Quantcast
Channel: Travel Journal of Satya
Viewing all 119 articles
Browse latest View live

Lactacyd White Intimate, Rahasia Traveling Pakai Bikini Makin Pede

$
0
0
My Beach Traveling Essentials
Saya ingat betul tahun lalu saya traveling bersama teman-teman ke Pahawang, Lampung dan saya sudah menyiapkan bikini favorit untuk nyemplung ke laut. Tetapi begitu semuanya sudah bersiap untuk nyemplung, saya jadi ragu mau pakai bikini saja atau pakai celana pendek, tapi nggak bawa celana pendeknya. Ketika teman-teman yang lain sudah nyemplung duluan, saya dan Kak Aimasih tinggal di atas kapal.

“Kak Ai, kalau aku pakai bikini gini doang, gimana gitu nggak sih?” tanya saya.

“Kalau kamu nggak pede, pakai celana pendek aku aja Sat”, ujar Kak Ai sambil mengeluarkan celana pendek berwarna merah dan menyodorkannya kepada saya.

Lalu, kami jadi membahas pemakaian bikini. Kak Ai dengan gamblang bilang ya kalau bikini dipakainya sesuai tempat (di kolam, pantai, danau, laut) ya sah sah aja, nggak bikin malu. Kecuali kalau dipakainya ke pasar atau ke mall ya kan?


Beraninya berenang pakai atasan bikini tapi bawahannya celana :'>
Sebenarnya masalah utamanya bukan karena saya malu memakai bawahan bikini yang potongannya terlihat seperti pakaian dalam. Melainkan karena perbedaan warna kulit paha dan bagian selangkangan. Sama seperti kebanyakan perempuan Indonesia lainnya, warna kulit bagian selangkangan (miss V) lebih gelap dibandingkan bagian paha atau bagian dalam lengan. Padahal sama-sama tertutup sehari-harinya tapi kok warnanya beda.


Sebelum ketemu Lactacyd White Intimate, nggak pede pakai bawahan bikini two pieces.
Ternyata penyebabnya beragam. Selain karena pigmen warna kulit wanita Indonesia yang berbeda, kebiasaan kita memakai celana ketat dan berbahan kasar, ditambah lagi dengan pemakaian pembalut yang jika bergesek dengan kulit,  juga bisa menyebabkan warna kulit di area itu jadi lebih gelap. Oleh karena itu semua perempuan disarankan untuk memilih pakaian dalam yang terbuat dari bahan katun untuk menjaga sirkulasi udara di bagian kewanitaan tetap baik, tidak lembab, terhindar dari ruam kulit sampai infeksi jamur.

Kemasan Lactacyd White Intimate yang simpel dengan flip cover yang bikin nggak mudah tumpah.
Sebagai perempuan yang aktif melakukan perjalanan dan olahraga berbau petualangan, saya menjadi sangat peka dengan daerah kewanitaan saya. Setiap akan bepergian, yang menjadi pertimbangan saya adalah mau bawa berapa buah daleman? Karena seringnya memakai ransel yang berukuran sedang, saya lebih sering mengurangi beban pakaian dibandingkan pakaian dalam. Nggak apa-apa baju gak diganti berhari-hari, tapi daleman wajib ganti. Selain dalaman, untuk menjaga bagian bawah saya, Lactacyd juga tidak pernah ketinggalan, pembersih kewanitaan andalan!

Kebanyakan perempuan Indonesia sepertinya lebih peduli tentang penampilan wajah, gimana supaya tetap cerah, bersih, tidak ada kerutan dan tetap kenyal. Ya tak ada salahnya sih karena wajah menjadi kunci impresi pertama orang-orang ketika bertemu kita. Tapi, menjaga daerah kewanitaan juga sama pentingnya. Kan nanti bakal ada first impression sama (calon) suami ya.

Meski saya belum menikah, tetapi saya juga sering berdiskusi dengan beberapa teman yang sudah menikah. Topiknya adalah bagaimana menjaga daerah kewanitaan agar suami makin sayang, makin betah. Ada yang berbagi tempat-tempat perawatan khusus daerah kewanitaan agar putih, bersih, wangi. Harga perawatannya yang tidak murah kadang membuat saya berpikir daripada pergi ke salon-salon itu, mending uangnya dipakai untuk traveling. Ya mungkin saya berpikir begitu karena belum bersuami. Bisa saja setelah menikah, pemikiran saya berubah.


Sekarang sih udah pede pakai bikini two pieces! Foto oleh : Sutiknyo Lostpacker
Saya sendiri sudah memilih Lactacyd sebagai pembersih kewanitaan saya sejak beberapa tahun lalu. Dulu saya ingat sekali termangu cukup lama di depan etalase supermarket ketika akan memilih produk pembersih kewanitaan. Saya perhatikan bahan-bahan yang terkandung di dalamnya. Begitu melihat Lactacyd mengandung bahan susu (lacto) lembut dan asam laktat yang pH nya seimbang, langsung saya taruh di keranjang belanja. Langsung suka karena saya percaya kandungan susu baik untuk kulit. Pemikirannya memang sesederhana itu saja.

Barulah beberapa bulan lalu, saya menemukan Lactacyd White Intimate di supermarket. Di botolnya tertulis, mengandung bahan susu, bengkoang dan algowhite yang berkhasiat mencerahkan warna kulit sekitar daerah kewanitaan dalam 4 minggu. Wah, pas banget. Ini dia yang saya cari. Pertengahan tahun ini saya sudah punya jadwal untuk travelingke pulau-pulau. Saatnya koleksi bikini lucu dikeluarkan lagi. Saya ingin tahu apa benar dengan memakai Lactacyd White Intimate, saya jadi percaya diri untuk pakai bikini two pieces tanpa celana pendek lagi.

Lactacyd ini karena terbuat dari bahan susu, warna gel-nya putih susu agak bening. Cukup sedikit saja dituang di tangan, dicampur air hingga berbusa, lalu diusap lembut ke Miss V. Wanginya lembut tidak menusuk hidung dan tidak perih di kulit. Sejauh ini saya merasa nyaman menggunakan Lactacyd. Jika teman-teman ada yang merasa aneh saat pemakaian (misalkan ada  iritasi), boleh langsung menghubungi via email ke Indonesia.pharmacovigilance@sanofi.com / telp 021-47899817.

Kandungan Lactacyd White Intimate
Dan ternyataaaaaaa…

Setelah sebulan lebih pemakaian Lactacyd White Intimate di saat mandi pagi dan mandi sore, saya melihat area selangkangan saya sudah lebih cerah dari sebelumnya. ( Bukti fotonya tentu tidak bisa dipampang di sini. Kalau dipampang, yang ada blog saya di banned selamanya. Hehehehe :p )

Saya senang menggunakannya setiap hari karena sudah dermatologically testedkok, alias sudah teruji secara klinis oleh dokter kulit. Sanofi Group Indonesia, perusahaan pelayanan kesehatan terpercaya selama 50 tahun, sudah mengadakan penelitian tentang Lactacyd White Intimate pada September – Oktober 2011 silam terhadap 200 wanita di Asia. Hasilnya? 67% wanita mengakui daerah kewanitaan mereka lebih cerah dalam waktu 4 minggu penggunaan. Selain mereka, saya juga termasuk di golongan yang mengakui khasiat Lactacyd White Intimate ini.


Lactacyd White Intimate tersedia dalam dua ukuran yaitu 60 ml dan 150 ml. Harganya juga cukup terjangkau, Rp 26.000,- an  untuk ukuran 60 ml Rp 48.000,- an untuk ukuran 150 ml. Saya sih paling suka pakai yang ukuran 60 ml karena praktis untuk dibawa traveling kemana-mana.

Jadi, kenapa saya merekomendasikan Lactacyd White Intimate?

  •  Karena semua perempuan harus tahu bahwa daerah kewanitaan kita perlu dijaga dengan baik. “Aset” lho itu. Meski belum menikah, menjaga daerah kewanitaan itu harus.
  • Lactacyd sudah dipercaya selama 30 tahun untuk menjadi sahabat setiap wanita dan direkomendasikan oleh banyak dokter kulit.
  • Lactacyd White Intimate terbuat dari bahan dasar ekstrak susu nan lembut, Actipone-B dari bengkoang, Algowhite dari alga laut, dan asam laktat yang baik untuk menjaga keseimbangan pH di daerah kewanitaan. Tidak berbau menyengat dan kulit terasa lembut setelah pemakaian.
  • Terbukti secara klinis (dermatologically tested) jadi bisa digunakan setiap hari. Lactacyd juga diproduksi di di pabrik yang memenuhi standar global Cara Pembuatan Kosmetik yang Baik (CPKB). 
     Selain poin-poin di atas, saya juga merasa bahwa percaya diri saya meningkat untuk pakai bikini two pieces. Alasan saja sih sebenarnya supaya bisa beli bikini baru. Hehehehe. Yang jelas saya senang karena bisa dapat dua keuntungan memakai Lactacyd White Intimate. Miss V selalu bersih dan sehat plus makin percaya diri kalau traveling ke pantai (apalagi pas pakai bikini).


Sooooooo, let’s go to the beach, beach, beach~#ProvenSelfV


Be happy and #ProvenSelfV
Beberapa tips untuk menjaga daerah kewanitaan selalu bersih :

  • Pakai pakaian dalam yang berbahan katun agar sirkulasi udara baik dan bisa menyerap keringat.
  • Saya sendiri terbiasa untuk tidur malam tidak menggunakan pakaian dalam untuk memberi kesempatan pada tubuh saya lebih rileks dan bebas.
  • Mengganti pembalut tidak hanya saat berasa sudah penuh, tetapi 4 jam sekali. Hati-hati jika tidak diganti, bakteri jahat bisa berkembang di bawah sana lho.
  • Membersihkan daerah kewanitaan saat mandi dua kali sehari dengan menggunakan Lactacyd White Intimate. Cukup keluarkan sedikit isinya dari tube, campurkan denan air, gosok hingga berbusa lalu usap dengan lembut ke daerah kewanitaan. Bilas dengan air bersih.
  • Jika saya traveling ke daerah yang susah air bersih dan langka toilet (apalagi di gunung ya), saya pakai Lactacyd Tissue karena lebih praktis.

Semoga infonya berguna untuk semua wanita dimanapun kalian berada. Dan, ngomongin kesehatan kelamin itu bukan sesuatu yang tabu lho. Jika memang baik manfaatnya, tak ada salahnya berbagi cerita kan?

Tulisan ini diikutkan dalam Blog Competition #ProvenSelfV yang diadakan Lactacyd ID.

Renang Gembira Bersama Penyu di Pantai Sulamadaha

$
0
0

“Kalau pagi-pagi tidak ada ojek, jadi kita jalan kaki saja ke Hol ya” ujar Pak Sarifudin, teman kami yang menemani baronda(jalan-jalan) di Ternate, sesaat setelah mobil yang kami naiki diparkirkan di tepi Pantai Sulamadaha.

Kami memang berangkat pagi-pagi sekali dari penginapan. Tidak sempat mandi, hanya cuci muka dan sikat gigi. Untuk apa mandi pikir kami, toh nanti akan basah-basahan lagi. Pada hari itu, kami akan bertolak dari Ternate dan pulang ke Jakarta pada sore harinya. Tapi rasanya tak lengkap selama di Ternate, tidak sekali pun “mencicipi” air laut Ternate.

Jadilah saya, Yuki, Mas Him,Mister Dan dan Pak Sarifudin pergi ke Pantai Sulamadaha pagi-pagi sekali supaya masih terkejar untuk berangkat ke bandara. Ya coba bayangkan siapa yang mau berenang ke pantai jam 7 pagi? Sebagai anak air, saya sih tidak menolak mau diajak pagi, siang, sore untuk ke pantai. Pagi-pagi itu lebih enak sebenarnya buat saya karena senang pantai yang lengang, tidak ada orang. Cobalah ke Pantai Sulamadaha ini di akhir pekan, pasti berbanding terbalik, alias ramai sekali.

Pantai Sulamadaha sendiri berombak dan berpasir hitam, bukan tipikal pantai yang asyik untuk renang dan ngapung gembira. Kami pergi di sisi sebelahnya Pantai Sulamadaha yang lebih dikenal dengan nama Teluk Hol Sulamadaha, disingkat Hol. Teluk berbentuk “U” itu tak seberapa luas, namun lebih menyenangkan untuk bersantai dan menikmati terumbu karang. Teman saya di Ternate, Acho bahkan memberitahu jika saya beruntung bisa bertemu dengan banyak penyu.

Pantai Sulamadaha yang berpasir hitam.
Apa? Penyu? Serius? Waaahhh… Saya ingin sekali menjadi orang beruntung itu. Saya berharap bisa berenang dan bertemu dengan satu, dua penyu.

***

Dari Pantai Sulamadaha menuju Hol, kita akan menyusuri jalan setapak kecil selama 10 menit. Waktu tempuhnya sih singkat, tapi jalurnya naik turun jadi lumayan menguras tenaga.


Kami sedang santai berjalan ketika dari arah depan terdengar suara deru sepeda motor. Tak lama kemudian dua bocah lelaki datang berboncengan tanpa helm dan alas kaki. Pak Sarifudin langsung menghentikan motor mereka dan bertanya apakah bisa motornya dipinjam untuk mengantar kami ke Hol. Pastinya bukan adik-adik itu yang bawa motornya melainkan Pak Sarifudin. 

Untuk satu orang, kami membayar Rp 5000,- untuk ongkos sewa motor ke adik-adik itu. Relalah mereka untuk menunggu sebentar di tepi jalan setapak sambil menunggu Pak Sarifudin mengantarkan kami satu per satu. Adik-adik itu menunggu sambil senyum-senyum. Pasti senang dapat duit tambahan buat jajan ya Dek?

Saya jadi orang pertama yang diantarkan Pak Sarifudin. Ternyata Hol sudah tidak jauh dari tempat kami berjalan. Saya turun dan menunggu teman-teman yang lain tiba.

Hol Sulamadaha yang berbentu "U"


Rasanya begitu menenangkan saat kaki saya dibelai ombak lembut yang menyapu bibir pantai. Maitara menjulang gagah di kejauhan dan burung-burung berkicau di dahan. Pagi yang sempurna jika ditambah secangkir kopi atau teh. Sayangnya belum ada warung yang buka.



Tak lama, Yuki, Dan, Mas Him dan Pak Sarifudin tiba. Begitu pula dengan seorang Bapak yang ternyata pemilik salah satu warung yang ada di bibir pantai. Beliau menyediakan jasa peminjaman snorkel set, ban pelampung bahkan celana pendek jika tidak bawa baju untuk renang. Satu set masker, snorkel dan kaki katak disewakan dengan harga Rp 75.000,-.

Gembira sekali pagi-pagi berenang nggak ada orang lain selain kita.

Meski nggak berani berenang kalau nggak pakai pelampung, Yuki gembiranya bukan main. Hahahaha.
Lekaslah kami menyeburkan diri ke dalam air begitu sudah mendapatkan snorkel set yang sesuai dengan ukuran kaki masing-masing.

Ini saatnya bertemu dengan penyuuuuuu…

Dimanakah mereka berada?

Saya langsung membawa underwater camera untuk memotret si penyu jika memang beruntung bertemu. Mata saya menyisir terumbu karang yang cerah disinari matahari pagi. Saking cerahnya, air lautnya terlihat sebening kaca. Kedalaman 10 – 15 meter masih terlihat dengan jelas.


Ternyata saya beruntung pagi itu. Saya bertemu penyu!

PENYU!
Senang sekali bisa melihat mereka langsung di laut, bukan di kolam penangkaran atau pun di akuarium buatan. Saya ikuti penyu itu berenang ke sana ke mari. Karena sedikit lelah dan kurang tidur beberapa hari sebelumnya, saya tidak fit untuk menyelam jauh dan dalam mengejar penyu agar bisa lebih dekat. Saya cukup senang bisa berenang di permukaan sambil mengikuti arah si penyu.

Mister Dan yang juga sama gembiranya, menyelam mengejar si penyu lucu. Penyu itu kan berenangnya cepat sekali ya, sekali kepak langsung jauh. Ya jadinya susah untuk didekati. Sempat juga bertemu dengan penyu yang sedang isthirahat diam diantara terumbu karang dan tidak terlalu dalam. Saya menyelam ke arahnya dan ternyata si penyu sadar dan langsung kabur. Huhuhuhuhu, nggak jadi deh foto bareng penyu dari dekat karena saya sudah kehabisan nafas untuk mengejarnya. Ah tapi melihat mereka langsung di laut juga saya sudah bahagia, tak perlu selfie segala. *menghibur diri sendiri*

Dan said, "Can you spot the turtle?

Perihal Terumbu Karang di Sulamadaha

Meski senang bertemu dengan penyu dan ikan-ikan hias di sela-sela terumbu karang, di satu sisi saya sedih dengan kondisi terumbu karang yang patah di sana-sini. Ternyata kesadaran wisatawan untuk turut menjaga, tidak menyentuh dan menginjak terumbu karang, masihlah kurang.

Sedih ya melihat terumbu karang rusak begini :(

Can you spot Nemo armong the died corals? :(


Saya pun menyayangkan tidak adanya papan himbauan bagi wisatawan yang datang ke Pantai Sulamadaha. Padahal saya mengharapkan dengan adanya papan itu, kesadaran wisatawan akan terbangun dengan sendirinya. Bayangkan saja ke depannya jika seluruh terumbu karang di Sulamadaha rusak, semua merugi. Ikan hias dan penyu-penyu sudah pergi ke tempat yang baru dan yang kita pandang hanyalah terumbu karang rusak seluas lapangan bola? Untuk apa?

Ya memang susah sih mengharapkan hal itu terjadi kalau hanya menuliskannya saja di blog ini. Semoga nanti benar ada aksi nyata bersama teman-teman yang peduli dengan  pariwisata di Ternate. 



Alfonsa Raga Horeng, Kartini Indonesia Masa Kini

$
0
0

Siapa yang tidak kenal dengan Raden Ajeng Kartini, sosok emansipasi wanita yang lahir 137 tahun silam dan masih dikenang hingga kini. Hari kelahirannya, 21 April dijadikan hari peringatan yang dikenal seluruh khalayak Indonesia, Hari Kartini.

Sebagai perempuan, saya sangat berterima kasih kepada Ibu Kartini. Semangat beliau memperjuangkan kesetaraan perempuan menjadikan wanita Indonesia kini merdeka untuk berpikir, bekerja, berkarya dan mencipta.

Jika Raden Ajeng Kartini menyuarakan agar perempuan Indonesia mendapatkan pendidikan yang layak dan setara, saya ingin bercerita tentang satu sosok yang memperjuangkan agar hasil karya wanita Indonesia sejak dulu kala, tidak lagi dipandang sebelah mata.

Sosok yang memperjuangkan agar budaya tenun yang sudah melekat pada wanita di Nusa Nipa (nama asli Pulau Flores sebelum datangnya Portugis) tetap diteruskan kepada generasi muda, memperkenalkan bahwa kerajinan ikat tenun adalah harta yang harus dijaga.

Sosok itu bernama Alfonsa Raga Horeng.

Pertama kali saya datang ke Sanggar Lepo Lerun, sanggar yang dibangun oleh Mama Alfonsa, beliau sedang memainkan alat musik tradisional, mengalunkan musik yang diiringi dengan tarian penyambutan. Saya diajak menari, mengikuti irama tabuhan gendang dan derap kaki.

Tidak hanya menenun, perempuan di Lepo Lerun juga bisa bermain musik tradisional. Di sini sih saya dan Dewy didandanin jadi gadis Sikka. 
Dengan bersarung ikat tenun, Mama Alfonsa langsung menyalami kami yang datang ke sanggarnya dengan ramah. Dipersilahkannya kami duduk di ruang tengah sanggar dimana kami bisa menyeduh kopi dan teh sendiri, sepuasnya. Selain itu, Mama Alfonsa juga menawarkan kepada saya untuk mengenakan pakaian tradisional gadis Sikka lengkap dengan sanggul dan perhiasannya. Saya senang bukan kepalang.

Mama Alfonsa sedang menggunting kain tenun yang baru jadi...
Di sisi samping sanggar Mama-mama yang lain sedang melakukan aktivitas masing-masing. Ada yang sedang memisahkan biji kapas, menggebuk kapas, memintalnya menjadi benang, mewarnai benang dengan mencelupkannya ke air perasan yang berasal dari tumbuhan, mengikat pola dengan daun lontar dan menenunnya.

Mengolah kapas jadi benang...



Untuk menghasilkan kain tenun, paling cepat sekitar 3-4 minggu dan paling lama 9 bulan, tergantung benang yang dipakai, lama proses pewarnaan dan juga motifnya. Semakin susah motifnya, semakin lama waktu pengerjaannya. Saya begitu mengagumi kemampuan wanita penenun yang tanpa pensil dan kertas bisa membuat pola / motif tenun, mengikat setiap sambungan benang, mengaitkan benang-benang memakai daun lontar muda dengan cekatan. Sungguh kemampuan dengan ketelitian tingkat tinggi. Jika satu ikatan saja salah, maka kain tenunnya menjadi gagal. Dikarenakan benang-benang itu biasanya diikat dulu baru ditenun, Mama Alfonsa pun mengatakan ‘ikat tenun’ bukan ‘tenun ikat’.

Mengikat benang dengan motif. Butuh kesabaran dan ketelitian yang tinggi...



Di masa lampau, menenun adalah identitas setiap wanita di Flores. Menenun menjadi simbol kedewasaan anak perempuan.  Anak perempuan baru diakui sebagai wanita sepenuhnya ketika dia bisa menenun karena dianggap sudah mampu menguasai pelajaran tentang kesabaran, ketekunan, ketelitian dan kecekatan. Saat ia dilamar oleh pria pujaannya, kain tenun buatan sendiri serta makanan lezat adalah seserahan wajib dari pihak wanita kepada pihak pria. Sedangkan pihak pria akan mengantarkan perhiasan atau kuda untuk calon pengantin wanita.


Mungkin kini kondisinya berbeda. Tidak semua gadis di Flores bisa menenun. Sebagian lebih memilih untuk fokus ke pendidikan formal, meraih gelar sarjana dan membantu mengembangkan daerahnya dengan pendidikan yang dia kenyam.

Tidak ada yang salah dengan itu. Menenun bukanlah proses yang mudah dan singkat. Pastinya mereka kesulitan jika harus membagi waktu untuk belajar di sekolah dan menenun. Jangankan anak gadis, Mama-mama yang sudah menikah dan punya anak pun sebenarnya sedikit kewalahan membagi waktu untuk menyelesaikan kain ikat tenun di samping tugas utamanya sebagai Istri dan Ibu di rumah dan harus mengurus ladang, babi dan kuda.

Begitu pula dengan Mama Alfonsa. Meski sudah belajar menenun dari Ibunya saat berusia 8 tahun, wanita kelahiran Sikka 1 Agustus 1974 ini bertekad untuk mengenyam pendidikan tinggi di luar kampungnya. Jurusan Teknologi Pangan Pertanian di Universitas Katolik Widya Mandala Surabaya, dipilihnya selepas SMA. Selepas kuliah, Mama Alfonsa sempat bekerja di Surabaya sebelum akhirnya memutuskan pulang kampung ke Sikka dan mengembangkan daerahnya.

