legian lebih enak karena luas dan tempatnya terbuka, nggak pengap sama asap. Kurang apa lagi coba?

Semoga puas ya stay di The One Legian! Pssttt, mereka lagi ada promo untuk End Year Holiday lho! Langsung aja buka websitenya ya!

THE ONE LEGIAN
Jalan Legian No 117,
Badung, Bali, 80361 Indonesia
Phone +62 – 361 – 3001 – 101

www.theonelegian.com

Mencumbu Mahameru, Rinduku pada Gunung Semeru

$
0
0

“Mas Hari!” pekikku memanggil seseorang yang sangat familiar yang sedang mengatur posisi carrier di atas jeep kuningnya.

Mukanya menatap bingung hingga saat aku mendekat baru rautnya berubah.

“Eh Satya. Apa kabar?” sapanya ramah.

Obrolan berlanjut renyah mengingat perjumpaan terakhir kami di bulan Juli, saat Mas Hari mengantarkan aku dan teman-teman dari Tumpang menuju Ranu Pani. Mas Hari memang menjadi salah satu pemilik jeep yang rutin mengantarkan para pendaki yang ingin ke Gunung Semeru.

Entah keberuntungan apa yang menghampiri sehingga saya dipertemukan dengan Mas Hari di kala kepala lagi ruwet mencari transportasi dari Cemoro Lawang ke Tumpang hari itu. Rute Cemoro Lawang – Tumpang bukan rute yang biasa dilalui jeep-jeep yang ada di Bromo. Biasanya hanya ke Ranu Pani lalu kembali lagi. Hati jadi was-was karena takut dikenakan harga selangit. Ada beberapa keperluan logisitik yang harus kami lengkapi sebelum melakukan pendakian, jadi mau tidak mau harus ke Tumpang dulu sebelum ke Ranu Pani. Kami berada di Cemoro Lawang karena Janatan, Didi dan Hilda ikutan Bromo Trail Run. Boleh dibaca cerita seru tentang BTS Ultra di sini.

Bertemu Mas Hari seperti bertemu malaikat penolong karena rumahnya memang di Tumpang dan sering dijadikan basecamp oleh pendaki-pendaki. Berdua bersama istri tercintanya, Mbak Nur, Mas Hari bergelut di jasa wisata Bromo Tengger Semeru (Malang, Lumajang juga), selama belasan tahun.

Kami pun berteduh di rumah Mas Hari malam itu dan bersiap berangkat menuju Ranu Pani keesokan paginya. Layaknya Ibu sendiri, Mba Nur selalu menanyakan kesiapan pendakian kami. Apakah sudah isi SIMAKSI? Sudah bawa fotokopi KTP? Sudah punya surat keterangan sehat asli? Sudah bawa perlengkapan pendakian komplit? Baik banget ya.

Awalnya kami berencana menunggu pendaki lain yang bisa diajak patungan biaya jeep. Sayangnya taka da pendaki lain hari itu yang berangkat dari Tumpang. Ya mau tak mau, biaya Rp 650.000,- per jeep itu kami tanggung berempat saja.

Sekitar jam 8 pagi kami sudah sampai di Ranu Pani. Kami was-was akan diguyur hujan sepanjang jalur pendakian karena memang sudah musimnya. Di Tumpang saja, hujan mengguyur tiada henti dari pagi. Ya asal persiapan baik, kondisi cuaca seperti apa pun, kita sudah siap.

Briefing!


Kita semua sama-sama tahu bahwa tingkat kecelakaan di Gunung Semeru sangatlah tinggi. Oleh karenanya pihak TNBTS bekerja sama dengan teman-teman volunteer Semeru atau yang dikenal dengan nama SAVER untuk memberikan briefing kepada setiap pendaki. Lokasi tempatnya ada di Aula Balai TNBTS. 

Saat briefing dijelaskan tentang apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan, penggambaran jalur pendakian, bahkan cerita-cerita mistis serta kecelakaan yang menimpa beberapa pendaki hingga tewas. Mungkin tujuannya agar para pendaki ini memiliki rasa takut dan segan untuk berbuat yang aneh-aneh daripada nanti bernasib sama. Beberapa teman-teman tidak setuju karena kesannya seperti menakut-nakuti. Entahlah…

Namun saya sempat menyayangkan bahwa meski ada briefing dan cek kelengkapan peralatan, masih ada saja pendaki yang memakai sepatu untuk ke mall atau sandal gunung tetap diloloskan dengan alasan hanya mendaki sampai ke Ranu Kumbolo. Yang wajib pakai sepatu gunung adalah yang akan mendaki sampai ke puncak. Hmmmmm. Bagaimana pendapat kalian tentang itu?

Oh iya, teman-teman SAVER juga menjelaskan bahwa tidak dilarang untuk naik ke puncak Semeru atau yang dikenal dengan nama ‘Mahameru’. Namun TNBTS tidak menyarankan dan juga tidak akan menanggung asuransi jika ada kecelakaan pendaki yang terjadi di jalur Kalimati hingga puncak. SAVER memberikan briefing yang sangat lengkap terkait gambaran jalur ke puncak apalagi sekarang jalurnya sudah baru, estimasi waktu tempuh dan anjuran waktu maksimal berada di puncak adalah jam 9 pagi.



Aku dan tim memang berniat untuk mendaki hingga ke puncak tapi nggak ‘ngeyel’ juga. Kami  baru akan memutuskan untuk naik ke puncak atau tidak melihat kondisi cuaca malam sebelum summit attack, ketika kami sudah berada di Kalimati. Jika cuaca cerah, kami akan berangkat muncak tetapi jika terlihat mendung dan angin terlampau kencang, rencana itu kami urungkan.

Ngomong-ngomong aku juga menyayangkan bahwa briefing dimulai jam 8 pagi setiap harinya dan berlangsung selama kurang lebih 45 menit. Aku heran kenapa tidak lebih pagi ya jadwal briefingnya. Dikarenakan kami tiba jam 8.10 waktu itu, kami tidak diperbolehkan untuk mengikuti briefing sesi 1 dan diminta untuk mengikuti sesi 2 yaitu jam 9. Dilanjutkan briefing 45 menit. Hmmmm, banyak waktu yang terbuang sia-sia. Padahal kami berharap jam 9 sudah bisa memulai pendakian. Aku berpikir andai saja briefingnya bisa lebih ringkas, pasti waktu yang terbuang tak banyak.

Aku sempat terpikir jika materi briefingnya selalu sama dan berulang-ulang, mengapa tidak dibuat dalam video singkat yang bisa diputar lewat proyektor namun tetap ada SAVER atau TNBTS  di sana untuk mendampingi dan menjawab jika ada pendaki yang bertanya. Ah ya, itu hanya pikiranku saja. Andai saja suatu hari bisa terwujud ya…

Setelah briefingselesai dan formulir simaksi kita dicap oleh pihak TNBTS, barulah kita bisa membeli tiket masuk. Harga tiket terbaru untuk mendaki Gunung Semeru yakni :

Wisatawan Lokal : Rp 17.500 per hari di hari biasa dan Rp 32.500 per hari di akhir pekan

Wisatawan Mancanegara : Rp 220.000 per hari di hari biasa dan Rp 320.000 per hari di akhir pekan.

Fantastis ya  harga untuk wisatawan mancanegara nya? Kalikan saja dengan pendakian yang biasanya 3 hari 2 malam minimal. Jadi, janganlah heran jika angka wisatawan mancanegara yang datang ke Indonesia bukan naik malah turun. Harga sepuluh kali lipat dari harga untuk wisatawan lokal tentu saja membuat wisatawan mancanegara mengernyit. Hingga suatu waktu ada teman dari Amerika yang bertanya mengapa hal seperti itu terjadi, aku pun bingung menjawabnya. Aku setuju jika harga wisatawan mancanegara lebih mahal tetapi ya jangan ssepuluh kali lipat juga kan.

 Ranu Pani – Kalimati


Sebelum berangkat, grup kami yang terdiri dari lima orang yakni Janatan, Dion, Didi, Hilda dan aku mengecek kembali barang-barang bawaan kami sambil mengisi perut di kedai yang baru dibangun di depan loket TNBTS. Sewaktu kami datang, sang empunya bilang memang baru dua bulan berdiri. Tapi mereka membawa konsep segar di Ranu Pani. Tempatnya tertata apik dengan bunga daisy menghiasi. Makanan dan minumannya berkisar dari Rp 3.000 – 20.000,- saja. Sangat bersahabat di kantong kita. Pun rasa makanannya lezat-lezat. Saya memesan Nasi Rawon dan juga segelas teh rempah. Duhhhh nikmat betul!

Pukul 10.30 kami berangkat dari Ranu Pani dengan tidak lupa memanjatkan doa terlebih dahulu. Berbeda dengan ekpektasi kami bahwa cuaca akan mendung dan hujan seharian, ternyata kami disambut cuaca cerah sepanjang perjalanan. Mestakung, semesta mendukung!


Target kami hari itu adalah tiba di Kalimati sebelum hari gelap. Jadi isthirahat di jalur dilakukan dalam watu singkat saja, meneguk air sambil makan semangka. Semangka ini paling dikangenin kalau naik Semeru karena di gunung yang lain gak ada yang jual. Ada yang pro dan kontra sebenarnya dengan warung yang ada di tiap-tiap pos pendakian Semeru ini. Buatku tak apa, toh mereka cari rejeki ya.

Pos 1, Pos 2, Pos 3, Pos 4, Pos 5 (Ranu Kumbolo), Pos 6 (Cemoro Kandang), Pos 7 (Jambangan) dan Pos 8 (Kalimati). Itu urutan titik-titik pos pendakian di Gunung Semeru. Kami tiba di pos Kaimati, pos terakhir sebelum puncak Mahameru sekitar pukul 17.35. Berarti memakan waktu tempuh 7 jam dari Ranu Pani ke Kalimati. Eits, waktu tempuh kita jangan dijadikan patokan ya. Ada yang bisa lebih cepat dan ada juga yang bisa lebih lama dari itu.

