Dapa tekki tamo
Dapa nunga ngara
Pamake mata pamomo wiwaui
Tiga kalimat itu adalah jawaban yang diberikan Nene Leda Goko saat kami berbincang tentang Marapu, kepercayaan adat masyarakat Sumba. Meski banyak yang mengatakan itu agama, pada nyatanya bukan. Nene bilang itu adalah kepercayaan turun temurun dari nenek moyang, tetapi tidak ada Tuhan yang disembah seperti agama lainnya. Pun arti dari kalimat paling atas itu kurang lebih artinya, dia yang tidak perlu dicari, tidak bisa dilihat, tidak bisa didengar tetapi ada di sekitar.
Nene Leda Goko sudah berusia 68 tahun, punya 5 anak dan 15 cucu. Di rumah beliau saya diterima dengan ramah dan Nene menjawab semua pertanyaan akan rasa penasaran tentang adat istiadat di Sumba, khususnya di kampung Tarung.
‘Tarung’ sendiri berarti tempat yang tinggi dan di bawahnya terhampar sawah, menurut cerita Nene. Memang lokasi kampung Tarung ada di atas bukit, menjulang di tengah-tengah kota Waikabubak. Sawah yang dikatakan Nene sudah berubah menjadi pemukiman penduduk.
Kampung Tarung bagian bawah... |
Sewaktu memasuki Kampung Tarung, saya menjerit bahagia dalam hati karena antusias yang meluap begitu melihat rumah-rumah bambu beratapkan alang-alang dengan tanduk kerbau digantung di teras rumah.
Begitu melihat saya datang, seorang lelaki bernama Piu menyodorkan buku tamu yang sudah agak lusuh. Saya mengisi nama, alamat dan menyelipkan beberapa lembar uang untuk donasi seikhlasnya. Dengan masih mengunyah sirih, dia tersenyum, mengucapkan terima kasih dan sempat mengenalkan kampungnya secara umum dan dalam waktu singkat saja dia berlalu. Ketika saya bilang saya ingin bertanya banyak, dia mengatakan agar saya menemui yang tua-tua saja karena mereka lebih paham tentang adat.
Saat itulah saya bertemu dengan keluarga Nene Leda Goko yang sedang bersantai di teras rumah. Saya diajak masuk ke dalam rumah dan saya diperbolehkan mengenakan pakaian adat milik Kaka Nonce Rambu Rokuwage, menantu Nene.
Kaka Nonce, suami dan tiga anaknya yang lucu... |
Mengenakan Pakaian Adat Sumba
Untuk perempuan, pakaian adatnya adalah ‘Lau Pahudu’ kain tenun khas Sumba dengan ‘Mamoli’ sebagai motif utamanya. ‘Mamoli’ sendiri adalah perlambang dari Rahim wanita. Selain menjadi motif di kain tenun, ‘mamoli’ juga dijadikan kalung dan menjadi seserahan saat seorang lelaki akan mempersunting perempuan. Sang lelaki harus memberikan dua kalung ‘mamoli’ kepada Ibu si perempuan karena anak perempuan dianggap dua biji mata orang tuanya. Ketika dia akan menikah dan meninggalkan rumah, si lelaki harus memberikan penggantinya. Saya terharu mengetahui bahwa perempuan sangat dihargai dalam adat budaya Sumba.
Selain mengenakan ‘Lau Pahudu’ dan ‘Mamoli’, saya dipakaikan gelang besar yang terbuat dari kayu dan juga ‘kaleko’, tas anyam yang biasa dipakai untuk menyimpan dan membawa sirih.
Untuk laki-laki, pakaian adatnya disebut dengan ‘hinggi’ dan terbagi menjadi dua yakni ‘hinggi kombu’ dan ‘hinggi kaworu’ dilengkapi dengan ‘kabiala’, senjata tradisional Sumba. Di kepala dililitkan ‘tiara patang’.