Saat itulah Mama Alfonsa melihat persoalan pelik yang sedang membelit para penenun di kampungnya. Salah satunya adalah penggunaan pewarna kain sintetis. Terbersitlah ide di kepala Mama Alfonsa untuk mengembalikan pewarna alami sebagai pewarna tenun Flores seperti yang dipakai leluhurnya sejak dulu kala.

Benang yang dicelup ke pewarna alami. Untuk mendapatkan warna seperti ini, tidak cukup dicelup satu kali.

Benang dan bahan alami untuk menghasilkan warna.
Dulu minat masyarakat dan wisatawan tidak terlalu besar terhadap kain tenun. Berbeda sekali dengan kondisi lima tahun belakangan dimana desainer lokal dan internasional mulai melirik kain tenun sebagai salah satu bahan unik untuk ditampilkan di panggung mode kelas dunia.

Hal itu tentu tidak terlepas dari peran Mama Alfonsa yang berusaha mengenalkan ikat tenun ke kancah dunia. Sejak Oktober 2003, Mama Alfonsa membangun Sentra Tenun Ikat Lepo Lerun. ‘Lepo Lerun’ sendiri berarti rumah tenun. Beliau keluar masuk desa, merangkul wanita penenun di Sikka (Maumere), Ende dan Flores Timur. Mama Alfonsa melakukan pendekatan lintas generasi, tak sungkan untuk berbicara dengan yang jauh lebih tua dan mau merangkul yang masih muda. Tujuan Mama Alfonsa untuk mengembalikan kualitas tenun tentu saja disambut baik oleh orang-orang di sekitarnya. Para leluhur pasti bangga.

Hingga kini, ada lebih dari 800 penenun yang berada di bawah naungan Sanggar Lepo Lerun. Yang saya lihat di Lepo Lerun hanya segelintir saja. Sisanya tersebar di berbagai desa di Flores.


Jalan yang ditempuh Mama Alfonsa tidak selalu mulus. Terjadi gesekan di sana-sini, termasuk dengan pemerintah daerah yang terkesan kurang peduli untuk mengembangkan potensi budaya di Flores. Meski begitu, Mama Alfonsa tidak patah arang. Dia yakin bahwa tujuannya membantu mensejahterakan wanita di Flores, pasti mendapat banyak dukungan, meski bukan dari Pemerintah.

Mama Alfonsa mulai merekam cara pembuatan ikat tenun dan berbagi ilmunya ke social media. Lima tahun berselang sejak didirikan, Lepo Lerun mulai mendapat perhatian khusus dari berbagai Negara. Mama Alfonsa diundang ke Australia, Swiss, Jerman, Prancis, Amerika Serikat, Meksiko dan berbagai Negara lainnya untuk mempromosikan tenun ikat. Tidak hanya mempromosikan tenun ikat untuk mendapat keuntungan, namun juga berbagi tentang ilmu menenun dan makna yang terkandung di setiap motif tenun Flores. Mama Alfonsa yang enerjik dan berwawasan luas selalu membuat orang-orang kagum. Beliau mengangkat derajat para wanita di Flores lebih dari sekedar pembuat kain di kampung, namun seniman tenun. Seniman.


Pujian dan pengakuan memang menjadi bahan bakar Mama Alfonsa untuk terus mengembangkan ikat tenun di Flores. Begitu pula dengan setiap wanita penenun di Flores yang semakin bersemangat untuk menghasilkan karya ikan tenun mereka.

Beberapa penghargaan sudah diterima Mama Alfonsa dan Lepo Lerun seperti ‘Meexa Award’ (2006), ‘Australian Leadership Award’ (2008), ‘SheCan Tupperware Award : Inspire Woman’ (2010), ‘Kartini Award’ (2011), ‘Master Weaver of Flores Indonesia by Fashion Institute of Technology, Manhattan, New York, US’ (2012), ‘Indonesia Digital Women Award ; Cultural Artist’ (2013).

Mama Alfonsa memiliki peran sangat penting dalam mengembangkan tenun sebagai atraksi budaya bagi wisatawan mancanegara dan juga menguatkan perekonomian keluarga di Flores. Mama Alfonsa terus berjuang untuk mensejahterakan wanita, tindakan yang juga dilakukan Ibu Kartini lebih dari 100 tahun yang lalu. Beliau adalah Kartini Masa Kini.





Satu yang benar membuat saya kagum pada Mama Alfonsa adalah bahwa tak pernah ia terpikir untuk mendatangkan keuntungan untuk dirinya sendiri, tetapi kontribusi nyata kepada daerahnya yang selalu ada di benaknya. Kita butuh banyak sekali Mama Alfonsa di Indonesia, yang penuh semangat menjaga dan melestarikan budaya bangsa, sebelum punah ditelan masa.

Mama Alfonsa (paling kiri) dengan senyum ramahnya. Ternyata Mama pemalu yaaa :p



“I remembered what my father always said: ‘Never leave the land your great grandfathers inherited to you, and develop it for a good cause.” – Alfonsa Raga Horeng 

Mama Alfonsa Haga Horeng adalah Kartini versi saya. Siapakah Kartini versi kamu? #UntukPerempuan | Heritage Indonesia 

PELINDO 3 dan Impian Pelabuhan Mutakhir Indonesia

$
0
0

Sedari kecil, saya sangat menyukai kapal. Sewaktu tinggal di Bengkulu, Bapak sering mengajak saya naik kapal besar ke Padang. Masih terekam dengan jelas saya berlari-lari gembira di lorong-lorong kapal dan bergelantungan hingga membuat Bapak kewalahan.

Sampai sekarang, kapal laut pun menjadi salah satu transportasi favorit jika ingin berjalan dengan santai dan punya banyak waktu. Tapi jika sedang diburu waktu ya pilihan terbaik memang naik pesawat. Namun jika disuruh memilih, saya lebih suka naik kapal laut.

Indonesia, sebagai Negara Kepulauan atau Negara Maritim dengan luas laut 5,8 juta km2 tentu membutuhkan armada pelayaran dan pelabuhan yang memadai. Sebenarnya ada 1.888 pelabuhan di Indonesia, termasuk di dalamnya 1.134 pelabuhan khusus yang dikelola Badan Hukum Indonesia dan 754 pelabuhan umum yang dibangun dan dikelola oleh pemerintah. Untuk pelabuhan umum pun dibagi lagi menjadi pelabuhan yang tidak diusahakan dan dioperasikan oleh pemerintah sejumlah 646 pelabuhan dan pelabuhan yang diusahakan dan dioperasikan oleh pemerintah yaitu PT Pelabuhan Indonesia (PELINDO) sebanyak 103 pelabuhan.

ATS terlihat dari ruang operator Teluk Lamong
Pelindo sendiri terbagi lagi menjadi empat yaitu PT Pelindo I yang mengoperasikan 25 pelabuhan, PT Pelindo II yang mengoperasikan 12 pelabuhan, PT Pelindo III yang mengoperasikan 43 pelabuhan dan PT Pelindo IV yang mengoperasikan 23 pelabuhan.

Wah, saya sendiri tidak menyangka bahwa ada sebanyak itu jumlah pelabuhan di Indonesia, lebih banyak dari jumlah bandara yang berjumlah 237.

Berkenalan dengan PELINDO III


Pelindo III adalah salah satu BUMN yang mengoperasikan 43 pelabuhan di Indonesia, tersebar di Bali, NTB, NTT (11 pelabuhan), Kalimantan Selatan – Kalimantan Tengah (21 pelabuhan), Jawa Timur (7 pelabuhan) dan Jawa Tengah (4 pelabuhan).

Kali kesempatan ini, saya dan beberapa teman blogger, Farchan Noor Rachman,Barry Kusuma, Wira Nurmansyah, Sutiknyo Lostpacker, Harris Maulana, Ananda Rasuliah, Firsta, Pungky Prayitno, Dani Rachmat diajak berkunjung ke kantor pusat Pelindo III di Surabaya. Mas Suryo dari Pelindo III menyambut kami dengan sangat ramah di Bandara Juanda. Dikarenakan kami tiba pagi-pagi sekali, Mas Suryo mengajak kami santap pagi di Rawon Pak Pangat yang lokasinya tidak terlalu jauh dari Bandara.

Mas Suryo yang supeeeerrr ramah!
Kata Mas Suryo, kami akan diajak berkeliling ke beberapa tempat yang merupakan kawasan kerja Pelindo III di Surabaya. Saya kira hanya ada satu lokasi, eh ternyata ada banyak.

Untuk kunjungan pertama, kami diajak ke Terminal Teluk Lamong yang memiliki luas 38,86 Ha yang diperuntukkan khusus untuk aktivitas loading peti kemas. Begitu masuk ke dalam lokasi, saya langsung terperangah dengan truk-truk keren yang ada di lokasi. Semacam truk yang ada di film Transformers, bersih dan terlihat gagah. Ternyata itu adalah truk BBG kepunyaan Pelindo III dan jumlahnya ada 100 truk. Seumur-umur saya belum pernah lihat truk BBG, biasanya bus BBG aja alias Transjakarta. Pelindo III juga punya SPBG sendiri lho. 

ATS nya sedang beroperasi... 
Pelindo III memaparkan bahwa mereka memang sedang  melakukan pengembangan, seperti revitalisasi pelabuhan (rekonfigurasi, klasterisasi dan penataan pelabuhan). Ada lagi modernisasi pelabuhan seperti pembaharuan alat-alat penunjang kegiatan operasional yang memiliki produktivitas tinggi seperti otomatisasi alat bongkar muat, IT system, penyediaan alat berbasis IT di Terminal. Lalu ada program-program peningkatan fasilitas pokok maupun fasilitas pendukung seperti program peningkatan APBS, peningkatan dermaga.

Photo credit : Barry Kusuma
Dipaparkan juga bahwa kini Pemerintah kita bekerja keras melalui BUMN kepelabuhanannya, salah satunya Pelindo III untuk membangkitkan potensi maritim Indonesia. Daya saing bangsa akan meningkat jika tidak terbebani biaya logistik. Apalagi transportasi laut adalah transportasi dengan biaya paling murah dan terjangkau dibandingkan angkutan darat dan kereta api.

Bayangkan saja, biaya  pengiriman ke Hamburg yang jaraknya 11.000 KM dari Jakarta, harganya lebih murah dari pengiriman ke Padang yang hanya berjarak 1.000 KM.


Untuk itu Pelindo III mengembangkan sejumlah terminal modern di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, yakni Terminal Peti Kemas Surabaya, Terminal Teluk Lamong yang beroperasi semi-otomatis, Terminal Penumpang Gapura Surya Nusantara, Java Integrated Industrial & Port Estate (JIIPE). Pelindo III juga sedang melakukan revitalisasi APBS untuk mendatangkan kapal-kapal besar di Indonesia.

Selain di Surabaya, beberapa proyek yang juga sedang dikembangkan oleh Pelindo III adalah Polder Sistem Pelabuhan Tanjung Emas, Terminal Peti Kemas Semarang, Pelabuhan Banjarmasin, Pelabuhan Bagendang, Pelabuhan  Bumiharjo, Pelabuhan Batulicin, Pelabuhan Tenau – Kupang, Pelabuhan Benoa – Bali, Pelabuhan Gilimas – Lembar, dan pembangunan kawasan Boom Marina Banyuwangi.

Pelabuhan Teluk Lamong, Pelabuhan Otomatis Pertama di Indonesia


Saat Pak Ahmad Nizar, Deputi Sekretaris Direktur Pelindo III, memaparkan project-project yang saya sebutkan tadi, saya betul-betul terperangah. Meski belum selesai keseluruhan, namun gambaran tentang pelabuhan mutakhir Indonesia terlihat jelas di benak saya. Alangkah kerennya jika seluruh pelabuhan di Indonesia bisa dikembangkan seperti ini nantinya.

Para  Operator di Terminal Teluk Lamong dan Pak Ahmad Nizar (paling kanan)
Saya sangat mengapresiasi ketika ada BUMN yang buka-bukaan tentang kegiatan mereka. Apalagi pelabuhan peti kemas. Seumur-umur saya tidak pernah mendengar ada blogger yang diundang untuk melihat-lihat pelabuhan. Kalau ke pelabuhan penumpang sih pernah ya, tapi kalau memang mau naik ke kapalnya *hehehe*. Makanya ketika diajak jalan-jalan melihat Pelindo III, saya senang bukan kepalang.

Meski Pak Ahmad Nizar sedang memaparkan tentang Pelindo di ruangan operasional Terminal Teluk Lamong, bukan berarti aktivitas mereka terhenti. Peti-peti kemas itu tetap harus diangkut dan dipindahkan. Di ruangan itu terdapat mesin operator lengkap dengan layar-layar yang memperlihatkan suasana terminal peti kemas.

Mbak nya lagi mainin Joystick ;) 
Kerennya Terminal Teluk Lamong ini adalah menjadi terminal otomatis pertama di Indonesia. Ada 10 unit Automated Stacking Crane yang beroperasi memindah-mindahkan peti kemas di terminal. Fyi, ATS ini baru ada di empat Negara di dunia yaitu Virginia, Catalunya, Abu Dhabi dan Indonesia. Waaaahhhh…

Kami dipertontonkan cara mengoperasikan ATS dan operatornya perempuan! Wah! Keren banget. Saya nggak nyangka kalau ada perempuan yang bekerja menjadi operator Terminal Peti Kemas. Dan ternyata 50 % operatornya perempuan lho.

Dengan cekatan si Mbak menekan tombol ini dan itu. Dari ruangan itu bisa terlihat dengan jelas ATS nya berfungsi memindahkan peti kemas dari satu tempat ke tempat lain dengan cepat. Di setiap ATS terdapat kamera yang membuat kita bisa melihat keakuratan ATS saat mengangkat, memindahkan dan menurunkan peti kemas.

Berbeda lagi dengan proses pengangkutan peti kemas. Saya memperhatikan ada satu pengemudi truk yang dengan luwes memarkirkan kendaraannya lalu masuk ke bilik kecil. Ternyata dia akan mengambil dan membawa satu peti kemas. Dalam bilik itu juga ada mesin untuk ATS yang bisa dioperasikan langsung oleh pengemudi. Namun jika sudah mencapai ketinggian 7 meter dari permukaan tanah, si pengemudi harus mengarahkan sendiri peti kemasnya dengan joystick yang ada. Waaaah seru banget macam main di mesin penjepit boneka di Timezone, diarahin, dijepit terus diangkat. Sayangnya kita nggak mencoba joystick ATS di Terminal Teluk Lamong. Ya kalau salah terus peti kemas-nya rusak, harus ganti rugi dong? *Hehehe*.

Terminal Teluk Lamong ini diresmikan oleh Bapak Presiden RI, Joko Widodo pada 22 Mei 2015 silam. Selain dilengkapi dengan 100 truk BBG dan 10 Automatic Stacking Crane, di terminal ini juga terdapat  5 unit Ship to Shore Crane, 5 unit Straddle Carriers, dan 50 Unit Automotive Terminal Trailers. Semuanya peralatan canggih yang memudahkan proses pengelolaan peti kemas yang ada di Terminal Teluk Lamong.

Penampakan Automotive Terminal Trailers...

Sensasi Naik Ke Ship To Shore Crane


Selepas mendengar paparan dari Pak Ahmad Nizar, Mas Suryo mengajak kami melihat langsung Ship To Shore Crane. Ada dua jenis craneyaitu domestik dan internasional. Pembedanya hanya di ketinggian crane-nya saja karena biasanya kapal internasional ukurannya lebih besar daripada kapal domestik.


Oh iya, selama di lapangan, kami diwajibkan untuk memakai rompi dan topi pengaman. Kita merasa sedikit keren karena kelihatan kayak engineer gitu.

Mas Reka memandu kami untuk melihat-lihat lokasi dan menanyakan apakah mau mencoba melihat pelabuhan dari atas, alias naik ke ship to shore crane.

Woaaaahhh, saya langsung bersemangat untuk naik bersama Mas Reka, Nanda, Kang Harris dan Kak Pungky. Kami akan naik ke crane setinggi 45 meter atau setara 14 lantai gedung. Kami masuk ke lift yang super kecil sehingga membuat kami terlihat seperti sarden di dalam kaleng.


Meski saya sudah terbiasa di ketinggian karena terbang paralayang, ternyata naik crane itu bikin deg-deg ser juga. Apalagi pijakannya langsung bisa lihat ke dasar dan anginnya cukup kencang. Nggak disarankan deh yang takut ketinggian buat naik crane.


“Kalau operator crane, ada ujiannya untuk naik ke paling atas sana tuh” kata Mas Reka sambil menunjuk ke bagian teratas crane. Ya ampun tinggi sekaliiiiiii. Tapi ya memang operator crane nggak boleh takut ketinggian karena setiap harinya dia akan bekerja di sana toh.




Selesai berkeliling melihat bagian atas crane, kita bersiap untuk turun lagi dengan lift. Begitu kami sudah masuk dan pintu tertutup, eh lift-nya nggak bergerak turun. Mas Reka mengecek lagi semuanya apa ada yang salah tahap menutup lift-nya. Diulang lagi pelan-pelan tapi tetap saja nggak bergerak. Akhirnya kami memutuskan untuk membagi dua, Kak Pungky dan Nanda turun terlebih dahulu, disusul Mas Reka, aku dan Kang Harris di kloter kedua.

Eh ternyata, liftnya nggak bisa jalan. Liftnya macet…

Hahahahaha…

Mas Reka sudah menghubungi teknisi untuk memperbaiki lift-nya. Namun daripada menunggu terlalu lama di atas dan harus menahan angin kencang, kami memutuskan turun lewat tangga.

Teman-teman yang menunggu di bawah tergelak sambil terus menyemangati kami yang sedang menuruni tangga. Bukannya apa. Kalau tangganya tangga biasa di dalam gedung tertutup sih nggak apa-apa. Lebih dari 20 lantai pun tak soal. Nah kalau yang ini beda. Turunnya di tangga transparan. Sepanjang turun, kita berpegang erat pada pegangan tangga dan turun pelan-pelan.

Begitu akhirnya sampai di bawah, kami menghela nafas panjang. Fyuuuhhhhhh… Masa-masa menegangkan itu sudah lewat. Eh tapi menyenangkan juga sih. Jadi salah satu pengalaman seru yang pastinya tak terlupa.

Ternyata kita nurunin 16 lantai crane. Waw!
Selepas dari Terminal Teluk Lamong, kami sempat mengunjungi Java Integrated Industrial & Port Estate (JIIPE) yang merupakan kawasan industry yang efisien karena terintegrasi dengan fasilitas pelabuhan. Meski belum selesai keseluruhan, saya melihat bahwa kawasan ini akan berkembang dengan pesat.


Tak lupa juga kami berkunjung ke Pelabuhan Peti Kemas Surabaya. Untuk memasuki kawasan ini, kami diharuskan memakai sepatu boots khusus, rompi dan topi keselamatan. Senja menggelayut di langit, menutup hari kami. Senang sekali seharian mengulik dan mendapatkan ilmu dari Pelindo III.



Sebagai orang Indonesia, saya turut bangga atas geliat pemerintah mengembangkan pelabuhan. Hal yang seharusnya sudah kita lakukan sejak dulu. Semua usaha yang dikerjakan oleh Pelindo III ini bertujuan untuk terus meningkatkan integrasi logistik di Tanah Air agar terjadi keseimbangan antara kawasan barat dan timur Indonesia. Diharapkan Surabaya menjadi titik kebangkitan maritim Indonesia yang menjadi jembatan di tengah Nusantara.

Dan tentunya, saya ingin suatu waktu nanti Indonesia memiliki pelabuhan-pelabuhan mutakhir yang tidak kalah dengan Negara lain.

Yuk naik kapal laut ;)



 Untuk lebih kenal dengan Pelindo III, teman-teman bisa ulik di Website PELINDO III  atau di akun social medianya; Twitter @pelindo3 dan Instagram @pelindo3 

Pesona Kuliner Nusantara Lezat di HARRIS Hotel #GoodieFoodie

$
0
0

Makanan Indonesia itu memang juara kalau masalah bumbu dan rasa. Ya satu menu saja bisa diracik dengan lebih dari 10 bumbu. Gimana nggak beragam rasanya di lidah kita? Dan pastinya itu yang membuat saya bangga jadi orang Indonesia. Kulinernya!

Lalu datanglah email ke kotak masuk saya yang berisi ajakan nyicip menu terbaru dari HARRIS Hotel. Wah ya mauuuuu banget. Dulu saya pernah cerita juga tentang kelezatan makanan yang disajikan HARRIS di blogpost ini. Saya selalu suka dengan HARRIS yang mengusung Healthy Lifestyle Moment dengan menyajikan Healthy Food (tanpa MSG) da Healthy Juice Bardi setiap hotel yang mereka operasikan (ada 21 hotel di 9 kota di Indonesia. Mau reservasi? Ke websitenyalangsung ya).

Bareng Kak Rere, Kak Mumun dan Vira Indohoy, Kak Lingling, Kak Innath,Sefin dan Ochoy, kita bersiap untuk menyantap sajian menu baru nan lezat dari HARRIS. Saya sampai irit makan pas siang supaya ruang perut cukup untuk menampung. *hehehe*

Kita berangkat dari K-Link Tower, kantor pusat Tauzia Hotel Management menuju Harris Hotel dan Convention Kelapa Gading Jakarta. Dari Jakarta Selatan ke Jakarta Utara. Jauh juga yaaa. Namun karena melawan arus balik pekerja Ibu kota, kita sampai di Kelapa Gading masih dengan wajah ceria. Jalanannya lengang dan nggak perlu menggerutu macet sambil kelaparan.

Sesampainya di Harris Hotel Kelapa Gading, kita diajak ke ballroom tempat berlangsungnya #HarrisGoodieFoodie. Dari luar ballroom aja sudah tercium wangi makanan yang baru dimasak oleh chef-chef handal Harris. Duh, bikin air liur terbit nih.

Sebelum mencicipi menu-menu baru Harris, kami dikasih kartu passport ala-ala gitu. Jadi nanti kita harus datangin setiap booth makanannya, cobain menunya supaya dapat cap di passport. Seru amat! Berasa ditantangin bisa nggak nyicip semua menu Harris, ayo siapa yang paling jago makan? *hihihi*

Lucu ya Passport #GoodieFoodie nya ;)
Sebelum acara icip-icip dimulai, seperti biasa, karyawan super enerjik-nya Harris Hotel menampilkan tarian hip hip hore supaya seluruh yang ada di ruangan itu ikut ceria sehabis bermacet ria di Ibukota yaaaa.

The most fun hotel crew!
Menu pertama yang saya coba adalah Bebek Sambal Matah. Sebagai pecinta sambal matah garis keras, saya cukup kejam menilai sambal. Tapi sambal matah yang diracik Chef Harris ini nampol enaknya. Kalau kata anak sekarang mah, ‘petjaaaaahhhhh’. Iya enak banget. Disuruh cemilin sambal matahnya saya juga mau. Daging bebeknya juga gak kalah enak, empuk dan juicy. Nyam nyam nyam.

Bebek Sambal Matah. Duh!
Habis dari food stand Bali, saya pindah ke food stand Batam. Di sini Chefnya langsung sumringah menawarkan menu Ikan Gurame Sambal Kemangi.