Syukurlah hari belum terlampau gelap saat kami tiba di Kalimati.  Sebenarnya bisa lebih cepat lagi jika tidak santai-santai di Jambangan cukup lama untuk mengabadikan langit senja berwarna jingga dan merah muda. Jarang-jarang lho bisa dapat senja di gunung karena biasanya semua mengejar matahari terbit. Semesta memang sedang berbaik hati dan dalam kondisi gembira, cerah ceria.


Segera kami berkerja sama mendirikan dua tenda untuk beristhirahat. Angin menerpa cukup kencang dan kami menambahkan flysheet lagi di antara dua tenda untuk menghalaunya. Lekaslah kami berganti pakaian hangat, menjerang air dan juga menyiapkan makanan. Se’i, makanan khas dari NTT menjadi santapan lezat kami malam itu. Asupan protein yang cukup untuk mendaki ke puncak tengah malam nanti.


Pesta Se'i!
Biasanya orang-orang naik ke Puncak pukul 12 malam, namun kami memutuskan untuk naik jam 3 pagi. Toh kami tak mengejar ingin melihat sunrise dari puncak. Menikmati matahari pagi di jalur pun sudah cukup. Waktu tempuh untuk menuju puncak sekitar 4-10 jam, tergantung kecepatan jalan kita dan kondisi pendakian ke puncak. Semakin banyak pendaki maka semakin panjang antriannya, semakin lama waktu tempuhnya.

Menjejak di Puncak


“Bangun yuk bangun” ujarku sambil mematikan alarm.

Semua menggeliat malas dalam sleeping bag. Ya siapa bilang bangun dini hari itu gampang. Hilda langsung menyiapkan roti tawar yang dilapis selai cokelat dan menyiapkan minuman hangat untuk sarapan dini hari. Ingat ya meski sudah makan beberapa jam sebelumnya, kita tetap harus mengasup energi ke dalam tubuh sebelum berangkat menanjak ke puncak.

Hal yang terberat adalah keluar dari tenda yang hangat dan bersiap menghadapi udara dingin menusuk. Cukup mengagetkan ternyata suhu udara tidak sedingin yang kami kira. Oh iya, di musim hujan kan suhu di gunung lebih hangat dibandingkan saat musim kemarau. Langit cerah dan bertabur jutaan bintang, menjadi pertanda bahwa cuaca bagus untuk mendaki ke puncak.

Kami menyiapkan makanan, minuman di ransel kecil. Satu orang membawa air masing-masing satu liter untuk perjalanan mendaki dan turun. Tidak akan ada sumber air yang kita jumpai menuju ke puncak jadi perhitungkan kebutuhan air dan jangan sampai menyusahkan pendaki lain dengan meminta jatah air mereka.

Jalur menuju ke puncak sudah berubah. Jalur ini disebut dengan jalur Arcopodo baru karena jalur lama sudah tertimbun longsor. Butuh waktu satu jam untuk berjalan hingga ke batas vegetasi hutan. Begitu lautan pasir segunung (memang gunung), saya mengambil nafas panjaaaaaaaang dan menghembuskannya lagi. Minta berkat dari yang di atas supaya selamat sampai ke puncak hingga kembali lagi ke camp.

Di atas sudah terlihat cahaya-cahaya putih yang berasal dari headlamp pendaki yang sudah berangkat duluan. Mungkin yang berangkat jam 12 malam.

Kami menapaki jalur pasir yang katanya maju dua langkah turun satu langkah. Syukurlah kami naik menggunakan trekking pole sehingga ada pegangan dan pijakannya lebih mantap. Apalagi ditambah pasir yang lebih padat karena sedang musim hujan. Di musim kemarau biasanya pasirnya lebih gembur jadi gampang merosot.

Meski pelan-pelan, kaki terus dipaksa melangkah agar tidak kesiangan tiba di puncak. Ingat, waktu yang diperbolehkan berada di puncak adalah jam 9 pagi. Jika lebih dari jam tersebut, berarti namanya membahayakan diri.

Kenapa sih maksimal jam 9 pagi di atas?

Jadi, gunung Semeru ini merupakan gunung berapi aktif yang terus dipantau aktivitasnya. Setiap hari dia ‘batuk’ dan mengeluarkan awan panas yang sering disebut dengan ‘wedhus gembel’. Di atas jam 9 pagi, arah angin di puncak Mahameru akan berubah arah dan jika kita berada di puncak pada waktu itu, kita akan menghirup zat-zat yang bisa meracuni kita yang bisa mengakibatkan kematian. Itulah mengapa dianjurkan jam 9 maksimal. Kalau kalian masih ada di tengah-tengah jalur dan jam sudah menunjukkan jam 9, sebaiknya jangan memaksakan diri ke puncak. Lebih baik turun ya.

Hilda, Dion dan Didi sudah melaju duluan di depan. Aku dan Janatan berjalan di bagian belakang. Kami akhirnya jadi terpisah cukup jauh karena kami berdua keasyikan mengabadikan matahari pagi lewat lensa. Tak ada lagi pendaki di belakang kami yang berarti memang rombongan kami yang terakhir mendaki ke puncak.

Semburat matahari pagi di jalur menuju puncak
Makin ke atas, langkah kaki terasa semakin berat. Kulirik jam sudah menunjukkan pukul 6 pagi. Matahari sudah mulai menyapa hangat di wajah. Jangan sampai terlena dengan kehangatannya karena bisa membakar wajah. Siapkan sunblock dalam kantong jaket agar bisa dioleskan beberapa jam sekali. Ingat sinar UV di gunung itu tinggi sekali jadi selain terbakar, risiko terkena kanker kulit juga besar.



“Badanmu keringetan nggak?” tanya Janatan.


“Nggak kok, ini aku buka sedikit jaketnya biar sirkulasi anginnya baik” jawabku.

“Jangan sampai basah ya bajumu, nanti bisa hipotermia”, kata Janatan lagi.

Yap, kadang kita tidak sadar karena naik gunung harus pakai baju hangat, badan kita tutup serapat-rapatnya agar tidak ada angin masuk. Sebenarnya itu kurang tepat karena badan kita jadi basah berkeringat. Kalau keringat terperangkap, suhu tubuh kita bisa turun dan sangat gampang terkena hipotermia. Apa itu Hipotermia? Bisa dibaca di blogpost tentang hipotermia ini ya.

Hai Ibu Mahameru!



7.10 WIB.

Air menggenang di pelupuk mataku namun karena angin berhembus kencang, tak jadi ia jatuh.

Bendera merah putih berkibar gagah.

Kami tiba.

Di Puncak Mahameru.

Hilda, Didi dan Dion yang sudah tiba lebih dulu di puncak memeluk aku dan Janatan. Tak kuasa aku menahan gembira sekaligus haru. Sejak operasi patah tangan kanan 4 bulan lalu, aku yang dianjurkan harus menghentikan seluruh kegiatan outdoor selama 1 tahun, sekarang malah berdiri di puncak gunung tertinggi di Pulau Jawa.

Maaf ya Pak Dokter. Satya nakal.

‘Bum bum bum’, bunyi dentuman keras tiga kali. Ternyata Ibu Mahameru ‘batuk’. Kami langsung mengambil foto bersama dan langsung turun.




Perjalanan empat jam ke puncak dari Kalimati. Perjalanan turunnya 1,5 jam saja. Hahahaha. Jauh lebih mudah karena kita turun melewati jalur pasir gembur. Syukurlah sampai turun cuaca cerah masih menyertai, jadi jalur terlihat dengan sangat jelas. Kebanyakan pendaki yang tersesat di jalur puncak adalah saat turun dan biasanya mereka turun dalam kondisi cuaca berkabut sehingga tidak bisa melihat patokan jalan. Semua jalurnya kan sama. Pasir.


Tak lama setelah sampai di camp, kami bersiap turun untuk bersantai di Ranu Kumbolo satu malam sebelum keesokannya berangkat turun ke bawah. Ranu Kumbolo sepi sekali waktu itu karena kami mendaki di hari biasa dan musim hujan pula. Senang banget hanya ada sedikit tenda di Ranu Kumbolo. Bonus berlipat lagi ketika cuaca cerah mulai matahari terbit hingga siang hari. Sayang karena sedang musim hujan, tidak ada milkyway dan kabut menari di atas danau di pagi hari. Tapi tak apa, Ibu Mahameru sudah terlalu baik kepada kami.







Saya hanya menyayangkan sampah masih ada di sekitaran toilet kering. Tak habis pikir mengapa para pendaki sulit sekali membawa botol kosong mereka untuk turun. Padahal botol kosong kan tidak berat. Ayolah Bung, gunung bukan tempat sampah. Bagaimana bisa kamu menuntut agar alam selalu ramah tetapi kamu tidak pernah baik kepada alam? Marilah kita jadi pendaki yang lebih bertanggung jawab, dimulai dari diri sendiri. Ya ya ya bisa ya teman-teman ya?



Terpuaskan rinduku pada Semeru. Terima kasih dan kami pasti akan kembali lagi, Ibu Mahameru.


Sekiranya teman-teman punya pertanyaan tentang pendakian ke Semeru boleh taruh komentar di bawah atau email ke satyawinnie@gmail.com ya :)

Psssttt, buat perempuan, saya juga punya tips mendaki gunung agar tetap cantik lho! Sila dibaca ya!

Happy hiking!

Eksplor Nusa Penida, Sisi Lain Pulau Dewata

$
0
0
“Enak kan sup ikannya?”, tanya saya pada Janatan yang tak henti-hentinya mengelap peluh padahal sudah bertelanjang dada.

“Iya. Sambelnya mantep”, jawab Janatan sambil tetap asyik makan.

Siang itu, kami terdampar di pelabuhan Sanur, makan masing-masing dua porsi sup ikan untuk menghalau bosan. Makan sup ikannya di dua tempat pula, satu di Sup Ikan Mak Beng yang tersohor itu dan satu lagi di warung kecil di seberang Mak Beng yang sup-nya tak kalah lezat. Singkat cerita, kami sebenarnya terdampar di Sanur karena kehabisan tiket kapal yang berangkat pagi hari dari ke Nusa Penida. Alhasil kami harus menunggu kapal berikutnya yang berangkat jam 4 sore. Lumayan juga ya menunggu 7 jam. Hahahaha…

Padahal kami sudah gembira saat tak sengaja bertemu Vander dan Irul yang ternyata berencana untuk eksplor Nusa Penida juga. Tapi ternyata Vander & Irul dapat tiket kapal, saya dan Janatan kehabisan. Akhirnya kami sepakat untuk bertemu pas sunset di Angel’s Billabong.