Kak Ronce membantu saya mengenakan kain di bilik kamar yang gelap. Setelah selesai, saya diperkenankan untuk berkeliling kampung dan mengambil foto. Spot favorit saya adalah bagian tengah kampung, dimana rumah dan kuburan bisa terlihat dengan jelas dalam satu frame. Kata Kak Ronce, saya sudah pas seperti ‘Rambu’ (panggilan untuk wanita Sumba) dan tinggal tunggu dipinang ‘Umbu’ (panggilan untuk lelaki Sumba) saja. Hahahaha…
‘Uma Kabubu’ dan ‘Wulla Poddu’ Marapu
Di bagian tengah kampung ada satu rumah kecil. Ternyata itu adalah ‘Uma Kabubu’ atau rumah suci dimana leluhur Marapu bersemayam. Tidak sembarang orang yang bisa masuk ke dalamnya. Hanya ‘Rato’ atau tetua adat yang boleh masuk ke dalam dan biasanya hal itu dilakukan saat ‘Wulla Poddu’, bulan suci bagi masyarakat Sumba dimana mereka tidak boleh membunyikan apa pun, tidak boleh mengadakan pesta kelahiran, perkawinan atau kematian. Mirip seperti perayaan Nyepi di Bali, tapi bedanya hal ini dilakukan sebulan penuh. Wow!
Yang di tengah kecil itu yang namanya 'Uma Kabubu' |
Jadi, jika ada yang lahir sewaktu ‘Wulla Poddu’, maka pestanya ditunda hingga masa itu berakhir. Begitu pun dengan kematian, jenazahnya harus disemayamkan sampai ‘Wulla Poddu’ berakhir dan baru bisa dikuburkan setelahnya. Buat kita pasti mikirnya ribet banget ya. Tetapi itulah adat dan masyarakat Sumba sudah terbiasa dengan hal itu.
Bahkan toleransi sangat dijunjung tinggi di Sumba. Umat beragama lain sangat menghargai kepercayaan Marapu dan saat ‘Wulla Poddu’, mereka sebisa mungkin tidak ada yang mengadakan pesta kawinan dengan dangdutan sejenisnya. Pun biasanya jika sudah terlanjur akan mengadakan pesta pada bulan itu (biasanya bulan November), mereka akan naik ke kampung dan meminta izin pada ‘Rato’ untuk mengadakan pesta. Setelah mendapatkan izin, pesta akan terselenggara namun tetap tidak boleh terlalu berisik.
Ayam dan Rato
Selain Mamoli, ada banyak motif lain yang menjadi symbol kehidupan masyarakat Sumba. Nanti akan ada tulisan khusus tentang kain tenun ikat di Sumba dan cerita masing-masing motifnya. Salah satu motif yang lekat di Sumba adalah ayam. Bagian hati ayam menjadi sarana berkomunikasi dengan leluhur.
Misalkan ada penduduk yang sakit, mereka akan membawanya ke Tetua adat atau ‘Rato’. Lalu yang datang biasanya membawa ayam kampung dan Rato akan menyembelih lalu mengecek hati ayam itu. Jika terdapat noda di hati ayam tersebut, berarti memang ada yang salah dan dengan caranya, Rato akan berkomunikasi dengan leluhur. Setelah mendapat jawaban, maka Rato akan meminta agar yang memohon itu menyembelih binatang dan cara-cara lainnya. Jika sudah selesai, sang pemohon akan membawa lagi ayam untuk dilihat hatinya oleh Rato. Jika hasilnya bersih, itu artinya leluhur sudah mengampuni dan menyembuhkannya.
Rato memimpin seumur hidupnya. Jika Rato tiada, maka akan diadakan ritual untuk memilih Rato yang baru. Tidak akan ada yang bisa menerka, siapa yang akan menjadi Rato berikutnya karena Rato dipilih oleh leluhur.
Rato yang sedang memimpin Kampung Tarung bernama Rato Lado dan merupakan Rato termuda yang pernah ada di Sumba. Ia terpilih menjadi Rato di usia 30-an. Dari bincang-bincang dengan Mama, kaka perempuan Rato, saya diceritakan prosesi pemilihan Rato dan bagaimana terkejutnya keluarga saat Lado terpilih karena masih sangat muda. Mereka takut jika Rato Lado tidak bisa mengemban tugasnya dengan baik. Namun pada akhirnya, Rato Lado bisa memimpin dengan baik, bijaksana dan disayang semua orang.
Masih ada cerita lain tentang Kampung Tarung. Silahkan baca blogpost berikutnya ya.
Salam sayang dari Sumba.