Ikan Gurame Sambal Kemangi
“Mau nasinya seberapa banyak?” kata Chef sambil mengambilkan piring.

“Nggak usah pakai nasi, Chef. Ikannya aja yang banyak” kata saya.

Ya kan masih banyak nih menu yang mau dicobain. Kalau makan nasi nanti kekenyangan euy.
Sebagai anak yang besar di pesisir (Bengkulu & Sibolga), saya juga agak pilih-pilih kalau makan ikan. Habisnya kalau ikan nggak segar itu nggak manis. Sebel.


Eh setelah dmakan, ikan gurame sambal kemangi-nya manis banget. Apalagi pakai daun kemangi kesukaan saya. Kalau boleh nangis bahagia, nangis bahagia deh. Hmmm ya mungkin terdengar berlebihan. Tapi ini review jujur dari saya.

Stand berikutnya adalah….

JAKARTA!

Saya penasaran kira-kira menu apa yang disajikan di food-stand Jakarta ya.

Sup Timlo

Chef Troy dari Harris Hotel yang menyiapkan menu Jakarta

Ayam Panggang Sere Limo
Oh ternyata Sup Kimlo dan Ayam Panggang Sere Limo. Karena saya penyuka pedas, saya sendokkin sambal yang banyak ke sup kimlo saya. Nyaaaammm. Lezat!

Berikutnya ada menu Penyetan Campur di food stand Surabaya. Wah. Banyak banget menunya. Ada daging ayam, tahu, tempe, gepuk, dan lalapan. Ditambah sama sambal ulek makin maknyuuussss!
Tadi sudah ke Bali, Batam, Jakarta, Surabaya dan kini giliran kita ke Pontianak.

Sajian Penyetan dari Surabaya ;)
Waktu ke Pontianak beberapa bulan lalu,  saya seih nggak sempat ngulik banyak kuliner di Pontianak. Jadilah menu Udang Windu Lada Hitam dari Harris ini jadi pelipur lara. Udangnya besar-besar (ya namanya juga udang windu), dimasak dengan saus rempah lada hitam yang pedasnya enak. Bukan pedas menggigit dan menusuk gitu. Perpaduan yang enak di lidah ketika menyantap daging udang yang empuk dan manis dicampur dengan saus rempahnya. Mau lagi tapi kasihan nanti yang lain nggak kebagian.

Udang Windu Lada Hitam
Selain mengelilingi food stand nusantara yang merupakan menu-menu baru Harris Hotel, saya juga mencicipi menu yang ada di food-stand Signature Food nya Harris. Ada beragam menu lezat seperti sate, sop buntut dll. Tapi yang jadi highlight malam itu adalah Green Veggie Burger yang enak banget!


Green Veggie Burger yang lezat...
Sudah puas makan icip sana-sini, saya melipir ke booth minuman dan memesan Lime Mojito yang segar. Glek…

Selain Lime Mojito, ada juga Red Dragon, Berry Colada, Ginger Lemonade, Red Lips dan Tropical Punch. Semua minuman yang ada di Juice Bar ini tidak pakai gula lho teman-teman. Pas banget buat saya yang sekarang sedang mengurangi konsumsi gula.


Semua makanan dan minuman yang disajikan malam itu sudah saya coba. Begaaaaah banget. Jalan kok rasanya susah saking perutnya kepenuhan. Sambil menunggu makanan turun, MC-nya ngajakin kita main tebak-tebak bumbu. Seru! Nggak cuma bumbu sih tapi ada yang kebagian nyicip pete! Gotcha! Hahahaha.

Muka Ochoy begitu kira-kira lagi nyicip apa....


Kak Vira dan Kak Mumun asyik banget makannya...
Malam itu kami pulang dengan perut kekenyangan dan tentunya penuh kenangan. Pastinya saya merekomendasikan Harris Hotel untuk teman-teman yang mau menginap dengan harga ekonomis tapi dapat bonus makanan lezat dan sehat. ;)

Rombongan blogger hore...

Terima kasih Tim Tauzia Hotel! 

Gapura Surya Nusantara, Terminal Penumpang Megah Nan Mewah

$
0
0
Surabaya North Quay (Photo by : Hafidz Novalsyah)
Masih jelas terekam di ingatan saya ketika menunggu kapal PELNI dari Ambon ke Banda Neira di pelabuhan Ambon. Dengan menggendong ransel besar di punggung dan ransel kecil di bagian depan, peluh tak berhenti mengalir di dahi karena berdesak-desakan dengan penumpang kapal lain yang tumpah ruah.

Jangankan untuk berselonjor, tempat untuk duduk pun tak ada. Saya edarkan pandangan di sekeliling terminal penumpang pelabuhan Ambon. Semua orang juga tampak kelelahan. Banyak penumpang yang membawa anak kecil, kewalahan meladeni anaknya yang menjerit-jerit  karena sesak dan akhirnya diajak jalan atau beli jajan.

Baju saya basah karena keringat yang terus mengucur karena padat dan sesaknya manusia. Tapi itu belum seberapa. Masuk ke kapal juga jadi ujian berat dan membuat saya hampir menangis.

Sakit lhosoalnya mau naik didesak, didorong-dorong atau diinjak kakinya. Dan itu yang saya rasakan ketika menaiki KM Tidar. Bersama ribuan orang lainnya, saya naik tangga dengan kondisi seperti itu, tidak ada yang mau antri rapi dan akhirnya kepala saya beberapa kali terbentur barang-barang besar yang diangkat para porter / penumpang di atas kepala mereka.

Saya berpikir kejadian tadi akan jadi pengalaman yang menyenangkan untuk dikenang, namun sampai kapan kondisi pelabuhan di Indonesia seperti ini?  Saya senang naik kapal laut dan ingin juga mengajak teman-teman saya naik kapal. Tapi kondisi seperti itu kalau saya ceritakan pasti bikin beberapa teman ogah. Mending naik pesawat aja, pasti pikir mereka.

Waktu itu saya berangan-angan bahwa Indonesia akan memiliki pelabuhan dengan fasilitas yang baik, mengutamakan kenyamanan dan keselamatan penumpang. Biar kapal laut ke depannya tidak dipandang lagi menjadi transportasi kelas menengah ke bawah.

Daaaaann angan-angan saya menjadi kenyataan.

Saya melihat langsung terminal penumpang di pelabuhan Tanjung Perak, yang diberi nama Gapura Surya Nusantara, sesuai dengan apa yang dulu muncul di benak saya.

Bangunan terminal penumpang Gapura Surya Nusantara (GSN) ini modern dengan interior yang ciamik. Begitu masuk ke dalam gedung, udara sejuk dari pendingin ruangan membuat saya nyaman setelah menghadapi teriknya matahari Surabaya.

Interior Gapura Surya Nusantara ini ciamik ya. (Photo by :Wira Nurmansyah )
Terminal penumpang ini tak ada ubahnya seperti bandara-bandara modern. Ah, Terminal 1 Soekarno Hatta saja masih kalah sama GSN.

Bagian depan pintu masuk terminal GSN
Seluruh penumpang yang akan naik kapal harus melewati mesin X-ray dulu seperti di bandara lalu menuju counter check-in kapal sesuai dengan tujuan masing-masing. Wah, canggih bener.

Lewatin X-Ray dulu ya... Lihat langit-langitnya. Ciamik ya!

Check in counter nya aktif jika ada kapal yang akan diberangkatkan.
Selepas check-in, penumpang bisa bersantai jika masih ada jeda waktu hingga keberangkatan kapal. Dengan eskalator, penumpang bisa pergi ke lantai 3 terminal dimana terdapat food court yang menjajakan ragam makanan yang lezat dan pastinya bersih. Sebut saja beberapa kuliner khas dari Surabaya seperti Lontong Balap Pak Gendut, Bebek Harisa, Rujak Cingur Bu Nur, hingga sajian seperti soto, bakso, dim sum, dan jamu bisa ditemukan di sini. Ada photo booth juga buat yang seneng narsis seru-seruan.

Food Court di GSN

Beragam kuliner khas Surabaya bisa didapatkan di sini ;)

Look at that happy face! Mau naik kapal kemana nih Om? ;)
Masuk ke dalam kapal juga tidak perlu berdesak-desakan karena penumpang akan masuk ke kapal memakai garbarata, seperti layaknya masuk ke pesawat. Dan tentunya malu dong ya kalau masuk pakai garbarata tapi nggak mau ngantri atau dorong-dorongin orang. Semoga dengan adanya garbarata ini, penumpang bisa jadi lebih tertib.

Ruang tunggu di lantai 1

Ruang tunggu di lantai 2
Tapi yang jadi favorit saya adalah roof-top area di Gapura Surya Nusantara. Wow! Pelabuhan mana coba di Indonesia yang punya roof-top seperti GSN? Dan benar saja tempat yang dikenal dengan nama ‘Surabaya NorthQuay’ ini jadi tempat favorit seluruh pengunjung terminal.


Santai sambil menikmati kerlap-kerlip kapal di kejauhan...

Om Boim dan Kak Firsta lagi asyik selonjoran di bean bag.
Lantai rooftop-nya dilapisi dengan rumput hijau sintesis jadi enak dan nyaman untuk anak kecil berlari kesana-kemari. Ya pastinya tetap dalam pengawasan orang tua-nya ya. Lalu ada kursi santai dan meja berpayung untuk santai-santai minum teh atau kopi dengan pemandangan laut. Ada juga bean bag warna-warni untuk yang mau santai selonjoran.

Saking asyiknya, tempat ini jadi tempat favorit nongkrong yang baru bagi arek-arek Suroboyo. Nggak harus jadi penumpang kapal juga bisa masuk kok. Sekedar untuk santai sama keluarga atau teman-teman. Tiap malam minggu juga ada pertunjukan live musiclho.

Kami juga nggak mau ketinggalan dong. Kita asyik bersantai-santai dan sudah sah menjadi anak gaul ‘NorthQuay’, *hehehe*



Gapura Surya Nusantara ini dibangun oleh PELINDO IIIdi atas lahan seluas 1,6 hektare dan mampu menampung hingga 4000 penumpang. Tidak hanya kapal PELNI saja yang sandar tetapi beberapa kapal pesiar dari berbagai Negara juga sering bersandar. Salah satu contohnya adalah Cruise MS Rotterdam yang memiliki panjang kapal 230 meter, bersandar di Pelabuhan Tanjung Perak, turun di terminal GSN pada Februari silam.


Beberapa waktu yang lalu, saya dan beberapa teman blogger diajak untuk melihat-lihat kawasan kerja Pelindo dan salah satunya adalah Terminal Penumpang Gapura Surya Nusantara ini. Cerita lainnya juga bisa dibaca di sini.

Gapura Surya Nusantara yang lebih dikenal dengan nama Surabaya North Quay ini sudah sepatutnya diterapkan di seluruh pelabuhan Indonesia. Ya mungkin sekarang terdengarnya muluk-muluk tapi bisa saja terealisasikan beberapa puluh tahun lagi. Pembangunan GSN menegaskan bahwa Indonesia siap menghadapi tantangan-tantangan di dunia maritim untuk pengembangan dan peningkatan kualitas pelayanan.


Kadang ada performance dari pemusik grup keroncong lho ;)
Saya pribadi mengharapkan bahwa nantinya seluruh penumpang bersama-sama menjaga kebersihan dan keindahan Terminal GSN yang masih seumur jagung ini. Jangan sampai dirusak dan kotor oleh tangan-tangan jahil. Dijaga bersama ya ;)



Kedai Locale, Kreasi Unik Kuliner Tradisional

$
0
0

Rasanya sedikit aneh ketika saya menghabiskan akhir pekan di Jakarta, padahal biasanya saya selalu bepergian ke luar kota, minimal ke Bandung, untuk melepas penat setelah lima hari bekerja.

Namun, ajakan untuk berkumpul dengan teman-teman berat untuk ditolak dan akhirnya membuat saya tidak pergi ke luar kota. Kami janjian berkumpul di satu kedai yang ada di kawasan Kelapa Gading. Meski jauh sekali dari Depok (naik kereta dari Depok ke Manggarai lalu naik gojek dan uber ke Kelapa Gading), saya tetap senang bisa berkumpul dengan teman-teman yang seru dan selalu bikin rindu. Hidup harus seimbang antara jalan-jalan dan kongkow bersama teman-teman, kan?

Tepat sekitar jam satu siang, saya dan Kak Linda tiba di Kedai Locale yang ada di ujung jalan Boulevard Kelapa Gading. Pilihan saya untuk memakai tank top hari itu tepat sekali karena panas teriknya Jakarta Utara luar biasa. Syukurlah begitu memasuki Kedai Locale, angin sejuk dari pendingin ruangan menyapa kulit. Nyess….Adem...






Suasana di dalam Kedai Locale temaram dengan interior yang minimalis. Saya menyukai mural yang ada di dinding bersanding dengan susunan bata merah yan apik. Meski Kedai Locale ini tidak terlalu luas, namun tetap terlihat nyaman dengan susunan rapi meja dan kursi.

Ternyata teman-teman yang lain sudah berkumpul di lantai 2 dan sedang menikmati makanan pembuka dari Kedai Locale. Ada Tape Goreng / Tape Roll dengan cocolan saus vanilla, Keripik Ubi yang dipotong cukup tebal dan digoreng plain, Bakwan Jagung dengan saus salsa, Chicken Wings Nusa Dua (bumbu Bali) yang disajikan dengan tusuk lidi seperti sate, Keripik Ubi pedas (meski kurang pedas buat saya), dan Tape Bakar yang diberi topping keju parut dan meses. Siapa sangka tape bisa dikreasikan jadi sekeren ini. Ini namanya kreasi unik kuliner tradisional.

Baru nyoba cemilan saja, saya hampir kekenyangan. Lupa kalau harus menyisakan banyak ruang di perut untuk menyantap makanan utama dan juga hidangan penutup.


Tape Roll dan Saus Vanilla

Tape Bakar dengan keju dan meses. Nyammm....


Hidangan pembuka favorit saya adalah Tape Roll yang dicocol ke saus vanilla yang rasa manisnya pas. Selain itu saya juga suka Chicken Wing Nusa Dua yang dilumuri bumbu kencur. Meski tampilannya berwarna merah karena berlumur cabai, rasanya tidak terlalu pedas dan wangi rempahnya menambah selera.

Sambil menunggu hidangan utama disajikan, saya memesan Es Cendol Latte yang segarrrrr banget untuk menghilangkan dahaga. Cocok sekali untuk udara Kelapa Gading yang panas. Saya terkejut dengan rasanya Cendol Latte yang enak sekali. Ternyata terbuat dari racikan teh, susu, santan, dan cendol. Jadi kayak minum teh Tarik yang diberi cendol hijau. Beberapa teman lain memesan Ice Lychee Tea, Es Beras Kencur, Kunyit Asam Soda, Milky Ginger Tea dan kopi.


Cendol Latte!

Ice Lychee Tea

Kedai Locale ini salah satu kedai yang menyajikan kopi lokal yang enak lho. Jika memilih duduk di lantai 2, kita bisa melihat sendiri proses pembuatan kopi oleh barista di dapur terbukanya. Ada beragam kopi nusantara yang bisa kita nikmati seperti Kopi Kintamani, Aceh Gayo, Malabar dan Toraja. Katanya, Aceh Gayo adalah kopi favorit di Kedai Locale dan saya pun memilih itu.


Open bar dimana kita bisa lihat pembuatan kopi langsung...



Kopi Gayo...

Saya memesan Sop Iga untuk santapan makan siang di Kedai Locale. Pesanan saya datang dan dihidangkan memakai sterno stoveuntuk menjaga sup agar tetap hangat dan lezat untuk disantap. Tak lupa saya mengucurkan perasan jeruk nipis dan sambal ke dalam sop saya untuk menambah cita rasa.
Dari suapan pertama saya sudah suka. Jujur, suka banget. Daging iga nya benar-benar lembut, empuk dikunyah. Kuahnya pun segar dengan irisan tomat dan daun sup. Kekurangan menu ini cuma satu. Kurang banyak. Hehehehe…


Sop Iga nya yang endes...

Sop Buntutnya nggak kalah lezat!
Sambalnya juga terasa kurang pedas buat saya. Ketika saya ngobrol dengan waitress Kedai Locale, dia bilang kalau mau minta tambahan sambal bilang saja langsung ketika memesan. Kalau mau dibikin pedas banget ya bisa asal siap-siap kebakaran saja.

Saya juga sempat mencicipi beberapa menu yang dipesan teman-teman yang lain seperti pecel, sop buntut, nasi gedeg (iya namanya nasi gedeg), soto betawi. Sesuai dengan namanya, Kedai Locale ini memang menjadikan hidangan tradisional nusantara sebagai signature mereka. Jadi kalau mau cari pizza, fettuccini, pasta, steak ya jangan ke sini. Hihihihihi…


Nasi Gedeg...


Pecel!
Selain menu yang saya coba tadi, masih ada beberapa menu lainnya yang tak kalah lezat seperti Nasi Goreng Oncom, Tahu Bakar Petis, Nasi Campur, Nasi Bogana, Exotic Kemangi Chicken dll.

Banyak yang bilang kalau makanan tradisional Indonesia kalau masuk restoran jadi mahal. Di Kedai Locale, harganya masih sangat bersahabat di kantong. Untuk menu-menu yang ada di Kedai Locale berkisar Rp 10.000 – 80.000 per porsinya. Tuh, masih oke kan harganya? Apalagi sekarang lagi ada promo diskon 30% untuk semua menu makanan dan minuman di Kedai Locale. Kurang sedap apa coba?

Kedai Locale ini ada di dua lokasi, satu di Rawamangun dan satu di Kelapa Gading. Saya dan teman-teman mengunjungi kedai di Kelapa Gading, yang paling baru.

Kedai LocaleAlamat: Jalan Boulevard Raya RA1 no. 11, Kelapa Gading.Telepon: 021 - 4504505


Terima kasih ya Kak Rere, Kak Vira, Mas Diyan, Kak Linda, Kak Eka, Koko Timo. Jadi, kapan kita makan dan ngopi-ngopi di Kedai Locale lagi?


Terios 7 Wonders - Tour De Flores 2016, Jelajah Nusa Nipa

$
0
0

Larantuka selalu membuat saya jatuh cinta. Kota kecil nan apik yang menyuguhkan matahari terbit dan matahari terbenam di pantai. Kunjungan ke kota ini selalu berkesan untuk saya. Magis sekaligus menenangkan.

Masih dengan rambut basah sehabis keramas, saya berlari menenteng kamera ke depan penginapan (kami menginap di susteran), untuk menikmati matahari terbit. Langit jingga merona berubah menjadi keemasan yang tetap mempesona. Belaian mentari nan hangat di wajah selalu menambah semangat untuk memulai hari. Sempat terbengong sebentar, saya tak lupa mengabadikan momen itu lewat mata lensa.

Matahari terbit di Larantuka
Nama Flores berasal dari "Cabo De Flores" yang berarti tanjung bunga, adalah nama yang diberikan S.M Cabot, seorang keturunan Portugis dan diresmikan oleh Jenderal Hindia Belanda pada tahun 1636, Hendrik Brouwer. Sebelum Flores, pulau cantik di bagian timur Indonesia ini dikenal dengan nama Nusa Nipa. 


Hari pertama Terios 7 Wonders - Tour De Flores 2016. Berangkat dari Kota Reinha Rosari, Larantuka
Kota Larantuka
Ini kali kelima saya menyambangi Flores. Jikalau biasanya saya mengunjungi Flores untuk mengulik keindahan alamnya atau kekayaan budayanya, kali ini saya beruntung bisa ikut langsung menyaksikan perhelatan Tour de Flores 2016. Bagi yang belum familiar apa itu Tour de Flores, mungkin penjelasan paling sederhananya adalah lomba balap sepeda jarak jauh. Pernah dengar Tour de Singkarak dan Tour de Ijen? Nah, sama persis!

Peserta Tour De Flores bersiap. Photo by : Rynol (@r_nol)
Saya berangkat bersama dengan 2 blogger senior, Bang Farchan, Mas Iqbal Kautsar dan Ashari Yudha, Travel Instagramer yang hits itu. Selain mereka, saya juga berangkat dengan 8 lelaki lainnya dari Daihatsu. Bersama merekalah perjalanan Tour De Flores ini saya nikmati. Kami tergabung dalam ekspedisi Terios 7 Wonders yang sudah dihelat lima kali, dan TDF ini adalah perhelatan keenam. Selain menyaksikan TDF, tim kami juga akan mengulik 7 keajaiban / keunikan objek wisata di Flores. Pembalapnya melintas pakai sepeda, kami melintas pakai mobil. Hahahahaha.

“Jadi di trip ini lelaki semua ya?”, celetuk Bang Haga yang saya tanggapi dengan terkekeh. Iya juga ya, saya menjadi satu-satunya perempuan di trip selama 8 hari ini. Ah, tak apa. Saya tahu perjalanan ini pasti menyenangkan.

Setelah seharian mengulik Larantuka dan ikut perhelatan pesta rakyat (nanti akan saya ceritakan di blogpost lain), keesokannya kami bersiap untuk mengikuti seremoni pelepasan para atlit balap sepeda yang mengikuti Tour De Flores. Ada sekitar 120-an peserta dari 20 tim dan 28 Negara yang akan berjuang menaklukkan jalur Larantuka – Labuan Bajo dengan total jarak tempuh 661,5 kilometer.



Tenang saja, jarak itu tidak ditempuh dengan sekali kayuh. Bisa koit tuh semua pembalap sepedanya. Tour De Flores ini dibagi menjadi lima etape. Etape pertama, Larantuka – Maumere. Etape kedua Maumere – Ende. Etape ketiga Ende – Bajawa. Etape keempat Bajawa – Ruteng. Etape kelima Ruteng – Labuan Bajo.



Photo by : Rynol (@r_nol)
Saat menulis ini, rombongan kami sudah tiba di Ruteng, namun tim balap sepeda baru akan memulai etape keempat, Bajawa – Ruteng yang digadang sebagai jalur terberat dengan rute tanjakan dan turunan berkelok yang tidak habis-habis. Saya saja yang duduk di kursi tengah mobil sampai harus memasang seatbelt agar tidak terlempar ke kiri dan kanan karena tajamnya tikungan. Bahkan 13 pembalap sudah mengundurkan diri dan tidak sanggup lanjut balap lagi.


Mas Wawan, pelatih tim nasional Indonesia sendiri mengakui bahwa dibandingkan Tour De Singkarak dan Tour De Ijen, jalur Tour De Flores ini memang berat dan menantang. Saya ternganga ketika tahu harga satu sepeda yang dipakai untuk ajang balap sekitar 75an juta. Rangka body-nya sekitar 45 juta, velg sepedanya 30 juta dan harga satuan ban-nya 1 juta. Fantastis!

Antusiasme masyarakat Flores yang berbaris di jalan (bahkan sebagian mengenakan pakaian adat) dan melambaikan tangan, membuat para pembalap ini terdongkrak semangatnya. Rombongan kami pun ikut melambaikan tangan dari dalam kendaraan. Berasa selebritis jadinya. Hahahaha.