“Nanti nggak ada sinyal ya Sat di sana, jadi tanya saja orang lokal untuk petunjuk jalan ke Angel’s Billabong”, ujar Vander lewat facebook chat.

Buat Vander yang entah sudah beberapa kali keliling Nusa Penida mah gampang. Saya dan Janatan kan belum pernah. Bagaimana cara sampai ke sana, batin saya.

Ah, biasanya juga tersesat nggak takut Sat, ini kan sama aja ya cari jalan. Pasti ketemu kok, yakin saya pada diri sendiri.

Yuk kita kemon!

Laut sangat bersahabat hari itu dan nggak sampai 45 menit kami tiba di pelabuhan Nusa Penida. Vander yang sudah tiba duluan ternyata sudah memesan motor sewaan ke Pak Tut Cinta, salah satu warga lokal yang punya rental motor dan mobil di sana. Biaya sewa motor di Pak Tut sekitar Rp 80.000,-/hari. Yah agak sedikit mahal dibandingkan sewa motor di Kuta dan sekitaran tapi masih oke lah.

Matahari sudah hampir di penghujung langit saat kami berkendara menuju Angel’s Billabong. Fyi, jalan mulus di Nusa Penida hanya sedikit. Masih banyak jalan rusak bolong-bolong, apalagi yang mengarah ke Angel’s Billabong *rhyming*. Jadi siap-siap pegel tangan dan bokong ya. Dan meski jalannya begitu, saya dan Janatan ke sana sampai tiga kali demi dapat cuaca bagus. Hahahaha…

Petunjuk jalan menuju Angel’s Billabong memang tidak jelas tetapi warga lokal Nusa Penida sangat ramah dan sabar menjelaskan rutenya. Jadilah saya dan Janatan bertemu Vander & Irul di Angel’s Billabong. Ternyata mereka memang menunggu di sana. Syukurlahhh…

“Malam ini kita nenda di Pantai Atuh ya”, kata Vander.

“Wihhh asyikkk kemping di pantai! Jauh nggak Atuh dari sini Van?” tanya saya.

“Yah sekitaran 2 sampai 2,5 jam lah” jawab Vander santai.

Alamak! Masih jauh ternyata.

Nah, itulah mengapa satu hari tidak cukup untuk mengeksplor Nusa Penida karena jarak dari satu tempat ke tempat lain itu jauh. Minimal dua hari satu malam lah.

Dua motor berisikan empat anak muda tanpa helm (memang nggak ada helm di penyewaan motor nya), melaju ke arah timur tepatnya ke Pantai Atuh.

Jadi Angel’s Billabong itu ada di ujung barat dan Pantai Atuh di sisi ujung timur. Jadi beneran jauh. Saat melintas pusat kota, kami mengisi bahan bakar sampai penuh dan membeli nasi bungkus dan lauk ayam.

Malam itu indaaaaaaaaahhhh sekali karena menyusuri jalanan di tepi pantai ditemani rembulan penuh. Jadi lautnya berkilauan terkena cahaya bulan. Saking terlenanya, kami lupa berhenti untuk mengambil gambar. Keasyikan dibuai angin sepoi dan memandang si rembulan. Tapi yang bisa menikmati penuh hanya yang dibonceng karena yang bawa motor mah kudu konsentrasi nyetirnya xD

Hari semakin larut dan lampu-lampu rumah sudah banyak yang padam. Motor kami masih melaju dalam gelap, melewati jalan-jalan kecil ke area pemukiman penduduk sampai kami tersadar.

Kami tersesat.

Hahahahaha…

Jadi, lokasi kemping kami itu ada di bukit dan memang melewati rumah-rumah penduduk. Meski Vander sudah pernah ke sana, malam itu dia sedikit lupa lokasinya. Syukurlah setelah bertemu seorang Ibu yang berada di teras rumah, kami menemukan jalan yang benar. Tersesatnya nggak jauh-jauh banget ternyata. Jadi Pantai Atuh itu ada beberapa titik dan syukurlah jalan yang ditunjukkan si Ibu benar ke titik yang diinginkan Vander.

Setelah memarkirkan dan mengunci motor, kami mencari area untuk mendirikan tenda. Ada warung di sana namun karena sudah larut malam, sang empunya pasti sudah terlelap. Tenda sudah berdiri, perut sudah diisi, kami pun pindah ke dunia mimpi tak sabar menunggu pagi.


Pagi itu menjadi salah satu pagi yang paling favorit di tahun 2016 ini. Betapa mewahnya tidur di tenda, begitu dibuka saat pagi langsung disuguhkan pemandangan laut dan golden sunrise yang bikin hati hangat.

Ena’ banget!

Rasanya jarum jam melambat jadi kami bisa menikmati rona langit yang berubah warna cukup lama waktu itu.



Jadi pada mau coba kemping di Pantai Atuh juga kan? Boleeeeh asal sampahnya dibawa pulang yaaaa.

Warung yang ada di Pantai Atuh sudah buka dan jadilah kami memesan Nasi Goreng dan Mie Goreng untuk santap pagi.

Setelah isi amunisi barulah kami turun ke viewpoint tebing Pantai Atuh. Jalan turunnya lumayan curam dan jauh. Syukurlah ada tali pengaman jadi sedikit tertolong. Jangan lupa bawa botol air karena pasti capek naik turun tanpa minum. Mencegah dehidrasi juga karena di atas jam 8 pagi saja, mataharinya sudah terik.



Sayang sekali kami hanya kemping satu malam saja karena Vander dan Irul harus pulang. Jadilah saya dan Janatan menginap di homestay Pak Krisna Sakti yang baik hati. Homestaynya hanya terdiri dari empat kamar dengan kasur empuk, toilet duduk dan shower. Ada dapur juga kalau mau masak. Lumayan menghemat pengeluaran. Makan telur ceplok, kecap dan nasi hangat cukup kan?


Angel’s Billabong


Waktu terbaik untuk datang ke tempat ini ternyata pukul 9 pagi hingga pukul 12 siang ketika matahari masih menyinari dari sisi timur dan gradasi warna air laut biru, hijau dan kuning benar-benar keluar. Kalau kesorean arah matahari sudah berbeda dan pasti jadi lain hasilnya.


Saya nggak tahu siapa yang memberi nama Angel’s Billabong ini . Kemungkinan besar sih orang asing (Australia mungkin?). Memang bentuknya seperti danau, laguna kecil berair asin. Jika mau berenang, perhatikan dulu apakah air laut sedang pasang dan apakah laut sedang berombak tinggi atau tidak. Dikarenakan jika ombak tinggi, hempasannya bisa menyeret kita ke laut. Jadi harus waspada. Saat turun pun harus hati-hati karena batuan karangnya tajam dan bisa melukai jika kita terpeleset atau terjatuh.

Pasih Uug / Broken Beach


Bersebelahan dengan Angel’s Billabong, Pasih Uug ini juga jadi spot menarik untuk difoto. Lucu memang ada lubang besar menganga di tengah batu karang. Pantaslah namanya ‘pasih uug’ yang kalau diartikan menjadi pantai rusak, ya broken beach nama bekennya.




Kelingking Beach


Pantai ini benar-benar bikin jantung copot. Saya dan Janatan penasaran untuk turun ke bawah namun tidak ada orang lain yang bersama kami waktu itu. Ternyata jalur turunnya curam sekali, igir-igir tipis dan pandangan kita langsung ke bibir pantai bawah. Kami turun dengan pelan-pelan sekali dan fokus pada titik pijak. Jangan turun sambil lihat ke pantai. Jantungmu bisa copot kayak main Histeria atau Tornado di Dufan. Tak lagi-lagi ah turun ke bawah sana. Lain waktu datang ke pantai ini lagi, saya hanya ingin bersantai di viewpoint atas saja.


Oh ya, jangan turun ke bawah sana memakai dress atau rok ya. Saya yang pakai celana pendek saja kerepotan apalagi yang pakai rok xD


Senja Sempurna di Crystal Bay Beach


Pernahkah kau ke pantai hanya untuk tidur gogoleran, baca buku sambil dengar musik dan menyeruput kelapa muda segar. Itulah yang kami lakukan di hari terakhir sebelum keesokannya pulang dari Nusa Penida.

Bobok sore ternikmat selama 2016.




Crystal Beach Bay ini tidak terlalu jauh dari pelabuhan, sekitar 15 menit berkendara motor. Jika datang saat hari cerah, laut birunya berkilauan semacam kristal. Mungkin itu mengapa namanya Crystal Bay. Kita juga bisa snorkeling dan surfing di pantai ini. Sayangnya saat kami ke sana, lautnya sedang berombak tinggi dan sudah sore, jadi kalau mau snorkeling pasti zonk dan mabuk dikocok ombak.

Memang sudah tepat menggelar kain pantai dan tidur sore saja. Saat saya bersantai, Atan tahu-tahu sudah asyik berselancar saja meminjam papan surfing anak lokal di sana.

Sebenarnya masih ada tempat-tempat lain di Nusa Penida yang menarik untuk dijelajahi jadi pasti akan ke sana lagi.

Mau ikut? Yuk?

Oh ya, ini kontak yang mungkin kalian butuh di Nusa Penida.

Penyewaan Motor dan Mobil | Pak Tut Cinta +62 821-4684-4339


Homestay Pak Krisna | +62 813-3809-0117

Nusa Penida ini memang agak lain dari Bali, jadi ya silakan menikmati!

Kala Candi Borobudur Disapa Sang Surya

$
0
0
 

 Matahari pagi bawa semangat baru. Selalu.

Itulah mengapa saya akan selalu bersemangat bangun pagi ketika sedang mendaki gunung agar tidak ketinggalan momen saat sang surya bangun dari peraduannya.

Namun kali ini saya diajak untuk merasakan nikmatnya matahari pagi dari plataran candi Buddha termegah di Indonesia, candi Borobudur, candi yang dimasukkan ke dalam daftar situs warisan dunia UNESCO pada tahun 1991.