Tidak lupa juga masyarakat mengajak para pembalap untuk mengenal kebudayaan di Flores dengan mementaskan tarian-tarian adat di setiap pemberhentian etape.

Tari "Gawi Sadha" di Ende yang mengantarkan para pembalap Tour De Flores 2016

Antusiasme masyarakat Flores



Nona-nona cantik di Larantuka. Duh saya mau semua kainnya :D
Saya berharap (pastinya kalian juga) bahwa penyelenggaraan Tour De Flores ini berdampak terhadap pengembangan pariwisata dan meningkatkan angka kunjungan wisatawan mancanegara ke pulau bunga ini. Potensi yang dimiliki Flores memang luar biasa, mulai dari keindahan alamnya, kekayaan budayanya dan keramahtamahan penduduknya.




Menyapa Lagi Larantuka, Kota Reinha Rosari

$
0
0

“Prepepepepepepepep”

Bunyi riuh kapal menghampiri garis pantai Larantuka, tempat saya sedang menikmati pagi. Seorang Bapak turun dengan membawa beberapa renteng ikan segar hasil tangkapan dari melaut semalaman. Ikan sunu berwarna merah segar dihargai Rp 35.000 satu ikat dan ikan kakap hitam dihargai Rp 200.000 per ekor. Beberapa orang bapak sudah menunggu untuk membeli ikan, lengkap dengan helm yang masih terpasang di kepalanya.


Pak Tinus dan saya yang bahagia dapat ikan segar...
Baru saja bulan Maret lalu saya menyambangi Larantuka, kota yang ramai dengan peziarah dari seluruh dunia saat “Semana Santa”. Saat itu terucap doa agar bisa kembali ke kota ini segera. Siapa sangka hanya dalam waktu dua bulan, saya kembali lagi ke sana berkat undangan Daihatsu Indonesia dalam rangka #Terios7Wonders dan Tour de Flores 2016. Bahagia? Tak terkira.


Selama berada di Larantuka, kami berkunjung ke tiga kapel utama, Kapel Tuan Ma, Tuan Ana dan Tuan Meninu. Tuan Ma adalah sebutan untuk Bunda Maria, Ibu Tuhan Yesus, Tuan Ana adalah Tuhan Yesus dan Tuan Meninu adalah kanak-kanak Yesus. Kapel tertua adalah Kapel Tuan Ma, yang diinisiasi oleh Raja Larantuka pertama, Ola Adobala Diaz Viera De Godinho. Di dalamnya, tersimpan patung perempuan berkulit putih berjubah biru dengan muka sendu, yang dikenal dengan patung Tuan Ma, Mater Dolorosa, Bunda Maria berduka cita.


Goa Maria di Kapel Tuan Meninu (Photo by :Rynol Sarmond )

Di dalam Kapel Tuan Meninu (Photo by : Rynol Sarmond )
Ada dua versi cerita tentang kemunculan patung Tuan Ma ini. Versi pertama, dahulunya ada seorang pemuda bertemu dengan wanita yang berparas sangat cantik, berkulit putih bersih dan bercahaya, menyapa dengan Bahasa yang tidak dimengertinya. Pemuda itu kebingungan lalu pergi melapor kepada Raja Larantuka dan saat ia ingin menunjukkannya kepada Raja, perempuan itu telah berubah wujud menjadi patung. Patung wanita cantik itu kemudian disimpan di balai raja dan akhirnya diketahuilah bahwa itu adalah patung Bunda Maria, sejak misionaris Portugis datang menyebarkan agama Katolik di Larantuka.

Kapel Tuan Ma

Versi kedua adalah, ada seorang pemuda yang menemukan satu patung wanita berjubah biru dengan muka sendu, terdampar di bibir pantai. Diyakini bahwa patung ini berasal dari kapal misionaris Portugis yang karam di perairan sekitar Flores. Nah, kalian percaya cerita yang mana? Versi pertama atau versi kedua?

Karena kami datang di bulan Mei, bertepatan dengan bulan Rosario, semua kapel dibuka untuk umum untuk berdoa. Saya teringat dengan masa-masa saya berziarah sendiri ke kota ini meski (sayang sekali) tidak bisa mengikuti prosesi Semana Santa yang sudah dilaksanakan sejak 500 tahun yang lalu. Dan lalu saya berjanji akan kembali lagi di perayaan Paskah tahun depan. Saya sedikit terkekeh ketika Pak Wempi, penjaga kapel Tuan Ma, terkejut melihat saya datang lagi.


Pak Wempi, penjaga Kapel Tuan Ma.
“Katanya Satya mau datangnya tahun depan, eh baru dua bulan kok sudah di sini lagi?” ujarnya dan lalu saya balas dengan terkekeh lagi.


Kapel Tuan Ana


Kapel Tuan Meninu
Selain berkeliling ke tiga kapel utama di Larantuka, rombongan kami juga menyambangi pekuburan. Senang sekali di trip ini saya bertemu dengan Mas Iqbal Kautsar yang juga pencinta kuburan. Sampai-sampai kami membuat project #TravellingKuburan di Instagram (check it out!).

Kompleks Pekuburan di Larantuka



Hari sudah sore ketika kami tiba di Gereja Katedral Reinha Rosari Larantuka. Gereja ini dulunya dikenal dengan nama Gereja Besi. Ibu Germana, salah satu penduduk lokal Larantuka bercerita tentang Gereja Besi ini kepada saya.


Gereja Besi seperti Istana Boneka di Disneyland ya.

Gereja Katedral Larantuka aka Gereja Besi

“Waktu itu kami masih animisme, menyembah batu, pohon. Setelah dibaptis Katolik, Raja Adobala, membangun gereja ini namun masih memakai kayu dan bambu. Barulah pada tahun 1884 Gereja Katedral ini dibangun dengan besi-besi yang dibawa dari Den Haag, Belanda”, ujar Ibu Germana.

Dulunya tidak ada dermaga di Larantuka, jadi seluruh nelayan membantu menjemput besi-besi itu ke tengah laut tempat kapal besar dari Belanda itu labuh jangkar. Bersama-sama masyarakat Larantuka membangun gereja ini. Jadi, Gereja Katedral Larantuka ini bukan peninggalan Portugis atau Belanda. Hanya bentuknya saja yang mirip. Hingga saat ini, Gereja Besi ini sudah berusia 129 tahun.

Kesempatan menyapa Larantuka kembali tentu saja tidak saya sia-siakan. Ada rasa haru ketika bisa memasuki lagi kapel-kapel magis itu. Mengucap syukur atas berkat Tuhan yang begitu baik menjawab doa saya begitu cepat.

Perjalanan #Terios7Wonders kami akan dilanjutkan. Setelah Larantuka, kami akan bergerak menuju bagian Barat Flores. Destinasi selanjutnya adalah Maumere!!! Yeay!


Tim #Terios7Wonders @iqbal_kautsar @efenerr @catatanbackpacker

Menikmati Berendam Air Panas dan Senja Sendu di Pantai Kawaliwu

$
0
0

Hah? Berendam Air Panas di Pantai? Memangnya  bisa gitu?

Bisa dong kalau datang ke Pantai Kawaliwu, pantai paling favorit untuk menikmati senja dan air panas di bibir pantainya. Kali pertama datang ke pantai ini, saya kurang beruntung karena cuaca mendung. Kali kedua, saya datang dengan rombongan #Terios7Wonders dan merasa sangat sangat sangat beruntung karena semesta mendukung.


Lokasi Pantai ini sekitar 17 kilometer arah utara Kota Larantuka. Bisa ditempuh dengan kendaraan roda dua atau roda empat sekitar 30 menit. Kami meluncur ke Pantai Kawaliwu dengan mobil Daihatsu Terios. Sayangnya jalanan menuju ke Pantai Kawaliwu tidak semuanya beraspal mulus, apalagi ketika sudah mendekati ke arah pantai. Tapi karena Daihatsu Terios ini suspensi-nya oke banget, jalanan grajak grujuk juga berasa enak aja, kayak lagi digoyang-goyang kecil aja padahal lubang jalan yang dilewatin  cukup dalam. Nyaman!

Dan ternyata kami…

Kepagian…

Hahahaha. Jam di tangan masih menunjukkan pukul 3.32. Masih ada waktu sekitar dua jam untuk bersantai menunggu surya pulang ke peraduannya. Langit masih sangat cerah dengan suhu udara yang bikin gerah.

Kami menghampiri Bapak Leo yang sedang bersama anaknya duduk di dekat bebatuan besar di pantai. Melihat mereka berdua membuatku sendu seketika. Saya kangen almarhum Bapak yang juga dulu semasa saya kecil membawa saya ke pantai untuk melihat senja. Dari Bapak Leo lah kami tahu bahwa kubangan air yang ada di tepi pantai adalah sumber mata air panas.


Saya hampiri lubang itu dan benar ada gelembung-gelembung air keluar dari permukaan tanah. Air panasnya mengalir hingga ke laut. Matahari bersinar dengan teriknya ketika saya melepaskan sepatu sandal dan mencelupkan kaki ke dalamnya.

Alamak! Panas kali!


Suhu air panasnya mungkin di sekitar 40 – 45 derajat celcius. Namun karena sengatan matahari ke kepala, suhunya semacam bertambah 5 derajat. Tapi saya tetap penasaran dan kembali pelan-pelan mencelupkan kaki di air panas. Lama-lama enak juga ya. Jadi ketagihan deh. Setiap sore, pasti akan kita jumpai masyarakat sekitar, dari yang muda sampai yang tua, ikut berendam kaki di Kawaliwu ini.



Air panas ini bersumber dari Gunung Ile Padung di Kecamatan Lewolema. Pantai Kawaliwu ini menghampar di Teluk Hading, di antara Desa Kawaliwu dan Kecamatan Lewolema. Pantai ini benar-benar masih sepi dan tidak ada pondokan pedagang. Meski ada banyak pohon kelapa, tidak ada yang berinsiatif berjualan kelapa muda. Padahal kalau ada yang jualan, pasti laku keras ya.

“Biasanya kita di sini pulang dari ladang berendam dulu di sini sebelum pulang ke rumah”, ujar Pak Leo.

Nggak Cuma berendam kaki, banyak juga orang-orang tua yang datang untuk menimba air panas dengan memakai tempurung kelapa dan disiramkan ke sekujur tubuh. Kalau malam hari enak juga ya nyiram-nyiram badan pakai air panas.


Seperti yang sudah saya katakan di awal, selain berendam air panas di Pantai Kawaliwu, pantai ini juga menawarkan senja yang luar biasa indahnya. Dan senja yang dinanti itu tiba.


It was one of the best sunset I’ve ever seen…Took my breath away…

Saya menatap senja rebah di cakrawala dan menikmatinya dengan duduk di atas batu. Deburan ombak mencumbu bebatuan menimbulkan bunyi gemeretak nan merdu.


Senja di Kawaliwu ini akan selalu kurindu…

Gereja Tua Sikka dan Tenun Alami Lintas Generasi

$
0
0

Waktu berkendara yang dibutuhka dari Larantuka ke Maumere biasanya hanya memakan waktu 3 jam. Namun, kali ini berbeda. Saya bersama rombongan Daihatsu #terios7Wonders mengiringi peserta balap sepeda Tour De Flores 2016 di belakang dan alhasil waktu tempuhnya menjadi 5 jam. Nggak terbayang itu capeknya para peserta yang harus melewati jalur menanjak dari Larantuka.

Meski memakan waktu lama, saya benar menikmati perjalanan nyaman di dalam Daihatsu Terios. Kami membuka kaca lebar-lebar dan membiarkan angin semilir nan sejuk masuk. Sempat kami berhenti di tengah hutan dan melewati pohon-pohon besar dengan sarang lebah yang begitu banyak. Masyarakat sekitar sering menyebutnya sebagai hutan madu. Sayangnya, tidak ada yang lagi panen madu saat itu.

Berhenti sejenak dalam perjalanan dari Larantuka - Maumere

Pohon-pohon dengan sarang lebah yang besar-besar

Banyak bekas sarang lebah di bawah pepohonannya
Kami tiba di Maumere sudah lewat jam makan siang. Meluncurlah rombongan ke Rumah Makan Jakarta (jauh-jauh ke Maumere kok makannya di Jakarta #eh) untuk mengisi perut yang keroncongan. Santapan terbaik tentu saja ikan segar dengan kuah asam. Sayang tak ada kelapa muda, padahal sudah terbayang-bayang sejak berangkat dari Larantuka.

Selepas perut kenyang, kami meluncur ke daerah Sikka untuk melihat Gereja Tua Sikka yang tersohor itu. Hatur puji syukur saya bisa datang lagi ke Sikka. Jika Gereja Reinha Rosari di Larantuka yang dikenal dengan Gereja Besi, Gereja di Sikka ini dikenal dengan nama Gereja Kayu.

Mobil kami terguncang-guncang karena kondisi jalanan yang berlubang. Namun suspensi Daihatsu Terios ini memang mantap. Saya tetap merasa nyaman sepanjang perjalanan, apalagi disuguhi pemandangan pantai selatan Laut Sawu yang menenangkan.

Laut Sawu...
Setibanya di Gereja Tua Sikka, kami bertemu dengan Mama-mama berpakaian tenun yang menawarkan beragam kain tenun nan cantik. Tidak hanya kain tenun, mereka juga membuat beberapa Rosario dari kerang. Tentu itu strategi yang baik karena yang datang ke Gereja Sikka kebanyakan peziarah.



Ibu Amelia Tjandra, Direktur Pemasaran PT Astra Daihatsu Motor yang sangat suka diving. She's also a solo traveler! Wuwuwuwuwu. I adore her so much! 
Pak Gregorius Gorris Tamela, salah satu tetua adat di Sikka menemani rombongan kami untuk melihat bagian dalam gereja kayu Sikka yang bernama asli Gereja Santo Ignatius Loyola. Meski ini kali kunungan kedua, Gereja ini selalu berhasil memesona saya.

Bapak Gregorius Gorris Tamela. Sampaikan salamku pada beliau jika kalian berkunjung ke Gereja Sikka ya :)
Pak Gregorius mampu menguraikan sejarah gereja ini karena ia hafal sejarah Moang Lesu Liardira Wa Ngang, raja Sikka pada abad ke-14 yang menjadi awal-mula Gereja Tua Sikka dan tradisi tua mereka. Kronik yang berawal dari cerita Lesu muda, yang berjuluk Ina Gete Amagahar (pintar, berwibawa, dan didengar), bertualang ke Selat Malaka.

Di Selat Malaka, ia bertemu para misionaris Katolik asal Portugis, yang lantas membaptis Lesu muda dengan nama permandian Don Aleksius dan terkenal sebagai Don Alexu Ximenes da Silva. Penguasa di Malaka, Jogo Worilla, menghadiahi Da Silva sebuah Senhor atau salib dari Portugis, berikut patung Meniho (kanak-kanak Yesus). Ditemani seorang Portugis bernama Agustinho Rosario da Gama, Da Silva pulang ke Sikka, membangun kapel kecil bagi Senhor dan Meniho yang dibawanya.
Sejak itu, Sikka rutin dikunjungi misionaris Portugis. Pada 1617, gereja Katolik menempatkan pastor pertamanya di Sikka, Pastor Manoel de Sa OP, membangun tradisi Gereja Tua Sikka yang masih kita saksikan hingga kini. Dari Sikka pula para misionaris menjelajah hingga ke Maumere, hingga Stasi Maumere didirikan pada 1873.


Seiring perkembangan kota Maumere, pada 14 Desember 2005 berdirilah Keuskupan Maumere, membawahi Paroki Sikka, cikal-bakalnya. Gereja Tua Sikka juga diikuti pendirian berbagai sekolah, termasuk Seminari Menengah pada 1926, yang kini telah ditutup. Sekolah-sekolah itu menyebarkan lulusannya ke berbagai wilayah di Flores, baik sebagai imam maupun awam.

Gereja Tua Sikka yang kini berdiri memang bukan bangunan kapel yang dahulu didirikan Da Silva. Gereja Tua Sikka hari ini adalah bangunan yang selesai didirikan pada 1899, didasarkan rancangan Pastor Antonius Dijkmans SJ, arsitek perancang Katedral Jakarta. Gereja itu dibangun mulai 1893 dan diresmikan Pastor J Engbers SJ pada 24 Desember 1899. (Saya tidak mendengarkan langsung cerita ini dari Pak Gregorius, melainkan membacanya dari sumber tulisan ini 

Gereja ini baru saja direnovasi ulang tahun 2014 silam. Seluruh kayunya diplitur dan mengkilap seperti baru. Tidak lagi kusam seperti yang bisa kita lihat di pencarian google jika mengetikkan keyword ‘Gereja Tua Sikka’.

Interior dalam Gereja Sikka. Kayu-kayunya sudah diplitur dan terlihat baru. Cantik ya <3 Foto ini diambil saat kunjungan pertama ke Gereja Sikka dulu.
Di samping Gereja, terdapat bangunan kapel kecil yang menyimpan ‘Senhor’ dan ‘Meniho’ yang tertutup rapat. Kedua barang hasil buah tangan Da Silva dari Malaka itu hanya dikeluarkan saat Misa Jumat Agung, Perarakan Suci Logu Senhor. Hmmmmm, agak sedikit mirip dengan patung Tuan Ma di Larantuka yang memang dikeluarkan saat prosesi suci ‘Semana Santa’ ya.

Selain itu, saya juga mendapati dua buah Meriam di kawasan halaman gereja yang dulunya dibawa oleh Pastor Fransisco Damato OP pada tahun 1629 dari Malaka. Di depan gereja ada pastoran dan di bagian samping gereja, terdapat kompleks pekuburan jemaat Ignatius Loyola.

Tenun Ikat Alami Lintas Generasi

Mengunjungi Desa Sikka ini menyenangkan karena bisa mendapat dua hal sekaligus yaitu melihat-lihat Gereja Tua Sikka yang cantik, sekaligus bisa melihat proses menenun kain tenun ikat dengan pewarna alami.


Mama Maria, pemimpin komunitas tenun para wanita di Desa Sikka menyambut kami dengan senyuman merahnya yang khas, bekas mengunyah sirih saban hari. Mengenakan tenun ikat kebanggaan, Mama Maria mengajak kami melihat langsung tahap-tahap pembuatan kain tenun Sikka.

Mula-mula adalah proses memisahkan kapas dari bijinya yang lalu digebuk-gebuk agar mudah dipintal, kemudian setelah menjadi benang harus melewati proses pencelupan alami memakai akar mengkudu atau daun indigo, membuat pola dengan mengikatnya memakai daung gebang lalu menenunnya hingga menjadi kain tenun ikat yang cantik. 

Proses memintal kapas menjadi benang

Proses pewarnaan benang. Biru nya berasal dari daun indigo, warna merah dari akar mengkudu.

Proses membuat pola kain tenun pakai daun gedang. Hebat ya Mama-Mama Sikka ini hapal membuat pola rumit itu.
Dengan proses sekitar 3 bulan bahkan ada yang sampai 1 tahun, wajar saja kain-kain ini dihargai mahal kan? Satu kain berukuran kecil dihargai sekitar Rp 300.000 – Rp 500.000. Untuk kain berukuran sedang sekitar Rp 500.000 – 1.000.000 dan untuk kain berikuran lebar dihargai di atas Rp 1.000.000,- tergantung motif dan lama proses pewarnaannya. Dan tradisi menenun dengan pewarna alami ini sudah dilakukan sejak ratusan tahun yang lalu dan masih dipertahankan oleh wanita-wanita di Desa Sikka hingga sekarang. Lintas berapa generasi itu ya?

Duh, andai saya punya duit banyak, pasti saya borong semua kain tenun ikat itu. Sayang, niatnya harus saya urungkan, tunggu punya duit banyak dulu ya. Hehehehehe. Jika nanti teman-teman berkunjung ke sana dan punya uang cukup untuk membeli kain-kain itu, belilah ya. Ada juga souvenir kecil seperti kalung, gelang dan Rosario buatan tangan Mama-mama di Sikka.

Hari sudah semakin sore dan rombongan kami harus segera kembali ke Kota Maumere untuk beristhirahat dan bersiap untuk melanjutkan perjalanan keesokan paginya. Meski berkendara seharian, saya tidak merasa lelah karena Terios memang nyaman. Apalagi di perjalanan pulang dari Sikka menuju Maumere, dapat pemandangan senja nan cantik. Fyuhhh~ Nggak berasa lelahnya.


Senja di Laut Sawu


Anugerah Pesona Indonesia 2016 #APIAward

$
0
0

Indonesia itu cantiknya luar biasa. Kalian pasti setuju kan? Negeri  kita ini Negeri indah yang serba ada. Mulai dari pemandangan alam, kekayaan budaya, keragaman kulinernya, keramahan masyarakatnya.

Dengan potensi yang begitu besar, seharusnya Indonesia mendapatkan pemasukan terbesar dari sektor pariwisata. Tentunya dengan satu catatan bahwa hal itu akan tercapai jika kita harus bersinergi untuk mengembangkannya.

Tiga tahun belakangan, pariwisata di Indonesia menggeliat, berkembang dengan pesat. Kementerian Pariwisata dan juga Dinas-Dinas Pariwisata Daerah bersolek, mempersiapkan diri untuk menyambut wisatawan. Targetnya 20 JUTA! (semoga cepat tercapai ya!) Meski pelayanan, sarana dan prasarana belum sepenuhnya dikatakan sempurna, usahanya tetap kita apresiasi kan ya?

Nah! Let's get ready for #AnugerahPesonaIndonesia2016 #ApiAward2016!

Anugerah Pesona Indonesia 2016 (API 2016), merupakan rangkaian kegiatan tahunan yang diselenggarakan dalam upaya membangkitkan apresiasi masyarakat terhadap pariwisata Indonesia. Disamping itu, penyelenggaraan API 2016 juga bertujuan untuk mendorong peran serta berbagai pihak terutama para pemerintah daerah untuk lebih berupaya dalam mempromosikan pariwisata di daerahnya masing-masing.

Pada penyelenggaraannya, API 2016 dimulai dengan mengajak masyarakat untuk memilih destinasi ataupun obyek wisata yang terbaik ataupun terpopuler menurut pendapat mereka. Pemilihan dilakukan dengan cara memberikan suara (voting) bagi destinasi atau obyek wisata yang dipilih melalui website ayojalanjalan.com/vote, berdasarkan kategori yang telah disiapkan. Dari hasil pemilihan masyarakat tersebutlah akan didapatkan destinasi atau obyek wisata terpopuler pada setiap kategori.