Borobudur dibangun sekitar tahun 800-an masehi. Candi dengan ukuran 123 x 123 meter ini dihiasi 1460 panel relief dan aslinya memiliki 504 arca Buddha sebelum sebagian arca tersebut dicuri oleh penjarah barang antik. Dari banyaknya panel relief, tak ayal jika Candi Borobudur dianggap sebagai kitab raksasa. 

Setiap tahunnya, umat Buddha berbondong-bondong dari seluruh penjuru dunia untuk melakukan ziarah keagamaan, memperingati Trisuci Waisak. Mereka akan melakukan ritual mengelilingi candi Borobudur searah jarum jam dimulai dari sisi timur dan naik hingga ke undakan teratas. Undakan-undakan itu dibagi menjadi tiga tingkat ranah dan menjadi perlambang tingkatan dunia dalam kosmologi Buddha.


‘Kamadathu’ menjadi tingkatan  paling bawah, sebagai simbol dari dunia yang penuh hawa nafsu. Di relief-relief yang terpahat di dinding candi sangat terlihat jelas gambaran perilaku manusia yang masih sangat terikat dengan hal-hal duniawi.

‘Rupadhatu’ merupakan tingkat kedua, bagian tengah. Pada relief di ranah ini digambarkan bahwa di dunia, manusia masih terikat dengan materi namun sudah terlepas dari nafsu duniawi.

‘Arupadhatu’ yang menjadi tingkat ketiga, bagian teratas, adalah perlambang dari dunia dimana manusia tak lagi terikat hawa nafsu atau semua yang berbau duniawi.

Rangkaian ritual mengelilingi setiap undakan candi, adalah gambaran perjalanan manusia untuk mencapai kesempurnaan. Ada sepuluh tingkatan Bodhisattva yang harus dilalui dalam perjalanan ziarah ini dan selama itu pula para peziarah akan menyaksikan 1.460 relief indah yang terukir pada dinding candi.

Relief-relief indah itu merupakan penggambaran cerita yang terdiri dari empat tingkatan cerita yakni :
“Karmawibhangga” yang merupakan kumpulan cerita tentang sebab akibat perbuatan baik dan perbuatan jahat manusia. Terdapat juga gambaran kehidupan manusia dalam lingkaran lahir – hidup – mati (samsara).

“Lalitawistara” merupakan rangkaian cerita tentang turunnya Sang Buddha dari surga Tushita dan berakhir dengan wejangan pertama di Taman Rusa dekat Kota Banaras. Tingkatan cerita ini juga dikenal dengan Pemutaran Roda Dharma.

“Jataka dan Awadana” terdiri dari berbagai cerita tentang sang Buddha sebelum dilahirkan sebagai Pangeran Siddharta. Banyak kisah-kisah fabel yang ditonjolkan di sini. Cerita-cerita tentang pengumpulan jasa atau perbuatan baik merupakan tahapan dalam persiapan menuju tingkat ke-Buddha-an.

“Gandawyuha” merupakan cerita Sudhana yang berkelana tanpa mengenal lelah dalam usahanya mencari pengetahuan tertinggi tentang kebenaran sejati.

Jika ingin benar-benar detil mengetahui makna setiap relief di Candi Borobudur, bisa menggunakan jasa local guide yang sangat ramah di sana. Mereka sangat fasih menjelaskan cerita di tiap relief. Pastinya kunjungan kalian menjadi lebih menarik!


Meski sudah berkunjung lebih dari lima kali ke Candi Borobudur, saya tidak pernah bosan untuk menikmati setiap relief yang terpahat.  Di dalam kepala saya terputar imajinasi ratusan (mungkin ribuan?) pekerja yang membawa batu-batu andesit yang disusun rapi  lalu dipahat hati-hati dan hal itu berlangsung selama kurang lebih seratus tahun. Bayangkan, seratus tahun?



Asal Muasal Nama Candi Borobudur


Banyak arkeolog yang mencari asal muasal nama Borobudur. Ada yang beranggapan bahwa ‘Budur’ berasal dari ‘bhudhara’ yang berarti gunung. Ada juga yang menganggap Borobudur berasal dari ‘Sambharabhudhara’yang berarti gunung yang di lerengnya terdapat teras-teras. Ada juga teori yang menjelaskan bahwa Borobudur berasal dari dua kata yakni ‘bara’ yang berarti biara dan ‘beduhur’yang berarti tinggi. Sehingga disimpulkan bahwa Borobudur adalah biara yang terletak di tanah tinggi. Semua arti di atas sebenarnya masuk di akal bukan?


Namun menurut Prasasti Karangtengah dan Tri Tepusan, tertulis mengenai penganugerahan tanah ‘sima’ (tanah bebas pajak) oleh Ratu Pramudawardhani untuk memelihara  Kamulan (bangunan suci untuk memuliakan leluhur) yang disebut “Bhumisambhara”.Ratu Pramudawardhani sendiri merupakan putri dari Raja Mataram dari wangsa Syailendra, Samaratungga, yang menggagas pembangunan Candi Borobudur.

Dalam Bahasa Sansekerta, “Bhumi Sambhara Bhudhara” berarti bukit himpunan kebajikan sepuluh tingkatan boddhisattwa. Teori inilah yang menurut saya yang paling pas jika ada yang menanyakan asal muasal nama Candi Borobudur. Bagaimana menurut kalian?


Menyongsong Pagi di Plataran Candi Borobudur


Masih dengan wajah sedikit mengantuk, kami menerima tiket dan senter yang dibagikan pegawai Manohara. Ada banyak orang yang akan naik ke atas pagi itu dan kebanyakan wisatawan asing. Dengan teratur kami berjalan beriringan memasuki kompleks candi.

“Hey Satya, look at behind you!” ujar Thanis dengan antusias.

“Oh my God! The colour of the sky!”jerit saya.

Meski sang surya belum tampak, ufuk timur sudah mulai merona, menunjukkan pesonanya. Biru, ungu, merah muda, jingga, banyak warna.

So tips number 1 : Jangan lupa lihat ke belakang kalau sedang menanjak ke atas candi. Siap-siap dapat kejutan warna langitnya.



Sehabis mengabadikan beberapa potret, kami bergegas naik ke atas untuk mencari spot yang pas untuk menunggu sang surya bangun.

Dan yaaaa seperti yang saya duga di atas sudah dipadati orang-orang. Bingung juga karena semua spot yang menghadap ke timur sudah penuh dengan orang-orang yang bersiap dengan kamera masing-masing.

Saya dan Thanis yang tadinya jalan berbarengan, jadi terpisah karena Thanis menghilang entah ke mana. Akhirnya saya menemukan tempat dengan nyempil-nyempil. Spot favorit saya adalah sisi stupa setengah terbuka. Memandang Buddha yang duduk dengan wajah teduh menenangkan membuat pagi itu terasa damai sekali.


Gunung Merapi di kejauhan
Pagi itu saya lanjutkan dengan mengelilingi candi dan menikmati pagi yang magis berselimut kabut. Orang-orang yang sudah puas memotret sunrise bergegas turun sedangkan saya masih ingin diam di sana menyerap hangatnya matahari pagi.

Hangatnya terserap hingga ke dalam hati.



***
Untuk melihat matahari terbit di plataran Candi Borobudur hanya bisa melalui Manohara Hotel.

Entrance Fee untuk wisatawan lokal : Rp 270.000 / person

Entrance Fee untuk wisatawan mancanegara : Rp 400.000 / person

Khusus untuk tamu hotel Manohara Rp 250.000 / person

Harga di atas sudah termasuk snack + tea / coffee and souvenir.

Yes it’s quite expensive but totally worth it!

Staycation Hotel Vila Lumbung Bali, Seminyak Rasa Ubud

$
0
0
Kalau berkunjung ke Bali, biasanya kalian lebih memilih ke mana? Bersenang-senang di riuhnya Kuta, Legian atau menyepi di Ubud? Apa pun pilihannya pasti menyenangkan karena Bali tidak pernah membosankan. Yes?

Beberapa waktu lalu, saya berkesempatan untuk menginap di Hotel Vila Lumbung, five star resort di kawasan Seminyak, sekitar 15-20 menit berkendara dari Bandara Ngurah Rai. Begitu tiba, rimbunnya pepohonan menyambut di bagian depan hotel. Ah, senang sekali kalau menginap di hotel yang ditanami banyak pohon dan bunga. Sejuk! Kesan pertama yang menyenangkan.

Memasuki satu joglo besar yang menjadi lobby utamanya, saya disambut dengan sangat ramah oleh staff Hotel Vila Lumbung dan meneguk jus jeruk yang dibawakan. Tak lupa menempelkan handuk dingin ke wajah. Nikmat banget setelah berpanas-panasan di jalan dari bandara menuju hotel. Tahulah panasnya Bali kayak apa kan? Setelah rehat sejenak, saya diajak untuk menuju kamar yang akan saya inapi.


Selain rimbun pepohonan, yang bikin saya jatuh cinta sama adalah bentuk penginapannya. Sebagai pencinta rumah kayu, menginap di Hotel Vila Lumbung ini bikin saya berandai-andai nanti membangun rumah persis seperti itu. Pondokan kayu yang tidak terlalu besar namun bertingkat dengan atap alang-alang yang bikin rumah adem. Jadi nama “Lumbung” di Hotel ini memang terinspirasi dari pondokan yang menyerupai tempat menyimpan padi, lumbung. Namun tidak semua kamar bentuknya seperti lumbung.


Kamar-kamar di Hotel Vila Lumbung dibagi menjadi empat kategori yakni, Superior Room yang terletak di bangunan tiga tingkat seperti bangunan hotel pada umumnya, lalu Deluxe Lumbung Down-Stair, Deluxe Lumbung Up-Stair, Deluxe Family Lumbung dan Deluxe Villa with 3 floors.

Dan semua bangunan di Hotel Vila Lumbung ini dikelilingi “hutan” kecil dengan beragam pepohonan dan bunga yang tertata rapi. Tak ayal, hotel ini mendapatkan award sebagai Bali Leading Green Hotel di Bali Tourism Award tahun 2015 silam. Udara sejuk dan nyanyian beragam burung yang bertengger di pohon-pohon bikin suasana HVL terasa seperti di Ubud, padahal lokasinya di Seminyak yang dekat sekali dengan bibir pantai. Jadi kalau mau ke pantai tinggal jalan kaki sekitar 15 menit saja.


Saya menginap di Deluxe Lumbung Up-Stair yang luas dengan King Size bed super empuk, daydreaming bed (kasur bersantai) di dekat jendela yang bisa difungsikan sebagai tempat baca atau kerja santai. Tak ketinggalan juga balkon dengan kursi empuk untuk santai atau bengong-bengong.



Kamar mandinya besar sekali dan banyak cerminnya (also my favorite!) namun sayangnya di kamar saya adanya shower bukan bathtub. Bathtub tersedia di beberapa Deluxe Lumbung (tidak semuanya), dan juga di Deluxe Family serta Deluxe Villa. Bahkan  ada yang outdoor bathtub. Tak apa, berendam di bathtub nya diganti dengan berendam di whirlpool dan kolam renang saja. Hehehehe.



Untuk Deluxe Family dan Deluxe Villa tersedia dapur lengkap dengan lemari pendingin, jadi kalau mau masak sendiri juga bisa banget. Tapi ide untuk masak sendiri di hotel pasti akan buyar kalau kalian melihat menu-menu yang ditawarkan di Hotel Vila Lumbung.


Voila! Food Bombs!


Dengan harga yang bersahabat, Hotel Vila Lumbung menawarkan beragam menu otentik Bali, western and eastern menu untuk disantap saat menginap di sana. Favorit saya tentu saja Ayam Betutu pedas, Sate Lilit dan Egg Benedict dengan telur ikan. Dessert-nya juga tak kalah lezat. Ada cheese cake, chocolate lava, fruit pie and ice cream dan masih banyak lagi. Ada pula hari dimana Hotel Villa Lumbung mengadakan BBQ Party dan dengan harga kurang lebih Rp 149.000,-/pax, kita bisa menikmati BBQ sepuasnya.






Restorannya terletak di sebelah kolam renang dan pool-bar. Jadi ketika lapar saat sedang atau setelah berenang, bisa pesan makanan di restoran langsung. Dan setiap ada BBQ party, biasanya tamu-tamu hotel akan berkumpul di sekitaran pool bar, menikmati minuman dan juga makanan sambil bersenda gurau. Good food and good mood…


Apa lagi yang asyik di Hotel Villa Lumbung?

Selama dua hari di Hotel Villa Lumbung, saya tidak keluar kemana-mana kecuali jalan kaki ke pantai untuk memotret sunset dan langsung kembali ke hotel. Rasanya betah banget kayak di rumah sendiri. Kamarnya besar, enak buat bersantai dan menu-menunya juga lezat. HVL cocok untuk keluarga yang membawa anak kecil karena ruang terbuka hijaunya luas dan dilengkapi taman bermain juga. Anak-anak bisa bebas bermain, berguling-guling di rumput, main ayunan, perosotan dll. Hotel ramah anak banget!


Gym dan Spa juga tersedia di HVL. Saya sempat menikmati massage selama 60 menit dan rasanya rileks luar biasa. Bukan hanya karena pijatan therapist nya namun juga karena tempat pijatnya menghadap ke kebun hijau yang sejuk di mata.


Berendam di whirlpool juga jadi kegiatan asyik yang bisa dilakukan di HVL atau sekalian berenang di kolam renangnya yang luas. Bahkan ada water-basketball yang bisa kita mainkan ramai-ramai. Waktu paling enak untuk bersantai di kolam biasanya di pagi dan sore hari. Banyak juga tamu yang tidak berenang namun menghabiskan waktu bersantai iuntuk berjemur sambil membaca buku.


Kebanyakan dari tamu yang menginap di HVL adalah pasangan yang sedang berbulan madu dan keluarga yang membawa anak kecil. Buat yang sedang merencanakan liburan keluarga di Bali, boleh lho menginap di Hotel Vila Lumbung. Silakan berkunjung langsung ke website Hotel Vila Lumbung untuk info lebih lengkap dan juga melihat penawaran-penawaran menariknya.


Happy staycation!

Hotel Vila Lumbung
Jl Petitenget No 1000x, Seminyak, Kuta Utara
Badung, Bali 80361
Phone : +62 361-4730204

Persiapan Mendaki Gunung Kinabalu, Puncak Tertinggi Borneo

$
0
0

Tinggi-tinggi Gunung Kinabalu,
tinggi lagi sayang sama kamu
biru biru hujung Kinabalu,
tengok dari jauh, hati saya rindu

Sepenggal lirik lagu di atas kerap terngiang-ngiang di kepala. Lagu dengan lirik genit itu jadi warna dalam pendakian ke Gunung Kinabalu yang ada di Sabah, Malaysia, yang juga merupakan puncak tertinggi di tanah Borneo.

Bisa nggak ya saya sampai di puncak Kinabalu? Batin saya berulang-ulang di dalam hati. Berada di ketinggian lebih dari 4000 meter di atas permukaan laut bukanlah persoalan mudah. Fisik dan mental benar-benar diuji dan terkadang, meski sudah latihan dengan cukup baik, saya masih jiper.Apalagi dengan kondisi tangan kanan yang habis dioperasi pasang pen 4 bulan sebelumnya.

“Lo gila ya mau naik gunung dengan tangan kayak gitu? Kinabalu cuy?” tanya salah seorang teman dekat.

Ya juga ya. Gila memang. Dokter sudah bilang bahwa saya harus meninggalkan aktivitas outdoor selama setahun pemulihan. Tapi kesempatan mendaki Kinabalu dari Sabah Tourism Board mungkin tidak datang dua kali. Jadilah saya mengiyakan ajakan tersebut satu bulan sebelum keberangkatan dan mempersiapkan fisik semaksimal mungkin. Jogging dan berenang adalah dua jenis olahraga yang saya lakukan rutin menjelang pendakian.

Puncak Gunung Kinabalu dari Kinabalu Park Head Quarter. Clear banget sampai jam 8 pagi ajah!
Teman-teman yang ikut di pendakian kali ini ada Abex, Billy, Kak Gemala, Om Pinneng, Anggey, Rizal, Demang, Rivan, dan Mario. Bersama dengan saya, total rombongan kami ada 10 orang berangkat bersama-sama dari Jakarta menuju KK, Kota Kinabalu. Ada maskapai AirAsia yang melayani direct flight Jakarta – KK. Dengar-dengar, rute direct flight dari Jakarta ke Kinabalu akan dihapuskan. Duh jangan dong, kan banyak pendaki di Indonesia yang dipermudah dengan adanya direct flight ini. Semoga tetap ada ya.

Ki - Ka : Rizal, Rivan, Wahyu Demang, Mario, Om Pinneng

Ki - Ka : Gemala, saya, Anggey dan Abex

Apa yang harus disiapkan untuk ke Kinabalu?


Nih penting nih. Pasti banyak yang penasaran barang-barang apa yang harus dibawa untuk mendaki Gunung Kinabalu.

Cukup bawa ransel kecil aja berisikan barang-barang pribadi yang kecil-kecil aja sebenarnya.

Eh beneran?

Iya.

Lupakan bawa tenda, trangia, flysheet, tramontina, sleeping bag. Tak dibutuhkan itu sama sekali di Kinabalu.

Gambaran jalur pendakian Kinabalu. Photo by :  Rizal @mrizag | Psst, aku cuma bawa ransel sekecil itu lho!
Yang perlu kamu bawa hanya setelan pakaian jalan, setelan pakaian tidur, jaket polar, jaket windbreaker, buff, sarung tangan, kaos kaki, headlamp, sepatu trekking, sandal, botol air minum, trekking pole, sunglasses, “kotak bencong” yang berisikan pembersih dan pelembab. Itu dia isi dari ransel kecil saya kemarin. Ringkas banget kan?

Nantinya kita akan beristhirahat, tidur di penginapan “Sutera Sanctuary Lodge” yang ada di camp Laban Rata dengan ketinggian sekitar 2972 meter di atas permukaan laut. Waw, ada penginapan di ketinggian hampir 3000? Ya ada dong di Kinabalu. Itulah kenapa kita nggak butuh bawa perlengkapan tenda dan perintilannya.


Jom Mendaki Kinabalu!


Gunung Kinabalu tercatat sebagai World Heritage Site oleh UNESCO. Oleh karena itu, pengelolaannya sangat baik dan professional. Untuk mendaki saja kita harus mendaftar dari berbulan-bulan sebelumnya karena ada kuota per hari yang diberlakukan. Saat peak season, kita bahkan harus mendaftar 6 bulan atau satu tahun sebelumnya supaya mendapatkan slot.

Jika barang-barang bawaan kita sudah lengkap dan fisik kita sehat, berarti kita sudah siap untuk mendaki Kinabalu. Eits, nggak langsung naik ya. Kita harus mengisi beberapa formulir perizinan di Kinabalu Park Head Quarter. Kita harus mengisi data diri sesuai yang tertera di passport, mengisi emergency contact, membaca seluruh ketentuan yang berlaku dan menandatanganinya.

Tak berapa lama setelah menyerahkan formulir, kita akan diberikan name tag yang harus dijaga baik-baik. Jangan sampai hilang karena kalau hilang saat mendaki, kamu tidak bisa naik ke puncak dan juga tidak bisa keluar. Lah susah juga ya? Jadilah name tag-nya dikalungkan di leher biar aman. Di name tag itu tertera nama kita, kode negara dan kode grup kita.

Selain mendapatkan nametag, kita juga menerima satu lunchbox makan siang yang berisi sandwich, ayam, telur dan air mineral. Coba, di Indonesia ada nggak gunung yang kasih bekal makanan ke pendaki? Hahaha…

Setelah menyelesaikan proses administrasi dan cek kelengkapan, kita akan ditransfer ke Timpohon Gate, titik awal pendakian Gunung Kinabalu yang ada di ketinggian 1.866 mdpl. Target hari pertama adalah mencapai Laban Rata Camp yang berada di ketinggian 3272 mdpl. Jarak tempuh normal biasanya sekitar lima hingga delapan jam saja.

Pemanasan dan doa dilakukan bersama-sama sebelum pendakian dimulai. Jangan lupa juga menandatangani formulir di Timpohon Gate. Nanti sepulangnya, kita harus tanda tangan lagi. Sangat rapi dan terorganisir ya.