Ada 10 kategori nominasi yakni :


KATEGORI I. SURGA TERSEMBUNYI TERPOPULER (Most Popular Hidden Paradise)


1. Pulau Anambas – Anambas, Kepulauan Riau
2. Pulau Berhala – Serdang Badagai, Sumatera Utara
3. Pulau Karampuang – Mamuju, Sulawesi Barat
4. Pulau Maratua – Berau, Kalimantan Timur
5. Pulau Pahawang – Pasawaran, Lampung
6. Pulau Sangiang – Serang, Banten
7. Pulau Sebuku – Kotabaru, Kalimantan Selatan
8. Kepulauan Kei – Maluku Tenggara, Maluku
9. Kepulauan Mandeh – Pesisir Selatan, Sumatera Barat
10. Kepulauan Togean – Tojo Unauna, Sulawesi Tengah

KATEGORI II. TUJUAN WISATA TERPOPULER KEBERSIHANNYA (Most Popular Cleanliness)

1. Pantai Harlem – Jayapura, Papua
2. Pantai Iboih – Sabang, Nanggroe Aceh Darussalam
3. Pantai Nihi Watu – Sumba Barat, Nusa Tenggara Timur
4. Pantai Nirwana – Bau bau, Sulawesi Tenggara
5. Pantai Ora – Maluku Tengah, Maluku
6. Pantai Papuma – Jember, Jawa Timur
7. Pantai Sawarna – Lebak, Banten
8. Pantai Tanjung Tinggi – Belitung, Bangka Belitung
9. Pantai Tanjung Bira – Bulukumba, Sulawesi Selatan
10. Pulau Saronde – Gorontalo Utara, Gorontalo
11. Teluk Triton – Kaimana, Papua Barat

KATEGORI III. SITUS SEJARAH TERPOPULER (Most Popular Historical Site)
1. Benteng Keraton Buton – Bau bau, Sulawesi Tenggara
2. Benteng Kuto Besak – Palembang, Sumatera Selatan
3. Benteng Marlborough – Bengkulu
4. Benteng Tolukko – Ternate, Maluku Utara
5. Gedung Linggarjati – Kuningan, Jawa Barat
6. Goa Jepang – Biak, Papua
7. Kawasan Kota Tua – DKI Jakarta
8. Lawang Sewu – Semarang, Jawa Tengah
9. Museum KA – Sawahlunto, Sumatera Barat
10. Rumah Pembuangan Soekarno – Ende, Nusa Tenggara Timur

KATEGORI IV. HIDANGAN TRADISIONAL TERPOPULER (Most Popular Traditional Dishes)

1. Ayam Betutu Bali – Bali
2. Ayam Taliwang Lombok – Nusa Tenggara Barat
3. Batagor Bandung – Jawa Barat
4. Bubur Tinutuan Menado – Sulawesi Utara
5. Gudeg Jogja – DI Yogyakarta
6. Kerak Telor Betawi – DKI Jakarta
7. Mie Titi Makasar – Sulawesi Selatan
8. Pempek Palembang – Sumatera Selatan
9. Rujak Cingur – Jawa Timur
10. Soto Banjar – Kalimantan Selatan
11. Tengkleng Solo – Jawa Tengah

KATEGORI V. TEMPAT MENYELAM TERPOPULER (Most Popular Diving Spot)

1. Halmahera Utara – Maluku Utara
2. Kepulauan Raja Ampat – Raja Ampat, Papua Barat 
3. Kepulauan Wakatobi – Wakatobi, Sulawesi Tenggara
4. Nusa Penida – Klungkung, Bali
5. Pulau Alor – Alor, Nusa Tenggara Timur
6. Pulau Bintan – Kep. Riau
7. Pulau Karimun Jawa – Jepara, Jawa Tengah
8. Pulau Weh – Sabang, Aceh
9. Taman Laut Bunaken – Menado, Sulawesi Utara
 10. Taman Laut Derawan – Berau, Kalimantan Timur

 KATEGORI VI. TEMPAT BERSELANCAR TERPOPULER (Most Popular Surfing Spot)

1. Nusa Lembongan – Klungkung, Bali
2. Ombak Bono Sungai Kampar – Pelalawan, Riau
3. Pulau Nias – Nias, Sumatera Utara
4. Pulau Panaitan – Pandeglang, Banten
5. Pulau Sipora – Mentawai, Sumatera Barat
6. Pantai Lakey – Dompu, Nusa Tenggara Barat
7. Pantai Nemberala – Rote Ndao, Nusa Tenggara Timur
8. Pantai Ombak Tujuh – Sukabumi, Jawa Barat
9. Pantai Plengkung – Banyuwangi, Jawa Timur
10. Pantai Tanjung Setia – Lampung Barat, Lampung

 KATEGORI VII. ATRAKSI BUDAYA TERPOPULER (Most Popular Cultural Atraction)

1. Bambu Gila – Ambon, Maluku
2. Debus – Banten
3. Hombo Batu – Nias, Sumatera Utara
4. Iraw Tengkayu – Tarakan, Kalimantan Utara
5. Karapan Sapi - Madura, Jawa Timur
6. Mapasilaga Tedong – Toraja, Sulawesi Selatan
7. Pasola – Sumba, Nusa Tenggara Timur
8. Perahu Naga – Tanjung Pinang, Kepulauan Riau
9. Saptonan – Jawa Barat
10. Tabuik – Padang Pariaman, Sumatera Barat

KATEGORI VIII. FESTIVAL BUDAYA TERPOPULER (Most Popular Cultural Festival)

1. Festival Bahari Raja Ampat – Papua Barat
2. Festival Bakar Tongkang – Riau
3. Festival Bunga Tomohon – Sulawesi Utara
4. Festival Danau Sentani – Papua
5. Festival Danau Toba – Sumatera Utara
6. Festival Erau Kertanegara – Kalimantan Timur
7. Festival Palang Pintu Kemang – DKI Jakarta
8. Festival Sekaten – DI Yogyakarta
9. Festival Teluk Jailolo – Maluku Utara
10. Jember Fashion Carnival – Jawa Timur

KATEGORI IX. DATARAN TINGGI TERPOPULER (Most Popular Highland)


1. Bromo Tengger – Jawa Timur
2. Bukit Penjamur Bengkayang – Kalimantan Barat
3. Dataran Tinggi Dieng – Jawa Tengah
4. Gunung Jayawijaya – Papua
5. Gunung Kelimutu – Nusa Tenggara Timur
6. Gunung Kerinci – Jambi
7. Gunung Matantimali – Sigi, Sulawesi Tengah
8. Gunung Rinjani – Nusa Tenggara Barat
9. Gunung Sibayak – Sumatera Utara
10. Ngarai Sianok – Sumatera Barat
11. Patan Terong Dataran Tinggi Gayo – Nanggroe Aceh Darussalam

 KATEGORI X. TUJUAN WISATA BARU TERPOPULER (Most Popular New Destination)

1. Brown Canyon – Semarang, Jawa Tengah
2. Goa Jomblang – DI Yogyakarta
3. Green Canyon Celebes – Barru, Sulawesi Selatan
4. Green Canyon – Pangandaran, Jawa Barat
5. Nyaru Menteng – Palangkaraya, Kalimantan Tengah
6. Pulau Morotai – Maluku Utara
7. Pulau Tunda – Serang, Banten
 8. Pantai Tanjung Kelayang – Belitung, Bangka Belitung
9. Taman Laut Olele – Gorontalo
10. Teluk Kiluan – Lampung

Informasi mengenai masing-masing nominasi dapat dilihat di www.facebook.com/API.award
Untuk destinasi wisata, mulai dari pesona alam, kuliner, budaya, sejarah sampai festival. Beberapa destinasi favoritku di Nias, Maluku Utara, Nusa Tenggara Timur masuk dalam daftar. Yeay! Untuk kategori Most Popular Hidden Paradise aku milih Kepulauan Kei, untuk Most Popular Historical Site, aku milih Benteng Keraton Buton di Sulawesi (benteng terluas di Indonesia lho!). Untuk Most Popular Cultural Attraction aku milih Hombo Batu di Nias. Untuk Most Favorite Traditional Dishes, aku milihnya PEMPEKKKK!! 😍😍😍 .

Yuk yuk dipilih destinasi favorit kalian dengan vote di www.ayojalan2.com/vote . Semoga dengan adanya Anugerah Pariwisata Indonesia ini, kita semakin mengapresiasi keindahan Negeri kita. Indonesia, Negari indah serba adaaaa! #AnugerahPesonaIndonesia #AnugerahPesonaIndonesia2016 #APIAward2016

Menyongsong Matahari Terbit di Danau Kelimutu

$
0
0

Malam sebelum kami berangkat untuk melihat matahari terbit di Danau Kelimutu, saya tidak tidur sama sekali. Bukannya apa, saya takut kebablasan tidur dan malah tidak bisa bangun subuh. Kami baru tiba di Hotel Capa Maumere sekitar jam 9 malam, dan tentunya saya melepas kangen dengan sebagian crew Capa Maumere yang sangat ramah dan sudah seperti keluarga saya sendiri.

Alhasil, saya hanya mendem di dalam kamar sampai jam 2 pagi dan bersiap untuk berangkat ke Kelimutu. Anggota tim #Terios7Wonders dengan terkantuk-kantuk bersiap dengan setelan pakaian hangat karena Kelimutu pasti dingin sekali pagi-pagi.

Nah, karena sudah masuk ke dalam mobil, giliran saya tidur. Lumayan ya 2-3 jam waktu tempuh dari Maumere ke Taman Nasional Kelimutu. Sebenarnya agak sedikit was-was apakah kita bisa mengejar matahari pagi karena jarak tempuh yang jauh itu. Sebenarnya sih yang paling enak dan baik stay di Moni jadi jaraknya lebih dekat dan nggak harus bangun terlalu dini.

Daaaaaaaannnn…

Benar saja kami terlambat mengejar matahari terbit. Ketika berhenti di pintu masuk TN Kelimutu, saya terbangun dan ketika melihat ke luar jendela, langit sudah menguarkan warna jingga kemerahan.



 Yaaaahhhhh….

Aku lirik jam tangan, ternyata sudah 04.28 WITA. Ahhh… Sedih….

Ya sedihlah ketika rencana membuat timelapse sunrise di Kelimutu pupuslah sudah. Ini masih di pintu gerbang, jadi masih butuh sekitar 40 menitan lagi untuk tiba di parkiran dan naik jalan kaki, trekking sebentar hingga tiba di tugu pandang Danau Kelimutu. Jadiiiiiiii pasti sudah terang banget ketika tiba di atas.

“Duh, gue jadi nggak nafsu lagi naik ke atas”, kata Mas Rynol.

“Iya sih ya… Yah, tapi masih bisa lah kita dapat golden view pas mataharinya baru-baru keluar”, timpal saya.

Tapi saya juga merasakan apa yang dirasa Mas Rynol… But hey! Cheer up! Sudah sampai di Kelimutu nih, masa mau mutung. Hihihihihi…

Beda dengan kunjungan saya sebelumnya, kelimutu pagi itu tidak terlalu dingin. Ya iyalah ya. Pas kunjungan sebelumnya kan berangkatnya jam setengah 4 pagi. Nah ini, jalan ke atas sudah hampir jam setengah 6. Ya, karena nggak ada lagi yang mau dikejar, saya jalan santai saja.

Begitu melewati ‘Tiwu Ata Polo’ saya mengarahkan pandangan ke arah matahari terbit dan sontak berteriak…

“Aaaaaaakkk mataharinya bulat banget. Mas Iqbal sini mas Iqbal”, pekik saya pada Mas Iqbal yang tidak jauh berada di belakang.




Kami berdua segera menangkap momen indah itu. Meski belum sampai di Tugu Pandang paling atas, saya sangat bahagia disuguhkan pemandangan matahari terbit yang merah, bulat sempurna.

Setelah dirasa cukup mengambil gambar, kami lanjut menaiki anak tangga ke tugu pandang atas. Sekali lagi saya merasa beruntung dan terhibur dengan pemandangan Tiwu Ata Mbupu yang ada di sebelah kiri yang tertutup kabut penuh. Biasanya, danau (tiwu) sebelah kiri itu tidak banyak yang memperhatikan karena tidak pernah berubah warna. Yang biasanya berubah hanya Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Polo.








Kunjungan terakhir saya ke Kelimutu, kedua danau, Tiwu Nuwa Muri Koo Fai dan Tiwu Ata Polo sama-sama berwarna turquoise. Nah, saat datang lagi bulan ini, bulan Mei, ternyata Tiwu Ata Polo sedang berwarna merah kehitaman. Woooooooow keren sekali!






Orang Ende Lio memang mempercayai Danau Kelimutu sebagai tempat peristhirahatan orang-orang yang sudah pergi. Setiap tahunnya, mereka mengadakan ritual adat yang dikenal dengan nama Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata. Ritual ini dimaksudkan untuk mengucap syukur untuk seluruh yang sudah dilewati selama satu tahun kemarin dan memohon berkat untuk tahun yang akan datang.

Jika kita berjalan mengarah ke Puncak, cobalah lihat ke bagian kiri. Kalian akan mendapatkan satu lahan terbuka dimana ada susunan batu di tengah-tengahnya. Disanalah ritual Pati Ka Du’a Bapu Ata Mata dilangsungkan. Kalian pernah dengar Festival Kelimutu? Festival Kelimutu biasanya diadakan pada bulan Agustus setiap tahunnya. Jika kalian ingin melihat ritual tersebut, silahkan datang ke festivalnya ya.

Ngomong-ngomong, kalian sudah tahu cerita rakyat terbentuknya Danau Kelimutu belum? Kalau belum, ceritanya bisa kalian baca di sini ya.

Di Danau Kelimutu ini terdapat tiga kawah yang warnanya bisa berubah sewaktu-waktu. Danau yang paling pertama kita jumpai di jalur adalah Tiwu Ata Polo, kawah yang diyakini sebagai tempat roh-roh jahat bersemayam. Yang kedua adalah Tiwu Nuwa Muri Koo Fai, kawah yang diyakini sebagai tempat roh muda-mudi bersemayam. Yang terakhir adalah Tiwu Ata Mbupu, kawah yang diyakini sebagai tempat roh leluhur bersemayam.

Pak Jhon dan Rimba, Penjaga Kelimutu


Tahun lalu ketika berkunjung ke Kelimutu, saya bertemu dengan Pak Jhon, salah satu pedagang yang ada di Tugu Pandang Atas. Ternyata, Mas Iqbal juga sudah pernah bertemu dengan Pak Jhon. Larutlah kami dalam percakapan dan temu kangen dengan Pak Jhon dan anjingnya yang bernama Rimba. Mereka berdualah yang kami anggap sebagai penjaga dari Danau Kelimutu.


Rimba, sang penjaga Kelimutu nan gagah...

Mas Iqbal Kautsar, Pak Jhon dan saya. Senang bisa bertemu lagi :)
Perawakan Rimba ini seperti anjing-anjing pemburu atau anjing kebun. Berbadan tegap, berbulu hitam dengan kuping runcing dan hidung tajam. Setiap hari, Rimba mengikuti Pak Jhon kemana pun ia pergi. Bahkan, kalau Pak Jhon sedang ada acara kondangan, Rimba tetap setia menemani. Menunggui tanpa mengganggu orang lain. Jika kalian ke Kelimutu dan menjumpai anjing yang aku deskripsikan, itulah dia, Rimba.

Jika sudah ada yang pernah ke Kelimutu sebelumnya, pasti tahu kalau di sekitaran tugu pandang atas banyak monyet-monyet ya berkeliaran. Sejak Rimba ada, mereka tidak berani menampakkan diri.

People of Kelimutu


Jika berkunjung ke Kelimutu, belilah segelas kopi atau teh dan susu kepada para Mama-mama pedagang di tugu pandang. Mereka rata-rata sudah berdagang lebih dari 10 tahun. Ajaklah mereka ngobrol dan bercengkerama karena menyenangkan sekali melihat tawa lepas mereka.






Segelas kopi dihargai Rp 5.000 – 10.000. Cocok sekali untuk menemani pagi dengan udara dingin menusuk. Pun setelah matahari terbit dan cuaca lebih hangat, kopi Kelimutu tetap bisa disesap dengan nikmat. Kopi yang mereka seduh adalah kopi yang mereka tanam sendiri di ladang kopi sekitaran Moni. Pak Jhon mentraktir saya dan Mas Iqbal dengan kopi yang baru ia proses dari kebunnya sendiri. Wangi dan sedap!


Mas Iqbal Kautsar, si pencinta kopi...
Selain Mama-mama kopi, saya juga berjumpa dengan seorang adik kecil bernama Iksan. Usianya baru 13 tahun namun sudah menjadi local guide di TN Kelimutu sejak usianya 10 tahun. Saat tamu yang ia bawa sedang asyik berjalan-jalan di sekitaran dan asyik berfoto, Iksan duduk bersender di pagar sambil menikmati matahari pagi.


Iksan, the little local guide...
Ia malu-malu saat saya dekati. Kulitnya hitam manis berbalutkan jaket berwarna hijau butek yang sudah sedikit robek. Meski malu, ia tetap memberikan saya senyum termanisnya dan mau saya ajak berbincang sejenak.

“Lumayan Kak dapat uang tambahan untuk bayar kebutuhan sekolah” jawab Iksan ketika saya tanya kenapa ia mau menjadi pemandu di usianya yang begitu muda.

“Wah. Hebat ya kamu. Waktu aku seumur kamu, aku juga cari uang jajan, tapi bantuin Mamak jualan” timpalku.

“Nanti kalau sudah besar, Iksan mau jadi apa?” tanya saya lagi.

“Tidak tahu Kak. Mungkin sekolah juga sampai SMP saja karena tidak ada biaya” jawabnya sendu.
Sontak saya merasa sedih. Mengapa anak sekecil ini redup nyala mimpinya.

“Hey! Iksan gak boleh ngomong gitu. Selama kamu masih mau bermimpi, pasti bisa lanjut sekolah setinggi-tingginya dan jadi orang. Sekarang juga sudah banyak sekali beasiswa. Kamu masih bisa sekolah terus”, nasihat saya (sok) bijak.

Ya tapi benar kan. Jangan pernah mematikan lilin impian kita. Selama ada niat, pasti ada jalan. Kutipan yang paling saya suka tentang topik ini adalah dari Paulo Coelho.

“When you really want something, the universe will conspire to help you”.

Don’t stop dreaming!




Kabut mulai menutupi danau. Jam sudah menunjukkan pukul delapan. Sudah saatnya kami beranjak pulang dan melanjutkan perjalanan ke Ende. Saya, Mas Iqbal, Pak John dan Rimba berjalan dengan santai. Di tempat parkiran, sebelum masuk ke mobil, kami sempat bermain dengan kedua anak Pak John. Sampai jumpa lagi Kelimutu…



Kasih Kampung Bena Sepanjang Masa

$
0
0

Apa rasanya pulang ke rumah? Haru? Senang? Bahagia?

Ya, itu yang saya rasakan ketika kembali menginjakkan kaki ke Kampung Bena, Bajawa. Satu rumah di ujung Kampung Bena yang menjadi satu-satunya rumah yang menghadap ke sisi utara, adalah rumah Papa Paulus dan Mama Yuli, rumah Papa dan Mama saya.

Cerita kunjungan pertama ke Kampung Bena sudah pernah aku tulis di Kampung Bena danSecangkir Kopi Bajawa.

Daihatsu Terios kami meluncur dari  Ende menuju Kampung Bena di Bajawa, salah satu destinasi dari 7 Wonders yang akan kami jelajahi selama di Flores. Jalur dari Ende menuju Bena cukup menanjak karena Bena terletak di kawasan yang dikelilingi perbukitan, di bawah kaki Gunung Inerie, gunung Mama Flores.

Saking enak dan nyamannya duduk di dalam Daihatsu Terios, saya tertidur sepanjang perjalanan Ende - Bena padahal jalanan penuh dengan kelokan-kelokan tajam. Om Sikkin memang jago nih bawa mobilnya. Yang penting jangan lupa pakai seatbelt ya.

Daihatsu Terios di Kampung Bena! (Photo by : Rynol @rynolsar )

Kami tiba di Kampung Bena tepat di tengah hari. Sayang sekali puncakan Gunung Inerie tertutup awan. Tapi tetap saja hati saya gembira karena akan bertemu dengan keluarga saya lagi.

Kampung Bena sudah berbeda dari kondisi terakhir saat saya mengunjunginya. Pos penerimaan tamunya sudah lebih besar dan rapi. Jalanan bagian depan sudah dibikin tangga batu jadi mobil hanya bisa masuk dari bawah.




Tidak banyak wisatawan yang datang ke Kampung Bena hari itu. Hanya ada 3 orang wisatawan asing selain rombongan kami. Masyarakat Kampung Bena beraktivitas seperti biasa. Para Bapak rata-rata di ladang. Para Mama di dapur atau di teras, mengerjakan kain tenun ikat mereka.


Yang menjadikan Kampung Bena ini istimewa adalah batu-batu megalitikum yang tersebar di halamannya. “Batu Nabe” adalah tumpukan batu-batu  dimana terdapat makam para leluhur Kampung Bena di bawahnya. Di kompleks ‘Batu Nabe’ inilah sesaji diletakkan saat ingin berkomunikasi dengan leluhur saat upacara adat.




Selain batu-batu, juga terdapat Nga’du dan Bhaga, dua bangunan simbol leluhur Kampung Bena yang ada di pekarangan. Nga’du yang berbentuk payung adalah simbol leluhur laki-laki dan Bhaga yang berbentuk rumah kecil adalah simbol leluhur perempuan.

Seluruh penduduk di Kampung Bena ini beragama Katolik, namun mereka juga masih percaya kepada Dewa Zeta. dewa pelindung desa yang berdiam di Gunung Inerie. Itulah mengapa mereka sangat menghormati gunung ini dan para leluhurnya.

Ada sekitar 45 rumah yang ada di Kampung Bena dengan ciri khas masing-masing di bagian depan rumah. Ciri khasnya adalah tanduk kerbau, rahang dan taring babi sebagai lambang status sosial keluarga. Rumah yang ada patung yang memegang parang dan lembing di atapnya adalah rumah lelaki dinamakan ‘Sakalobo’. Sedangkan rumah perempuan dinamakan ‘Sakapu’u’.


Sembilan suku yang mendiami Kampung Bena memiliki rumah masing-masing dan berbeda-beda tingkatannya. Oleh karena itu ada sembilan tingkatan dari utara ke selatan dan juga sembilan pasang Nga’du dan Bhaga. Kesembilan suku itu antara lain Khopa, Ago, Ngada, Deru Solamae, Deru Lalulewa, Wahto, Dizi dan Dizi Azi. Setiap ada upacara adat satu suku, suku-suku yang lain dengan senang hati membantu dan ikut bersuka ria. ‘Kisanatapat’adalah nama tempat untuk mengadakan upacara adat di Kampung Bena.

Motif tenun di Kampung Bena tidak jauh dari unsur-unsur terdekat mereka yaitu Nga’du, Bhaga, gunung dan kuda. Motif-motif ini dikreasikan dengan benang warna-warni dan jadilah kain tenun Bena yang cantik. Beberapa kain tenun juga masih memakai pewarna alami dan tentu saja lebih mahal harganya dibandingkan kain tenun yang memakai benang dari toko.


Kain-kain tenun cantik ini dipajang di teras rumah, digantung di bilah-bilah bambu. Jadi ketika ada wisatawan melintas dan tertarik, bisa langsung melakukan transaksi dengan si empunya rumah, empunya tenun.

Harga yang ditawarkan cukup bersahabat di kantong. Untuk satu lembar kain tenun berukuran besar sekitar Rp. 300.000,- hingga jutaan rupiah. Untuk kain tenun berukuran kecil, kisaran harganya Rp 75.000,- hingga Rp 200.000,-.