Pada pendakian ini pun, seluruh pendaki diwajibkan memakai jasa mountain guide. Satu orang guide memegang tanggung jawab atas lima pendaki. Kemarin kami bersebelas orang, sehingga harus membawa tiga orang guide. Untuk anak yang di bawah 16 tahun dan ingin mendaki Kinabalu, diwajibkan membawa satu orang guide juga. Contoh jika ada satu keluarga yang terdiri dari ayah, ibu, anak berusia 20 tahun dan anak berusia 13 tahun, jumlah mereka memang empat namun tetap harus membawa dua orang guide karena ada satu anggota yang berusia di bawah 16 tahun.

Bersama dua porter perempuan tangguh yang menemani kami ke Gunung Kinabalu. Hai Aunty!
Selain mountain guide, jasa yang sering digunakan di Gunung Kinabalu adalah porter. Mereka adalah penduduk lokal Sabah yang menjual jasa menjadi porter. Jasa mereka tidak dibayar per hari melainkan per kilogram barang. Harga per kilo nya sekitar RM 13 atau Rp 40.000,-. Jadi jika kita menitipkan tas seberat 10 kilogram kepada porter, berarti tarifnya adalah RM 130 atau Rp 400.000,-. Di Indonesia, seberat apa pun bebannya, tarif normalnya Rp 200.000,- per hari ya.


Bawa tabung gas, digendong!
Untuk menuju Laban Rata Camp, kita akan melewati sepuluh pos pendakian yakni : Timpohon Gate – Pondok Kandis – Pondok Ubah – Pondok Lowii – Pondok Mempening – Layang-Layang – Villose – Paka Shelter dan sampailah di Laban Rata Camp.

Masing-masing pos berjarak kurang lebih 0,5-1 km. Kita akan menempuh jarak total 6 kilometer dari Timpohon Gate ke Laban Rata. Bagusnya, di tiap-tiap pos, ada toilet, tempat sampah, tandu dan keran air. Kita tidak perlu bawa air sampai berliter-liter dari bawah. Cukup bawa botol minum satu liter dan di-refill di tiap-tiap pos. Praktis kan?

Coba lihat pos nya, bersih banget kan ya? 
Saat bersantai di pos, saya berandai-andai jika pos ini di Indonesia pasti habis dicoret-coret (vandalism), tandunya diambil orang, toiletnya busuk dan banyak sampah berserakan. Kenapa di Kinabalu sama sekali nggak ada hal-hal seperti itu padahal kita negara yang bertetangga sangat dekat. Entahlah. Kalian mungkin lebih tahu jawabannya.

Jalur pendakian  Gunung Kinabalu cenderung berbatu namun sudah dibuatkan tangga-tangga kayu untuk memudahkan pendaki. Sebenarnya tangga ini membantu agar kita tidak terpeleset di batu-batu. Namun di sisi lain, naik gunung dengan tangga itu terasa beratnya di dengkul, apalagi saat perjalanan turun. Emhhhh….Hahahaha….

Seluruh pendaki harus tiba di Laban Rata sebelum hari gelap untuk registrasi summit attack dan juga mengisi energy. Restoran di Sutera Sanctuary Lodge Laban Rata tutup jam 7 malam. Jadi kalau kita terlambat, nggak dapat makan dan juga nggak bisa ke puncak. Manyun deh…

Syukurlah seluruh tim bisa tiba dengan selamat di Laban Rata sebelum hari gelap. Saatnya beristhirahat beberapa jam sebelum berangkat summit jam 2 pagi.

Akhirnya sampai di Laban Rata sebelum gelap! 
Kita lanjutkan ceritanya di post berikutnya ya. Masih banyak cerita dan foto-foto serunya…

Perjalanan ini disponsori oleh Sabah Tourism Board dan Basecamp Adventure. Jika kalian ingin mendaki Kinabali, boleh kontak Instagram @basecamp.adventure atau email ke info@basecampadventureindonesia.comya J





Laban Rata Resthouse Kinabalu, Sensasi Tidur di Hotel 3000 mdpl

$
0
0


“Nanti kita akan tidur di Laban Rata, di Sutera Sanctuary Lodge. Kita akan bermalam di sana sebelum  ke puncak” ujar Bobby, local guide kami di Kinabalu yang super ramah.

Wah. Baru kali ini aku naik gunung, tidur di penginapan dengan ketinggian 2972 mdpl, hampir 3000! Itulah alasannya kami tidak perlu membawa peralatan camping seperti tenda, alat masak dan lainnya. Sudah baca kan Persiapan Mendaki GunungKinabalu?

Kami tiba di Laban Rata sekitar pukul setengah enam sore. Beruntung pula bisa melihat semburat senja, pertanda cuaca baik untuk mendaki ke puncak keesokan hari. Semoga benar-benar cerah, batin saya sambil mengucap syukur atas sore itu.


Sunset dari Laban Rata di hari pertama kami tiba. Wuwuwuwuw!
Untuk bisa mendaki sampai ke Low’s Peak (Kinabalu Summit), kita harus tiba di Laban Rata sebelum pukul 07.00 setempat (waktu di Sabah lebih cepat satu jam dari Waktu Indonesia Barat). Selepas jam 7 malam, seluruh pendaki bersiap untuk isthirahat sebelum mendaki ke puncak pukul setengah tiga subuh keesokan harinya.

“Hangat banget di dalam sini”, pekik saya begitu kami masuk ke area restoran. Meja-meja bundar penuh dengan pendaki yang sedang menikmati makan malam. Rombongan kami termasuk yang paling terakhir yang sampai di sana. Dikarenakan jam tutup restoran sudah tinggal sebentar lagi, kami bergegas meletakkan carrier di pojok restoran dan mengantri mengambil makanan yang disediakan prasmanan.



Menu yang tersedia malam itu ada nasi, mie goreng, beef, olahan kambing, sosis dan menu lainnya. Jadi bingung jadinya mau makan apa. Yang jelas, kita harus mengisi asupan gizi agar kuat mendaki ke puncak. Asal jangan berlebihan supaya nggak mules ya. Favoritku di sini adalah puding mangganya. Enak!

Selepas makan malam, Bobby memberikan briefing lagi tentang jalur perjalanan ke puncak. Jam pendakian ke puncak akan dibuka jam 02.30 AM waktu setempat. Oh ya, di Gunung Kinabalu ada peraturan khusus tentang Cut Off Time lho.

Jadi, jarak dari Laban Rata ke Low’s Peak sekitar 3 KM dengan elevasi 1123 meter. Kita akan melewati satu pos sebelum ke puncak yaitu Pos Sayat-Sayat. Cut Off Time untuk tiba di Pos Sayat-Sayat adalah jam 5 pagi. Jika lewat dari COT, kita tidak diperbolehkan melanjutkan perjalanan ke puncak. Jika berhasil, kita masih harus terus berjalan agar tidak melewati COT di puncak Kinabalu yaitu jam 7 pagi. Jika jam 7 pagi kita masih jauh dari puncak, guide akan membawa para pendaki turun dan artinya gagal ke puncak. Duh, rombongan kami jadi was-was apakah bisa memenuhi target waktu.


Oh ya, pasti dari teman-teman ada yang bertanya kok ada COT begitu di Kinabalu? Alasan terbesarnya adalah faktor cuaca. Di atas jam 7 pagi, cuaca susah diprediksi, biasanya tertutup kabut tebal dan tentunya tidak aman untuk pendaki. Saya pribadi setuju dengan pemberlakuan COT ini demi alasan keselamatan. Sama seperti waktu saya mendaki ke Gunung Semeru, COT Puncak Mahameru itu jam 9 pagi.

Begitu briefingselesai, kami dipersilahkan untuk beristhirahat di kamar dan akan dibangunkan pukul 02 pagi nanti. Syukurlah kami mendapatkan satu kamar yang berisikan 12 tempat tidur bertingkat sehingga seluruh rombongan ada di satu ruangan. Lebih nyaman untuk menyimpan barang-barang dan mudah berkoordinasi.

Kok perempuan sama laki gabung kamarnya? Ya sama saja dengan kita tidur di tenda bisa campur antara perempuan dan laki-laki ya. Tak ada bedanya. Kita memilih satu kamar ya karena alasan di atas tadi.

Sebenarnya ada beberapa jenis kamar di Laban Rata ini yakni :

Laban Rata Resthouse Room 1 yang terdiri dari twin bed dan juga penghangat ruangan.
Laban Rata Resthouse Room 2 yang terdiri dari twin bed dan juga penghangat ruangan.
Laban Rata Resthouse Room 3 yang terdiri dari enam tempat tidur bertingkat dengan penghangat ruangan.
Laban Rata Resthouse Bunk Beds yang terdiri dari 60 tempat tidur bertingkat (bunkbeds) tanpa penghangat ruangan.

Fasilitas yang disediakan ada Kamar Mandi pakai shower dengan catatan air panas tersedia jika ada matahari karena sumber listriknya dari Solar Panel. Selama dua hari saya stay di Laban Rata, saya sama sekali tidak mandi karena setiap mau mandi, airnya dingin kayak es alias mataharinya ngumpet. Jadi ketika teman-teman lain berani mandi air dingin dan keramas sampai sakit kepala, saya hanya lap-lap badan saja.

Kamar mandinya hanya ada empat bilik. Dua bilik dengan shower dan dua bilik toilet. 
Lalu ada toko kelontong kecil di bagian resepsionis yang menjual obat dan penganan kecil, restoran dan juga toko souvenir. Oh ya, masing-masin tamu juga diberikan satu handuk tebal yang bisa diambil saat registrasi kedatangan. Jangan dibawa pulang ya handuknya. Hihihihi…

Waktu paling favorit di Laban Rata ini ya pas pagi hari. Santap pagi dengan langit biru cerah dan memandang bebatuan andesit Gunung Kinabalu dan lembahan yang diselimuti awan, rasanya tiada duanya.

Breakfast wih a view like this. Breathtaking isn't it?
Dan yang aku suka dari laban Rata Resthouse adalah interiornya yang sweet peach & eyecatchy. Kalau kata anak zaman sekarang, "instagramable" banget. Hehehehe... 

Waktu di sana, saya pandang-pandangi semua bingkai kata-kata motivasi yang ada di dinding. benar-benar memotivasi pendaki-pendaki untuk sampai di puncak dan tentu saja pulang ke rumah dengan selamat.



Eye catchy banget kan interiornya?

Berapa Harga Penginapan Laban Rata?


Menginap di Laban Rata ini ratenya sekitar Rp 1.500.000 – 3.000.000,- per malam tergantung jenis kamar. Ratenya bisa berubah-ubah tergantung season. Begitu pula dengan ketersediannya karena Laban Rata resthouse ini hanya bisa menampung sekitar 75 pendaki. Untuk booking di peak season yakni pertengahan tahun, harus sudah dari enam bulan atau setahun sebelumnya.


Perjalanan ini disponsori oleh Sabah Tourism Board dan Basecamp Adventure. Jika kalian ingin mendaki Kinabalu, boleh kontak Instagram @basecamp.adventure atau email ke info@basecampadventureindonesia.com ya !

Menjejak Puncak Gunung Kinabalu, Batu Persemayaman Dewa

$
0
0
Road to Low's Peak. Photo by Rivan Hanggarai
Layaknya kita di Indonesia memercayai bahwa gunung adalah tempat bersemayamnya dewa-dewa, begitu pula di Sabah, Malaysia. Telah berabad-abad lamanya, kaum Kadazandusun yang menetap di wilayah Kundasang, Ranau (kaki Gunung Kinabalu), menghormati betul Gunung Kinabalu sebagai lokasi menetapnya roh-roh leluhur mereka yang telah berpulang.

Mitosnya, ada seekor Naga juga yang mendiami Kinabalu dan menjaga mutiara dewa. Mungkin saja mitos itu tercipta karena jika puncak Kinabalu sedang tertutup lingkaran awan, terkadang bentuknya mirip dengan seekor naga.

Di kawasan puncak Kinabalu juga terdapat beberapa kolam kecil yang diyakini sebagai kolam suci tempat dewa-dewi mandi. Konon katanya jika membawa air kolam ini dan diminum, akan membuang sial. Jadi apakah saya membawa air kolamnya juga kemarin?

Tidak.

Hahahaha.

***

Grasak-grusuk orang lalu lalang membangunkan saya. Lirik jam, ternyata sudah hampir pukul dua pagi. Saatnya bersiap untuk summit attack ke Low’s Peak, puncak Gunung Kinabalu. Berat sekali rasanya keluar dari selimut hangat. Tapi masa sudah jauh-jauh sampai ke Laban Rata tidak ke puncak? Yuk yuk bangun!

Saya kenakan pakaian untuk summit ; baselayer, jaket lapis polar dan down jacket. Bawahannya memakai legging latex dan jogging pants. Tak lupa memakai buff di leher dan kupluk. Sehabis cuci muka, gosok gigi dan mengepak barang bawaan seperti kamera, cemilan dan air mineral, saya turun ke restoran dan bersiap untuk makan pagi bersama teman-teman. Penting sekali untuk sarapan sebelum mendaki ke puncak agar energi kita terisi penuh meski harus memaksa tubuh untuk makan jam 2 pagi.


Situasi sebelum summit attack. Muka masih ngantuk semuaaaa...
Rombongan pendaki lain terlihat sedikit tergesa-gesa menghabiskan makanan mereka. Tampaknya mereka ingin cepat-cepat berangkat agar tidak melebihi Cut Off Time dan bisa melihat sunrise dari puncak Kinabalu.

Bobby, local mountain guide kami mengajak semuanya untuk segera bersiap-siap. Tak lupa ia memberikan briefing sebelum mendaki ke puncak seperti kami harus berjalan dalam satu grup dan tidak boleh terpisah. Jika angin kencang, kita harus tetap berjalan pelan dan fokus pada langkah, dan sebagainya.

Pendakian ke puncak Kinabalu dimulai pukul 02.30 dan kami berangkat pukul 03.00. Langit cerah bertaburan bintang, pertanda aman untuk mendaki ke puncak. Kaki kami menapaki tangga kayu satu per satu, seiring dengan nafas yang juga satu-satu. Di ketinggian lebih dari 3000 meter di atas permukaan laut, kadar oksigen mulai menipis dan akan membuat kita agak sulit untuk bernafas. Jadi, atur nafas sebaik mungkin, seiring dengan ritme kaki.


Capek di tengah jalan? Ya isthirahat dulu.
Tujuan pertama kami adalah Pos Sayat-Sayat, di mana seluruh rombongan harus melakukan check-in sebelum naik ke puncak. Cut Off Time (COT) untuk tiba di  Pos Sayat-Sayat ini adalah pukul 05.00 pagi. Jika kita tidak berhasil, kita tidak diperbolehkan melanjutkan perjalanan ke puncak.

“Tuh Pos Sayat-Sayatnya sudah kelihatan, yang ada merah-merah” ujar Kak Abex selaku ketua rombongan dan sudah berkali-kali mendaki Kinabalu.

Rasanya kaki berat sekali, namun karena Kabex bilang sudah dekat, kakinya dipaksa untuk terus melangkah. Ayo ayo ayo! Sebentar lagi jam 5 pagi.

Syukurlah sebelum jam 5 pagi, kami sudah tiba di pos Sayat-Sayat. Di dalam bilik kecil ditemani temaram cahaya lilin, seorang bapak mengecek dan mencatat name tag kami. Kami memutuskan untuk rehat sejenak, makan snack (favoritku itu Oat Chocolate Munchy’s, enak dan ngenyangin, kalau kalian sukanya snack apa pas naik gunung? Ini bukan iklan sungguh! xD) dan juga mengisi ulang botol minum yang kami bawa lalu mulai berjalan lagi.

Lepas dari Pos Sayat-Sayat, tibalah saat yang menegangkan buat saya.

Apa itu?

Memanjat batu andesit memakai tali tambang.

Sebelum tangan saya patah 5 bulan, memanjat itu perkara mudah. Tapi dengan adanya pen tertanam di lengan kanan, memanjat dengan tali itu jadi momok besar. Benar-benar takut saya waktu itu.

Bisa nggak ya bisa nggak ya?
Bisa, bisa, bisa, bisa, batin saya dalam hati.

Saya pindahkan tali ke sisi tangan kiri. Saya tarik badan dengan memusatkan beban di tangan kiri. Berhasil!

Rasa lega membuncah. Ternyata bisa kok pakai tangan kiri juga. Dan untuk titik-titik panjat berikutnya saya sudah tidak takut lagi. What doesn’t kill you makes you stronger right? ;)

Jalur tangga kayu, berganti menjadi jalur batu-batu andesit. Syukurlah ada safety line (tali tambang putih) yang menjadi pengaman jalur, menjaga-jaga agar kita tidak terpelanting jika angin kencang datang. Bergidik juga mendengar cerita dari local guide kami bahwa kecepatan angin bisa mencapai 80km per jam. Tak ayal jika Kinabalu atau Sabah mendapat julukan “The Land Below The Wind”, “Negeri Di Bawah Bayu”, negeri di bawah angin.


Ada safety line di sepanjang jalur. Jadi aman! Credit to : Abex
Meski terlihatnya datar, Low’s Peak itu jauhhhhhh. Karena ada banyak puncak di Kinabalu, kita terus menerka-nerka yang mana Low’s Peak itu. Tapi tak ada gunanya mempertanyakan, jalan saja terus pokoknya.

Dan ketika capek, saya selalu melihat ke belakang dan menikmati lautan awan yang terbentang luas layak samudera. Entah mengapa rasa capeknya jadi berkurang. Ketika tiba saatnya sholat subuh, Rizal, buddy saya, berhenti untuk menunaikan ibadah. Ada rasa haru saat memandang Rizal sholat di jalur. Damai betul rasanya saat itu.

Sembari menunggu Rizal selesai ibadah, saya duduk di batu sambil mengabadikan rona-rona merah yang mulai menghiasi langit, menunggu sang surya bangun. Benar saja, tak lama saya duduk, sinar-sinar hangat mulai menyapa pipi.

Selamat pagi!


Colourful morning sky!





What a bright warm morning it was!

***


Oh ya, salah satu tips saat mendaki Kinabalu adalah jangan terlalu terlena untuk mengambil gambar. Ingat waktu ya! Cut Off Time ke puncak itu pukul 07.00 pagi. Jika kita tidak berhasil, kita harus turun lagi ke Laban Rata. Nggak mau kan gagal ke puncak gara-gara keasyikan berfoto? Waktu itu local guide kami terus-terus mengingatkan sisa waktu yang kami punya. Tentu saja agar kami mempercepat langkah agar segera sampai ke puncak.



Bagian tersulit dari pendakian ke Kinabalu ini adalah saat sudah sekitar 200 meter dari puncak. Setelah berjalan tertatih-tatih dari jam 3 pagi, ini langkah final untuk sampai ke puncak dan harus memanjat batu-batu lagi. Mental kita benar-benar diuji di sini. Meski nafas tersengal-sengal, saya seakan mendapatkan suntikan semangat yang besar. Demang dan Anggey si anak tupai yang sudah duluan tiba di puncak menyemangati dari puncak.

“Ayo sedikit lagi Sat, semangat” teriak Anggey.

Dengan sisa-sisa tenaga yang ada, saya panjat tali terakhir dan…

Sampai…

Di Puncak…

Kinabalu…

4095 meter!

Yeaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaahhhh!!!

Menetes air mata haru. Siapa sangka saya bisa berdiri di puncak tertinggi Borneo!

God, thank you, thank you, thank you!

***


Kami saling mengucapkan selamat dan berpelukan. Semua tim tiba di puncak dengan selamat tanpa kekurangan apa pun. Terima kasih tim #SabahSkwad! Kalian super keren! Meski area puncaknya kecil, kami masih muat kok dalam satu frame foto.


Complete Team of #SabahSkwad Proficiat!

Thanks Eiger Adventure yang jadi sponsor perjalanan kami!