***

Dengan berbekal sekantong permen, saya mendekati anak-anak kecil di Kampung Bena. Buat saya, tidak apa-apa jika memberikan permen kepada anak-anak selama mereka tidak meminta atau cenderung memaksa wisatawan untuk memberikan permen. Seperti di Wae Rebo, sudah ada himbauan untuk tidak memberikan permen kepada anak-anak.

Saya mencari Nancy, Viola dan Lalon yang tahun lalu saya temui dan saya ajak bermain. Senaaaaaang sekali bisa berjumpa anak-anak yang menggemaskan ini. Mereka sudah lebih besar (ya iyalah ya) tapi masih mengingat saya. Ola (panggilan Viola), langsung membuat tanda peace dua jari saat saya tanya masih ingat Kakak Satya tidak? Hihihihihi gemasnya…




Saya berjalan ke ujung, ke rumah Papa Paulus dan Mama Yuli. Di depan rumah ternyata sudah ada Bang Poli dan dia masih mengingat saya meski saat itu kondisinya sedang tidak enak badan. Dengan senyum sumringah, Bang Poli mengajak saya masuk dan memanggil Mama Yuli dan Papa Paulus yang ada di dalam rumah. Senyum merah tersungging di bibir Mama ketika saya datang. Saya dipeluk dan mendapatkan kecupan di pipi kiri dan pipi kanan.

Saya pulang ke rumah…

Kak Vina langsung ke dapur sehabis cipika-cipiki untuk menyiapkan Kopi Bajawa untuk rombongan kami. Dan tentu saja, kopi Bajawa memang selalu juara.



Saya minta izin sebentar untuk pergi ke bagian atas Kampung Bena yang dikenal dengan nama “Goa Maria” untuk melihat Kampung Bena dari atas dan pemandangan lembahan kaki Gunung Inerie yang cantik.




“Halo, punya korek tidak” ujar seorang Bapak yang sedang duduk di balai-balai Goa Maria.

“Wah, maaf saya tidak punya Bapak” jawab saya.

“Bisa tolong carikan korek tidak Nona? Opa mau bakar tembako tidak bisa. Opa ini tidak bisa melihat, jadi susah” ujar beliau lagi.

Saya sontak terkejut karena tidak tahu kalau beliau tidak bisa melihat. Beliau mengenakan baju safari, celana training biru, peci dan kacamata. Setelah berkenalan, saya baru tahu nama beliau Yakobus Dada. Biasanya dipanggil Opa Dada.

“Opa ini sudah tua, sudah 56 tahun tapi Opa masih gagah kan?” celotehnya sambil terkekeh dan saya balas dengan tertawa juga.

“Nona mau berfoto dengan Opa tidak? Nanti fotonya dibawa ke Jakarta kan? Berarti Opa Dada sudah sampai di Jakarta. Hahahaha. Biar Opa tidak bisa melihat dunia, tapi Opa bisa ke Jakarta dan keliling dunia” kelakarnya lagi.

Entah, saat itu saya merasakan air menggantung di ujung mata. Selain haru, saya juga merasakan Opa Dada memberikan energi yang sangat positif kepada saya. Dari beliau saya belajar untuk selalu bergembira dan bersyukur dengan keadaan kita sekalipun itu hal (yang mungkin menurut kita) sedih.
Saya izin pamit kepada Opa Dada dan kembali ke rumah. Rombongan kami sudah harus bergerak lagi menuju Ruteng. Ah, rasanya masih kurang lama.



Begitu saya kembali ke rumah untuk berpamitan kepada semua anggota keluarga, Mama Yuli memanggil saya ke sudut teras.

“Ini ya Satya simpan. Biar selalu ingat pulang ke rumah ini” ujar Mama Yuli sambil memberikan satu kain tenun hasil tangannya kepada saya.

Dan, saya tak kuasa menahan haru. Saya peluk Mama dan saya cium.


Terima kasih Ma. Satya pasti akan selalu kembali lagi, kembali lagi dan kembali lagi. Akan selalu saya ingat bahwa kasih yang saya terima di Kampung Bena, bertahan sepanjang masa.



Liang Bua, Asal Muasal ‘Hobbit’ Flores

$
0
0

“Eh berhenti dulu. Barusan ada warga yang kasitahu kalau ada keturunan manusia kecil Flores di warung itu” kata Mas Tony lewat HT. Rombongan kami berhenti dulu dan menghampiri orang yang dimaksud.

Saya yang ada di mobil paling belakang turun dan melihat seorang bapak bertubuh kecil memakai kemeja berwarna biru muda, sarung pink dan topi peci bermotif tenun Manggarai di kejauhan. Sepertinya beliaulah yang dimaksud sebagai keturunan manusia kecil Flores, manusia purba yang  bernama latin ‘Homo Floresiensis’. Saya lalu mengetahui nama Bapak itu adalah Victor Darung.


Saya pribadi percaya dan tidak percaya jika memang keturunan manusia kecil dari Flores masih eksis di zaman  sekarang. Bisa saja memang Bapak Victor itu bertubuh pendek karena Dwarfisme. Dwarfisme adalah kondisi yang disebabkan faktor genetik atau kondisi medis. Saya mengetahuinya darisumber ini.

Entahlah. Dikarenakan Bapak Victor itu tinggal di Desa Liangbua, tempat fosil manusia kecil dari Flores ditemukan, orang-orang beranggapan bahwa Bapak itu masih merupakan keturunan langsung. Hmmmmm. Bagaimana menurut kalian? Apakah kalian percaya?



Kenapa disebut Hobbit dari Flores?


Pernah menonton Lord of The Rings atau The Hobbit? Dalam film yang disadur dari novel karangan J.R.R Tolkien itu, karakter Bilbo Baggins adalah gambaran dari manusia kerdil atau yang biasa disebut ‘Hobbit’.


Para arkeolog dari Belanda sudah meneliti Liang Bua untuk mengetahui asal muasal manusia kerdil Flores ini sejak sekitar tahun 1930an. Namun ada juga yang mengatakan penelitian pertama diprakarsai oleh Pastor Verhoeven pada tahun 1958. Ditemukanlah kerangka seperti manusia namun berukuran lebih kecil dari manusia pada umumnya. Selain itu, ada kerangka gajah purba, biawak, komodo dan tikus besar. Bahkan saya juga sempat membaca satu artikel yang membahas tentang ditemukannya fosil yang membingungkan yaitu burung bangau raksasa atau ‘marabou’ yang memiliki tinggi 170-180 sentimeter dengan bobot 16 kilogram. Wow, besar sekali ya!

Sebenarnya yang membuat bingung adalah bagaimana bisa burung yang tempat asalnya di Afrika ini, bisa sampai di Flores dan hidup bersama manusia kecil di Liang Bua. Mereka berpindah jauh sekali sedangkan mereka bukan tipe burung yang mampu terbang jauh. Yaah, memang aneh.



Saya sempat bingung bagaimana bisa manusia kecil setinggi 100 cm dengan bobot tubuh sekitar 25 kilogram, hidup bersama dengan binatang-binatang berukuran raksasa. Mulai dari tikus hutan yang panjangnya 40 sentimeter,  komodo, stegodon (gajah purba) dan burung raksasa ‘marabou’. Keren betul si Hobbit dari Flores ini. Berbadan kecil tapi punya ‘peliharaan’ raksasa semua, berkali-kali lipat ukuran tubuhnya.





“Liang Bua” atau lubang sejuk dalam Bahasa Manggarai diyakini sebagai tempat tinggal manusia kerdil Flores. Guanya cukup besar dengan panjang 50 meter, lebar 40 meter dan tinggi 25 meter. Karena chamber / ruang gua nya cukup luas, Liang Bua ini dulu sempat dimanfaatkan jadi tempat ibadah dan sekolah. Tidak ada apa pun yang menjadi peninggalan dari hobbit Flores ini di dinding-dinding goa seperti cap tangan atau gambar. Jadi benar-benar hanya goa.

Fosil manusia kerdil yang ada di Liang Bua ditemukan di kedalaman sekitar 5 meter dan fosil binatang di kedalaman sekitar 10 meter. Beberapa bagian disimpan di Museum Liang Bua yang terletak tidak jauh dari Liang Bua-nya dan sebagian lagi ada di Belanda dan Australia.




Untuk mencapai tempat ini, kita harus berkendara sekitar 40 menit dari pusat Kota Ruteng kea rah utara, menuju Desa Liang Bua. Jalanannya beraspal namun sesekali bertemu dengan jalan rusak berbatu. Syukurnya sih kemarin ke sana naik Daihatsu Terios. Mau jalan serusak apa, berada di dalamnya tetap nyaman.








Perjalanan ini adalah sponsor dari Daihatsu Indonesia dengan tajuk #Terios7Wonders #TourDeFlores.

Cerita lainnya bisa dibaca di :


Kembali ke Wae Rebo Bersama Terios

$
0
0

Satu tahun yang lalu, saya melakukan perjalanan sendiri ke Wae Rebo, kampung adat di dalam hutan Manggarai, dimana kita harus trekking sejauh 9 kilometer atau sekitar 4 jam untuk mencapainya. Waktu itu, sepanjang perjalanan mendaki, selama di Kampung Wae Rebo dan di perjalanan turun menuju Desa Denge tempat saya menitipkan motor, saya tak henti-hentinya diguyur hujan. Saya tidak benci hujan, namun rasanya sedih juga ketika tidak bisa menikmati perjalanan seutuhnya karena terkendala cuaca.

Begitu Tim Terios 7 Wonders mengabari bahwa salah satu dari 7 destinasi yang akan kami kunjungi selama eksplor lintas Flores adalah Wae Rebo, saya bahagia tidak terkira. Akhirnya ucapan saya dulu di dalam hati terkabul.

“Tuhan, saya ingin kembali ke Wae Rebo, tapi maunya cerah ya”, ucap saya waktu itu.

Benar saja. Semesta mendukung perjalanan kami. Mulai dari Ruteng hingga Denge, cuaca cerah menemani. Meski jalanan menuju ke sana kecil, sempit, berbelok-belok dan banyak lubang, Terios dengan lincah melibas jalanan tapi tetap bikin nyaman.


Jam menunjukkan pukul 3 sore ketika kami tiba di homestay Pak Blasius. Tadinya saya mau menyempatkan diri mampir ke rumah Papa Vincent dan Mama Maria yang berbaik hati menampung saya tahun lalu di rumahnya. Namun niat itu saya tunda untuk keesokan harinya setelah turun dari Wae Rebo saja. Takut kemalaman jika mampir-mampir dulu. Pun tidak disarankan naik ke Wae Rebo jika hari sudah terlalu sore. Jalurnya licin dan sedikit berbahaya jika tidak membawa headlamp. Karena masih jam 3 sore, ya pasti bisa lah sampai di Wae Rebo sebelum hari gelap.

Pak Aloysius, yang juga masih bersaudara dengan Papa Vincent, menjadi pemandu kami. Senang sekali rasanya bertemu lagi dengan beliau yang masih mengingat muka saya dan Yudha, yang dulu juga menginap di tempat Pak Vincent.

Ternyata jalur menuju Wae Rebo sudah banyak berubah. Jalanan batu yang dulu saya tempuh sekitar 4,5 kilometer sekarang sudah diaspal, sehingga memperpendek jalur trekking dari 9 kilometer menjadi 4.5 kilometer saja. Padahal saya sudah membayangkan lelahnya membawa carrier yang berisi buku-buku ini melintas batu-batuan besar dengan jalur menanjak. Jujur saja, setiap mendaki gunung, saya tidak terlalu suka jalur batu. Hahaha.

Mobil diparkirkan di ujung jalan aspal sebelum sungai yang ada di Pos 1 dan kami memulai perjalanan trekking. Dengan ritme teratur, kaki melangkah, menapaki jalur tanah yang padat. Di awal-awal, jalur menanjak terus dengan sedikit saja bonus jalan datar. Semua terengah-engah tapi tetap semangat. Barulah setelah di Pos 2, Poco Roko, jalur sudah mulai landau dan cenderung menurun untuk kemudian sampai di ‘Rumah Kasih Ibu’, tempat kita membunyikan kentungan sebelum masuk ke kampung.

Kami tiba di ‘Rumah Kasih Ibu’ sekitar pukul setengah 7. Berarti memakan waktu kurang lebih 2,5 jam sejak awal pendakian. Seperti biasa, setiap wisatawan yang akan memasuki kampung, tidak boleh beraktivitas di sekitar kampung dan mengambil gambar dengan kamera, sebelum upacara adat penerimaan tamu / penghormatan leluhur yang disebut dengan “Waelu’u” di Mbaru Niang Gendang selesai diadakan.

Setelah Upacara Waelu'u

Bagian dalam Mbaru Niang Gendang yang diisi oleh delapan KK
Saat memasuki “Mbaru Niang Gendang”, beberapa tetua adat sudah duduk tenang berjejer menyambut kami. Dengan Bahasa lokal Manggarai, Pak Aloysius mengatakan beberapa kalimat dan memberikan seserahan berupa uang kepada tetua adat. Setelah Tetua Adat berbicara membalas pak Aloysius, barulah kita boleh beraktivitas di kampung. Artinya mereka sudah memberi tahu kepada leluhur tentang kedatangan kami.

Kami dengan teratur keluar dari Mbaru Niang Gendang dan masuk ke Mbaru Niang Gena Maro, tempat kami akan menginap satu malam. Ternyata sudah ada enam wisatawan asing selain rombongan kami. Seperti biasa pula, ada Kasih Manja (nama aslinya Kasius) yang sudah ada di tengah bercakap-cakap dengan wisman meski dengan Bahasa Inggris yang terbatas. Ah, rindu sekali dengan si Kasih Manja yang jenaka itu. Berpura-pura dia tidak mengenal saya tetapi setelahnya kami tertawa terbahak-bahak mengenang kejadian-kejadian lucu yang kami alami tahun lalu.

Kasius, the best local guide ever! Seringnya dipanggil Kasih Manja...
Secara bergantian kami membersihkan diri, mandi di kamar mandi yang ada di bagian belakang, berganti pakaian hangat dan berkumpul di ruangan tengah rumah sambil menunggu makan malam disiapkan, menyesap kopi Manggarai panas yang disajikan.

Saya pergi ke bagian dapur dan mencari Mama Poly yang tahun lalu jadi kawan karib saya selama di kampung. Saya tidak bisa memberi tahu tentang kedatangan saya karena memang tidak ada sinyal di kampung. Sayangnya Mama Poly sedang ada di Kampung Kondo untuk memanen sawahnya sekitar satu minggu. Ah, sedih betul tidak bisa bersua.

Menu makan malam yang saya tunggu-tunggu adalah ayam semur dengan sambal manggarai yang padis (pedas) nya luar biasa itu. Makanlah kami dengan lahap. Bukan hanya karena lapar berjalan cukup jauh, tetapi karena memang makanan apa pun terasa lezat di Wae Rebo.

Selepas makan, saya meminta Mas Iqbal untuk mengajarkan saya memotret Wae Rebo di malam hari. Kami keluar dan melihat bulan bulat terang dan membuat bintag-bintangnya tidak terlalu kelihatan. Mas Iqbal menyarankan untuk bangun sekitar jam 4 untuk mengambil night shot. Katanya, itu waktu yang terbaik untuk memotret langit malam. Kami pun masuk menggelung tidur di dalam selimut hangat.

Saya terbangun sekitar jam 4 dan dengan mengenakan sarung, keluar untuk melihat langit. Ternyata bulan masih ada di sana. Jadilah niat untuk memotret Wae Rebo di malam hari, diurungkan. Mungkin lain kali. Saya pun kembali tidur.

Sekitar jam setengah enam, Mas Iqbal membangunkan saya untuk memotret matahari terbit. Begitu keluar Mbaru Niang, semburat merah sudah tampak di balik-balik bukit. Dalam udara dingin, kami bergegas naik ke Rumah Baca yang ada di atas bukit dan tentunya tidak lupa membawa kopi panas.
Satu jam berikutnya kami habiskan dengan menunggu matahari pagi sambil menyesap kopi. Begitu matahari keluar dari balik bukit dan cahaya hangatnya menerpa wajah, rasa syukur tak henti terucap dalam hati. Berkat Tuhan yang sangat baik.

Langit memerah pertanda pagi sudah tiba...



Tim blogger Terios 7 Wonders Tour De Flores, Mas Iqbal, Bang Farchan, dan saya. Minus Yudha yang masih tidur...


Lewat lensa kamera, saya menangkap aktivitas warga Kampung Wae Rebo. Para Bapak duduk di depan rumah sambil menyesap kopi. Para Ibu sudah mulai menumbuk kopi dan memasak makan pagi. Anak-anak dengan senangnya bermain bola sepak. Harmoni pagi yang indah sekali.

Saat dapur mulai mengepul dan asapnya membumbung dari Mbaru Niang. Cantik sekali!




Setelah matahari cukup tinggi, kami turun lagi ke kampung dan menyantap makan pagi yang sudah disiapkan. Yang paling membuat senang adalah cahaya pagi yang menelisik masuk lewat jendela. Tentu saja momen itu tidak kami lewatkan untuk diabadikan.


Selesai makan pagi, saya keluar membawa buku-buku, ada sekitar 70 buku bacaan anak-anak dan spidol warna-warni yang kami bawakan untuk anak Wae Rebo. Saya pernah dititipkan pesan oleh Kasih, jika datang lagi, tolong bawa buku untuk menambah pengetahuan mereka. Jangan memberikan permen, apalagi uang. Jangan membentuk mental anak-anak menjadi pengemis. Ya, saya setuju sekali.

Dan Kasih, saya memang datang lagi untuk memenuhi janji saya.

Dikarenakan hari itu hari Senin, anak-anak yang bersekolah tidak ada di Kampung Wae Rebo, melainkan di Kampung Pombo dikarenakan sekolah terdekat dari Wae Rebo adanya di sana. Mereka kembali ke Wae Rebo saat akhir pekan saja.

Jadilah buku-buku itu diberikan kepada anak-anak kecil berusia 3-6 tahun, yang belum bersekolah. Dengan antusias mereka menyerbu buku-buku itu bahkan adu mulut karena berebut. Saya usahakan untuk tetap adil membagi buku-buku bacaan itu dan sebagian lagi dikasih untuk ditaruh di perpustakaan atas. Sekedar saran untuk teman-teman, tolong bawa buku jika berkunjung ke Wae Rebo ya. Satu dua pun tak apa. Mereka pasti senang betul.

Yeaaaay dapat buku baru buat dibaca ya adik-adik ;)


Setelah anak-anak kembali ke rumah masing-masing, saya pergi mengambil handuk dan alat mandi lalu pergi ke pancuran kampung, sekitar 200 meter saja jaraknya. Saya mandi pagi dengan air dingin nan segar. Aktivitas pagi yang tidak sempat saya lakukan tahun lalu karena hujan. Akhirnya bisa saya rasakan juga mandi di pancuran Wae Rebo. Meski sudah ada kamar mandi yang disiapkan untuk wisatawan, rasanya sangat berbeda ketika mandi di pancuran. Cobalah jika kalian ke sana dan rasakan bedanya.

Sisa waktu sebelum turun kembali ke Denge, saya habiskan dengan bercengkerama dengan mama-mama sekitar kampung. Ada yang sedang menenun, ada yang sedang bersiap turun untuk menjual hasil bumi, ada yang memilih biji kopi yang sudah dijemur, ada yang sedang asyik ngobrol saja. Senang betul rasanya jadi mereka ya. Hidup sederhana saja dan tidak sekompleks pikiran orang-orang kota. No phone signal, happies life.

Sebelum pulang, saya sempat bertemu Pak Rafael, tetua adat yang tahun lalu saya cari tapi tidak berjodoh karena beliau sedang turun ke kampung Pombo mengurus ladang. Saat saya sedang berkeliling, beliau memasuki kampung dan segera saya sambut dengan gembira. Meski sudah sangat sepuh dan punya 15 cucu, Pak Rafael tetap jenaka.

Sebelum hari terlalu panas, kami berpamitan untuk turun. Semua anggota tim Terios 7 Wonders bahagia sekali akhirnya bisa menjejakkan kaki ke Wae Rebo, disambut dengan keramahan yang luar biasa, cuaca cerah diberkati semesta. Kami pulang dengan luapan rasa gembira.


Saya tak sabar mau kembali lagi. Mohe Wae Rebo!




Perjalanan ini adalah sponsor dari Daihatsu Indonesia dengan tajuk #Terios7Wonders #TourDeFlores.

Cerita lainnya bisa dibaca di :

Edukasi Whale Shark dan Arogansi Derawan Fisheries

$
0
0
Whale Shark and Diver. Photo Credit : @audreyjiwajennie
Sejak kecil, saya dibekali buku-buku cerita bergambar karakter biota laut. Dan dari seluruh karakter, saya paling suka paus dan hiu paus, dua makhluk terbesar seantero samudera. Meski sama-sama punya nama paus, hiu paus sebenarnya bukan paus, melakinkan jenis hiu. Karena ukurannya besar seperti paus dengan panjang 6 - 18 meter, disebutlah hiu paus (whale shark). Adalah satu mimpi dimana saya ingin sekali melihat mereka di lautan bebas, bukan di akuarium. Tapi sampai sekarang keinginan itu belum terpenuhi. Tak apa. Satu waktu kita pasti jumpa ya.

Untuk berjumpa dengan paus memanglah susah. Paus biasa berenang di perairan dalam dan hanya sesekali naik ke permukaan laut. Satu-satunya yang mungkin bisa dilihat dari dekat adalah hiu paus atau whale shark, yang memang dikenal sebagai perenang yang lambat dan sering naik ke permukaan untuk makan plankton dan ikan-ikan kecil. Acap kali dia disebut sebagai ‘raksasa lembut’. Dulu, satu-satunya titik yang saya tahu untuk melihat hiu paus di Indonesia hanya di Taman Nasional Cenderawasih yang ada di Kwatisore ,Teluk Cenderawasih, Papua.

Saya baru tahu bahwa hiu paus juga bisa ditemui di perairan Sabang, Situbondo, Bali, Nusa Tenggara, Alor, Flores, Sulawesi Utara, Maluku dan Papua. Lalu satu-dua tahun belakangan diketahui keberadaan sekelompok ikan hiu paus di Talisayan, Berau, Kalimantan Timur dan di Botubarani, Bone Bolango, Gorontalo.

Hiu paus dikenal dengan bentuk kepalanya yang lebar dan gepeng dengan mulut, garis insang dan sirip punggung (dorsal) pertama yang besar serta pola totol-totol putih dan garis di kulitnya yang cenderung berwarna keabu-abuan. Ada hipotesa yang menyatakan bahwa pola tersebut merupakan bentuk kamuflase dan adaptasi untuk memfilter sinar ultraviolet (UV) karena hiu paus termasuk jenis ikan yang banyak menghabiskan waktu di dekat permukaan laut (Colman, 1997).

Sama seperti jenis hiu lainnya, hiu paus tumbuh dan berkembang dan proses menjadi dewasa-nya berjalan lambat dan cenderung berumur panjang, Karakteristik ini yang menjadikan hiu paus rentan terhadap eksploitasi karena kemampuan reproduksinya yang rendah (Colman, 1997).

Oleh karena itulah dikeluarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Republik Indonesia Nomor 18/Kepmen-KP/2013 Tentang Penetapan Status Perlindungan Penuh Ikan Hiu Paus (rhincodon Typus). Berdasarkan keputusan itu, hiu paus dinyatakan resmi telah dilindungi secara penuh di perairan Indonesia. Hal ini menunjukkan bahwa segala bentuk eksploitasi terhadap ikan ini dilarang.

Pariwisata dan Whale Shark


Kemunculan Whale Shark yang terkenal “ramah” kepada manusia ini dan dikombinasikan dengan social media power membuat wisatawan berbondong-bondong ingin berenang dan berinteraksi langsung dengan hiu paus.  Siapa sih yang tidak ingin melihat hiu paus dari dekat? Saya pribadi pun ingin sekali berjumpa dengan mereka.

Namun, kegiatan wisata berbasis hiu paus yang kurang terkontrol dapat memberikan dampak yang negatif terhadap perubahan perilaku hiu paus. Menurut Craven (2012), pemberian makan di Oslob-Cebu, Filipina dapat menyebabkan hiu paus mengasosiasikan manusia dengan makanan sehingga mereka akan cenderung mendekati manusia. Petunjuk berinteraksi yang sudah ditetapkan, harus dipastikan pelaksanannya melalui pengawasan dan penegakan aturan di lapangan untuk mengurangi dampak kegiatan wisata dan menjaga kealamian interaksi dengan hiu paus (Quiros, 2007).

Seperti itulah kondisi yang terjadi di Talisayan, Berau, Kalimantan Utara. Kemunculan hiu paus di sekitaran kawasan bagan-bagan ikan di Talisayan dimanfaatkan untuk mempromosikan pariwisata bahari dengan atraksi utama berenang dengan hiu paus. Nelayan bagan rutin memberikan makan hiu paus agar mereka selalu mendekat ke bagan lalu para wisatawan dapat berenang berdekatan.

Sayangnya, masih banyak yang belum tahu tentang bagaimana seharusnya berinteraksi dengan hiu paus. Dan sangat disayangkan, tidak hanya wisatawan, tetapi tour organizer juga tidak mengetahui peraturan ini.

Jadi, bagaimana seharusnya berinteraksi dengan Hiu Paus / Whale Shark?


Pada 22 Januari 2013 lalu, Taman Nasional Teluk Cenderawasih mengeluarkan Standar Operasional Prosedur (SOP) Wisata Whale Shark. Pun begitu dengan Balai Pengelolaan Sumber Daya dan Pesisir Laut yang kurang lebih sama. Ini yang perlu diketahui oleh kita semua. Semua. Tak terkecuali. Tolong dibaca dengan baik ya.

  1.  Kapal / perahu harus mengurangi kecepatan maksimum 10 knot dalam jarak 1 km dan 2 knot dalam jarak 50 meter dari bagan dengan Hiu Paus.
  2. Kapal / perahu harus diparkir di sisi lain bagan yang tidak ada hiu pausnya.
  3. Kapal / perahu harus menjaga jarak dengan Hiu Paus dan tidak boleh lebih dekat dari 20 meter.
  4.  Hanya boleh ada 1 kapal / perahu dengan 1 grup per bagan.
  5.  Pemimpin tur harus melakukan briefing singkat, 10 – 15 menit sebelum masuk ke air. Isi briefing harus mencakup ucapan selamat datang dan perkenalan diri, pengaturan waktu dan destinasi, pengenalan terhadap Hiu Paus, aturan untuk berinteraksi dengan hiu paus dan undangan untuk bertanya. Briefing dapat dilakukan dalam perjalanan menuju bagan.
  6. Selama kegiatan berlangsung, kapal / perahu harus tinggal di air dengan mesin mati. Siap untuk memberikan bantuan medis.
  7. Tidak diperbolehkan lebih dari 10 orang dalam satu grup per bagan dan 5 adalah angka yang ideal. 
  8.  Durasi kunjungan adalah antara 60 – 90 menit untuk tiap grup.
  9. Pemimpin tur turun pertama kali, diikuti oleh para tamu. Di dalam air, pemimpin tur berperan sebagai pemimpin grup yang harus memperhatikan dan siap membantu semua peserta.
  10.  Snorkeler harus mengikuti instruksi dari pemimpin tur.
  11. Snorkeler harus masuk ke dalam air setenang mungkin.
  12.  Snorkeler harus menjaga jarak untuk memberi ruang kepada Hiu Paus. 2 meter dari tubuh Hiu Paus dan 3 meter dari ekornya.
  13.  Snorkeler tidak boleh mengeluarkan suara keras, melakukan gerakan yang mendadak dan memercikkan air yang dapat memprovokasi atau mengganggu Hiu Paus.
  14.  Tidak boleh menyentuh dan atau mengejar hiu paus secara aktif. Bila snorkeler didekati oleh Hiu Paus, snorkeler harus tetap tenang dan berenang ke samping.
  15.  Snorkeling adalah pilihan yang paling baik untuk mengamati hiu paus, namun penggunaan scuba masih diperbolehkan asalkan jumlahnya dibatasi, hanya 1-2 orang penyelam dalam satu grup dan jarak antara penyelam dengan hiu paus dan snorkeler harus diatur (penyelam harus mengamati dari jarak yang lebih jauh, sementara snorkeler dapat mengamati dari jarak yang lebih dekat. Hal ini penting untuk dilakukan agar setiap pengunjung dapat menikmati kunjugannya. Snorkeler tidak akan terganggu dengan gelembung dari penyelam).
  16.  Penggunaan kamera diperbolehkan namun penggunaan flash harus dibatasi. Flash diperbolehkan bila pengambilan gambar diambil dari jarak empat meter.
  17. Para tamu harus segera berenang kembali ke kapal / perahu sesuai durasi kunjungan.
  18.  Pemimpin tur harus menjadi orang yang terakhir keluar dari air.
  19. Pemimpin tur dapat menanyakan komentar para tamu tentang kegiatan mereka.
  20.  Pemimpin tur harus menyiapkan kuesioner yang harus diisi oleh penyelam berisi tentang hiu paus yang dijumpai. Di koordinat berapa, garis kedalaman berapa dan prediksi ukurannya.
  21.  Setiap pengunjung operator wisata dan kapal / perahu harus mematuhi standar operasional ini demi kelestarian whale shark. Bila melanggar peraturan, maka pihak yang berwenang memiliki hak penuh untuk memberikan sanksi berupa pembatalan tur sampai pencabutan izin operator wisata atau kapal / perahu untuk masuk ke kawasan.
Coba dibaca poin 14 dimana tertulis “Tidak boleh menyentuh dan atau mengejar hiu paus secara aktif. Bila snorkeler didekati oleh Hiu Paus, snorkeler harus tetap tenang dan berenang ke samping”.  Peraturan ini jelas-jelas ada namun seakan diabaikan oleh orang-orang yang sangat ingin eksis dan jadi keren di dunia maya.

Cobalah bandingkan tulisan  Berenang Bersama Whale Shark di Indonesia dengan  Berenang Bersama Whale Shark di Western Australia yang dituliskan Mas Fedi Fianto atau Berenang Bersama Whale Shark di Oslob, Filipinayang ditulis oleh Ismarul Nizam. Untuk menjadi gambaran, bagaimana seharusnya kegiatan berenang bersama whale shark, dilakukan. Coba kalian telaah sendiri ketiga tulisan tersebut.

Ada juga tertulis di website WWF tentang Tips Berinteraksi dengan Hiu Paus :

  1. Jaga jarak. Beri ruang untuk hiu paus sejauh 2m dari badannya dan 3m dari ekornya bila berenang bersama. Walaupun hiu paus bergerak secara perlahan, tapi sangat berisiko terkena hempasan ekornya atau badannya yang besar.
  2. Sebaiknya jangan menggunakan alat selam atau menyelam di sekitar hiu paus. Pun kalau ada, pastikan hanya dua penyelam dalam satu kelompok. Ini karena hiu paus akan mudah terganggu dengan gelembung udara ketika menyelam. 
  3. Mohon antri. Kalau mau snorkeling bersama hiu paus, digilir per kelompok. Satu grup maksimal 6 orang dan satu pemandu. Jadi kalau kamu dan rombongan mau snorkeling, bikin kloter berkali kali ya jangan sekali brek! 
  4. Kamera buat selfie? Boleeeeh asal matikan flash-nya ya! Kilatan cahaya bisa ganggu hiu pausnya loh.
  5. Kalau di dalam air, usahakan setenang mungkin.
  6. Jangan teriak-teriak di dalam air atau nyipratin air bak film India ke hiu paus ya, bakalan mengganggu hiu pausnya.
  7. Ini yang paling penting, jangan memegang dan mengejar hiu paus. Kalau dideketin, usahakan tenang ya.
  8. Ingat, hiu paus adalah satwa liar.


Arogansi Tour Organizer bernama Derawan Fisheries


Kasus ini terjadi kemarin, saat saya dimention oleh teman saya Ruby @rubyperkasa di salah satu foto yang dimiliki akun Instagram @derawanfisheries. Saya melihat sang empunya foto sedang tiduran santai di atas floaties (pelampung berbentuk kasur) dan menyentuh kepala whale shark yang ada di hadapannya. Saya cek akun Instagramnya dan ternyata ada banyak sekali foto-fotonya yang lain berinteraksi sangat dekat dengan whale shark. Saya mencoba menegur dengan baik, namun yang saya dapat malah caci makian kasar. Meski sekarang jika mengecek akun Instagramnya, foto dan komentar-komentar sudah dihapus, namun screencapture-nya masih saya simpan. Seperti yang bisa teman-teman lihat di bawah ini.





Isi percakapan dengan Derawan Fisheries,..




Saya sangat menyayangkan bahwa kalimat kasar tersebut, keluar dari Tour Organizer yang tampaknya cukup terkenal di Derawan. Pun, ia merupakan pemilik dari penginapan yang berbasis “eco” yang dinamakan Derawan Fisheries. Ah, apa iya berbasis “eco” padahal pemiliknya sendiri tidak mengerti apa yang dimaksud dengan istilah “eco”, "eco-tourism" atau “eco-friendly”?

Setelah kata makian “anj**g” yang diketikkannya, saya sudah malas menanggapi. Screencapturetersebut lalu saya upload ke media sosial pribadi, path, yang lalu membuat banyak teman-teman geram. Mereka turut berkomentar dan memberi nasihat di akun tersebut namun teman-teman saya itu juga turut disebut “anj**g”.

Ternyata tidak hanya saya. Ada banyak orang sebelumnya yang sudah berusaha untuk menegur dan menasihati Bapak Harry Gunawan dari Derawan Fisheries tersebut yang hanya dianggap sebagai angin lalu.



Bahkan Om @pinneng seorang master dive yang berekelebat lama di dunia bawah laut ikut berkomentar. 


“Gitu z kok repot, santai z Mba. Gak usah nyampah di IG saya, klw gak suka tinggal unfoll z,, situ macam okay2nya z..”

Begitu jawabannya saat ditegur oleh akun @edelweiss_blogger.



Oh, beginikah perangai dan mental trip operator di Indonesia? Tidak punya etika dan menghalalkan apa saja, termasuk abai pada peraturan lingkungan, untuk jadi keren, terdepan dan selalu kebanjiran wisatawan? Pantaskah pribadi-pribadi seperti ini menjadi pelaku pariwisata? Coba, kalian bantu jawab pertanyaan saya.



                Di salah satu foto yang ia unggah di akun Instagramnya, tertulis bahwa Ia mengucapkan terima kasih atas pemberian buku “Panduan Wisata Hiu Paus” dari BPSPL (Balai Pengelolaan Sumber Daya dan Pesisir Laut) wilayah Kalimantan.



“Semoga dapat bermanfaat untuk semua sebagai salah satu pedoman berwisata di Kepulauan Derawan” ucapnya.

Bukunya kemana Mas? Sudah dibaca atau  cuma dipakai buat ganjel pintu?

Seharusnya jika ia sudah membaca dan menelaah dengan baik isi dari buku tersebut, tentu saja ia malu dan tahu apa yang dilakukan terhadap hiu paus itu salah. Menyentuh dan berenang sambil memegang sirip hiu paus sama sekali tidak dibenarkan. Bagaimana mau memberi contoh baik kepada wisatawan yang dia bawa jika dia sendiri melanggar peraturan?

Tujuan saya menulis ini, bukan semata-mata untuk menyerang Harry Gunawan. Melainkan memberikan gambaran kepada teman-teman tentang apa yang dimaksud pariwisata berbasis lingkungan, apalagi yang terkait dengan interaksi bersama hewan. Tidak hanya hiu paus, tetapi juga penyu, manta, paus, lumba-lumba, pun semua binatang yang ada di darat dan di udara, tidak boleh kita sentuh dan eksploitasi.

Saya mengunggah foto-foto Harry Gunawan hanya untuk menunjukkan bahwa apa yang ia lakukan di dalam foto tersebut adalah salah dan tidak sepatutnya ditiru. Saya yakin teman-teman yang membaca pasti bisa mengerti dengan apa yang saya maksud. Mari sama-sama saling mengingatkan. Pun dia tidak meminta maaf kepada saya atas perkataan kasarnya tak apa. Saya tidak meminta itu. (*update* terhitung tanggal 14 Juni 2016, Pak Harry Gunawan sudah menghubungi saya via jaringan pribadi dan telah meminta maaf. Kami berdua sudah menyelesaikan masalah ini baik-baik. Semoga kedepannya lebih baik lagi. Amin)

Apa tujuan saya membuat tulisan seperti ini? Tak lain hanya ingin berbagi informasi yang baik. Tak ada niatan memboikot Derawan Fisheries atau bagaimana. Sebagai lulusan sarjana Pariwisata, saya pribadi tentu ingin sekali pariwisata Indonesia terus berkembang dan membawa dampak baik dan kesenangan bagi semua kalangan. Saya ingin jumlah wisatawan meningkat tetapi tingkat pengetahuan akan peduli terhadap alam  juga meningkat. Bukan untuk kebaikan pribadi, tetapi untuk seluruh khalayak di bumi. 

Jika ingin tahu lebih lanjut tentang Whale Shark, silahkan kunjungi Facebook Page Whale Shark Indonesia. Bisa juga baca Panduan Teknis Pemantauan Hiu Paus yang dikeluarkan WWF dan Taman Nasional Cenderawasih. Bisa juga baca Leaflet dari WWF tentang Whale Shark.

Mari belajar menjadi pejalan bertanggung jawab, menjadi Tour Organizer yang bertanggung jawab yang paham bagaimana mengelola pariwisata yang berkelanjutan. Semoga kita tidak hanya berorientasi pada profit semata, namun juga mengutamakan konservasi hiu paus di mana pun mereka berada.


“Be kind to nature because nature is not to be raped and conquered. Nature is ourselves, to be cherished and explored”

Cetaphil, Teman Terbaik Untuk Kulit Pendaki Gunung

$
0
0

“Sat, kalau ke gunung itu mandi nggak sih?” tanya seorang teman, suatu waktu.

Ya nggak lah. Mau mandi di mana? Hahahaha. Selain karena keterbatasan toilet, airnya juga dingin banget. Makin ciutlah niat untuk membasuh satu tubuh dengan air.

Jadi, bersihin badannya gimana? Kan nggak enak pas naik gunung, berkeringat, lengket terus langsung tidur?

Ya memang! Oleh karena itu, saya selalu bawa pembersih dan tissue basah untuk “mandi kucing”, istilah untuk membersihkan diri dengan tissue basah, yang dilakukan setiap tiba di tenda, berganti baju dari pakaian jalan ke pakaian tidur.

Penting lho untuk berganti pakaian kering setiba di lokasi camp. Lebih baik berganti pakaian kering dan hangat setelah mendirikan tenda, baru melanjutkan aktivitas seperti masak, menyiapkan makanan.


Oke, balik ke masalah bebersih diri di gunung.

Biasanya di ‘kotak bencong’, saya selalu membawa pembersih all in one, kapas pembersih, pelembab, sunblock, lipbalm. Itu barang-barang yang wajib dibawa kalau mau tetap bersih dan cantik di gunung. Hehehehe.

Laluuuu, bertemulah saya dengan satu produk yang kini jadi favorit! Namanya Cetaphil!!!!!

Isi 'kotak bencong' saya kalau ke gunung. Pelembab, baby oil, light foundation, hair cologne dan tentu saja CETAPHIL

Saya baru coba satu produk yaitu Cetaphil Gentle Skin Cleanser yang tidak hanya bisa membersihkan wajah tetapi juga tubuh. Aman dipakai untuk semua usia dan segala tipe kulit. Di bagian belakang botol ada tertulis manfaat dari Cetaphil Gentle Skin Cleanser ini. Apa saja yaaaa? Ini diaaaaa....

  • Fragrance, soap and lanolin free


Waktu saya pakai, memang warnanya putih bening, tidak berbau, tidak berbusa. Kata seorang teman, memang baiknya sabun pembersih muka itu tidak banyak sabunnya, yang berarti minim kandungan deterjen. Pantas banyak yang pakai sabun pencuci muka dari dokter spesialis kulit jarang berbusa ya. Selain itu Cetaphil itu juga ‘lanolin free’ aka bebas dari lanolin yang merupakan zat yang terbuat dari ekstrak wol hewan / ekstrak domba. Biasanya kalau ada yang alergi lanolin dan memakai produk yang ada lanolin-nya, kulitnya jadi ada ruam kemerahan. Nah kalau Cetaphil sudah teruji lanolin free lho!

Tampilan cairan Cetaphil Gentle Skin Cleanser, bening ya.

  • Gentle on Baby’s Skin


Nah, karena kandungannya minim deterjen dan lanolin-free, Cetaphil aman dipakai untuk segala usia, termasuk bayi. Jadi aman juga buat yang kulitnya sensitif seperti kulit bayi.

  • Removes Light Make Up


Naaaah ini penting nih! Karena setiap hari saya cuma pakai pelembab dan sedikit foundation (kalau di gunung sih pelembab dan sunblock), saya cukup memakai Cetaphil sebagai pembersih, tanpa harus membersihkan pakai make up remover sebelum cuci muka. Ya tapi kalau habis kondangan, tetap pakai make up remover sih.

  •  Non-comedogenic (won’t block pores)


Artinyaaaaa Cetaphil ini tidak menutup pori-pori kulit kita, yang membuat kulit kita bisa lebih bernafas bebas dan mencegah timbulnya komedo. Enak bangettttt!

  • Helps skin retain moisture


Saya kira awalnya karena tidak ada deterjennya, habis pakai Cetaphil ini kulit bakal terasa kesat. Eh ternyata saya salah. Kulit saya malah terasa lembut, kenyal dan lembab. Rasanya gemas sama kulit sendiri, pengen dicubit-cubit terus. Hahahaha. Apalagi pas di gunung. Semakin dingin suatu tempat, kulit kita rentan sekali menjadi kering. Sejak pakai Cetaphil, kulit saya berasa lembab, enak dan tentunya dibantu sama pelembab juga.

  •  pH Balanced


Nih, semua harus tahu bahwa apa pun yang kita pakai ke tubuh, sebaiknya pH-nya seimbang (tingkat asam dan basa seimbang). Jika pH nya seimbang kulit kita akan terhindar dari ruam atau iritasi.

  •  Won’t Sting Eyes


Tentu saja karena Cetaphil tidak mengandung deterjen, tidak akan pedih jika terkena mata.

  • Can be use for Face an Body


Yaaaaa ini juga jadi kelebihan dari Cetaphil. Bisa dipakai untuk wajah dan tubuh. Asyik banget cuma beli satu produk dengan fungsi ganda. Tadinya mau dipakai buat bebersih badan di gunung tapi karena harganya mahal, jadi sayang. Akhirnya cuma wajah yang dibersihin pakai Cetaphil Gentle Skin Cleanser, kalau badan cukup pakai tissue basah saja *irit* hahahaha.

Selain khasiat di atas, yang bikin saya makin jatuh hati sama Cetaphil adalah bisa dibilas pakai air, bisa juga pakai kapas. Praktis banget! Jadi pas di gunung, karena dingin pastinya buat cuci muka pakai air, saya hanya oleskan Cetaphil di seluruh wajah dan lalu dilap pakai kapas wajah. Meski nggak pakai air, rasanya bersih, lembab dan kenyal. Jadi cleanser all in one yang biasa saya pakai dulu, sudah ditinggal saja di kamar, jadi cadangan kalau Cetaphil-nya habis dan belum diisi ulang.

Cetaphil bisa dibersihkan pakai kapas maupun air. Praktis kan? 

Sukaaaaaaaa banget deh sama Cetaphil ini. Jadi pengen pakai rangkaian produknya yang lain. Detail produk-produknya bisa dilihat langsung di website Cetaphil ya.

Saya pribadi sangat merekomendasikan produk ini untuk semua teman-teman yang suka naik gunung karena kadang ribet ya urusan bersih-bebersih di gunung. Pun kalau ada sumber air di gunung yang kita daki, sebaiknya tetap tidak cuci muka pakai sabun atau sikat gigi pakai pasta gigi di sumber air karena akan mengotori sumber airnya. Sebaiknya pakai produk yang praktis dan juga ramah lingkungan semacam Cetaphil. Pakainya kan nggak harus pakai air. Produk ini juga bisa dipakai sama laki-laki lho. Ini kan pembersih kulit, bukan kosmetik. Jadi aman dipakai untuk semua orang!




Untuk naik gunung dan travelling, saya pakai yang botol kecil berukuran 125 ml yang praktis dibawa kemana-mana. Harga satu botolnya sekitar Rp 112.000,- bisa didapat di Century, Watson, Guardian dan toko-toko kesehatan. Pas kemarin di Watson lagi ada diskon lho jadi Rp 75.000,- kalau tidak salah. Lumayan banget kan?

Coba lirik akun social media-nya Cetaphil deh, ada Twitter Cetaphil @cetaphil_id,  InstagramCetaphil @cetaphil_id Facebook Page Cetaphil Indonesia dan  Youtube Cetaphil. Banyak banget tips-tips merawat kulit agar tetap sehat dan tentunya kalau kulit kita sehat, tampak lebih cantik yaaaa. Bisa subscribe mailing list nya juga di http://cetaphil.co.id/id/langganan

Jadi, terjawab kan pertanyaan kalau mau bebersih di gunung pakai apa?


Pakai CETAPHIL GENTLE SKIN CLEANSER sajaaaa~ Teman terbaik untuk kulit pendaki gunung! Senang banget akhirnya ketemu Cetaphil, semacam ketemu jodoh, untuk kulita saya yang senang naik gunung, bertualang dan panas-panasan di bawah matahari.

Di bawah ini ada video 3 langkah mudah membersihkan kulit. Monggo ditonton ya ;)


Satu Malam Menegangkan Naik Kapal Kayu ke Sumba

$
0
0

“Dik, dik, kapalnya sudah sandar. Makan dulu yuk”, ujar Pak Iwan, salah satu awak kapal KM Cakalang yang saya tumpangi dari Labuan Bajo menuju Sape, Sumbawa.

Kulirik ia dari balik selendang yang menutupi muka selama tidur sambil mengumpulkan nyawa. Saya lirik jam sudah pukul empat petang. Cukup lama juga saya tertidur. Syukurlah karena kebaikan awak kapal, saya diperbolehkan tidur nyenyak di sofa yang ada di deck paling atas, ruang TV di deck khusus awak kapal, dekat ruang kemudi.