Hari itu, kami menjadi “penutup gerbang Kinabalu” alias turun paling terakhir. Karena kami akan stay satu malam lagi di Laban Rata Resthouse, kami masih bisa bersantai untuk foto-foto. Biasanya pendakian ke Kinabalu itu 2 hari 1 malam, sehingga para pendaki harus lekas turun dari puncak dan harus check out jam 12 dari Laban Rata Resthouse. Breakfast tersedia hingga pukul 10 pagi saja.


Jalurnya berkabut ketika kami berjalan turun.



Habis summit ya makan sebanyak-banyaknya! Photo credit by : Anggey @her_journeys

Kami baru turun dari Laban Rata Resthouse ke Timpohon Gate keesokan harinya. Perjalanan turun kami tempuh dalam waktu 4 jam dan seluruh tim dalam kondisi sehat dan selamat. Sungguh kami terberkati sekali dengan cuaca baik selama pendakian, langit cerah, dapat sunrise ciamik dan tidak ada angin kencang. It was totally smooth…Wondering how lucky we were…

Sampai jumpa lagi Kinabalu!

Perjalanan ini disponsori oleh Sabah Tourism Board dan Basecamp Adventure. Jika kalian ingin mendaki Kinabalu, boleh kontak Instagram @basecamp.adventure atau email ke info@basecampadventureindonesia.com ya !

Asyiknya #JNENgajakJalan ke Nusa Lembongan!

$
0
0

Sewaktu saya mengunjungi Nusa Penida beberapa waktu yang lalu, banyak teman yang menanyakan dimana letak Nusa Penida. Ternyata masih banyak yang belum tahu bahwa Nusa Penida merupakan bagian dari Bali. Ada tiga pulau di gugusan tenggara pulau Bali yaitu Nusa Lembongan, Nusa Ceningan dan Nusa Penida yang merupakan pulau terbesar dari ketiganya.

Tapi yang mau saya ceritakan bukan Nusa Penida lagi melainkan Nusa Lembongan karena #JNENgajakJalan saya dan beberapa teman media dan blogger dari Lampung, Jakarta dan Jawa Tengah. Meski mereka sudah sering ke Bali, beberapa dari mereka baru pertama kali mengunjungi Nusa Lembongan, termasuk saya. Hehehehe…

Dari Bandara Ngurah Rai, kami naik bus yang langsung membawa ke pelabuhan Sanur. Tidak ada transportasi umum seperti angkot untuk mengarah ke Sanur. Teman-teman bisa naik taksi atau ojek yang ada di bandara. Bisa juga naik Uber, Gojek, Grab tetapi harus berjalan ke arah luar bandara karena transportasi online tidak boleh menjemput penumpang dari Ngurah Rai.

Sempat berhenti di Kemangi Resto yang ada di Jalan Bypass Ngurah Rai, kami tiba di Pelabuhan Sanur sekitar pukul 1 siang. Kapal yang akan kami naiki ke Nusa Lembongan bernama Rocky dengan harga tiket Rp 100.000,- per orang. Berhati-hatilah dengan calo yang ada di sekitar sanur karena mereka bisa menaikkan harga tiket hingga Rp 350.000,- per orang.




***

Kapal fiber yang kami naiki dihantam ombak yang lumayan saat menuju Nusa Lembongan. Guncangan kapal membuat perut terguncang-guncang juga dan Kak Pungkyknocked out. Perjalanan laut memang selalu ia hindari tetapi karena kepengen jalan ke Lembongan, muntah-muntah sedikit tidak apa ya Kak?

Wajah Kak Pungky yang tadinya sedikit pucat karena mabuk laut langsung berubah menjadi sumringah ketika kami memasuki Tjendana Resort Nusa Lembongan Beach Club (namanya panjang amat ya?), tempat kami menginap beberapa hari ke depan.

“Waaaa….waaaaa….ada private poolnya” pekik Kak Pungky saat roomboymembukakan pintu kamar kami. Saya juga nggak kalah histerisnya. Maaf untuk ke-norak-an kami berdua ya. Siapa sih yang nggak senang dikasih menginap di resort untuk honeymoon, ya kan? Kak Pungky pasti berharap suaminya yang menginap bareng sama dia, bukan saya. Hahahaha…

Kamar kami di Nusa Lembongan Beach Club 
Di hari pertama kami tiba di Nusa Lembongan, jadwal kami hanya greetings dinner bersama jajaran JNE Indonesia, teman-teman media dan blogger. Dalam kesempatan itu, Pak Johari selaku Komisaris JNE yang turut serta bersama istri dan anak perempuannya, menyambut seluruh rombongan dengan ramah dan juga bercerita tentang 26 tahun tumbuh kembangnya JNE di Indonesia.



“Inovasi dan adaptasi adalah kunci terus berkembangnya JNE selama ini”, ujar beliau saat itu. Saya mengangguk setuju dengan apa yang beliau paparkan malam itu. Saya turut mengagumi kinerja JNE yang selama 26 tahun ini merajut Indonesia, membantu menyalurkan barang dari satu tempat ke tempat lain. Connecting happiness. Thank you JNE!

Ke Nusa Lembongan Asyiknya Ke Mana ya?


Pantai berpasir putih dan laut serta langit biru. Apa yang kurang? Kamu...
Selain mendapatkan pertanyaan Nusa Lembongan itu ada di mana, pertanyaan yang sering saya dapat juga adalah tempat-tempat menarik apa saja yang bisa dikunjungi di sana. Tentu dengan senang hati saya memberikan rekomendasi. Sayang karena keterbatasan waktu, tidak semua tempat kami kunjungi waktu itu. Okay here we go!

Let’s go Snorkeling!

Semuanya gembira bersiap mau snorkeling!

Kalau ke Bali, nggak komplit kalau nggak main air kan? Jadilah kami diajak snorkeling ke beberapa spot di sekitar Nusa Lembongan dan Nusa Penida. Sayang sekali, spot andalan untuk snorkeling seperti Manta Point dan Buddha Underwater Statue tidak bisa kami sambangi karena ombak dan arus yang kuat sekali hari itu. Padahal saya sudah membayangkan betapa asyiknya berenang bersama manta-manta (bukan mantan), the ocean dancer. See you next time dear Manta!




Masukkan dua tempat itu dalam bucketlist jika berkunjung ke Nusa Lembongan ya. Jika datang di pertengahan tahun saat cuaca sedang baik, pasti bisa bertemu dengan manta dan juga berenang melihat patung-patung yang ditenggelamkan ke laut, yaitu Buddha Statue point itu.

Jadilah kami dibawa ke spot lain yaitu “The Wall”di sekitaran Nusa Penida. Saya tadinya agak skeptis bahwa pemandangan lautnya akan bagus. Eh ternyata saya salah. Airnya biru jernih dan banyak sekali ikan karangny, pertanda perairannya sehat. Kapal-kapal di sana juga sudah terlatih untuk tidak buang jangkar ke laut karena akan merusak karang. Mereka sudah punya tali tambang yang diikatkan ke pelampung bulat / buoy, sehingga tak ada karang yang rusak.

Tapiiiiiii, saya sedih ketika melewati satu karang besar yang digores bentuk hati. Apa sih kerennya? Vandalisme itu nggak keren. Nggak keren sama sekali! Jangan ditiru ya teman-teman. Foto di dalam air bersama ikan-ikan dan karang yang sehat lebih keren kan?


Vandalism is not cool!

Ketika Ombak Mengamuk di Devil’s Tears



Jangan terlalu dekat ke tepian karang-nya ya!
Spot lain yang bisa teman-teman datangi ketika di Nusa Lembongan adalah Devil’s Tears. Dinamakan begitu karena sudah banyak sekali wisatawan yang meninggal di lokasi ini, terhempas dan terseret ombak ketika sedang asyik bersantai di tepian karang. Oleh karena itu, dihimbau untuk tidak dekat dengan bibir karang. Saya benar-benar ngeri ketika melihat ombak besar menghantam karang dan cipratannya terasa meski kita sudah berdiri cukup jauh.

Paling asyik datang ke sini saat menjelang matahari terbenam. Jika posisi matahari pas, kita bisa mendapatkan foto sunset yang dramatis dengan deburan ombak yang super besar itu. Tapi sekali lagi, keselamatan diri adalah yang terpenting, jadi berhati-hati ya.

Santai Sore di Dream’s Beach Hut


Seorang teman merekomendasikan tempat ini karena pool-nya asyik buat bersantai sore sambil melihat matahari terbenam. Sayangnya sore itu senja sepertinya tidak akan ciamik karena langit berawan sehingga saya urung masuk ke dalam. HTM untuk masuk ke dalam Dream’s Beach Hut adalah Rp 50.000,- per orang. Jadi, saya bersantai di Dream’s Beach saja dan puas-puasin main ayunan.

Ini bukan karena masa kecil kurang bahagia. Pas kecil bahagia banget kok ;)


Dream Beach!

Sisi lain dari Devil's Tears ini asyik buat santai sore sambil nunggu sunset!

Santai sore bareng Mas Riyan, Abah dan Mas Fin. Langit sore itu nggak nahan! (Photo by : Pungky)
***

Untuk kuliner, tidak banyak pilihan di Nusa Lembongan. Teman saya Eaz, yang sudah dua tahun ini menetap di sana memberikan rekomendasi namanya ‘Nyoman’s Warung’. Tanya saja orang lokal pasti tahu lokasinya. Makanannya enak dan tidak terlalu mahal. Tentu saja highlight’s Nyoman’s Warung adalah ikan bakar dan sambalnya. Juwarak!

Jika teman-teman sudah ada di Nusa Lembongan, asyiknya sih keliling juga ke Nusa Ceningan dan Nusa Penida. Di Nusa Ceningan ada Blue Lagoon, di Nusa Penida ada banyaaaaak seperti yang aku ceritakan di sini. Liburan 3 hari cukup kok buat mengunjungi semuanya. Ayo pilih-pilih tanggal mulai dari sekarang buat liburan ke Nusa Lembongan tahun depan ya.

Terima kasih buat JNE yang sudah ngajak kita jalan-jalan ke Nusa Lembongan ya! Semoga terus menginspirasi dan selalu terdepan di jasa pengiriman barang. Terima kasih sudah banyak membantu kami mengantarkan barang kepada orang-orang terkasih kami. 


Terima kasih JNE sudah ajak kami jalan-jalan. Tahun depan lagi ya!



Viewing all 119 articles
Browse latest View live