Dianter teman-teman baru ke pelabuhan. Teman baru tapi jadi kesayangan sekarang. Ada Kadal, Tinae dan Bang Ito
KM Cakalang ini akan membawa saya menuju Waikelo, Sumba. 7 jam dari Labuan Bajo – Sape dilanjutkan 7 jam lagi dari Sape menuju Waikelo. Namun jadwal itu belum pasti karena tergantung dengan kondisi cuaca. Apalagi melintas samudera Hindia, rentan dengan ombak tinggi yang biasa membuat kapten kapal ciut nyali, terutama kapal ferry.

“Jadi kita lanjut ke Sumba nggak Pak?” tanya saya pada Pak Iwan.

“Wah, sepertinya nggak berangkat Satya. Syah Bandar nggak kasih izin. Berangkat ke Waikelo mungkin 3 hari lagi, besok kapal ini ke Labuan Bajo dulu”, jawabnya sambil menyantap makanan yang ada di piring.

Hah?! 3 hari lagi? Doh, mau ngapain saya tinggal di Sape 3 hari. Pun bertambah sedih karena waktu saya untuk eksplorasi Sumba berkurang. Saya harus bagaimana? Pikiran saya berkecamuk.

Saya ambil tas kecil saya dan pergi ke buritan kapal. Senja sore itu cantik dan sayang jika tidak diabadikan. Saya duduk termenung sembari menikmati pendar-pendar jingga yang mulai memudar. Saya harus apa, harus kemana? Salah satu bagian yang kurang enak ketika berjalan sendirian adalah tidak adanya teman berbagi saat kebingungan.

Saya kembali masuk ke ruang tamu dan masih ada Pak Iwan di sana.

“Pak Iwan, apa tidak ada alternatif kapal lain ke Waikelo?” tanya saya.

“Kamu mau naik kapal barang? Soalnya kalau kapl ferry nggak jalan ke Waikelo, kapal barang pasti jalan”, jawab Pak Iwan.

Kapal barang. Kapal barang. Kapal barang. Kapal barang.

Naik kapal barang?

Ya, lebih baik naik kapal barang daripada tiga hari terdampar di Sape ya, pikir saya.

Kapal barang beda tempat dengan kapal ferry. Pak Iwan berbaik hati mengantarkan saya naik motor ke pelabuhan yang jaraknya sekitar 10 menit. Hari sudah mulai gelap, Pak Iwan menyapa petugas pelabuhan dan terus melaju ke bibir dermaga.

Terima kasih Om Iwan!
Saya melihat satu kapal kayu berukuran tidak terlalu besar sedang dijejali barang-barang seperti keranjang tomat, karung-karung bawang dan peti-peti berisikan sayur mayur. Pak Iwan tampak mengobrol dengan satu orang perempuan paruh baya yang sedang mencatat seluruh barang yang dimasukkan ke dalam kapal. Dari kejauhan saya melihat Pak Iwan menunjuk saya dan si Ibu mengangguk-angguk.

Begitu Pak Iwan kembali, dia memberitahu bahwa saya diizinkan ikut di kapal dan tidak perlu bayar katanya. Waaa, lucky me!

Ada dua mobil pick up dan satu truk colt diesel yang muatannya sedang dipindahkan oleh kuli panggul. Sambil menunggu, kami menghampiri pedagang pentol keliling yang ada di dermaga. Saking lapernya, saya ganyem lebih dari 2 lusin pentol sepertinya. Hahahaha. Sekaligus menyiapkan amunisi untuk perjalanan menyeberangi samudera.

Kapal sudah siap untuk berangkat. Saya mengoper carrier ke awak kapal. Saya inginnya duduk di bagian atas kapal, namun dilarang karena takutnya seaktu gelombang tinggi, saya terlempar ke laut. Mak! Seram kali!

Saya pun menuruti kata awak kapal dan turun ke bagian bawah. Saya pilih pojokan yang sekiranya enak buat goleran. Ada satu pasangan suami istri dengan anak perempuan mereka yang masih berumur 2 tahun melempar senyum kepada saya. Ada pula satu bapak yang duduk di dekat sisi belakang, dekat dengan pelampung bulat keras berwarna oranye. Saya sempat terdiam ketika bapak itu bilang kalau nanti kapal ini pecah di tengah lautan, setidaknya dia bisa langsung meraih pelampung. Nyali saya seketika ciut. Yang tadinya sudah berhasil untuk menenangkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja, langsung keder mendengar pernyataan Bapak tadi.

Saya beringsut masuk ke dalam sleeping bag, mencari posisi nyaman untuk merebahkan diri. Kapal mulai bergerak, lampu-lampu kota terlihat menjauh. Saya berdoa supaya sang kapten bisa membawa kapal ini mendarat dengan selamat di Waikelo. Amin!

Baru 40 menit kapal berjalan, tiba-tiba awak kapal berbicara dengan suara keras dan terdengar bunyi katingting (kapal kecil) dari kejauhan. Mereka berbicara dengan Bahasa Bima yang saya tidak mengerti. Tak lama ada dua katingting yang merapat di sisi kiri dan kanan kapal. Ada belasan orang di masing-masing katingting dan lalu melompat masuk ke bagian atas dan bawah kapal. Seketika tempat itu jadi penuh sesak.

Ternyata banyak penumpang yang ingin ikut di kapal barang ini karena tidak ada kepastian jadwal keberangkatan ferry.

Saya kembali memejamkan mata dan berusaha untuk tidur meski tidak mengantuk. Saya pasang earphone dan memutar lagu kesukaan saya. Meski kappa sudah mulai goyang-goyang, saya masih merasa aman dan mengikuti ritme goyangan. Itu salah satu tips agar kita tidak mabuk laut. Jangan dilawan guncangannya.

Lau tiba-tiba saya dikagetkan dengan suara keras awak kapal. Mereka berteriak-teriak dan dalam waktu cepat kapal kami dihantam ombak. Guncangannya luar biasa. Saya langsung duduk, jantung saya berdegup keras. Beberapa kali muka saya kena tampias ombak. Tampaknya kapal kami sedang menghadapi masalah. Tak henti saya mengucap doa dalam hati agar sang kapten bisa mengemudikan kapal ini selamat sampai tujuan.

Apakah waktu itu saya takut?

Iya, takut banget.

Tapi selalu saya percaya bahwa Tuhan baik dan selalu punya rencana terbaik. Pasrah adalah pilihan terbaik.

Sambil terguncang-guncang, saya masih mendengarkan musik sambil melihat ke langit. Ada jutaan bintang dan milky way terlihat dengan sangat jelas oleh mata. Tak sadar ada air menumpuk di pelupuk. Rasa di hati berkecamuk. Betapa kecilnya manusia, betapa kecilnya saya, kamu, kita di dunia.

Ombak sudah mulai sedikit tenang meski masih lumayan goyangannya. Dan saya baru menyadari bahwa tempat (lahan) saya tidur direbut oleh bapak-bapak. Why Pak, whyyyyyy?

Kondisi di dalam kapal waktu itu. karena kapalnya goyang-goyang dan penerangannya minim, jadilah dapat fotonya blur...
Saya terjepit di antara bapak-bapak dan tidak bisa rebahan. Saya lirik dan jam memperkirakan masih sekitar 2 jam lagi tiba di Waikelo. Capek juga kalau posisi duduknya seperti ini terus. Huhuhuhuhu. Yah kalau misalkan di commuter line saya bisa tidur sambil berdiri, seharusnya tidur posisi duduk tak jadi masalah, kata saya untuk menghibur diri sendiri.

Dan saya benar tertidur…

****

Saya terbangun lagi karena suara awak kapal. Di kejauhan sudah tampak lampu-lampu. Ah daratan! Akhirnya…

Langit sudah mulai mengeluarkan rona merah. Ternyata sudah jam 5 pagi. Kapal kami sandar setelah sedikit ombak yang mempersulit kapal mendekat ke dermaga. Saya bersiap untuk turun.

“Waingapu nona, Waingapu?” tawar satu kenek travel di pelabuhan.

Saya tolak dengan senyuman dan mencari sudut agak lapang tempat saya bisa meletakkan carrier. Goyangan kapal masih terasa. Saya duduk menghadap timur dan menenggak air mineral.

Satu malam menegangkan itu sudah terlewati dan kini di hadapan saya adalah sang surya yang hangat menyapa selamat pagi.


Halo, Sumba….






Mendaki Gunung Ciremai (Yang Katanya Mistis) via Apuy Majalengka

$
0
0

“Ciremai Neng, Kang, ojek ojek”, ujar beberapa Mamang Ojek begitu saya dan Janatan turun dari elf yang membawa kami dari Cileunyi ke Terminal Maja, Majalengka.

Kami berdua berencana untuk mendaki Gunung Ciremai, spontan saja. Meski sudah mendengar cerita-cerita mistis tentang pendakian Gunung Ciremai, kami tetap ingin mendaki titik tertinggi di Jawa Barat ini.Toh kita niatannya baik, pasti di sepanjang jalan juga akan baik-baik saja. Dulu sempat baca cerita blog tentang pendaki yang “disesatkan” di Ciremai dan baca blognya Acen Jalan Pendaki ke Ciremai via Linggarjati. Dua cerita itu sempat membuat saya bergidik dan ciut nyali untuk mendaki Ciremai. Namun pada akhirnya jadi juga saya ke sana dan memilih jalur Apuy ketimbang Linggarjati atau Palutungan.

Saya tolak dengan halus tawaran Mamang Ojek tadi dan melipir ke satu warung samping terminal, meletakkan carrier, duduk menyantap nasi kuning dan menyesap teh tawar hangat sambil menunggu langit cerah. Kami berencana mencari rombongan lain yang mungkin bisa diajak patungan membayar pick-upke basecamp Apuy.

Namun hingga langit berubah warna dari biru, jingga, emas, kami tidak menjumpai rombongan lain di terminal. Mungkin karena hari itu hari Minggu sehingga sepi pendaki. Pada akhirnya kami mengiyakan Mamang Ojek yang sedari awal tak berhenti membujuk kami untuk naik ojek. Toh, tak ada salahnya berbagi rejeki dengan mereka. Harga yang diminta juga tidak terlalu mahal, Rp 60.000,- per orang untuk satu jam perjalanan dari Maja ke Basecamp Apuy. Kami juga tidak mau kesiangan karena rencana pendakian hanya dua hari, jadi harus berangkat sepagi mungkin, mendaki sampai pos terakhir dan langsung summit attack keesokan paginya dan langsung turun. Begitu rencana awalnya.



“Ayo Neng taruh di depan aja tasnya”, ujar si Mamang. Saya berikan dan naik ke boncengan dengan kamera terkalung di leheer. Pemandangan dari Maja menuju Basecamp wajib diabadikan. Apalagi pagi itu cuaca cerah dan udaranya sejuk.

Motor bebek digas terus oleh si Mamang menyusuri tanjakan yang kadang berlubang. Setelah jalan aspal habis, kita melintas di jalan tanah dimana beberapa kali kami harus turun karena takut tergelincir jatuh.




Sampai sekitar jam 7 di Basecamp Apuy, kami langsung registrasi di Pos 1 atau Pos Berod. Biaya registrasinya Rp 50.000,- per orang. Lumayan mahal juga ya. Kami sempat bertanya apakah boleh lintas jalur, misalnya naik via Apuy (Majalengka) dan turun via Palutungan (Kuningan) dan jawabannya adalah tidak. Alasannya agar semua pendaki dapat terorganisir data naik dan turunnya, meminimalisir angka pendaki yang tersesat karena naik dan turun dari jalur yang sama. Kata Bapak petugas Taman Nasional Gunung Ciremai ini, banyak sekali pendaki yang tersesat di Ciremai dan penyebab utamanya adalah karena mereka lintas jalur naik dan turun.

Fyi, gunung tertinggi di Jawa Barat ini memiliki tingkat kesulitan pendakian yang lumayan jadi harus mempersiapkan fisik dari jauh-jauh hari. Meski pun katanya mendaki gunung itu lebih kepada ujian mental, tetap saja kalau fisiknya lemah ya zonk. Jadi harus tahu betul kapasitas diri masing-masing saat mendaki gunung.

Ditambah lagi tidak adanya sumber air di jalur pendakian Apuy, akan membuat pendakian lebih berat karena beban air. Untuk pendakian dua hari, kami membawa air 4 botol 1,5 liter, 1 botol minum kapasitas 1 liter dan 1 botol kapasitas 700ml. Pun kami mengatur menu makanan yang tidak membutuhkan banyak air seperti sup atau mie instan berkuah.


Sehabis melakukan pemanasan, kami mulai berjalan pelan. Dari pos 1 menuju pos 2 (Pos Arban) memakan waktu sekitar 30 menit saja dan jalurnya bisa dilewati motor. Berjalan pelan sambil mengatur nafas, kami tertawa-tawa sepanjang jalan. Tidak banyak pendaki yang kami jumpai di jalur dan itu membuat saya senang.


Namun sempat kami berjumpa dengan pendaki yang tidak mengenakan alas kaki, sedang berjalan turun. Saya tanya baik-baik kenapa dia tidak memakai alas kaki, katanya enak begitu daripada pakai sepatu. Saya kecewa dengan pendaki yang abai keselamatan diri seperti dia. Kalau porter okelah kita maklum mereka memang terbiasa memakai sandal jepit atau bahkan bertelanjang kaki. Lah kalau pendaki biasa? Tergelincir lalu kakinya patah? Hanya akan menyusahkan dirinya dan orang lain juga kan? Menurut petugas TNGC, pendaki yang ketahuan tidak mematuhi peraturan pendakian, akan ditarik asuransinya dan pihak Taman Nasional tidak akan bertanggung jawab atas apa pun yang menimpa pendaki nakal itu.

Perjalanan dilanjut lagi dari Pos 2 menuju Pos 3 (Tegal Masawa), jalurnya sudah mulai “yahud” dengan estimasi waktu pendakian 2 jam. Tanjakan dengan elevasi 45 hingga 80 derajat sudah menanti. Beberapa kali kami harus memanjat dengan berpegangan pada akar-akar kayu. Sampai di Pos 3 ternyata ada beberapa pendaki yang sedang isthirahat. Karena sudah hampir jam 12 siang, kami mengeluarkan kompor dan memasak makan siang dan menyeduh susu.


Hujan turun tepat saat kami hampir selesai makan. Dengan sigap kami packing, memasang rain cover dan memakai rain coat lalu bersiap berjalan lagi. Saat hujan, kami berjalan lebih pelan dan hati-hati agar tidak tergelincir. Perjalanan dilanjutkan ke Pos 4 (Tegal Jamuju) dengan estimasi waktu 1 jam. Hujan masih terus mengguyur hingga perjalanan menuju Pos 5 dan syukurlah hujan berhenti dan kami bisa melepas rain coat.

Saya menyenangi perjalanan  dari Pos 4 menuju Pos 5 karena menjumpai banyak sekali pohon-pohon besar yang tidak cukup dipeluk satu orang saja. Selain pohon, akar-akaran juga semakin memperindah jalur pendakian. Saking senang dan terpesonanya, kami tak sadar sudah sampai di Pos 5 (Sanghyang Rangkah) yang ternyata kami tempuh dalam waktu 1,5 jam. Kami berencana untuk mendirikan camp di Pos 6 agar dekat dengan puncak. Di Pos 5 kami berjumpa dengan pendaki yang hendak turun, berbincang sebentar dan melanjutkan perjalanan.



Saya sudah lelah namun seperti biasa Janatan selalu kelihatan santai, nggak ada capeknya. Perjalanan menuju Pos 6 dari Pos 5 memakan waktu 2 jam, dengan jalur sempit, berbatu dan cukup terjal. Apalagi setelah ketemu percabangan jalur Apuy dan Palutungan, jarak ke Pos 6 sudah dekat tapi kki rasanya berat bener.



Senangnya selama di jalur, kami dihibur oleh burung jalak hitam yang ada garis orange ikut berjalan melompat dan sesekali terbang di dekat kami. Masyarakat lokal percaya bahwa burung-burung ini bukan sembarang burung. Jangan sesekali mengganggu, menyakiti atau membawa mereka pulang kalau tidak mau mendapat malapetaka. Ya percaya nggak percaya yaaaaa…. Tapi memang benar bahwa kita sebaiknya tidak mengganggu makhluk hidup lain.

“Yok, udah kelihatan itu Goa Waletnya”, kata Janatan, membuat saya semangat. Ternyata lokasinya ada di bawah dan kita harus menuruni jalur. Hanya ada satu tenda biru yang kami jumpai. Kami sapa mereka berdua yang bernama Abi dan Nopri. Hanya kami berempat yang ada di Goa Walet waktu itu.


Goa Walet ini memang agak membingungkan karena katanya banyak walet di sini sehingga dinamai seperti itu, padahal tidak satu pun walet yang saya lihat atau dengar suaranya. Yang ada hanya potongan botol Aqua yang ditinggalkan pendaki untuk menampung air dari stalaktit di dalam goa, meski hanya tetesan-tetesan kecil. Pun air hanya akan menetes saat musim hujan. Jika musim kemarau mungkin tidak ada tetesan air sama sekali. Jadi jangan bergantung dengan air tetesan dari gua, persiapkanlah dengan baik logistik pendakian.


Kami memilih camp di dalam goa, mencari bagian yang rata dan membangun tenda. Habis berganti pakaian hangat, kami memasak makan malam. Malam itu dingin sekali sehingga saya terus-terusan ingin meminum susu. Kami makan banyak sekali agar badan hangat. Tapi tetap saja dingin. Akhirnya kami keluar dan mengajak Abi serta Nopri untuk ngobrol dan membuat api unggun kecil dari ranting kecil yang berserakan namun sayangnya gagal. Hampir sejam kami berusaha tapi tidak berbuah apa-apa. Kami masuk ke tenda masing-masing dan bersiap untuk tidur. Kami berempat berjanji bangun setengah lima pagi untuk berjalan bersama-sama ke puncak.

Seperti biasa, setiap tengah malam pasti saya terbangun karena kedinginan, sehangat apa pun pakaian dan sleeping bag. Seperti biasa juga, Janatan pasti bangun untuk memasak susu hangat, menyendokkan roti dan susu, membuka kaus kaki tebal saya dan menggosok kaki agar hangat lalu tidur lagi. Janatan surely my best travel/hike mate ever.

Menuju Puncak Ciremai


“Bi, Pri udah bangun belum?” panggil saya kepada teman di tenda sebelah kami saat bunyi alarm bersahut-sahutan. Dari Pos 6 (Goa Walet), hanya dibutuhkan waktu 30 menit untuk sampai ke puncak. Kami bangun pukul setengah lima dan segera bersiap ke puncak dengan membawa air minum, snack dan tripod.

Suhu di luar dingin sekali, membuat enggan bergerak. Namun begitu terbayang dalam imajinasi cantiknya sunrise dari puncak gunung membuat saya tergiur dan ingin cepat berjalan, memanaskan badan.

Kami menyusuri jalanan berbatu dengan perlahan-lahan. Dinginnya udara dan tipisnya oksigen, membuat saya menarik nafas sedalam-dalamnya, sebanyak-banyaknya. Sesekali melihat ke belakang dan melihat pemandangan berlampu Kota Majalengka dan Kuningan.

“Puncak, puncak”, teriak Nopri. Iya, puncak sudah dekat. Sambil menyeret kaki yang berat, saya  begitu senang ketika kami berempat berhasil mencapai Puncak. Hanya ada kami berempat, tidak ada pendaki lain. Langit sudah mulai terang dan mulai mengeluarkan semburat jingga. Nopri dan Abi bilang mereka ingin berjalan-jalan ke sisi lain kawah dan tinggallah kami berdua, Janatan dan saya.


Begitu langit sudah sangat cerah, di kejauhan kita bisa melihat Gunung Cikuray dan Gunung Slamet di kejauhan. Puncak Gunung Ciremai yang sebenarnya adalah bibir kawah cukup luas sehingga saya terpikir untuk terbang dari puncaknya memakai parasut paralayang. Terdengarnya seru ya? Semoga bisa terwujud. Amin!



Kawah Gunung Ciremai yang merupakan Gunung Stratovolcano ini masih aktif hingga sekarang sehingga setiap pagi kita bisa melihat belerang membumbung dari dasar kawah. Kita bisa duduk santai di tepi kawah asal selalu melihat jarak aman agar tidak terpeleset ke dalam kawah.








Kami bersantai di Puncak jam delapan pagi, turun ke Pos 6, menyiapkan makan siang untuk dibawa, membereskan tenda dan packing. Kami sempat kaget karena ada tenda lain di dekat kami yang cuma terdiri dari tenda tanpa rangka. Itu tidurnya di dalam bagaimana ya, pikir saya. Abi dan Nopri yang sudah lebih dulu selesai packing, pamit untuk turun duluan dan kami berjanji untuk bertemu di Pos 1 saja untuk sama-sama naik pick-up ke Terminal Maja.

Butuh waktu empat jam untuk turun dari Pos 6 ke Pos 1, itu pun sudah berjalan cepat bahkan setengah berlari. Sedap banget rasanya dengkul begitu sudah sampai di Pos 1. Sempat kecapean juga pas di jalur turun dan kami bobok di jalur. Sepanjang jalan turun kami hanya berjumpa pendaki lain di Pos 5 dan Pos 2. Sisanya kita cuma berdua di jalur dan pas kabut turun berasa lagi ada di film “Silent Hill”.

Sampai di Pos 1, sampah kami diperiksa dan setelah membereskan administrasi, kami mendapatkan sertifikat dan badge dari Taman Nasional Gunung Ciremai. Asooooyyy… Ternyata kalau dulu, biaya pendakian sebesar Rp 50.000,- itu sudah termasuk compliment satu kali makan dan es teh manis, namun kini diganti dengan sertifikat. Lucu juga ya, seumur-umur saya naik gunung tidak pernah dapat “hadiah”. Rasanya jadi gimana gitu…

Jadi, kalian mau mendaki gunung yang katanya mistis ini? Tenang, selama kita berniat baik dan tidak macam-macam di alam, niscaya kita akan aman dan selamat. Jangan lupa berdoa ya.



Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat mendaki Ciremai :

  • Transportasi ke Basecamp Apuy, bisa naik bus dari Kampung Rambutan dengan jurusan Garut / Tasikmalaya, turun di Cileunyi, lanjut naik elf jurusan Bandung – Cikijing dengan ongkos sekitar Rp 20.000,-, turun di Terminal Maja.
  • Bawa persiapan air yang cukup karena tidak ada sumber air di jalur. Minimal 2 botol x 1,5 liter per orang untuk pendakian 2 hari 1 malam. Jika harinya lebih, ya bawa airnya lebih banyak.
  • Biaya pendakian Ciremai via Apuy adalah Rp 50.000,- per orang. Begitu juga dengan jalur Linggarjati dan Palutungan. 
  • Dulu orang-orang percaya bahwa tidak boleh buang air kecil di tanah dan harus di botol. Tapi sayangnya sang emppunya tidak mau membawa turun dan malah jadi nyampah kan. Tidak apa-apa untuk buang air di tanah asal permisi pamit dulu ya dan jangan buang air di jalur ya. 

Viewing all 119 articles
Browse latest View live